RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi Chapter 13

Silahkan baca!


BAB 13
Guru-guru di Hogwarts merasa diri mereka hebat. Mereka membuat peraturan-peraturan tak berguna melarang anak laki-laki berkunjung ke kamar anak perempuan atau sebaliknya. Kutukan dipasang di koridor untuk menghindari para pelanggar peraturan. Ah, hanya kutukan ringan dan mudah dipatahkan. Mereka terlalu meremehkan penyihir muda. Murid-murid Slytherin menemukan kontra kutukannya dan menggunakannya semudah merapalkan ̀́̀́'Wingardium leviosa'.
Tak terkecuali untuk Pansy yang memperoleh nilai Poor untuk pelajaran Mantra. Dia tidak menemui kesulitan masuk ke kamar anak laki-laki. Sejak dulu sudah menjadi rutinitasnya untuk berkunjung dari satu kamar ke kamar lain—terlebih kunjungan regulernya ke kamar Draco. Begitu rutin seperti sudah menjadi kamarnya sendiri.
Seperti malam ini.
Cahaya temaram memenuhi kamar Draco yang dingin. Satu-satunya sumber cahaya itu berasal dari api yang menari-nari di atas tungku. Bayang-bayang hitam bergoyang seperti pesta bisu di permukaan dinding. Namun sesuatu yang bergerak di kamar itu bukan saja bayang-bayang dan api di perapian. Di atas ranjang, tangan cewek itu perlahan menyusup ke paha Draco, sementara bibirnya semakin menuntut. Dari leher. Kemudian garis rahang. Ke ujung bibir. Lidahnya menyusup dengan lihai. Jemarinya bergerak ke bagian belakang leher Draco, menarik cowok itu lebih dekat.
Takkan ada yang meragukan kemampuan cewek ini. Banyak cowok yang memohon padanya, mengajaknya, dan bermimpi untuk melewatkan satu malam lagi bersamanya, namun cewek ini selalu kembali pada Draco. Draco tidak perlu memohon. Bahkan tak pernah.
Masing-masing punya side-job. Ya, Draco tahu apa yang dilakukan Pansy Parkinson di belakangnya, namun dia tidak keberatan. Draco Malfoy tidak pernah melibatkan perasaan khusus pada urusan seperti ini. Seks masih sebatas urusan olah raga. Hanyalah urusan bakat. Jadi mengapa harus keberatan jika cewek favoritnya menyusup ke ranjang orang lain? Draco sendiri kerap bermain dengan separuh penghuni wanita di Hogwarts. Casanova masih melekat padanya. Jadi nikmati saja.
Namun seperti sebelum-sebelumnya—seperti dengan cewek lain pada akhir-akhir ini—ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang aneh. Setiap sentuhan masih normal. Setiap erangan dan teriakan bahwa mereka menyebut nama Draco keras-keras juga tetap sama. Namun urusan bibir antar bibir kini terasa agak janggal. Tiap kali bibirnya mencium seseorang, perasaan janggal itu kembali datang. Seolah seperti jika mandi di dalam bathtub di tempat lain, dan merasa bathtub itu bukanlah yang ada di rumahmu. Dan kau menginginkan mandi di dalambathtub nyaman di rumahmu. Jadi ya, bibir itu terasa berbeda. Bukan seperti yang kau harapkan. Tidak lembut. Tidak menerima apa adanya. Tidak…er—terasa tidak benar seperti seseorang dalam mimpinya—
Maka Draco menarik diri.
Pansy mengerutkan kening. "Ada apa?"
"Tak ada apa-apa."
"Kau tidak seperti biasanya," kata Pansy.
Draco mengangkat bahu, menatap ke arah lain.
"Draco?"
Draco menghela napas tidak sabar. "Sudah kubilang tidak ada apa-apa, Pans. Aku hanya tidak mood."
"Ya, kau terus tidak mood sepanjang bulan ini," cemooh Pansy, seolah bicara pada diri sendiri. Namun Draco tahu kalimat itu tepat untuk mengejeknya. Cewek itu menyadari ada hal yang berubah dalam diri Draco. "Siapa cewek berambut coklat itu?"
Draco menelan ludah. "A-apa?"
"Cewek bodoh Hufflepuff itu."
Draco berdeham. "Hanya pengisi waktu luang."
"Waktu luang? Kau tidak memiliki waktu luang untukku dan kau memiliki waktu luang dengan cewek berambut coklat dari Hufflepuff. Dan katakan dengan siapa tiga malam yang lalu, Draco? Rambut coklat lagi dari Ravenclaw?"
"Terserah apa katamu." Merlin, dia bawel sekali.
Pansy mendengus. "Tentu saja," sahutnya. Dia turun dari ranjang, memakai sepatunya. "Tentu saja kau tidak peduli. Aku tidak seperti si prefek jalang itu kan?"
Draco menatapnya. "Apa maksudmu?"
"Lupakan," balas Pansy, menggelengkan kepalanya, mencoba mengganti topik. "Kau bilang terserah apa kataku, bukan begitu? Apapun yang kukatakan seakan tidak pernah penting untukmu. Kau pikir aku akan mengejarmu, hah? Kau tahu, aku tak peduli."
Draco menghiraukannya.
"Hanya saja, aku butuh satu hal," katanya, duduk di tepi ranjang. "Aku mau kirim burung hantu ke Mum untuk memesan gaun dan jubah pesta dari Milan. Katakan warna apa yang akan kau pakai pada pesta dansa nanti?" Dia mengambil sesuatu dari saku jubahnya, mulai mengikir kuku. "Jangan bilang hijau lagi. Tahun kemarin kita sudah mengenakan warna hijau."
Draco tak berkomentar selain, "Terserah". Masalah pesta, jubah, dan tetek-bengek menggelikan ini memuakkannya. Pestanya hanya semalam dan akan segera berakhir sekejap mata. Mengapa anak perempuan selalu repot sendiri? Mereka sudah sibuk mempersiapkan dua minggu sebelumnya. Draco bertanya-tanya bagaimana gaun itu tidak lumutan ketika mereka pakai nanti.
Dua minggu menjelang pesta, para murid semakin sering berkeliaran di koridor, aula besar, bahkan terkadang di lapangan Quidditch. Tentu saja sekadar berharap ada orang yang memperhatikannya, menggumamkan kata sakti maukah-kau-pergi-ke-pesta-bersamaku, dan mengajak mereka datang bersama ke pesta. Namun Draco tidak pernah memusingkan dengan siapa dia akan pergi nanti. Tiap tahun Draco selalu pergi dengan Pansy. Bukan karena Draco tidak menginginkan pasangan lain, namun Pansy selalu memastikan anak perempuan yang akan menjadi pasangannya akan membatalkan diri. Entah karena mendadak tubuh gadis itu dipenuhi kutil-kutil sebesar kelereng atau gaun pestanya menjadi gosong rusak parah pada hari H.
Namun bagi Draco bukan masalah. Di atas lantai dansa, Draco dapat mengganti pasangan seenak dia berganti pakaian. Dan ego Pansy selalu berhasil menunjukkan bahwa dia tidak peduli dengan tindakan Draco dengan cara menarik anak laki-laki manapun yang menginginkannya. Ya, Pansy juga punya ego. Well, semua penghuni Slytherin memang selalu punya ego.
"…tak ingin pergi ke pesta bodoh itu seperti brokoli rebus dua tahun berturut-turut," Pansy tetap berbicara. "Aku suka merah marun. Sedang in. Atau kita akan membuatnya in. Bagaimana, Draco?" Pansy mengalihkan pandangan dari kukunya yang terawat. "Draco! Kau menghiraukanku! Ada apa sih denganmu?" tukasnya. "Aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita yang sedikit renggan dengan pergi bersama ke pesta nanti. Paling tidak kau sedikit peduli dengan itu."
"Pakailah apa yang kau mau, Pans. Lalu pergilah dari sini, aku perlu istirahat."
Pansy membuka mulutnya. "Kau mengusirku?" ujarnya tak percaya.
Mata Draco menantang Pansy. "Ya, jika kau tidak segera diam."
"Draco!"
Draco bangkit dari ranjang, bergerak ke arah pintu. "Lupakan, aku saja yang pergi. Kurasa aku butuh udara segar. Benar-benar segar," katanya, membanting pintu berukir di belakangnya.
Anak-anak kelas tiga segera menyingkir ketika Draco lewat. Gabungan antara rasa takut dan hormat. Draco tak tahu mana yang lebih besar dari keduanya. Terlebih ketika dia memenangkan piala Quidditch untuk asramanya. Draco menjadi semacam—entahlah sebutan tepatnya—mungkin semacam pahlawan Slytherin.
Draco berjalan menuju ruang rekreasi. Langit-langitnya cukup tinggi untuk sebuah ruang bawah tanah. Dindingnya terbuat dari batu. Lukisan-lukisan para alumnus tenar dari Slytherin tampak berjejer menghiasinya. Dekor serba hijau dan keperakan memenuhi ruang. Sangat Slytherin. Ruang rekreasi tidak pernah sepi sampai pukul satu malam. Pada pukul sebelas itu pun, beberapa anak masih asyik bermain catur di pojok ruangan. Draco yakin beberapa anak juga masih di luar sana, bermain kucing-kucingan dengan Filch dan entah siapa yang sedang berpatroli.
Ketiga sahabat Draco duduk di atas sofa besar yang nyaman depan perapian. Sofa favorit mereka. Blaise dan Greg mengangkat kakinya ke atas meja dengan santai, sementara Vincent sibuk memutar-mutar tongkat sihirnya di sela-sela jari.
"…benar-benar heboh. Kenapa kau tidak minta ikut saja sih?" tanya Greg. Dia mengelap sapu terbangnya yang baru dilihat Draco.
Vincent mendengus. "Dad bilang aku hanya akan menyusahkan," gerutunya. "Kembali ke topik—Ngomong-ngomong, kenapa orang tuanya tidak mati sekalian? Jika iya, pasti Hogwarts tambah heboh."
"Aku juga menyayangkan—Oi, Malfoy!"
Draco mengangguk merespok sapaannya. "Sapu baru, Goyle?" katanya basa-basi, menunjuk sapu baru Greg. Dia duduk di atas sofa di sebelah Blaise.
Greg tersenyum di sudut bibirnya. "Bonus Dad tempo hari."
"Bonus?"
"Aku minta ikut Dad pada penyerangan kemarin. Dad mengambil sapu ini dari di dalam sebuah rumah seorang penyihir. Penyihir bego yang menikah dengan muggle menjijikan. Tapi sayang sekali dia tidak ada ketika kami membakar rumahnya. Tapi cukup seru. Seperti perayaan kembang api tahun baru," kata Greg lagi. "Auror baru datang setelah beberapa lama. Jelas saja rencana kita selalu mulus. Para Auror terus lelet seperti itu. Benar-benar memalukan."
"Mereka orang tua anak murid Hogwarts?"
"Bukan."
Draco mengerutkan kening. "Lalu mengapa Hogwarts pasti heboh seperti yang Blaise katakan?"
"Oooh," sahut Greg, tersadar akan sesuatu. "Itu orang yang berbeda lagi, Malfoy. Dia membicarakan orang tua si darah lumpur itu. Kami membicarakan orang tua si Granger tentu saja. Benar, Blaise?" Ekspresinya seperti habis mencium kotoran kucing.
Blaise mengangguk. "Dan mereka tidak ikut mati, sayang sekali."
"Mana aku tahu mereka tinggal di dekat sana. Jika tahu sebelumnya, pasti kita mampir membereskan rumah itu sekalian," kata Greg datar. "Tapi ya sudahlah, toh aku dapat bonus sapu ini juga."
Draco terdiam sesaat, lalu mengambil sapu Greg, "Nimbus Dua Ribu Satu. Akselerasinya lumayan bagus."
"Yeah. Kurasa aku sedang beruntung tahun ini."
"Ini tahun yang hebat untuk kita. Tahun ini Lord mulai bergerak dan para darah murni sudah berkumpul. Kalian percaya itu, darah murni berkumpul! Sudah lama kita menanti-nantikannya," kata Vincent agak antuasias. "Akhirnya saat seperti ini tiba…"
Sangat mudah membicarakan semacam ini di ruang bawah tanah Slytherin. Hal-hal tentang Pelahap Maut, kegiatan ilegal keluarga mereka, melanggar peraturan ini-itu. Hampir seluruh Slytherin mendukung Lord Voldemort. Orang-orang yang menganggap mereka buruk hanyalah orang-orang yang tidak mengerti makna perjuangan mereka saat ini. Toh, suatu saat nanti mereka akan tahu bahwa jalan sepertilah yang terbaik nantinya—semua penyihir berdarah murni. Hanya orang-orang Slytherinlah yang mengetahui hakikat perjuangan mereka. Dan mereka akan saling melindungi dengan saling menjaga rahasia.
Blaise menghela napas. "Hmmm…Tahun ketujuh benar-benar menyenangkan."
"Yeah," Vincent menimpali.
"Dan lagi…," Blaise terkekeh-kekeh, menatap Draco. "Berkat kapten kita yang hebat, di tahun yang sama kita menang Quidditch! Merlin, Slytherin akhirnya menang." Dia menepuk bahu Draco dengan girang.
Greg bersikap seolah mengangkat piala transparan, bersulang.
"Kalian mau mengulangnya lagi?" tanya Vincent, berseri-seri.
"Maksudmu?"
"Akhirnya kemarin Dad membelikanku Pensieve," jelas Vincent bangga. "Kalian tentu tahu, aku ingin sekali punya pensieve untuk bisa mengulang kesenangan akan kemenangan pertandingan itu sampai puas. Hmmfff…rasanya kesenangan itu tidak akan ada akhirnya. Kalian bisa masuk ke dalam pensieve jika kalian mau. Dan rasakan kesenangan itu sekali lagi."
"Malam itu aku kehilangan 100 galleon emas," kata Greg jengkel. "Aku bertaruh selisih skor dengan Nott. Dan aku menang, tentu saja. Tapi Nott bersikeras bilang bahwa dia sudah membayar ketika aku sedang mabuk. Katanya mungkin saja aku menjatuhkannya di suatu tempat. Aku tahu keparat itu bohong. Brengsek."
"Kita memang pesta habis-habisan di dalam ruang rekreasi. Mungkin kau memang sedang teler dan tak ingat apa-apa?" Blaise menimpali.
"Ya. Tapi aku yakin aku tidak menerima 100 galleon. Dia pasti belum bayar!"
"Mungkin," Blaise mengangkat bahu. "Aku hampir tak mengingat apapun malam itu. Pesta yang heboh."
Draco mendengus. "Tapi setelah itu kan poin asrama kita terjun bebas ke peringkat paling bawah. Kita memang terlalu bersemangat."
"Ah, siapa peduli dengan poin asrama lagi," sahut Vincent, mengibaskan tangan. "Toh aku tak yakin akan bertahan hingga tahun ini berakhir. Semoga Dad akan memanggilku bergabung dan menyuruh berhenti sekolah. Lagipula semua pelajaran disini tidak berguna. Tentu kau juga kan, Malfoy? Kurasa tak lama lagi Lord akan memanggil semua. Dengan senang hati aku akan bergabung."
"Tunjukkan Pensievemu, Crabbe," kata Greg tak sabar. "Aku mau lihat apa lidah Nott itu bisa dipercaya."
Mereka berempat bangkit dari sofa. Draco menyeret langkahnya mengikuti ketiga temannya ke kamar mereka. Pansy sudah tidak ada di dalam kamar mereka—mungkin kembali ke kamarnya sendiri. Vincent mengambil Pensieve dari bawah tempat tidur. Wajahnya tersungging senyum lebar. Dia menaruh pensieve itu di atas ranjangnya. Berkas kecil cahaya bergetar dan menari-nari. Cairan di dalamnya tampak putih keperakan berpusar di dalamnya. Vincent menatap teman-temannya satu persatu. Dia mengeluarkan tongkat sihir dari sakunya. Senyumnya semakin lebar. Pandangannya kembali ke cairan di dalam Pensieve.
Blaise, Greg, dan Draco juga mengambil tongkat sihir dari sakunya. Mereka mencelupkan ujung tongkat mereka bersama-sama.
"Yeeaaahhh!" seru Vincent girang ketika dia mulai terjun.
Isi keperakan di dalamnya mulai berpusar amat cepat. Draco melihatnya cairan itu perlahan berubah menjadi transparan.
Ini bukanlah perjalanan pertama Draco dengan Pensieve. Di kediaman Malfoy ada beberapa Pensieve di perpustakaan keluarga yang terjaga ketat. Pensieve-pensieve itu adalah kenangan-kenangan keluarga Malfoy yang termasyur secara turun-temurun. Terakhir Draco menggunakan Pensieve adalah ketika dia ingin mengetahui kehidupan seorang kepala keluarga Malfoy dari generasi ke-21 yang merupakan menteri, Jakob Farobek Malfoy.
Beberapa menit kemudian, Draco tiba di tangga utama di depan Aula besar. Waktu sudah melewati makan malam. Panji-panji hijau dan keperakan bergambar ular terpasang di mana-mana. Filch tampak sibuk mencopot panji-panji itu karena letaknya sungguh berantakan dan sekenanya saja. Anak-anak Slytherin bergerombol sambil menyanyikan yel-yel kemenangan. Beberapa mengibarkan bendera kecil dan mengejek siapa saja yang beda asrama ketika mereka berpas-pasan. Beberapa anak Hufflepuff masih terlihat di tangga menuju asrama mereka. Anak Ravenclaw hampir tidak terlihat lagi. Sedangkan Gryffindor jelas lebih memilih menenggelamkan kepala mereka ke dalam tanah daripada bertemu seorang Slytherin yang sedang ceria.
Blaise, Greg, dan Vincent tampak menikmati keberadaan mereka di sana. Mereka ikut berteriak-teriak seakan-akan mereka memang sedang berada di kala yang sama.
Kemudian Vincent tampak ada dua. Yang satu adalah Vincent di masa lalu yang sedang merayakan kemenangan Slytherin. Dia mengenakan jumper hijau dan topi kerucut dengan warna senada di kepalanya. Simbol ular di topi itu tampak meliuk-liuk merayakan kemenangan. Tangannya membawa setumpuk makanan yang dia bawa dari Aula Besar.
"Ayo, kita ikuti aku ke bawah tanah. Pesta kemenangan yang sebenarnya ada di sana," ajak Vincent mengikuti sosoknya dari masa lalu.
Mereka berempat berjalan menuju bawah tanah asrama Slytherin. Selama perjalanan mereka terkikik melihat keisengan yang dibuat teman-teman untuk merayakan kemenangan. Mereka membuat stiker yang bertuliskan Slytherins WIN(NERS) Gryffindors LOSE(RS) atau stiker bergambar kartun singa sekarat yang lehernya dililit ular dengan efek berkerlap-kerlip. Stiker itu tertempel dimana-mana.
Draco tidak begitu ingat malam itu karena dia sedang mabuk. Dan Draco benar-benar menyesal dia mabuk, karena dengan begitu dia tidak ingat kemeriahan ini.
Vincent dari masa lalu menggumamkan kata kunci di depan pintu batu yang bersembunyi di tembok kosong yang lembab. Dari depan tak terasa adanya pesta karena tampak hening. Namun di balik pintu itu seakan mendadak suara dikeraskan dengan mantra sonorus sampai volume mentok, suasana pesta terasa gegap gempita. Mantra perendam suara pasti telah dirapalkan sehingga suara itu tidak terdengar di luar dengan sempurna.
Semua anak tampak berpesta. Wiski Api tampak dipegang beberapa anak. Mereka pasti berhasil menyelundupkan beberapa botol minuman beralkohol itu ke dalam kastil. Beberapa krat Wiski Api utuh masih berada di pojok ruangan menunggu untuk disentuh. Sedangkan jumlah yang lebih banyak lagi dan sudah kosong berserakan dimana-mana. Puluhan anak dalam ruang rekreasi itu tampak senang. Semua tampak ingin berteriak-teriak menyanyikan yel-yel kemenangan. Beberapa menari-nari. Bahkan Draco melihat Greg menggoyang-goyangkan bokongnya yang gemuk di atas dua meja yang saling didempetkan. Anak-anak di sekitar meja itu tampak tertawa, menyorakinya.
Draco tertawa. Slytherin tampak berpesta pora. Granger pasti benar-benar bekerja keras ketika dia patroli malam itu, pikir Draco senang. Gadis itu benar-benar polos.
Oh, yeah…Granger mulai jarang mengunjungi litheasnya semenjak malam kemenangan ini. Bukan hanya tidak lagi mengunjungi litheasnya, dia juga menghindari Draco. Draco tidak mengerti dan dibuatnya bertanya-tanya sehingga sangat penasaran. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang dialami atau ditemukan Granger pada malam itu sehingga dia menghindari Draco?
"Aku tidak melihatmu, Draco," kata Blaise, setengah berteriak untuk mengalahkan bising.
Draco mencari dan juga baru menyadari ketidakhadirannya. Blaise dari masa lalu tampak bersorak di dekat perapian sambil memegang sebotol Wiski Api. Dan kini Vincent menggantikan Greg menari-nari di atas meja. Namun Draco tidak dapat menemukan dirinya dimana-mana.
"Goyle, kau mau kemana?" tanya Vincent pada Greg ketika dia melihat Greg dari masa lalu berjalan ke arah pintu batu.
Greg menggaruk pelipisnya. "Oh, kurasa aku mencari suplai makanan," ujarnya. "Hei, jika lihat Nott, beritahu aku." Kemudian dia kembali mengamati pesta, berharap menemukan Nott.
Greg sedang mencari makanan di luas ruang rekreasi. Greg membawamu ke asrama setelah si Granger memberitahunya bahwa kau sedang teler di salah satu ruang kelas—yeah, Vincent pernah mengatakannya dulu. Dia bertemu dengan Granger ketika dia sedang mencari makanan. Jadi jika Draco mengikuti Greg, mungkin Draco akan menemukan sesuatu.
Draco memandang sekelilingnya. Blaise, Vincent, dan Greg kembali tampak larut dalam uforia. Mereka tidak akan menyadari jika Draco keluar sebentar dari ruang bawah tanah. Draco bergegas ke pintu batu. Dua orang anak Slytherin tampak baru datang untuk bergabung dalam pesta. Sebelum pintu batu menutup kembali, Draco menyusup keluar. Suara bising mendadak lenyap. Draco tidak mengerti ke arah mana dia harus pergi.
Beberapa anggota timnya sudah berada di dalam asrama, sedang berpesta. Pastinya Draco tidak sedang berpesta bersama mereka di suatu tempat. Dia baru saja memenangkan piala Quidditch dan Draco yakin dia sedang menghabiskan waktu pribadi bersama seorang gadis dari Hufflepuff atau Ravenclaw. Yang dicarinya pertama kali adalah sebuah kelas kosong yang netral. Yang sepi. Dan yang jauh seperti kelas kosong di dekat rumah kaca Profesor Sprout.
Draco mengambil langkah menuju tangga bergerak dan memasuki lorong yang penuh kelas kosong di lantai dasar. Kelas-kelas itu sudah menjadi langganan Draco, mengingat kemampuannya dalam menggaet lawan jenis. Dulu dia sering menggunakannya untuk mengisi waktu luang. Ya, gadis-gadis itu hanyalah waktu luang.
Ketika Draco berbelok di sebuah persimpangan, dia melihat seorang gadis dari arah berlawanan berjalan melewati terburu-buru. Draco lupa namanya, namun dia ingat pernah menghabiskan waktu bersama. Gadis itu seorang prefek. Namanya? Hmmmm…Gina? Gilly? Whatever. Dia berani mendekati Draco jika tidak ada Pansy. Persetan dengan Pansy. Draco tidak menyukai komitmen. Dan Draco suka gadis prefek itu tidak memerlukan komitmen. Tidak seperti sejumlah gadis yang berkata, 'Draco, kurasa aku jatuh cinta padamu' setelah beberapa kali bertemu.
Cinta? Hah! Sangat menggelikan. Benar-benar menggelikan. Sangat tidak nyata. Sangat mengada-ngada. Bahkan Baron Berdarah yang transparan pun jauh lebih nyata dari itu.
Keberadaan gadis itu memunculkan kemungkinan bahwa mungkin saja Draco dari masa lalu baru saja bersamanya. Dia mungkin masih berada di salah satu kelas kosong di sana. Draco menyusuri koridor yang temaram. Tak ada hal yang bergerak selain bayangan yang bergerak-gerak akibat api obor yang tampak menari-nari. Cahayanya membuat koridor sedikit lebih hangat daripada kelihatannya.
Kemudian Draco mendengar sesuatu di salah satu kelas. Dia tahu Draco yang di masa lalu pasti sedang berada di sana. Setelah Gina-Gilly-Whatever tadi, entah dengan gadis yang mana lagi. Draco tersenyum di sudut bibirnya—memuji dirinya sendiri. Dua gadis dalam semalam. Hmmm…lumayan…
Draco mendengar sebuah percakapan samar dari balik pintu. Dia mengerutkan kening. Percakapan? Di saat-saat intim seperti itu?
Draco berdiri di depan pintu. Tangannya terjulur menembus pintu kayu yang kokoh, kemudian diikuti langkahnya. Dia berada di sebuah ruangan kelas kosong yang gelap. Matanya belum beradaptasi dengan kegelapan di balik pintu. Ruangan itu gelap. Sumber cahaya adalah tongkat yang bersinar di pinggir ruangan. Percakapan samar itu mendadak menjadi jelas.
"…tak pernah takut padamu," sahut sebuah suara samar. Suara gadis.
"Oh, benarkah?" balas suara lainnya.
Dua suara itu. Draco mengenal suara sosok Draco dari masa lalu. Dia yakin itu suaranya sendiri. Tapi kemudian ada suara sosok lain lagi yang membuatnya mengerutkan kening.
Granger?
Ternyata di malam itu mereka pernah bertemu. Kemudian senyum tersungging di sudut bibirnya. Kurasa aku harus meralat penyataanku sebelumnya. Koreksi: Ini BUKAN saat-saat intim sama sekali, pikir Draco, menertawakan diri sendiri. Namun adakah hubungannya mengapa Granger menghindari Draco setelah malam itu? Dalam cahaya yang temaram, Draco melihat dua sosok itu tampak berdiri berhadapan. Tampak tegang. Granger tampak gugup—dan berusaha menyembunyikannya. Tangannya mengacungkan tongkat secara defensif. Begitu keras kepala. Berani. Sangat Gryffindor. Jelas sekali dia tidak akan menyerah begitu saja. Tapi mengapa? Apa yang dia takutkan?
"Bagaimana jika kau buktikan padaku?" balas Draco, dada terbuka tanpa atasan. Dia tampak mabuk.
Oh, pikir Draco. Aku sedang mabuk. Pasti aku membuatnya jengkel. Nanti pasti akan menarik.
Itu yang dipikirkan sebelumnya. Namun sebelum Draco sempat menilai situasi lebih lanjut—sebelum Draco sempat berkedip—tiba-tiba sosok itu maju dengan tangkas. Tangannya meraih pergelangan tangan Granger. Bahu gadis itu terhempas ke tembok. Dia menarik napas terkejut. Draco dari masa lalu mendesaknya ke dinding batu keras dekat jendela. Tongkat sihir terlepas dari tangannya. Satu-satunya sumber cahaya hilang sudah, meninggalkan cahaya keperakan bulan melalui jendela-jendela besar. Untuk sesaat segalanya hening.
Oh
Draco diam menahan napas menatap kejadian itu. Berharap yang akan terjadi bukanlah sesuatu yang dibayangkannya. Jantungnya mulai berdegup kencang.
"Ma-Malfoy…" Suara Granger.
A-apa yang
"Ma-Malfoy," cemooh sosok Draco dari masa lalu.
Granger mencoba memberontak. "Apa yang kau lakukan?" tanya gadis itu. "Lepaskan—lepaskan aku, bajingan."
Fuck, no
Jantung Draco berdegup lebih kencang. Pikirannya mendadak terasa beku. Dia memang tidak tahu apa yang terjadi di malam itu. Beberapa saat yang lalu mungkin dia masih menginginkan kebenaran itu. Namun sekarang segalanya agak menakutkan.
Fuck no, fuck no, FUCK NO—
Apa yang sedang aku lakukan? Apa yang sedang aku lakukan? Apa yang sebenarnya aku sedang lakukan, Keparat? Bego… A-apa… Please, please,please, hina dia—sebut dia dengan darah lumpur seperti biasa—ejek dia—katakan padanya tentang darah kotor yang mengalir di pembuluh darahnya…tapi jangan…jangan lakukan…
"Pikirkanlah tentang darah lumpurku. Lepaskan aku!"
"Granger…" Nama Granger disebut.
Fuck…
Bagaikan deja vu, mendadak perasaan itu kembali meliputi Draco. Dia ingin keluar dari ruangan ini agar kenyataan itu tetap teronggok dalam sudut yang paling dalam. Tak tersentuh. Tak diketahui. Namun kakinya tidak dapat bergerak. Seakan-akan paku besar menahan telapak kakinya. Jantungnya berdegup kencang tak terkendali. Matanya membelalak tak kuasa berkedip. Tangan tanpa sadar terangkat dan jemari menyentuh bibir sendiri seakan ingin kembali merasakan…
"A-apa yang kau lakukan?"
"Aku sungguh tak mengerti…brengsek…"
Jantungnya berhenti berdetak ketika melihat sosok itu mencium Granger.
Ya, Draco menciumnya.
Draco berbalik, menghindari apa yang dia lihat. Semua pertanyaan mendadak menjadi jelas. Semuanya kini menjadi nyata. Draco pikir ini hanya mimpi. Ya, dulu seperti mimpi. Yang menyenangkan sekaligus memalukan untuk diketahui orang lain. Kini dia melihat jelas dengan mata dan kepalanya sendiri—begitu jelas sehingga semuanya tampak begitu berlebihan. Sangat memusingkan. Begitu bodoh. Begitu ceroboh. Begitu…tidak dapat diterima.
Dua sosok itu merapat di dinding batu. Granger terus memberontak. Namun Draco segera dapat menebak, membayangkan—dan benar…jantungnya mencelos ketika melihat perlahan bibir gadis itu membuka. Draco menyentuh bibirnya lagi dengan jemari seakan dapat merasakan bibir Granger sekali lagi. Ya, Granger pernah membalas ciumannya di situ.
Pecahan teka-teki perlahan terkuak. Draco ketakutan setengah mati. Jantungnya bergetar hebat. Mendadak pikirannya terasa beku. Dan dia tidak dapat berpikir. Tindakan yang paling rendah di muka bumi adalah menyentuh darah lumpur. Darah lumpur adalah wabah. Wabah harus dibinasakan. Namun Draco telah menyentuhnya. Dia mencium bibirnya. Bukan sekali. Tapi dua kali. Apa yang akan dikatakan ayahnya?
Namun yang paling membingungkan adalah satu hal. Hal itu telah membayanginya di tiap malam. Sebelumnya yang Draco pikir hanya mimpi. Dan kini Draco tahu hal itu pernah nyata. Draco pernah mencium darah lumpur itu.
Dan dia juga membalas menciumnya.

Cinta? Menggelikan. Benar-benar menggelikan. Sangat tidak nyata. Sangat mengada-ngada.
"Ayahmu mencintaimu, Draco, kau tahu itu," ibunya berkata. Ujung tongkat sihirnya bergerak ke arah luka memar di bagian belakang punggungnya. Draco merintih kecil sebelum akhirnya rasa hangat mengalir kemana tongkat itu bergerak.
Draco tidak menjawab. Dia sudah memiliki konsep sendiri mengenai cinta. Dua kata: abstrak dan semu. Ayahnya mencintainya? No comment. Jika cinta memang ada, yang mungkin paling mendekati adalah kasih sayang ibunya. Kehangatan yang dia berikan ketika ibunya mengobati luka-luka Draco. Sentuhan itu memberikan ketenangan dan kenyamanan melebihi semua obat apapun.
"Draco?"
Draco segera tersadar dari lamunan. "Uh. Ya, Ibu."
Ya, Draco menjawab. Hanya sekadar mengiyakan untuk membuat ibunya tenang. Kebenaran dari jawaban itu hanyalah ilusi dalam hatinya.
Draco menatap kosong api yang bergoyang di atas perapian kamarnya. Bayang-bayang hitam tampak riang menari. Udara hangat dan nyaman terasa memenuhi kamar Draco yang dua kali besarnya dari kamarnya di Hogwarts di kediaman Malfoy. Kehangatan di dalam kamar terasa kontras dengan hawa beku salju yang turun bulan awal bulan Desember. Namun entah mana yang lebih hangat: api di atas perapian atau sentuhan hangat yang diberikan Narcissa, ibunya.
"Draco," kata wanita lagi, duduk di hadapan putra tunggalnya. Gerakan tongkat sihirnya berhenti.
Draco mengangkat wajah.
"Ada apa?" tanya Narcissa. "Tiga malam ini kau selalu pulang dan menemui ayahmu. Kau berusaha terlalu keras, Draco. Memar dan luka-lukamu lebih banyak. Jangan terlalu memaksakan diri, Nak. Atau ada hal yang kau pikirkan?"
"Tidak ada apa-apa."
Narcissa menatap kuatir. "Benar?"
"Sudah kubilang tidak ada apa-apa, Ibu," tukas Draco dengan nada meninggi.
Kemudian Draco merasa tidak enak meninggikan nada suaranya seperti itu. Namun dia tidak berkomentar dan meminta maaf. Seorang Malfoy hampir tidak pernah meminta maaf. Maka dia hanya menghindari tatapan ibunya.
Dan ibunya benar. Narcissa dapat menebak dengan benar bahwa ada sesuatu yang dipikirkan Draco. Wanita itu mengenal Draco melebihi dirinya sendiri. Apa yang dilihatnya di dalam Pensieve pada malam itu membuatnya shock. Dia tidak mengenal dirinya sendiri. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan. Sesuatu membuatnya bergetar dalam hatinya. Perasaan itu menakutkan karena begitu asing.
Greg, Vincent, dan Blaise bertanya padanya mengapa dia keluar dari Pensieve tanpa bilang-bilang. Draco hanya menjawab sekenanya agar mereka tidak curiga. Jika mereka tahu apa yang dia lakukan bersama Granger di kelas kosong dan gelas itu, Draco akan lebih berharap bumi akan menelannya bulat-bulat. Kejadian itu tidak patut diketahui orang lain. Kejadian itu adalah aib. Jika dia aib, maka Draco harus dihukum. Dan dia harus membuat dirinya dihukum. Maka setelah keluar dari Pensieve, Draco menemui ayahnya.
Latihan malam itu adalah sebuah hukuman untuknya. Semakin banyak luka yang dia dapatkan, semakin dia merasa layak untuk mendapatkan hukuman itu. Draco tidak mengatakan aib itu pada Lucius. Tidak, Draco tidak akan berani. Kejadian itu harus disimpan dalam sudut tergelap benaknya. Aibnya harus ditaruh di dasar terdalam samudra.
Ya, sekali ibunya benar. Ada hal yang sedang dipikirkan Draco. Hal yang selalu menghantuinya. Bukan mengenai apa yang telah dilakukannya malam itu. Melainkan sesuatu yang semakin meyakinkannya bahwa mimpi tentang bibir Granger menyentuhnya ternyata memang nyata.
Draco merasa kotor. Namun juga merasa begitu hidup di saat bersamaan.
Tidak, tidak, tidak. Ini salah. Benar-benar salah. Apa yang kau harapkan dari seorang darah lumpur? Simpan pikiran itu dalam-dalam dan jangan korek-korek lagi.
"Kurasa aku harus kembali," kata Draco. Dia memakai kemejanya. Luka-lukanya sudah hampir tidak terlihat lagi.
"Lebih baik kau menginap," kata ibunya cepat-cepat.
Draco menatap ibunya. Wanita itu sangat cantik. Anggun. Berdarah murni. Keturunan keluarga penyihir ningrat. Sosok elegan tipikal lady keluarga Malfoy. Ya, sosok seperti itulah yang berhak menjadi pendamping pewaris salah satu klan tertua ini.
Narcissa Malfoy tipe wanita rumahan. Dia sadar dia berada pada strata yang tinggi. Dia sulit dipuaskan oleh materi—tentu saja karena itulah tipikal keturunan keluarga ningrat. Mungkin itulah mengapa wajahnya selalu tampak merendahkan orang lain jika sedang berada di luar kediaman Malfoy. Dia telah menjadi seorang Malfoy tulen. Namun di dalam rumah, keangkuhan itu dia tinggalkan. Bayangan kehangatan dan kelembutan dia pancarkan—paling tidak hanya kepada putra tunggalnya. Narcissa sering mengatakan, "Ayahmu menyayangimu, kau tahu?" Dia mengatakannya untuk Lucius. Namun tindakannya pada Draco, jauh lebih menjelaskan rasa sayangnya ketimbang apa yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Narcissa menyayanginya. Dan Draco membalas perasaan itu—walaupun kadang dia tidak menyadarinya sendiri.
Hanya dari wanita itulah kehangatan belum meninggalkan kediaman Malfoy. Dialah yang berdiri menunggu di depan ruangan tempat Draco merasakan sakit dan luka saat latihan. Dia juga yang menghampirinya ketika selesai latihan, menatap luka-luka di tubuh Draco dan merawatnya. Draco memang tidak percaya cinta, namun jika dia harus dihadapkan pada perkawinan, Draco jelas harus memilih wanita seperti Narcissa. Dan dia tidak keberatan. Wanita yang berasal dari strata yang tinggi. Dan terlebih wanita yang berdarah murni.
Ya, sangat bukan dirinya.
Esok siang setelah malam masuk ke dalam Pensieve, mata Draco menangkap sosok itu di meja Gryffindor aula besar. Tenggorokannya seakan tersekat. Ketika mata coklat itu menatapnya, jantung Draco mencelos. Mengingat apa yang telah terjadi pada malam sebelumnya, Draco tidak dapat menahan dirinya lagi ketika dia menginginkannya lagi. Namun dia segera sadar bahwa menginginkannya seperti itu adalah salah.
Begitu salah. Dan kau patut mendapat hukuman.
Maka dia pulang ke rumah menemui ayahnya lagi. Ingin latihan lebih banyak lagi. Ingin mendapat hukuman lebih banyak lagi. Dan kejadian itu biarlah tersimpan di sudut benaknya yang terdalam. Tak ada orang yang perlu tahu. Granger tak perlu tahu bahwa Draco telah mengetahui dan bahkan mengingatnya.
Draco menggeleng. "Tidak dapat menginap, Bu. Terlalu riskan menyusup keluar Hogwarts tiga malam berturut-turut. Snape sudah mencurigaiku."
"Dia tidak akan menaruh dirimu dalam kesulitan. Severus walimu, Draco."
"Ya, tapi aku tidak tahan mendengar nasihatnya."
"Itu kan demi kebaikanmu sendiri," sahut Narcissa.
"Bu, aku harus kembali."
Narcissa mengangguk pelan. "Baiklah, baik." Dia berdiri dari sofa yang nyaman.
Wanita itu berjalan di samping Draco, menemani hingga undakan depan kediaman Malfoy. Kediaman itu sungguh besar. Tak ada rumah penyihir yang dapat sebesar itu. Warisan dari generasi ke generasi hingga tak terhitung awalnya. Kediaman itu adalah simbol kesejahteraan. Simbol keangkuhan. Simbol kemurnian.
"Salam untuk Pansy," kata ibunya sebelum Draco pergi berdisapparate.
Pansy selalu menjadi teman Draco yang disukai ibunya. Pansy berhasil mengambil hati Malfoy senior dan Narcissa. Cewek itu berasal dari strata yang tinggi. Keluarganya juga salah satu keluarga penyihir termasyur. Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dia adalah berdarah murni. Darah yang selalu mengalir di pembuluh darah semua Malfoy. Dan Narcissa tak pernah lupa mengatakan "Salam untuk Pansy" untuk memastikan bahwa Pansy tahu dia diterima dalam keluarga itu. Namun sama seperti salam untuk Pansy sebelum-sebelum itu, Draco tak pernah menyampaikannya.
Draco berjalan dalam diam menuju kastil dalam kegelapan malam tanpa bintang. Syal rajutan dia lilitkan lebih erat di lehernya. Kakinya menapak di atas salju, menyisakan jejak-jejak tertinggal di belakang. Udara terasa beku walaupun salju tidak turun lagi. Selama beberapa saat, Draco tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Hari itu di kediaman Malfoy…hukuman telah dilaksanakan. Draco pulang ke kediaman Malfoy untuk mendapatkan hukuman. Ya, dia mendapatkannya. Namun mengapa masih ada yang mengganjal?
Ada apa denganku? batin Draco. Apa hukuman Ayah masih kurang? Apakah aku berhak mendapatkan memar dan rasa sakit lagi?
Seperti sebelum-sebelumnya—seperti dahulu dan tak pernah berubah—hukuman itu menyadarkannya bahwa yang tersisa hanyalah memar-luka. Dan memar-luka itu selalu membuat beban pikirannya bertambah. Dulu solusinya sangat mudah. Kembali ke Hogwarts, cari anak yang berulah dengannya, beri pancingan, mendesak anak itu ke dinding, dan selanjutnya melampiaskan kekesalan itu dengan kepalan tangan. Biarkan dia rasakan memar yang pernah Draco rasakan, biarkan dia merasakan luka yang Draco pernah rasakan. Jika kepalan tangan, memar, dan darah tidak dapat menenangkannya, Draco akan masuk ke hutannya dan berbaring di atas rerumputan hingga angin membawa kekesalannya pergi. Dan begitu terus menerus—
Kembali ke hutan, timbul rasa bersalah pada nama besar Malfoy kerena apa yang dilakukannya pada seorang darah lumpur, patut mendapat hukuman dari ayahnya, menahan amarah dan kekalutan, menenangkan diri lagi di hutan, timbul rasa bersalah lagi, patut mendapatkan hukuman lagi, menenangkan diri lagi—
FUCK! Siklus keparat!
Draco akan terperangkap dalam penjaranya sendiri. Namun bagaimana menghentikan siklus itu? Berhenti datang ke hutan? Berhenti menemuinya?
Tapi semenjak kelas tiga Draco sudah ke tempat itu untuk menenangkan diri. Satu-satunya tempat jauh dari semua kekacauan dunia nyata. Atau—
Berhenti memikirkan rasa bersalah.
Ya. Tampaknya itu yang paling mudah. Lagipula satu-satunya hal yang menyenangkan dari rangkaian siklus itu adalah Granger. Satu hal yang masih normal dari rangkaian siklus itu adalah Granger. Dia masih kotor seperti dulu. Masih begitu bertemu dengannya, katakan betapa bawelnya dia, betapa keras kepalanya dia, atau sekadar mengejek rambutnya yang seperti semak liar. Dia masih seperti dulu. Dia akan jengkel, dia akan marah. Dan dia menarik jika dia marah.
Menarik? Perasaan bego. Ya, salah satu ketidaknormalan itu adalah perasaannya sendiri. Perasaan menenangkan jika bertengkar dengannya. Itulah satu-satunya hal yang masih normal.
Dan
Takkan ada yang tahu jika Draco memiliki perasaan itu. Apapun perasaan itu karena Draco tak mengenalnya. Dan takkan ada orang yang perlu tahu apa yang sebenarnya Draco rasakan ketika dia menatap gadis itu. Tak seorang pun tahu mengenai apa yang telah dilakukan Draco dan Granger di kelas kosong itu.
So, kembali ke hutan itu. Lagi. Bertemu dengannya. Lagi. Katakan betapa bawelnya dia, betapa keras kepalanya dia, atau sekadar mengejek rambutnya yang seperti semak liar. Dan…kali ini tanpa rasa bersalah. Tanpa rasa bersalah sehingga tidak memerlukan hukuman. Tak mendapat hukuman sehingga tidak perlu menahan amarah.
Dan siklus terhenti.
Ya takkan ada yang perlu tahu, jadi takkan ada rasa bersalah. Dan Granger juga tak perlu tahu—bahwa sebenarnya Draco telah tahu kejadian di kelas kosong itu. Karena apa pun yang akan terjadi ketika Draco melihatnya lagi di hutan itu nanti, Draco hanya ingin segala hal kembali normal. Normal bahwa Draco masih menganggapnya sebagai seorang darah lumpur menjijikan seperti dulu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar