RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi Chapter 9

Silahkan baca!


BAB 9
"Gibb!" Draco melempar Quaffle ke David.
Draco menoleh, melihat Harry melesat beberapa meter di atasnya. Laju Fireboltnya mulai melambat. Apakah berarti…Merlin―
Potter terbang dengan senyum terhias di wajahnya. Terbangnya melambat. Dia mengangkat tangan kanannya dan menjulurkan—menunjukkan pada dunia―sebuah bola emas yang mengepak lemah.
Snitch.
Para pendukung Gryffindor meledak dalam sorak sorai.
Jantung Draco Malfoy berdegup kencang. Dia merasa jantung itu seakan dapat melompat keluar dari tubuhnya setiap saat.
Dan Quafflenya―Gibb? Ba-bagaimana Quafflenya―
Papan skor menyala dan berpendar-pendar. Tulisannya—
GRYFFINDOR 190, SLYTHERIN 200.
Penonton tak menyadari apa yang terjadi. Draco hampir tak menyadari apa yang terjadi. Udara seakan menyusut begitu saja. Dia sulit bernapas. Kemudian perlahan seakan bom dijatuhkan ke tengah kerumunan para pendukung Slytherin, gemuruh teriakan supoter Slytherin makin lama makin keras dan meledak dalam sorak sorai yang lebih membahana.
Jantung Draco berdegup kencang. Dia masih tidak percaya. Semua pemain Slytherin menghampiri David yang telah menciptakan gol emas. Mereka bersorak, menepuk-nepuk bahu sang Chaser.
"Gol yang hebat, Dave!" seru Draco tak dapat menutupi kebahagiannya.
"Gila! SINTING!" teriak yang lain. "Oh, Merlin…"
David terlihat takjub dan masih bingung. "Merlin…Oh, Merlin, astaga!" gumamnya tak percaya. "Aku tak percaya! Aku baru memenangkan pertandingan! Aku membuat kita menang! Astaga…"
Para Slytherin meneriakkan sang pahlawan. Mereka menggotong David mengelilingi stadion. Sang Chaser begitu menikmati kepopuleran mendadaknya. Panji-panji berkibar di tiap sudut. Yel-yel dinyanyikan.
Dengan demikian secara resmi, hari itu menjadi hari para ular.
Di Aula Besar, pesta berlangsung di meja Slytherin. Segalanya mendadak menjadi hijau seolah menegaskan para Slytherinlah pemilik hari itu. Piala-piala berdentingan bersulang akan kemenangan mereka. Tawa renyah berdegung di sepanjang meja. Keriuhan yang begitu kontras dengan meja seberang dimana bangku-bangkunyanya nyaris kosong. Hampir semua anak Gryffindor tidak turun untuk makan malam. Lebih baik membenamkan diri dalam tanah seperti burung unta ketimbang melihat para Slytherin mencemooh mereka.
Pesta yang sebenarnya berlangsung di bawah tanah asrama. Jauh dari para guru. Jauh dari Filch. Berbotol-botol Wiski Api secara ilegal diselundupkan ke dalam asrama. Semua bersuka cita. Semua berpesta. Ketua Murid Putra Blaise Zabini. Will, David sang pahlawan, Stu, para anggota tim lain. Dan sang Kapten.
Tentu Draco takkan melewatkan malam itu begitu saja. Saat-saat menakjubkan pada tahun terakhirnya di Hogwarts. Maka dia tak keberatan ketika kenikmatan Wiski Api menjalar ke seluruh tubuhnya. Menghangatinya. Dia tak keberatan cairan tersebut menghilangkan seluruh daya pikirnya. Dan dia tak keberatan untuk begitu tenggelam dalam suka cita.

Sepanjang patroli malam, Hermione bersungut-sungut karena Zabini tak melakukan tanggung jawabnya sebagai Ketua Murid. Sesungguhnya dia tak keberatan jika mereka tak berpatroli bersama berdampingan. Cowok itu boleh berjalan lima meter di depan menghindari jalan beriringan. Karena paling tidak Kepala Murid itu melakukan tetap patroli daripada tidak sama sekali. Akan menyenangkan sekali jika dia mengadu ke Profesor Dumbledore sehingga dia diturunkan jabatannya. Pasti akan sedikit mencerahkan mimpi buruknya selama ini.
Hermione berharap malam ini merupakan akhir dari mimpi buruknya selama menjabat sebagai Ketua Murid dengan si Slytherin. Hanya dengan semalam, tugasnya menadak meningkat berkali-kali lipat akibat panen raya pelanggar aturan. Dari asrama Slytherin tentu saja. Memangnya dari mana lagi? Mereka terlalu tenggelam berpesta dan tak peduli ada kehidupan lain yang memerlukan kedamaian dan keharmonisan. Kehidupan yang memerlukan peradaban yang beradab.
Berbagai aturan dilanggar. Para kriminal itu menyalahi jam malam. Perlu kontrol emosi yang hebat untuk Hermione dalam menghadapi situasi seperti ini. Ketika dijatuhi hukuman, mereka mencemooh dan menuduh Hermione iri akan kemenangan asrama mereka. Dia jadi benar-benar tergoda untuk menambah beban hukuman mereka. Sebuah detensi jelas tidak berlebihan. Bahkan tiga detensi kalau perlu. Tak dapat diragukan lagi, itulah sebabnya sang Ketua Murid Putra tidak ikut patroli. Mana mau dia menghukum temannya sendiri.
Hari ini Dewi Fortuna memang memihak Slytherin. Keberuntungan menjadi faktor X yang benar-benar memutarbalikkan segalanya. Hanya sepersekian detik! Hanya sepersekian detik selang waktu antara Harry menangkap Snitch untuk menyamakan kedudukan dan Gibb mengegolkan kemenangannya. Bahkan selang waktu itu pun tidak terasa. Hermione sempat bersorak, mengira Harry berhasil mendapatkan Snitch. Dengan begitu paling tidak kedudukan seimbang.
Harry berteriak penuh kepuasan. Hermione dan Parvati berpelukan senang. Para Gryffindor bersorak. Tetapi kemudian Lavender membelalakkan matanya lalu menyenggol bahunya untuk mengalihkan pandangannya ke arah papan skor sihir. Ada sesuatu hal yang aneh di papan skor itu. Hermione berharap dia salah melihat. Dia berharap itu hanya lelucon basi. Kemudian dimulailah semua mimpi buruk itu.
Mereka kalah.
Sial. Seandainya Harry lebih cepat beberapa detik. Seandainya.
Slytherin memang menguasai pertandingan hari ini. Harry juga bermain baik. Tentu saja. Sang Kapten Gryffindor itu memang selalu bermain baik. Hanya saja harus diakui kekuatan mereka kurang merata. Tim mereka belum belum cukup baik untuk mengalahkan Slytherin.
Hermione menghela napas, menyusuri koridor yang temaram. Beberapa kali menguap lebar kelelahan. Cahaya temaram itu membuatnya mengantuk dan dingin. Mungkin sebenarnya juga bukan rasa dingin. Melainkan rasa takut yang membuat dirinya merinding. Dia benci berjalan sendirian di lorong-lorong kastil Hogwarts pada malam hari.
Hermione sangat berharap dia tak menemukan murid di koridor ini lagi. Berarti tugasnya selesai dengan baik dan tanpa ada insiden yang perlu dikuatirkan. Dengan begitu dia bisa langsung segara kembali ke asrama dan mengerjakan PR Ramuannya. Atau melompat ke atas ranjangnya yang hangat. Bayangan opsi yang kedua jauh lebih menggodanya saat ini.
Dia baru saja berbelok di ujung koridor ketika seseorang muncul secara tiba-tiba dari dan menabraknya. Bukan karena sengaja tapi karena gadis itu menundukkan wajah, sibuk dengan kancing blusnya. Dan Hermione mengenali gadis itu sebagai seorang murid dari Ravenclaw yang juga salah satu prefek tahun keenam.
"Gill?"
Gillian Moore menatapnya. "Hermione―" sahutnya terkejut.
"Apa yang kau lakukan pada jam seperti ini?" tanya Hermione.
Wajah gadis itu memerah. Dia meluruskan blusnya dengan gugup. "Aku er―pratroli. Kupikir malam ini giliranku―"
Hermione mengangkat alisnya. "Giliranmu lusa. Kukira kita sudah membahasnya di rapat kemarin?" tanyanya.
"Yeah, kau tahulah…kesalahpahaman biasa terjadi," tambahnya tampak salah tingkah. "Mungkin pikiranku entah dimana saat itu."
"Kau harus lebih memperhatikan."
"Baik," sahutnya seraya merapikan lipatan-lipatan roknya dengan gugup. "Kalau begitu aku harus pergi. Bye, Hermione."
Gadis itu pergi sebelum Hermione berkata lebih lanjut. Dia merasa harus menyuruhnya untuk berhati-hati. Para Slytherin sedang asyik-asyiknya melanggar peraturan. Bukan tak mungkin jika Gill bertemu dan diganggu salah satu dari mereka. Ah, resiko ditanggung sendiri. Semoga dia bisa kembali ke asramanya tanpa hambatan.
Hermione juga baru saja akan beranjak menuju koridor ke arah tangga utama untuk kembali ke asramanya. Namun dia berbelok dan menyusuri koridor gelap itu, tiba-tiba dia mendengar suara di sebuah kelas kosong di depannya.
Seorang pembuat onar lagi. Hermione menghela napas kesal. Kapan hidupku bisa tenang?
Hermione menyiagakan tongkat sihirnya. Telinganya ditempelkan ke daun pintu berharap mendengarkan sesuatu lebih lanjut. Tapi tak ada suara apapun dari dalam. Bagaimana pun juga dia yakin pasti ada seseorang. Atau sesuatu. Dia mendengarnya barusan. Sebelumnya dia sudah menemukan dua orang sedang berpesta Wiski Api di sebuah kelas kosong. Bisa saja kini dia menemukan masalah yang serupa lagi.
Tangannya memegang handel pintu lalu membukanya perlahan-lahan. Kegelapan menyelimuti ruang kelas kosong itu. Hanya sinar bulan keperakan yang menyusup dari jendela besar yang menjadi sumber cahaya di sana. Cahayanya hanya cukup menyinari sepertiga ruangan dengan temaram. Hermione berdiri di depan pintu dengan waspada. Menyipitkan mata beradaptasi dengan kegelapan, pandangannya perlahan menyapu ruang. Kemudian di dekat jendela tergeletak sebuah Wiski Api. Hermione mendengus kesal. Dia berjalan dengan jengkel ke seberang ruangan, mengambil botol tersebut. Sepintas pandangannya menemukan sebuah kemeja yang teronggok di atas lantai tak jauh dari tempatnya berdiri.
Kemudian Hermione mendengar sesuatu dari belakangnya. Pintu tertutup pelan. Secara refleks sang Ketua Murid menurunkan botol, mengangkat tongkat sihirnya diarahkan ke sumber suara. Kemudian dia melihat satu-satunya gerakan di seberang ruangan tempat dia berdiri.
"Aku sudah menduganya. Tanpa Blaise pun kau tetap melakukan patroli seperti layaknya seorang Kepala Murid Putri yang dibanggakan Dumbledore tua itu," kata suara itu. Hermione terkejut. Sosok itu bergerak, melangkah maju perlahan ke arah Hermione. Langkahnya tak stabil. Dia mabuk. Hermione terpaku.
Dia tak menyangka akan mendengar suara Draco Malfoy.
"Lumos." Cahaya temaram keluar dari ujung tongkatnya. Cahaya itu tak dapat menerangi seluruh ruangan. Sebenarnya malah mungkin tak begitu berguna karena intensitasnya tidak lebih terang dari cahaya bulan yang menyelimuti ruangan itu. Hanya sampai satu-dua meter di sekitarnya dan tidak cukup jauh untuk menerangi si Slytherin. Tubuh cowok itu hanya terlihat sebagai siluet. "Kau masih di luar asramamu. Kau tahu sekarang pukul berapa, Malfoy?" tanya Hermione jengkel.
Malfoy terkekeh-kekeh. "Mengapa tidak kau saja yang memberitahuku, Granger?" Dia berusaha berjalan dengan mempertahankan keseimbangannya. "Sebelas? Dua belas? Bukankah kau tahu segalanya?"
"Kau tahu aku harus memotong poin Slytherin dari apa yang kau lakukan malam ini."
"Dan apakah itu?" katanya, meju selangkah lagi.
Hermione menahan napas. Dia mulai dapat melihat cowok itu dalam penerangan yang sangat minim. Dia tak mengenakan kemejanya. Dadanya terbuka. Kemejanya teronggok sekitar satu meter dari tempat dia berdiri. Ikat pinggang tetap melingkar di celananya namun tak terkait. Sehelai dasi tergeletak tak jauh dari tempat si Slytherin berdiri. Bukan dasi miliknya. Dasi Ravenclaw. Hermione tahu apa artinya.
Gill. Skandal kecil sang Cassanova.
Kerongkongannya serasa tersekat.
"Kurasa banyak alasannya, Malfoy. Mabuk." Hermione menjaga nada suaranya untuk tetap datar. Dia mengangkat botol Wiski Api untuk menunjukkannya ke Malfoy. "Apa ini?" Pertanyaan retoris. Hermione menaruhnya lagi. "Kemudian melanggar jam malam. Dan…er—seks tidak pada tempatnya." Udara seakan menyusut ketika dia mengatakanya.
"Oke," sahut Malfoy singkat. "Lain kali akan pada tempatnya." Dia tertawa.
"Kurasa tiga puluh poin cukup." Hermione menatap pintu keluar dan Malfoy bergantian. Lalu menatap cowok itu lagi.
Mereka terdiam beberapa saat. Hermione kembali mengerling sejenak ke arah pintu itu. Dia menggenggam tongkatnya lebih erat. Hermione baru saja akan memutuskan meninggalkan Malfoy di sini. Tapi dia yakin cowok itu takkan kembali ke asramanya. Selain itu dia juga takut melewatinya. Takut.
Takut? Demi Merlin. Berpikir jernih saja Malfoy tidak sanggup saat ini. Cowok itu benar-benar mabuk. Hermione tahu benar apa yang dapat dilakukan oleh orang mabuk. Dia harus memanggil orang lain. Filch, Snape, atau siapa pun.
"Hari yang hebat, Granger. Dan cewek yang hebat untuk merayakannya. Dia senang saja ketika kuajak kemari. Bagaimana jika kau jadikan saja lima puluh agar kau dapat merasakan keindahan malam ini?" tanyanya. "Potong lima puluh angka dari Slytherin," katanya dengan riang dan tanpa peduli. Hermione tahu poin Slytherin otomatis berkurang secara sihir saat itu. Draco tertawa lagi.
"Cewek yang hebat untuk malam yang hebat. Itukah yang kau pikirkan?"
Draco nyengir lebar. "Oh, yeah. Sangat berpotensial."
Hermione gugup. Dia menggigit bibirnya. "Kau harus kembali ke kamarmu. Atau aku harus memotong lebih banyak lagi angka dan memanggil Filch."
Hermione merasa Draco menatapnya tajam. "Memanggil bala bantuan, Granger? Kenapa kau takut? Aku takkan menggigitmu, kau tahu." Draco maju selangkah.
Hermione berusaha menghiraukannya. Dia mencoba tetap menjaga jarak. Cahaya dari tongkat sihir Hermione sampai di wajah Draco. Wajahnya kini dapat terlihat dengan bantuan cahaya bulan dan cahaya dari tongkat Hermione.
Hermione dapat melihat bahwa di sudut bibir Draco terlihat ada sedikit luka akibat pertandingan Quidditch. Mungkin awalnya berdarah. Tetapi sepertinya sudah ditangani dengan mantra Penyembuh. Tapi tetap saja luka itu masih terlihat merah.
"Kau benar-benar harus kembali atau aku benar-benar akan memanggil Filch."
"Kau tak ingin mengucapkan selamat padaku?" tanya Draco menyeringai.
Hermione tersenyum mengejek. "Kau senang sekali rupanya. Well, bagus kalau begitu. Kalian perlu menang memang. Karena kami sudah terlalu banyakmenang."
"Kearogansian Gryffindormu takkan berpengaruh apa-apa padaku hari ini, Granger."
"Oh, ini tak ada hubungannya dengan kearogansian jika itu yang kau pikirkan. Kalian memang perlu menang dari kami sesekali."
Draco tertawa kecil. "Kalah memang menyakitkan, Granger. Aku dapat mengerti." Dia maju selangkah lagi ke arahnya.
Sebagai balasan, Hermione mundur selangkah. "Demi kebaikanmu sendiri, tetaplah kau berada di tempat kau berdiri sekarang, Malfoy."
"Ada apa, Granger? Takut padaku?" Draco mengangkat alis matanya. Dia menjilat bibirnya. "Kau takut jika aku menyentuhmu? Kau takut merasakan apa yang akan terjadi jika aku menyentuh kulitmu? Atau kau takut mengira-ngira apa yang akan kau rasakan? Karena aku tahu apa yang akan kau rasakan, Granger."
Jangan biarkan dia merasakan kepanikanku.
"Aku tak pernah takut padamu," sahutnya cepat. Terlalu cepat daripada yang dibutuhkan.
"Oh, benarkah?" sahutnya. Cowok itu terdiam sejenak. Warna matanya seperti bertambah gelap. "Bagaimana jika kau buktikan padaku?"
Hermione tak sempat menyadari ketika Draco dengan tangkas maju ke arahnya. Dia bahkan tak sempat berkedip. Cowok itu meraih tangan Hermione dan menahannya di dinding dekat jendela. Mencengkram pergelangan tangannya erat sampai tongkat itu terjatuh dan menghilangkan satu-satunya sumber cahaya selain sinar bulan yang menembus jendela-jendela besar dan tinggi.
"Ma-Malfoy…"
"Ma-Malfoy," cemoohnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Hermione dengan panik. Tangannya mencoba membebaskan diri dari cengkramannya. Namun cengkraman tangan itu semakin kuat. Draco mabuk tetapi sepertinya dia tak kehilangan kekuatan yang dimilikinya. "Lepaskan—lepaskan aku, keparat."
Draco sepertinya menyadari kepanikan Hermione.
"Brengsek? Kasar sekali, Granger. Berkacalah sendiri. Tapi tidakkah kau menyadari kau sering disebut apa?"
"Hah?" Terus memberontak.
"Darahmu, Granger. Darah lumpur."
Hermione bergidik. Darah lumpur.
"Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya? Kau dapat menceritakannya padaku. Tentang bagaimana kau merasa dirimu kotor karena tak dapat membersihkan darah lumpur yang mengalir di tubuhmu. Well, walaupun kau sudah mandi beberapa jam lamanya."
"Enyahlah, Malfoy," geram Hermione. Dia memberontak.
Draco mempererat cengkramannya. "Jangan berlagak kau tak menginginkannya." Dia mendesak tubuh Hermione ke dinding dengan tubuhnya sendiri. Hermione semakin memberontak. "Darah murni bukan sesuatu yang dapat diperoleh dengan membaca semua buku di perpustakaan. Hanya orang-orang yang berhak. Dan kau tidak. Kemurnian itu. Hebat, bukan?" gumamnya.
"Tak ada yang istimewa dengan darah murni," kata Hermione tajam dan pahit. Hermione menggigit bibirnya.
Draco menatapnya tajam, menjilat bibirnya sendiri.
Siapa saja, tolong masuk. Jangan biarkan dia—jangan biarkan. Hentikan—
Walaupun Hermione tidak dapat melihat matanya, namun dia dapat merasakan. Tenggorokannya serasa tersekat. Wajah Draco mendekat, Hermione diam penuh antisipasi. Cowok itu lalu berbisik di telinganya, "Darah murni sangat istimewa, Granger"
Hermione memberontak lagi. "Malfoy, demi Merlin. Kau mengoceh tak karuan sejak tadi. Berapa gelas Wiski Api yang telah kau minum? Kau mabuk." Dia dapat merasakan refleksi kecil suaranya sendiri dari wajah Draco dengan jarak sedekat itu.
"Mabuk? Yeah, mungkin aku memang mabuk." Hermione dapat membaui Wiski Api yang manis dari napasnya. "Jika aku dapat berpikir jernih, aku tak akan mungkin berada di dekat darah lumpurmu. Seperti…sekarang ini."
Hermione pernah merasakan dirinya dalam bahaya. Namun dia belum pernah merasakan dirinya terperangkap. Dia di sana namun tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menunggu apa yang dilakukan Draco padanya. Dia merasa berteriak tak ada gunanya. Malam kian larut. Koridor di sisi kastil yang ini amat sangat jarang dilalui orang. Draco memilih tempat ini juga pasti karena alasan itu. Hermione terpaksa harus melalui koridor ini karena dia harus mengembalikan buku kepada Profesor Sprout di rumah kaca. Namun kini dia menyesali tindakannya.
"Pikirkanlah tentang darah lumpurku. Lepaskan aku!" Hermione berseru. Dia ketakutan atas desakan tubuh cowok itu ke dinding. Air mata mulai menggenang di kelopak matanya.
Air mata. Oh, Merlin. Jangan menangis, Hermione, please. Please, please, please. Jangan biarkan Dia merasakan ketakutanmu. Jangan ada air mata. Maka Hermione memberontak lagi.
"Granger…"
Hermione tak tahu untuk apa Draco menggumamkan namanya. Dia harus mencari cara. Cara agar melepaskannya pergi. Namun segalanya seperti kabur. Cara berpikirnya. Pandangannya. Pandangan itu menjadi samar-samar karena air mata yang tergenang. Dan dia juga tak dapat membaca apa yang dipikirkan cowok itu. Hermione merasakan napasnya yang berat. Wajahnya hanya beberapa sentimeter. Hawa itu—entahlah—sesuatu yang sangat abstrak dan tak diketahui sepertinya menyelimuti mereka. Perasaan itu.
Draco terdiam sesaat. "Aku sungguh tak mengerti…" bisiknya. Dia terpaku.
Sebuah momen berlalu.
"…brengsek."
Bibir Draco mencapai bibirnya.
Hermione terkejut. Tubuhnya terdesak ke kaca jendela. Bagian belakang kepalanya terdesak keras. Dia menggumamkan teriakan tapi teriakan itu terendam di dalam mulutnya. Lalu dia mengatup bibirnya rapat-rapat sambil memberontak untuk pergi.
"Tidak!" Dia takkan menyerah. Dia tak pernah tanpa kendali. Dia adalah Hermione Granger. Ketua Murid Putri dari Gryffindor. "Malfoy—" Hermione dapat merasakan napas Draco pada kulitnya. Hembusan napas itu membuatnya bergidik. Dia memberontak lagi. Tangan cowok itu mencengkramnya kian erat.
Mulutnya mencoba membebaskan diri. Draco melepaskan salah satu tangan Hermione lalu mencengkeram pipinya, memaksa Hermione untuk menatap wajahnya. Tangan Hermione yang terbebas mendorong dada cowok itu. Tapi entah bagaimana terlalu lemah daripada yang seharusnya.
Sesuatu bergejolak di dalam tubuh Hermione. Sesuatu yang tidak normal. Ini tidak normal. Tak ada yang normal dalam dirinya; sentuhan bibirnya, sentuhan tangannya, bahkan napasnya…
Draco mencium ujung bibir Hermione sekilas lalu menarik kepalanya lagi. Napasnya kian berat. Napas Hermione pun berat. Mereka bertatapan sejenak, lebih lama dari seharusnya. Sesuatu dalam diri Hermione bergejolak lagi. "Aku benci padamu," bisiknya lirih. Hampir menangis. "Aku—"
Jatuhlah sudah. Setetes air mata mengalir dari kelopak matanya.
"Menangis," bisik Draco kemudian. Wajahnya mendekat lagi, lidahnya bergerak ke atas air mata itu. Hermione memejamkan mata. Air mata itu hilang. Hermione memberontak lemah. Lebih lemah. "Jangan—" Hermione membuka matanya. Membawa satu tetes—dua tetes air mata untuk mengalir lagi. Draco mencium pipi Hermione lembut di sepanjang air mata itu mengalir. "Jangan, Granger," ulangnya parau. Hermione kembali menutup matanya. Bibirnya menyusuri rahang lalu kembali ke bibir Hermione. Bibir itu terbuka untuknya.
Seperti déjà vu. Namun Hermione tahu itu bukan dejà vu sama sekali. Karena dia pernah merasakannya ketika itu. Pertama kali Draco menyentuh bibirnya di hutan. Waktu itu dia terlalu terkejut untuk menyadari apa dampaknya. Dan Hermione merasa semuanya salah karena terasa mudah. Terlalu mudah. Dia tak dapat berbuat apa-apa karena dirinya seakan mencair, melebur ke dinding, bersamanya. Gadis itu dapat merasakan luka di bibir Draco. Darah Malfoy.
Darah yang mereka katakan darah murni.
Hermione menahan napas dan tak berbuat apa-apa ketika lidah Draco menyusup masuk untuk mencari, menjelajahi, menemukan, menyelidiki, merasakan. Hermione merasakan. Kedua tangan Malfoy kini membebaskan Hermione, menyusuri sisi tubuhnya, menjelajahi punggungnya. Dan gadis itu kini tak mengerti ketika tangannya sendiri bergerak ke belakang leher si Slytherin, menyusup ke rambutnya, menariknya lebih dalam. Cowok itu menggeram. Bibirnya semakin menuntut, semakin membutuhkan, semakin mendesak, dan putus asa. Dia menggigit bibir bawah Hermione keras seakan ingin menghukum karena membuatnya berbuat itu. Menghukumnya karena mencium Hermione. Mencium darah lumpur seperti apa yang dia katakan. Draco pasti dapat merasakannya sekarang ketika dia menghisap bibir bawah Hermione yang terluka.
Darah yang mereka katakan darah lumpur.
Darah menjadi tak penting lagi. Tidak itu saat ini. Amis. Manis. Namun kebutuhan itu tak berkurang sedikitpun. Kedua tangan Malfoy kini menggenggam wajah Hermione erat-erat. Hermione tak dapat bergerak, tak ingin bergerak. Kebutuhan yang mendesak dari dalam paru-parunya, bergejolak di dalam tubuhnya. Dia tak dapat bernapas.
Draco menarik wajahnya sendiri, mencari udara. Tangannya bergerak di sisi wajah gadis itu. Draco menatapnya. Hermione terpaku. "Aku tak mengerti…" geramnya di sela-sela napasnya yang berat. "…kau…cantik…aku tak mengerti…"
Hermione tersadar ketika dia merasakan sesuatu di tubuhnya. Aliran listrik seakan menjalari begitu saja. Entah kapan tangan Draco menarik blus Hermione keluar dari roknya. Dia segera menyadarinya ketika tangan itu menyentuh kulitnya. Kulit di pinggangnya. Hermione menyingkirkan tangan itu cepat-cepat. Takut. "Tidak…" bisiknya. Namun tangan itu kembali, Hermione menyingkirkannya lagi dengan susah payah. "Tidak!" Hermione memejamkan matanya. Dia merasa takut. Takut akan reaksi tubuhnya sendiri. Lalu kesadaran itu mengambil alihnya.
Kini air matanya mengalir lagi.
Dia harus pergi. Meninggalkannya sendiri. Tubuhnya gemetar karena takut. Karena gugup. Karena membuatnya merasakan hal seperti ini.
Please, biarkan aku sendiri.
"Enyahlah—" Dia menghimpun segala tenaganya yang tersisa.
Hermione mendorongnya kuat-kuat. Malfoy yang sama sekali belum mengantisipasi perlawanan apapun selanjutnya, kehilangan keseimbangan, mundur ke belakang lalu jatuh menabrak meja. Hermione kaget dengan jatuhnya Malfoy. Tapi dia tahu, dia tak dapat berbuat apa-apa.
Dia segera berlari menuju pintu. Sebelum dia menghilang ke balik pintu, dia menoleh untuk Malfoy sejenak. Dia bahkan tak dapat mengontrol apa yang dia pikirkan. Dia hanya dapat merasakan. Sesal. Marah.
Kasihan.
Hermione menutup pintu ruang kelas itu. Dia berlari menyusuri koridor. Dia tahu Malfoy takkan mengejarnya. Namun Hermione merasa dia harus lari. Lari dari perasaan dari apa yang telah dilakukannya. Kemudian ketika dia sampai di balik koridor yang juga sepi, dia bersandar pada tembok. Terengah-engah. Dia merasa kakinya gemetar tak dapat menopang tubuhnya. Maka dia terduduk membiarkan punggungnya bergesekan dengan dinding batu yang dingin. Hatinya gundah tak karuan. Dia menangis lagi. Pandangannya menjadi kabur oleh air mata.
Mengapa?
Hermione terisak-isak. Perasaan yang logis kini menghujamnya. Kembali ke dunia nyata. Memalukan. Penyesalan. Malfoy menciumnya. Lagi. Brengsek. Namun bukan itu bagian yang terburuk. Bagian yang terburuk?
Hermione membalas menciumnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar