Silahkan baca!
BAB 7
Ada masalah mungkin dengan indra perabanya. Tubuhnya mati rasa. Dia tak dapat merasakan apapun. Sakit. Darah. Atau apapun. Ini tidak bagus. Dia harus merasakan sesuatu. Apapun itu.
Ada apa dengannya?
Dia tak bisa mengingat. Well, sesuatu yang hebat pasti baru saja terjadi. Dahan-dahan itu. Suara patahan yang memilukan itu. Suara dahan? Atau tulangnya? Dia mencoba mengingatnya. Namun segalanya masih tampak kabur. Perlahan dia berusaha membuka matanya. Namun, dia merasakan—oh bagus, akhirnya dia dapat merasakan sesuatu—merasakan pening pada kepalanya ketika dia melihat seberkas cahaya yang sangat temaram perlahan masuk ke kornea mata. Dia memutuskan untuk menghilangkan usaha itu sejenak dari benaknya.
Mungkin aku harus istirahat.
Draco mengumpulkan kesadaran. Jika dia tak mempunyai tenaga untuk menguasai tubuhnya, paling tidak dia harus mempunyai kuasa atas pikirannya.
Sebuah telapak tangan menyusup ke belakang kepalanya. Mengangkatnya perlahan. Sangat perlahan seakan orang itu takut akan mematahkan lehernya. Dia menyentuhkan sesuatu di bibirnya, hendak memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
Hei, jangan ganggu aku. Tidakkah dia tahu membutuhkan istirahat.
"Aku tahu kau dapat mendengarkanku dengan baik," kata suara yang sepertinya familiar itu dengan pelan namun tegas dan hati-hati. "Buka mulutmu, idiot."
Whooaaa, siapa si brengsek itu? Memanggilku idiot? Kalau aku mempunyai tenaga bahkan untuk membuka mulutku saja, aku jelas akan menonjokmu lebih dulu.
"Malfoy," bisiknya dengan suara lebih rendah. "Please, buka—"
Oh. Paling tidak sekarang dia mengatakan please.
Draco mencoba fokus. Tapi tak bisa. Dia mencobanya terus dan fokus pada segenap tenaganya yang tersisa. Akhirnya dia dapat membuka bibir. Sesuatu yang dingin dan berbahan metal masuk ke mulutnya. Bahan cair yang ikut masuk lalu mengalir di lidah. Indra pengecapnya tak merasakan rasa apapun. Mungkin saraf di bagian pengecapnya juga ikut bermasalah. Ataukah cairan itu memang tak ada rasanya sama sekali?
Beberapa saat kemudian dia mulai merasakan rasa tenang menjalar ke seluruh tubuhnya. Lalu dia kembali ke kegelapan lagi.
Draco membuka matanya perlahan ketika dia mulai merasakan kehangatan yang nyaman. Namun, dia belum bisa beradaptasi dengan cahaya. Sinar matahari yang temaram terasa menyakiti matanya. Lalu, dia merasakan pegal-pegal di tubuhnya ketika dia mencoba bergerak. Akhirnya dia merasakan sesuatu pada sekujur tubuhnya.
Dia mencoba menyingkirkan selimut tebal yang hangat itu dan berusaha untuk duduk. Setiap sendi yang berada kakinya, bahunya, dan lehernya terasa sakit sekali. Namun, itu bukan sesuatu yang tidak dapat dia atasi. Draco Malfoy sudah sering cedera. Latihan Quiditch. Latihan ayahnya. Draco sudah berteman dengan rasa sakit. Rasa sakit bukan masalah.
Dia duduk di pinggir ranjang besar yang berdebu. Di ruangan itu. Draco telah mengenalinya dengan baik—sebaik ruang-ruang lain di bangunan tua itu. Debu yang tebal di beberapa sisi, catnya yang mulai kusam dan mengelupas, jendela yang pecah, pintu yang engselnya mulai lepas, dan beberapa perabotan yang masih tertutup kain putih sebagai tanda bangunan itu tak berpenghuni sekian lama. Ya, dia mengenal ruang tidur di Shrieking Shack itu.
Oke. Aku menyadari dimana aku sekarang. Well, sedikitnya itu menenangkan.
Draco memandang ke arah jendela. Dia berdiri di atas kakinya lalu mencoba berjalan. Dia bisa berjalan. Itu bagus. Ada rasa sakit yang menyerang namun bisa berjalan. Tak jadi masalah. Kemudian dia menghampiri jendela.
Dia tahu apa arti arah jatuhnya bayangan sinar matahari saat itu. Pagi hari. Dan indra penciumannya dapat menangkap bau embun yang masih begitu terasa. Sepertinya dia telah tidur sehari penuh. Atau dua hari mungkin? Dan perapian di depan ranjang itu seperti habis dinyalakan. Kayu itu telah menjadi arang namun masih mengeluarkan sedikit asap sisa pembakaran. Berarti api itu mati belum lama.
Hawa dingin terasa di tubuhnya. Benar-benar kulit tubuhnya. Dia tak mengenakan atasan apapun. Kausnya entah dimana. Lalu dia melihat memar-memar kecil di beberapa tempat. Lalu dia melihat goresan memanjang di bahunya. Dan dia mendapati celana panjangnya telah robek berdiameter sepuluh centi di sekitar di bagian paha. Draco dapat melihat melalui kain yang terkoyak itu, bekas lukanya sendiri yang telah menutup dan terawat. Ketika dia menunduk untuk melihatnya lebih dekat, rasa sakit menyerang lehernya dan rasa pening menghujam kepalanya.
Draco berdiri tegap sejenak dengan berpegangan pada dinding untuk membuat dirinya stabil. Berbagai pertanyaan melayang di kepalanya. Seberapa parah luka dirinya sebelum orang itu merawatnya? Dia kembali duduk di tepi ranjang karena mendadak merasa pening. Matanya menatap keluar jendela. Dia ingin mengembalikan tenaganya dulu, seakan untuk bernapas juga dapat menguras seluruh tenaganya.
Aku rusak parah sepertinya.
Dia mendengar pintu berderit di lantai bawah. Bunyi langkah kaki itu bergerak mendekat. Dia menanti sambil membayangkan sosok itu menaiki tangga. Tangga itu berderit di bawah langkah-langkah ringan. Lalu tak lama kemudian, dia muncul dari balik pintu. Draco dapat merasakan orang itu menatapnya. Lalu terdiam sejenak. Draco tak membalas menatapnya. Karena dia sudah tahu siapa orang yang berdiri di pintu itu.
Granger tampak kaget melihat dia sudah bangun. "Aku membawakan er—sarapan," katanya canggung.
Kini Draco menoleh untuk menatapnya. "Dimana Windflashku?"
Dia diam sejenak seraya menatapnya. Lalu menghela napas. "Ada banyak hal yang perlu dikuatirkan namun hanya itukah yang hanya di otakmu?" tanyanya. Tak banyak orang yang konsisten berbicara dengan nada sarkasme pada Draco Malfoy. Dan hanya Hermione Granger yang berkata dengan nada seperti itu setiap harinya. Setiap kata dan kalimat jika mereka berbicara.
Gadis itu mengeluarkan bungkungan kertas dan sebotol selai di atas meja kecil dekat ranjang dan menaruh di atasnya. "Aku membawakan beberapa helai roti."
"Jadi kau mengharapkan terima kasih?" tanya Draco datar.
"Enam tahun lebih di Hogwarts, Malfoy, kau pikir aku belum mengenalmu dengan baik?" Hermione menatapnya sambil berkacak pinggang. "Aku tahu kata itu takkan pernah keluar dari mulutmu." Dia mengeluarkan sebuah botol minum dari tasnya. "Maksudku tadi, paling tidak kau bisa bertanya sesuatu yang masuk akal misalnya 'Dimana kepalaku? Atau dimana otakku?'"
Draco mencibir. "Enyahlah."
"Bagus. Kau masih terpikir untuk mengatakan 'enyahlah', berarti otakmu masih ada dan baik-baik saja," katanya.
Granger terlalu banyak omong untuk waktu sepagi ini.
Dia berjalan menuju pojok ruangan dan mengambil sapu terbangnya. Sapu terbang itu dia taruh di ujung ranjang tanpa mengatakan apapun. Kondisinya masih bagus. Hanya beberapa lecet di sana-sini.
"By the way, waktu itu kau mengatakan bahwa kau tak ingin kubawa ke Madam Pomfrey."
"Begitu?"
"Oh, kau menyesal ingin dibawa ke sana sekarang?" Hermione kini menatapnya. Tangannya berada di pinggang. Lagi. Ampun deh, gadis ini.
"Apa aku mengatakan aku menyesal?"
"Jadi kau tak menyesal?"
Draco menahan napas penuh kejengkelan. Gadis ini sungguh menjengkelkan. Sungguh. "Aku tak sadar bahwa aku mengatakan aku tak ingin dibawa ke sana, idiot. Tapi aku senang kau tak membawaku ke sana."
"Kau bisa mengatakannya baik-baik. Kenapa sih kau selalu seperti itu? Dan jangan sebut aku idiot."
"Enyahlah."
"Kita―" katanya sambil menunjuk dirinya sendiri dan Draco bergantian. "―harus memperbaiki cara komunikasi untuk menunjukkan adanya peradaban dengan budaya yang beradab di sini."
Draco hanya mencibir. Yang benar saja.
Gadis itu memang ingin berharap apa? Orang yang bersamanya saat itu bagaimanapun juga adalah Draco Malfoy.
Granger segera menyadari hal itu, maka dia hanya berusaha menghiraukannya. "Kesinisanmu tak hilang setelah kejadian kemarin. Hebat. Padahal dua hari yang lalu kau tak jauh beda dengan gundukan daging tak berguna. Luka-memar di sana-sini. Tergores di sana-sini. Dan patah tulang juga di sana-sini. Tapi dengan pengobatan yang tepat dan orang yang tepat yang bisa meraciknya, penyembuhannya bisa hanya cukup dengan sehari. Dan kau beruntung sekarang libur akhir pekan sehingga kau bisa memulihkannya sehari penuh," katanya.
Dia membereskan botol-botol kecil yang lebih dulu berada di atas meja kecil dekat ranjang. Sepertinya itu botol-botol obat yang digunakannya tadi malam. Tadi malam?
"Jadi kau di sini tadi malam?" tanya Draco.
Hermione menatapnya sekilas lalu pandangannya kembali ke kesibukannya berberes-beres dengan segala peralatan-peralatan―apapun peralatan itu. "Ya. Tapi hanya sampai pukul sepuluh. Aku tetap menginap di kastil, tentu saja. Aku hanya menginap pada malam sebelumnya."
Malam sebelumnya? Aku telah pingsan selama dua hari? Hebat. Granger telah mengambil resiko dengan merawatmu sehari semalam di tempat ini. Bahkan hingga hari ini. Dan dia seorang Gryffindor. Ketua Murid Putri. Hermione Granger. Well, aneh sekali. Membingungkan. Tak masuk akal.
Oh, Draco baby…Kau dibuat bingung karena Hermione Granger telah berbuat baik padamu? Menyedihkan.
"Dan tentang pakaianmu. Aku harus membukanya karena penuh dengan noda darah. Dan aku yakin kau sendiri tak berminat memakainya mengingat terlalu banyak kerusakan ketimbang fungsinya. Selain itu, aku tak mungkin membawakan pakaian Ron atau Harry karena aku yakin kau takkan memakainya. Jadi tentang pakaian, kau urus sendiri saja. Aku tak ingin ambil pusing."
"Terserahlah," sahut Draco singkat. Dia tak berniat bertengkar saat ini. Lakukan saja apa yang ingin dia lakukan.
"Baik." Dia menghela napas. Sepertinya dia sendiri juga merasa aneh dengan kepasifan Draco saat ini. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari tas. "Dan bagaimana dengan luka-lukamu?"
Aneh. Bukan karena pertanyaannya, tapi karena mengapa Hermione Granger melontarkan pertanyaan seperti itu.
Draco masih bertanya-tanya mengapa Hermione dengan sukarela menyelamatkannya. Tidakkah dia masih mengingat ada dimana dia? Di sisi mana dia? Tidakkah dia masih mengingat ciuman itu? Yang Draco tahu seharusnya hal itu membuatnya lebih benci padanya? Ataukah dia malah menikmatinya? Menginginkannya? Mungkin Granger sendiri memang wanita jalang.
Kini semua tentang dirinya, membuat Draco bingung. Dan hal ini tak baik. Sungguh tidak baik. Karena Hermione Granger tak boleh membuatnya bingung.
"Aku baik-baik saja," dia mendapati dirinya menjawab pertanyaan itu.
"Bagus…" katanya. Kini Hermione membuka botol yang tadi dia keluarkan dari tas. Bau manis yang samar-samar keluar dan tercium olehnya.
Dia tak mungkin bilang bagus, kan? Itu aneh sekali. Mungkin dalam hati dia mengatakan, sayang sekali Malfoy keparat itu tidak mati.
"…Karena dengan dengan begitu, Beater Gryfindor bisa menghantammu untuk kedua kali dalam pertandingan Quiditchmu nanti ketika melawan mereka."
Nah, bagian yang itu tidak aneh. Yeah. Tentu saja. Lihat, kan? Hatinya tak sebaik itu. Dia tetaplah seorang Gryffindor. Dengan segala kearogansiannya.
Hermione berdiri di depannya dengan dengan satu tangan memegang botol. "Berdiri."
Draco mengangkat alis bingung.
"Kau sudah mendengarku, Malfoy. Kubilang, berdiri," katanya tak sabar.
"Kau menyuruhku berdiri?" Dia pikir dia siapa? Draco mengerutkan kening. "Kau pikir kau siapa?"
"Aku hanya memastikan kondisimu," katanya dengan tangan di pinggang lagi. Lagi? Rasanya ingin sekali Draco menyingkirkan kearogansiannya itu. Berapa kali lagi dia harus memperlihatkannya?
"Siapa peduli, oke?" sahut Draco. "Granger, aku hanya ingin sendiri sekarang. Kau sudah terlalu banyak bicara hari ini."
Hermione menatapnya tak percaya. Dia tertawa. "Jika kau berpikir, aku menyelamatkanmu karena aku peduli. Kau salah, Malfoy. Aku tak peduli. Dan takkan pernah peduli."
"Jadi, mengapa kau masih ada di sini?"
Hermione tak membalasnya. Belum. Bukan karena dia tak bisa menjawab. Melainkan karena dia sedang kesal dan hendak melontarkan kata-kata balasan yang sepadan. Well, dia tetaplah Granger. Jadi dia tetap di sini lalu menarik napas dan menatap Draco dengan geram. "Jika aku meninggalkanmu di tempat itu, orang-orang akan bertanya-tanya padaku apa yang aku lakukan di tempat itu. Dan semuanya akan tahu. Aku tahu mau hal itu terjadi. Aku tak mau tempat rahasiaku diketahui. Jadi, Malfoy, ini bukan tentangmu, brengsek. Takkan pernah menjadi mengenai dirimu." Pipinya merah karena kesal.
Draco tertawa mengejek. "Itu bukan tempa—"
"Dan terima kenyataan sajalah, Malfoy," katanya cepat-cepat.
"Jika aku menerimanya, sama saja aku menerima kenyataan darah lumpur keparat menguasai dunia!"
"Itu juga yang kau harus terima. Darah-lumpur-brengsek-ini sudah ada di mana-mana!" katanya gusar.
Mendadak kepalanya pening lagi. Pembicaraan ini…fuck…bikin sakit kepala saja. Di saat lain dan di waktu yang lain, Draco Malfoy akan membalas perkataannya dengan setimpal. Namun bukan bukan saat ini. Rasa pening dan kebingungan. Itulah yang dia rasakan. Maka tak ada tindakan lain yang dia lakukan selain mengalihkan pandangannya ke arah jendela dan berkata, "Enyahlah."
Mempertahankan Slytherin pada dirinya pada hari itu.
Hermione sejenak terdiam. Mereka terdiam. Keheningan yang sangat tidak nyaman. Seseorang harus berbicara.
"Malfoy," sahutnya lebih pelan. Dia menggigit bibirnya.
Draco menatapnya sekilas. Merlin. Aku pernah menyentuh bibir itu satu kali. Satu kali.
Sebelum Draco menyadarinya, Granger menjulurkan tangan, menarik tangan Draco agar dia berdiri. Draco berdiri dengan malas. Dia mengacuhkan rasa sakit yang segera menyerang sendi-sendinya. Gadis itu dapat melihatnya, rasa sakit itu.
"Rentangkan tanganmu."
Granger sepertinya menyadari sia-sia memerintahkan laki-laki seperti dia. Jadi dia memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri dengan atau tanpa persetujuan Draco. Dia menghampirinya merentangkan tangan Draco satu persatu di samping. Dia berdiri di depan Draco sambil menatapnya.
Draco menatap langit-langit ruangan itu dengan malas. "Seperti orang bodoh," gumamnya sinis.
Granger mengangkat alisnya. "Sepertinya memang beberapa sel otakmu agak rusak sehingga kau lupa jati dirimu sendiri."
Brengsek.
Draco berdiri dengan kedua tangan terentang ke samping. Awalnya dia merasa agak ringan tetapi lambat laun mendadak merasa pusing dan keseimbangannya goyah seakan ada orang yang baru menghantam bagian belakang kepalanya. Dia mundur selangkah agar tidak jatuh. Brengsek, apa aku luka separah itu.
"Lihat, kan?" Dia berkacak pinggang.
"Apanya yang lihat, kan? Aku baik-baik saja," katanya keras kepala.
Tangannya masih berada di pinggang. Mengapa dia suka sekali melakukan itu, demi Merlin? "Yeah, bilang pada dirimu sendiri ketika kau jatuh nanti," katanya sinis. "Otak kecilmu terbentuk sangat keras sehingga keseimbanganmu mudah goyah. Tetapi hal itu bisa kembali normal cepat dengan istirahat yang cukup. Istirahat yang cukup, Malfoy," ulangnya seakan dia tak mempercayai Draco.
Draco merasa dirinya mulai stabil lagi. "Yes, Mummy," cemoohnya.
Hermione tersenyum sinis. Dia maju selangkah. "Aku harus memeriksa bekas luka-luka dan patahan tulangmu."
Hermione maju selangkah lagi. Itu membuatnya semakin dekat dengannya. Benar-benar dekat. Kepala Draco terasa pening. Apa ada sangkut pautnya dengan luka-lukanya? Atau dengan tetek-bengek soal otak kecil yang mempengaruhi sistem keseimbangan yang Granger katakan tadi? Rasanya tidak. Tapi kedekatan itu membuatnya pening. Apalagi ketika melihat tangan gadis itu terjulur. Meraih. Mencoba meraihnya? Granger meraih dirinya?
Draco menatapnya penuh antisipasi ketika tangan Granger terangkat perlahan. Gadis itu menoleh ke arahnya meminta izin. Tangannya menekan pelan ke bagian tulang rusuknya. Draco tersentak pelan.
Brengsek. Sepertinya hanya kata itu yang bisa dipikirkannya sejauh ini.
"Maaf," sahut Hermione cepat-cepat. Dia menarik tangannya lagi seakan kulit itu mengandung racun. "Kemarin di sini tulang rusukmu retak." Dia berdeham. "Tapi aku sudah memperbaikinya dengan sihir. Kukira sudah membaik namun masih sakit ternyata. Kurasa memang tak bisa sembuh dalam sehari. Well, aku akan mengecek keadaan seluruh—," Ya ampun, seluruh? "—bekas patahan tulangmu sekarang. Katakan jika masih merasa sakit."
Sakit? Bukan. Itu karena tanganmu, Granger. Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku benar-benar tak tahu. Yang aku tahu hanyalah, kurasa hal itu tak ada hubungannya dengan rasa sakit.
"Tidak."
"Apa?"
"Tidak sakit, jika itu yang ingin kau ketahui."
"Oke," sahut Hermione kemudian. "Tapi katakan apabila kau merasa sakit." Jadi dia melanjutkannya. Dia mengoleskan tangan dengan cairan dari botol lalu mengusapnya perlahan ke atas kulit Draco.
"Jangan katakan apa yang aku harus lakukan lagi, brengsek. Aku bukan anak berusia lima tahun," gerutunya.
Hermione memutar bola matanya lagi. Hal favorit yang dilakukannya pada pagi ini.
Jemarinya bergerak pelan di atas kulitnya. Mengusap dengan cairan dari botol. Dan beberapa kali dia menekan kulitnya. Draco merasa sakit pada bagian tertentu pada bekas luka itu. Namun, dia tak ingin berkata apa-apa. Dia tak ingin merusak suasana itu. Suasana apapun yang dia rasakan saat itu. Yaitu ketika Hermione berdiri di belakang punggungnya. Ketika Draco memejamkan mata—karena dia tahu Granger tak dapat melihatnya.
Inikah sentuhannya?
Kesadaran sepertinya segera mengambil alih diri Granger karena dia segera menarik tangannya. Seakan tubuh Draco adalah racun. Hermione mengangguk gugup. "Baik. Kau—" dia terdiam. "Kau hanya perlu istirahat sejenak lagi. Yah, kau tahulah untuk memulihkan sendi-sendimu atau semacamnya."
Draco mengangguk singkat. Dia hampir tak menyadarinya sendiri. Dia merasa dirinya telah mengangguk.
"Aku tak ingin jika kau kalah pada pertandingan Quidditch nanti, kau menyalahkan cedera-cederamu," ujar Hermione santai.
Draco harus mencemooh komentar itu. Dan dia melakukannya.
Hermione melangkah dan kembali berdiri di depan Draco. Dia menunduk ke bawah lalu maju selangkah lagi. Dia mendongakkan wajahnya. "Tatap aku."
Apa? Tunggu. Dia bilang apa?
"Aku harus memeriksa keseluruhan kondisi tubuhmu. Well, aku bisa melihatnya dari kondisi pupil mata. Karena jika warnanya—"
Aku tahu caranya, brengsek. Aku tak sebodoh itu. Kau harus mengenal ayahku, Granger. Dia sangat tahu hal-hal kecil seperti ini. Ahlinya. Namun bukan untuk mengobati, tentu saja. Karena dia tak pernah mengobati. Dia melakukan prosedur seperti ini hanya untuk mengetahui apakah tubuhku masih sanggup untuk bergerak. Atau sudah benar-benar parah sehingga tak bisa melanjutkan latihan-latihannya. Ayah yang baik sekali bukan?
"—pupil mu tidak pucat, well berarti kau baik-baik saja," katanya terus berbicara. Dia gugup, Draco dapat merasakannya. Dia menghela napas panjang. "Jadi sekarang tatap aku," sahutnya lagi.
"Ooookkeee," cemoohnya, membuat nada suaranya sesinis mungkin. "Menatap darah lumpur. Sesuatu yang jarang, bukan?"
Karena bagaimana bisa aku bilang tidak?
Tangannya kini menyentuh pipi Draco. Ujung jarinya berada di bawah matanya, menarik kelopaknya agar sedikit lebih membuka. Tangannya agak gemetar. Wajahnya mendekat sehingga hanya berjarak beberapa senti dari wajah Draco sendiri.
Hening.
Katakan sesuatu, Granger. Kau tahu kan, kita tak pernah membiarkan keheningan ada di antara kita. Di antara kata-kata itu, umpatan-umpatan itu, sumpah serapah itu. Tak pernah ada keheningan. Aku sudah mengatakan giliranku. Kini kau yang harus mengatakan sesuatu. Atau kau memang harus pergi. Ya, Granger. Pergi saja.
Jantungnya berdegup kencang. Dia merasa benar-benar masih hidup.
Dalam jarak sedekat itu, dia dapat merasakan napas Granger di wajahnya. Dan dia juga dapat melihatnya. Mata itu. Matanya.
Matamu, Granger.
Baru kali ini dia benar-benar melihatnya. Ternyata warnanya coklat madu. Bagaimana bisa Granger memiliki mata sejernih itu? Dan er—indah. Sangat—brengsek—indah. Dia tahu Granger hanya memeriksa kondisi tubuhnya melalui matanya. Pemeriksaan standar.
Memangnya apa yang dapat Draco harapkan?
Hermione awalnya hanya fokus pada matanya. Pemeriksaan standar itu. Namun perlahan keheningan merasuki gadis itu. Dan Draco perlahan menyadari bahwa dia kini menatap Draco. Menatap matanya. Bukan pemeriksaan standar lagi. Draco dapat merasakannya.
Mungkin ini saat-saat terhening terlama yang pernah mereka miliki.
Brengsek. Granger hanya seorang darah lumpur. Darah lumpur keparat. Apa yang akan dikatakan ayahnya padanya? Lucius Malfoy tak pernah melirik sepintas pun pada darah lumpur manapun. Maka aku seharusnya juga.
Kau bangga padaku, Ayah?
Ayah.
Semua kini kembali kepada ayahnya. Pikiran tentang kenyataan—dunia nyata—merasuki pikirannya. Karena segala hal yang terlah terjadi sebelumnya seakan tidak nyata. Dan Draco harus bangun.
Memangnya kau mengharapkan apa, Draco baby? Sesuatu takkan pernah semudah itu. Takkan pernah sebaik itu. Ingatlah selalu kontradiksinya. Dia tetaplah darah lumpur. Darah kotor itu tetap terus mengalir di pembuluh darahnya. Dimana dia berada sekarang dan dimana kau berada sekarang, takkan pernah nyata. Dia memiliki tempat dimana seharusnya dia berada. Dan kau tahu itu pasti. Dan tempatnya bukan di hutan itu pula.
Namun hutan itu juga seakan tidak nyata untuk dirinya. Itu dunia lain. Tempatnya untuk melupakan sejenak segala fakta yang terjadi di dunia nyata.
Dunia nyata.
"Mungkin kau di sini hanya ingin menyentuhku, Granger."
Hermione terdiam, menatap kedua mata Draco bergantian dengan pandangan berani-beraninya-kau. Gadis itu mundur selangkah. Draco tak lagi merasakan sentuhan tangannya. Kehilangan kontak itu terasa sangat mengganggunya.
"Kau senang merasakannya?" gumamnya datar.
Sepasang mata coklat itu kini berubah lebih gelap dan menatap terbelalak. Pipinya memerah karena amarah. Lalu kian merambati lehernya. Sakit hati. Hal itu terpancar dari matanya.
Dan kemudian—secara cepat yang tak Draco sadari—tangan yang tadi beberapa saat lalu Draco rasakan kesejukannya, terayun dan menampar ke pipinya dengan sangat keras. Draco mundur beberapa langkah. Dia berpegangan pada kayu di sudut ranjang untuk menstabilkan dirinya sendiri. Kedua matanya menatap Granger. Napasnya cepat.
"Fuck! Dua kali, Granger. Dua kali!" seru Draco. "Apa yang kau lakukan di hutan ketika itu dan hari ini—Kau tahu kau tak bisa—tak boleh memukulku! Tangan kotormu, sialan―"
"Kau berhak mendapatkannya. Kau selalu berhak mendapatkannya!"
"Keparat!"
"Pikirkan tamparan itu jika kau hendak mengatakan—melakukan sesuatu terhadapku!" balasnya.
"Persetan denganmu- segala hal mengenai darah lumpur seperti dirimu!"
Draco dapat melihat—membaca—kedua mata itu. Tak sulit mengetahui bahwa saat ini Hermione Granger sedang terluka. Sakit hati. Napasnya berat.
Jangan tatap aku seperti itu, Granger. Kau tahu hal itu tak berguna. Hei, aku tetaplah seorang Malfoy. Sudah lupakah kau?
"Seharusnya aku membiarkanmu di sana. Seharusnya aku membiarkanmu membusuk di sana. Aku bodoh. Aku bodoh karena menyelamatkanmu, Malfoy. Brengsek, mengapa kau begitu—begitu…" Gadis itu menggeleng-gelengkan seakan tak percaya dengan tindakannya sendiri.
Ya, Granger. Lebih baik tinggalkan aku di sana. Semua ini membingungkanku. Aku tak dapat berpikir jernih, sialan. Aku takkan bisa berpikir jernih dengan keberadaanmu.
"Aku tahu, aku benar," Draco menyelanya. Katakanlah apa saja untuk membuatnya pergi dari sini secepatnya. Jangan peduli dengan perasaannya karena kau memang tak pernah peduli sebelumnya.
"Kau bicara omong kosong."
"Aku benar, Granger," ulangnya. Kau ingin aku meneruskannya? Meneruskan sesuatu yang mungkin kau rasakan –tetapi aku yakin kau takkan pernah mengakuinya? "Tentang bibir. Tentang lidah. Tentang sentu—"
Granger mencibir. "Kau brengsek," ulangnya berusaha terdengar acuh. Tapi terlalu bergetar untuk sekadar acuhan belaka. Dia menyipitkan matanya.
"Kau menyukainya."
"Tidak. Tidak. Tidak! Aku tak harus mendengarkan omong kosong ini," katanya nyaris berseru. Napasnya tak teratur karena marah.
Mereka saling bertatapan dalam diam. Granger tampak emosi. Wajahnya merah. Marah. Napasnya tak beraturan. Situasi takkan pernah berjalan lancar. Situasi ini. Ini harus segera diselesaikan.
Draco yang berbicara lebih dulu. "Kalau begitu, enyahlah."
"Baik," bisiknya. "Memang itu satu-satunya yang ingin aku lakukan saat ini." Datar. Namun penuh amarah dalam nada suaranya. Dia menjatuhkan botol kecil itu. Sebagian isinya keluar melalui mulut botolnya. Dia mengambil tasnya dari atas lantai yang berdebu lalu mengerling sejenak penuh kekecewaan ke arah Draco ketika dia melewatinya sebelum mencapai pintu. Hati Draco mencelos.
Jangan tatap aku seperti itu.
Namun tak ada yang dikatakan Draco selain memasang senyuman sinis di sudut bibirnya—menunjukkan bahwa masih ada keSlytherinannya pada pagi itu.
Pergilah, Granger. Agar aku dapat berpikir jernih lagi. Mengembalikan udara yang hilang dari nafasku. Keberadaanmu sangat menyesakkan. Pergilah membawa darah kotormu ikut serta agar bisa membersihkan situasi ini.
"Yeah, pergi," bisik Draco ketika tubuh Hermione menghilang di balik pintu itu.
Jadi pagi hari itu Draco Malfoy duduk di tepi ranjang. Diam sejenak tak tahu apa yang harus dia pikirkan. Maka dia tak berpikir apapun. Lalu dengan menghiraukan segala rasa sakit yang diprotes oleh seluruh tubuhnya, dia membungkuk untuk mengambil botol itu, botol yang telah dijatuhkan Hermione beberapa saat yang lalu. Dia mengoleskan cairan yang tersisa ke bekas luka di tangannya. Namun dia merasa bodoh melakukan hal itu. Dia merasa bodoh akan segala hal.
Dia menatap botol itu sejenak, lalu melemparnya sekuat tenaga ke arah dinding memecahkannya menjadi puluhan pecahan kaca.









0 komentar:
Posting Komentar