RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi Chapter 16

Silahkan baca!


BAB 16
Tiga puluh tiga…Tiga puluh empat…Tiga puluh lima…
Push-up berhasil membuat Draco berkeringat. Selepas cederanya yang dahulu, baru akhir-akhir ini saja dia bisa melakukan push-up tanpa masalah. Sebelumnya ototnya mudah sekali memprotes. Napasnya gampang terengah-engah. Tubuhnya mudah berkeringat. Beberapa kali Draco melakukannya di sela-sela waktu luang untuk mengembalikan ketahanan tubuhnya yang dulu.
Tapi masalahnya sekarang dia sedang tidak bisa. Bukan karena tidak mampu. Akumulasi rasa lelah akibat latihan tadi siang, sungguh membuat tubuhnya terasa berat. Seolah tubuh jumbo Vince dan Greg sedang menggelayut di pundaknya. Pegal-pegal di sekujur tubuh. Rasanya agak malas melakukan segala sesuatu.
"Brengsek," tukasnya saat hitungan mencapai empat puluh empat.
Draco berbaring di atas kursi taman. Mengatur napas. Entah sudah berapa lama dia berada di sana. Dasinya sudah tidak membentuk simpul dari kupu-kupu dan hanya melingkar tak berguna di leher. Kancing kemejanya yang berada di paling atas sudah dibiarkannya terbuka. Dan bagian bawah kemeja itu sudah tampak berantakan dan keluar dari lingkar pinggang celananya. Jubahnya telah kusut dan tersampir di sandaran bangku taman.
Dia merasa kacau.
Bunyi jangkrik terdengar pelan di taman. Wewangian bunga daisy dan bau tanah tercium di hidungnya. Letak tempat itu di lantai empat di depan kelas transfigurasi. Bentuknya persegi empat. Masing-masing sisinya dikelilingi koridor terbuka yang dibatasi tembok setinggi pinggang dan pagar tanaman. Cahaya di taman hanya berasal dari cahaya temaram tiga-empat obor yang menyala di koridor. Cahaya itu begitu temaram sampai-sampai tidak sanggup menyinari bangku-bangku taman yang terletak di bagian tengah. Di salah satu bangku taman itulah, sedang berbaring Draco Malfoy.
Si Slytherin menatap langit malam yang hitam suram tanpa bulan dan bintang—pemandangan yang kontras dengan ilusi langit malam yang menggantung di langit-langit Aula Besar pada pesta tadi. Keheningan dan kesuraman itu malah mengingatkannya pada pemakaman di malam hari. Namun rasanya dia sanggup berada di sana semalaman penuh. Udara terasa dingin membeku, dia tak peduli. Hembusan angin yang perlahan membuat udara kian menusuk tulang. Malah dia berharap udara itu juga dapat membekukan kegusaran yang sedang berputar-putar di dalam benaknya.
Draco mengutuk pelan. Dia tidak dapat pergi ke hutannya saat ini. Menghabiskan waktu hingga tengah malam di Shrieking Shack. Atau menginap semalam di sana seperti malam-malam sebelumnya jika dia sedang suntuk dengan Hogwarts. Namun para prefek keparat itu menjaga di tiap sudut mencegah kemungkinan ada murid pergi keluar kastil. Pengamanan diperketat akibat beberapa keonaran yang dilakukan teman seasramanya.
Bukan Draco Malfoy namanya jika dia tidak berusaha melewatinya. Dia bahkan sempat beradu mulut dengan seorang prefek Gryffindor. Prefek bego yang bersikukuh melarangnya pergi keluar kastil. Draco mendaratkan satu tonjokan mantap di dagu prefek itu. Bunyi dug keras yang menyenangkan—walaupun kepalan tangannya terasa berdenyut-denyut tak lama kemudian. Dia tergoda untuk menambahkan satu tonjokkan lagi jika McGonagall tidak datang dan menyelamatkan dunia. Hidung prefek itu patah. Well, sepertinya—semoga! Darahnya bergulir dan tampak menyedihkan. Kini Draco mendapat dua detensi darinya. Dan bonus satu detensi lagi dari McGonagall ketika dia berteriak 'Fuck you!'—kepada si prefek, tentu.
Benar-benar malam yang menyebalkan. Keramaian yang bikin pening. Pesta yang bodoh. Prefek yang bego. Pansy keparat. Dan percakapannya dengan jalang itu beberapa waktu lalu Kepalanya terasa berdenyut-denyut.
Selamat, Draco baby. Pansy telah mengetahui rahasia terburukmu.
"Sampai kapan kau akan menyangkal?" potong Pansy lirih. "Kau membisikkan namanya. Aku takkan bertindak bodoh bahwa aku tak mendengarnya. Malam itu kau berkhayal bahwa aku si Gryffindor jalang itu? Dan mungkin kini kau memilih cewek-cewek berambut coklat sehingga kau dapat mengkhayalkan dirinya yang sedang berbaring di sebelahmu. Benar kan, Draco? Berbaring di sebelahmu dan menciummu?"
"Pansy—"
"Kau tahu apa yang terburuk dari semua ini? Yang terburuk adalah mengapa harus dia? Dia yang paling aku benci melebihi siapapun di dunia ini!" Pansy hampir menangis. Dia tak memakai topeng sehingga dengan jelas Draco dapat melihat air matanya tergenang. Tapi dia tahu Pansy menahannya karena dia selalu mempertahankan ego. Melihatnya seperti itu seakan ada tangan yang mencengkram jantung Draco. Mengapa dia harus menangis? Ini sama sekali tidak pantas untuk setetes air mata.
Jadi katakan saja padanya, Draco baby, mengapa dia? Mengapa si Granger jalang itu?
Perut Draco terasa campur aduk. Tenggorokannya terasa tersekat. Pesta tampak terlihat berlebihan untuknya. Mendadak dia menginginkan ketenangan. "Aku hanya bisa mengatakan," kata Draco, menelan ludah dan berusaha mempertahankan kekalemannya yang tersisa. "Sama sekali tak ada hubungannya dengan dia. Kau hanya salah dengar. Aku mabuk. Kau mabuk. Kita semua minum Wiski Api malam itu."
"Aku tidak salah deng—"
"Kau hanya salah dengar, brengsek!" seru Draco tanpa sadar. "Dan kini menyingkir dari hadapanku!"
Apa Pansy akan mengadu pada ayahnya? Kepala Draco mendadak tambah pening. Merlin, apa yang akan dipikirkan ayahnya jika dia tahu? Apa yang akan dipikirkan ayahnya jika dia tahu?
"Brengsek," gerutu Draco lagi. Cewek sialan. Mengapa dia tidak peduli seperti biasanya saja…
Tapi sepertinya Pansy tidak akan mengadu. Bukan dirinya mengadu seperti itu. Jika Pansy tidak suka akan sesuatu, dia akan memulai konfrontasinya secara langsung. Dia punya ego dan bukan pengadu. Tapi apa yang akan dilakukannya? Dia pernah berkata sesuatu mengenai akan membuat Draco membayar semuanya
Sesungguhnya yang Pansy tahu hanyalah sedikit dari apa yang sebenarnya telah terjadi. Dia tidak tahu bahwa Draco sering menemui gadis itu di hutan mereka. Dia tak tahu bahwa gadis itu adalah alasan sang cowok selalu mengunjungi tempat itu lagi. Setiap hari selalu mengawasi dari mejanya di Aula Besar. Menangkap pandangan dari si Gryffindor. Kemudian menunggu saat-saat gadis itu bangkit dari kursinya. Mengambil tas. Mengucapkan sampai jumpa pada Weasel dan Pothead. Sebelum akhirnya Draco pergi menyusulnya.
Ya, Pansy tidak mengetahuinya. Tapi apapun yang dia ketahui sekarang, tetap saja telah meruntuhkan tembok yang menyembunyikan kenyataan memalukan yang seharusnya hanya Draco yang boleh tahu.
Tapi sejauh ini hanya Pansy yang tahu, pikir Draco. Teruslah berkilah. Jika dia mengatakan ke semua orang, bilanglah bahwa cewek itu hanya mengada-ada. Orang akan lebih percaya dirinya dibanding cewek yang histerikal begitu. Dan tentu Ayah tetap tak perlu tahu.
Merlin, ini semua gara-gara Granger. Dasar Gryffindor keparat idiot bego. Seandainya dia tidak pernah datang ke hutan itu, semua ini tidak akan terjadi. Draco takkan merendahkan harga dirinya dengan memandang seorang darah lumpur dari perspektif lain yang bertentangan oleh keyakinannya.
Setelah semua kekacauan yang dialami Draco, apa yang Granger pikirnya tentang dirinya? Draco tak ingin hanya dirinya yang merasa bodoh karena dipusingkan dengan perasaannya. Dipusingkan dengan semua peristiwa yang berlawanan dengan apa yang diyakininya. Karena tindakan itu seharusnya dihindari. Demi Merlin, dia seorang Malfoy. Seharusnya dia memiliki harga diri sebagai seorang berdarah murni.
Draco telah tercebur. Jadinya, mengapa dia tidak membuat seluruh tubuhnya basah saja sekalian?
Dia telah telah jujur pada dirinya sendiri. Dia mengakui ada perasaan menyenangkan yang tumbuh dalam dirinya. Namun bagaimana dengan gadis itu? Bagaimana dengan dia? Apa yang sedang dia pikirkan? Apa dia merasa kacau seperti dirinya? Apakah dia memikirkan kecupan itu? Jika ya, apa pendapatnya saat ini? Apa Granger memang menginginkannya? Mungkin karena itulah dia tidak mendorong tubuh Draco saat itu, membiarkan bibirnya terbuka, dan menarik Draco lebih dalam lagi. Ataukah dia malah muak setelah melakukannya? Begitu muak sehingga dia ingin muntah dan berharap pikiran mengenai Draco ikut keluar dari tubuhnya? Dimana dia sekarang? Apa yang dia lakukan? Apakah gadis itu memikirkan dirinya?
Kepalanya terasa berdenyut-denyut lagi. "Fuck," bisiknya, memejamkan mata erat-erat, membenamkan wajah ke kedua tangannya, menggeram putus asa. "Dasar banci…" Dia tak mengerti mengapa dirinya dipusingkan hal-hal cengeng semacam itu.
Draco merasa muak dan penat. Bayangan ketenangan Shrieking Shack menggodanya lagi. Saat hari normal di siang hari, dia pasti sudah bergegas ke hutannya untuk mencari pelarian. Mungkin bertemu Kofu untuk sekadar mendengarkan gonggongan agar menularkan keriangannya. Draco ingin saja bertukar tubuh dengan Kofu. Jika reinkarnasi memang ada, di kehidupan berikutnya dia ingin menjadi anjing. Anjing tak perlu memikirkan banyak hal yang menjengkelkan. Sepanjang hari hanya mengibaskan ekor dan berlari gembira.
Pesta… Prefek Pansy… Hogwarts… Gryffindor…
Granger…
Semuanya. Menyebalkan.
Tiba-tiba dia mendengar pintu berderit jauh di sana.
"Prefek keparat," gerutu Draco.
Sialan! Apakah mereka harus berpatroli sampai sini?
Dia bangkit dari bangku taman, mengamati waspada mencari makhluk yang bergerak. Dia harus kabur sebelum prefek itu mengetahui keberadaannya di sana. Karena jika prefek itu memergokinya, dia pasti dicurigai merencanakan sesuatu yang ilegal. Tapi Draco tak melihat seorang pun. Hanya saja dia melihat salah satu pintu ganda ruang kelas transfigurasi terbuka. Seseorang baru saja memasukinya.
Draco memakai topengnya lagi. Mungkin dia memang harus kembali ke kamarnya. Dan kembali ke rencananya semula: cepat datang, cepat pergi, cepat kembali ke kamar, kemudian cepat tidur. Tapi pasti nanti akan muncul Pansy mengganggunya…
Sial, batin Draco. Pansy Keparat.
Kemudian dia mendapat ide, mungkin dia bisa mengambil Windflashnya dan keluar kastil dengan akses udara. Akses lewat udara seharusnya tidak dijaga para prefek sialan itu. Lewat jalur memutar kastil, dia bisa menghindari prefek kemudian pergi Shrieking Shack.
Sebelum Draco beranjak untuk menjalankan rencananya, dia melihat sosok itu keluar dari dalam kelas transfigurasi. Dia baru saja hendak bersembunyi di balik bangku taman sebelum akhirnya dia mengenali sosok itu. Ternyata hanya Granger. Draco mengenalinya karena gadis itu tidak mengenakan topeng. Walaupun mengenakannya sekalipun, Granger dengan mudah dikenali karena Draco sudah melihat gaunnya ketika berdansa dengan Blaise di Aula Besar tadi. Senyum Draco mengembang.
Gadis itu tampak buru-buru. Dia menggumamkan mantra untuk mengunci pintu kelas itu, sebelum akhirnya meninggalkannya. Langkahnya cepat tampak bergegas di koridor. Sesekali dia terhuyung-huyung. Selop itu…kelihatannya dia masih belum terbiasa. Bodoh nian. Dia seperti terlibat pertarungan batin antara ingin mempertahankan kecepatan langkah atau menjaga tubuhnya untuk tetap berdiri di atas selop. Dia berjalan ke arah jalan masuk ke koridor.
Angin berhembus membuat dedaunan bergemeresik. Granger mendadak berbalik, tampak waspada. Dia buru-buru memakai topengnya. Tangannya mencengkram tongkat erat-erat seolah sewaktu-waktu muncul Hippogriff ngamuk di belakangnya.
Kenapa sih dia paranoid begitu?
Draco berjalan ke arahnya perlahan, berusaha tidak mengeluarkan suara. Gadis itu masih berdiri membelakangi Draco tanpa mengendurkan cengkraman pada tongkat sihirnya. Dia mundur selangkah. Kemudian dua langkah. Draco baru saja berniat mengagetkannya—pikiran itu tampak menyenangkan—tapi kemudian Granger berbalik dengan tiba-tiba dan tidak melihat Draco memotong jalannya. Dan, brug! Tubuh gadis itu menabraknya.
Tabrakannya tidak keras. Bahkan Draco tidak jatuh. Namun Granger tidak dapat menahan keseimbangan karena kesulitan berkompromi dengan selopnya sendiri. Gadis itu merintih, mengusap pinggangnya. Draco menahan tawa.
"Kau baik-baik saja?"
Pertanyaan yang aneh untuk dilontarkan kepada Hermione Granger. Peluang pertanyaan 'Kau baik-baik saja' dilontarkan dari mulutnya jika situasi tersebut dihadapkan pada Draco tiga bulan yang lalu, adalah satu banding sejuta. Takkan mungkin dilontarkan oleh seorang Draco Malfoy kepada si Gryffindor. Tapi topeng membolehkannya menjadi orang lain. Saat itu dia ingin menjadi orang lain.
Granger hampir tak mendengarnya karena sibuk mengusap pinggangnya yang nyeri. "Urgh, baik-baik saja. Maaf, tadinya kukira kau anak Slytherin," sahutnya malu. "Banyak yang sedang berbuat ulah malam ini."
Draco menawarkan tangan—memainkan peran sebagai kesatria berkuda putih menawan yang baik hati.
Granger meraihnya lalu berdiri, menundukkan kepala malu. "Terima kasih, err—" Draco tahu si Gryffindor menunggunya menyebutkan nama.
Untuk beberapa saat Draco tak menjawab setengah berpikir. Akankah dia memberitahukan namanya? Kemudian Granger menatapnya—dan terlihat terkejut menahan napas. Ah, dia pasti mengenaliku.
"Panggil saja aku Mr Charming," kata Draco tanpa pikir panjang—sambil memasang seringainya yang terkenal. Mr Charming? Yeah, pikirnya geli. Diapasti mengenaliku. Kemudian dia berdeham sok sopan. "Dan siapa kau, Miss…" katanya berpura-pura menanyakan nama.
Draco dapat membayangkan wajah di balik topeng itu bahwa Granger pasti sedang mengangkat alisnya bingung. Dia pasti meyakini bahwa Draco juga telah mengenali dirinya. Bagaimanapun juga dirinya telah berdansa dengan Blaise di hadapan seluruh murid Hogwarts sebagai Ketua Murid. Semua orang mengenali di balik topengnya.
"Miss Hogwartsgirl," sahutnya singkat mengangkat bahu—menjawab permainannya.
"Jika kau mau tahu, umumnya orang berjalan maju, Miss Hogwartsgirl," komentar Draco. "Mata ada di depan untuk membantu melihat jalan yang ada di depan."
Granger mendengus. "Oh yeah, benar. Bagaimana aku bisa lupa?" gumamnya, memutar bola mata. Dia menghela napas. "Kurasa aku harus kembali ke aula…Mr Charming," katanya dengan nada mengolok pada dua kata terakhir.
Draco tersenyum, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Kenapa buru-buru? Malam masih panjang," katanya. Tanpa berpikir, dia melanjutkan, "Tinggal di sinilah sejenak bersamaku."
Gadis itu terdiam sesaat, terlihat setengah terkejut setengah berpikir-pikir. Tentu saja. Jika peluang pertanyaan 'Kau baik-baik saja' dilontarkan adalah satu banding sejuta, maka penyataan 'Tinggalah sejenak bersamaku' adalah satu banding semilyar. Seorang Slytherin sedang memintanya tinggal di sana sejenak, maka layaknya si Gryffindor pasti akan berpikir ratusan kali terlebih dahulu.
Draco tak mengharapkan Granger untuk berbuat sesuatu jika gadis itu memutuskankan berkata 'baiklah'. Orang itu bahkan tak perlu mengatakan apapun. Draco hanya membutuhkan kehadirannya karena mungkin bisa mengganti jenis stres yang dideritanya saat itu. Stres menghadapi Hermione Granger jauh lebih menyenangkan ketimbang jenis stres memikirkan apa yang dikatakan Pansy Parkinson beberapa saat yang lalu—dan apa yang akan dikatakannya jika mereka bertemu lagi nanti. Namun pada dasarnya adalah seorang Malfoy tidak suka ditolak. Apalagi setengah harga dirinya telah dikorbankan setelah dia berkata, 'Tinggallah di sini bersamaku'.
Gadis itu tampak ragu. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kurasa ide buruk. Kau tahu itu ide yang buruk."
Draco mengangkat bahu. "Aku tak melihat ada sesuatu yang buruk dengan hanya duduk-duduk di taman menikmati angin malam." Mereka saling bertatapan. Pandangan itu menyatakan banyak hal. Draco: Apa yang kau tunggu? Granger: Kau tahu itu ide yang buruk. Kemudian Draco menghela napas. "Yah kau juga bisa melepas lelah. Melepaskan stres. Kau tampak sedang banyak pikiran."
"Kau yang terlihat banyak pikiran," ujar Granger, menunjukkan pakaian Draco yang sudah kacau. Kemudian untuk sesaat tak satu pun ada yang berbicara. "Kenapa kau memintaku?" tanyanya.
Draco menatapnya. Perlu beberapa saat, akhirnya dia mengangkat bahu tanpa menjawab pertanyaan itu.
Granger menundukkan kepala. "Ada banyak alasan aku tak dapat menerima tawaranmu," sahutnya pelan.
Ada banyak alasan…Dia benar…Ada ratusan alasan…
Kini Draco terdiam sesaat, membalas tatapannya. Si Gryffindor mengalihkan pandangan. Draco bersandar pada sandaran tangan antara koridor dan taman. "Oke," sahutnya kemudian—tak dapat memungkiri ada sedikit kekecewaan. Mereka terdiam sesaat. Kemudian cowok itu melanjutkan, "Terserahlah, Miss Hogwartsgirl." Sedikit canggung, dia mulai beranjak. Lalu dia menoleh dan berdeham, "Oh, untuk pertanyaanmu sebelumnya…kurasa kau benar. Aku memang sedang banyak pikiran." Dia berbalik, kembali memasuki kegelapan taman.
Suara jangkrik kembali terdengar. Bunyinya seperti ingin menghibur Draco di tengah kegelapan malam. Dia enggan berbalik karena dengan begitu dia akan melihat sosok Granger menghilang ke balik lukisan untuk kembali ke Aula Depan. Kemudian baru beberapa langkah Draco berjalan…mungkin lima langkah—enam atau tujuh…
"Er—tunggu…"
Suara di belakangnya memanggil. Langkah Draco terhenti. Dia berbalik menatap si Ketua Murid. Masih terlihat ada keraguan. "Kurasa…" kata Granger, mengangkat bahu canggung. "Se-sejenak di sini tidak akan…er…" Gadis itu sedang merangkai kata mencari alasan yang tepat. Semua tampak tidak masuk akal dan sepertinya dia merasa harus mencari sesuatu yang logis untuk bersama Draco saat itu.
Namun Draco tak memerlukan sesuatu yang logis. Tidak memerlukan kata-kata, karena semua yang terjadi memang terasa tak masuk akal. Mereka bertatapan sejenak. Dan tak perlu kata-kata bagi gadis itu untuk mengetahui bahwa Draco menunggunya untuk mengikutinya ke taman. Dan dia menyusul si Slytherin dalam kebisuan.
Draco dapat mendengar Granger berjalan di belakangnya. Gaunnya menyapu rerumputan. Untuk sesaat mereka tenggelam dalam keheningan. Draco duduk lagi di atas bangku taman yang dingin.
"Kau…sendirian?" tanya Granger.
"Kelihatannya bagaimana?"
Gadis itu tak menjawab.
"Ngomong-ngomong apa yang kau lakukan disini? Kau tampak er—berantakan," tanyanya kembali, menunjuk Draco dari atas ke bawah.
"Sedikit melepas keringat," jawabnya. Draco mengambil tongkat sihir dan menggumamkan mantra untuk membersihkan diri dari keringat. "Dan menikmati langit malam."
Granger mendengus. "Memang indah sekali ya," oloknya seraya memandang langit malam yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan indah sama sekali. Langit yang berwarna hitam suram, mendung, dan tak ada bintang. "Er—Kau tidak datang ke pesta?" katanya lagi.
"Tidak. Pestanya menyebalkan."
"Tapi di sini aku tak mengerti. Kau bilang, kau menikmati langit malam" katanya sambit menunjuk langit suram di atas. "er—tapi intinya bagian mana yang kau nikmati?"
"Kau cerewet sekali."
Tapi Draco menikmati kecerewetannya. Dia tak keberatan mendengar gadis itu cerewet semalaman penuh.
"Apa aku mengenalmu, Mr Charming? Aku merasa pernah mengenal anak Slytherin menyebalkan, yang suka mengejek orang, dan terkadang bawel sekali—seseorang yang sepertimu."
"Oh, sepertinya aku juga mengenal gambaran itu," sahut Draco. "Tapi yang aku kenal, orangnya juga sangat berkelas, hebat, dan menakjubkan. Tidak. Aku bukan dia—dia terlalu hebat." Dia membayangkan di balik topengnya gadis itu sedang memutar bola mata. Tapi Draco juga melihat senyum di sudut bibirnya.
Kemudian keheningan datang lagi. Terlalu janggal. Penuh kecanggungan. Draco menyimpulkan ternyata keheningan memang tidak cocok dengan mereka. Bahkan ketika masing-masing sedang bukan menjadi diri mereka sendiri. Bukan berperan sebagai Hermione Granger dari Gryffindor dan Draco Malfoy dari Slytherin. Segalanya selalu dipenuhi dengan ejekan dan kata-kata ofensif. Granger tidak memulainya. Mungkin malam ini dia juga sedangbad mood.
"Er—aku tak tahu apa yang kulakukan disini," kata Granger menyerah di antara keheningan dan kecanggungan. "Benar-benar ide buruk. Kurasa aku harus pergi."
"Kembali ke Aula Besar?"
Dia tak menjawab.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan disana? Berdansa? Memangnya kau bisa berdansa?"
Granger sepertinya mendengar nada sinis Draco. "Ten—tentu aku bisa dansa," sahutnya setengah jengkel.
"Yang benar?"
Gadis itu menatapnya galak. "Terserahlah apa yang kau pikirkan." Dia tampak tidak nyaman. "Dengar, aku sudah menerima tawaranmu. Kurasa kini aku benar-benar harus kembali," katanya.
Draco tak segera menyahut. Mendengar cowok itu tanpa merespon kemudian, Granger memutuskan untuk pergi. Dia baru saja berbalik untuk berjalan memasuki koridor lagi, namun kemudian si Slytherin kembali berkata di belakangnya, "Jika kau pikir kau bisa berdansa, mengapa kau tidak membuktikannya sekarang bersamaku?"
Langkah si Gryffindor terhenti.
Dia berbalik. "Apa?"
Brengsek. Jangan membuat aku mengatakannya dua kali.
Draco bangkit dari bangku taman sambil menghela napas. "Kau mendengarku, Missy."
Gadis itu menggigit bibirnya lagi.
"Atau kau tidak berani?"
Ada satu hal yang menjadi kelemahan utama para Gryffindor. Mereka diidentikkan dengan keberanian. Terlalu sering diidentikan dengan keberanian, seolah itu sudah menjadi keharusan. Nilai mati untuk menjadi seorang Gryffindor. Jika tidak berani, bukan Gryffindor namanya. Jadi jika ingin memanas-manasi, ungkit saja tentang keberanian mereka. Semua pasti beres.
"Aku tidak akan membiarkanmu mengakaliku."
Dia benar-benar terlihat ragu-ragu. Barangkali sesungguhnya dia ingin tinggal. Maka dari itu dia belum beranjak dari tadi. Dia hanya omong besar bahwa dia harus pergi.
"Untuk apa aku mengakalimu? Aku hanya ingin tahu apakah kau hanya sekadar berbicara saja atau tidak," katanya mengangkat bahu. "Ayolah. Aku belum berdansa satu lagu pun sejak pesta dimulai." Secara teknis, Draco memang belum dansa satu lagu pun—hanya setengah lagu dan itu pun harus berakhir dengan pertengkaran akbar dengan Pansy.
"Apa yang sedang kau rencanakan?"
"Apa?" Draco bingung.
"Apapun yang kau sedang rencanakan, kau takkan berhasil."
"Aku tak mengerti. Apa yang kau bicarakan?"
"Kau sedang berencana berbuat onar seperti yang dilakukan teman-temanmu—er, maksudku anak-anak Slytherin? Atau berencana melakukan sesuatu yang buruk terhadapku?"
"Aku tidak sedang merencanakan apapun, bodoh," geram Draco tak sabar. Namun dia memang tahu bahwa sejumlah murid Slytherin hendak bersenang-senang malam ini. Membuat sedikit kejutan yang orang lain sebut dengan 'keonaran'. "Mungkin sebenarnya kau memang tidak berani," tantangnya sekali lagi.
Gadis itu tak langsung menjawab, memandang Draco beberapa saat. Ada satu hal yang sulit Draco ungkapkan ketika melihat ekspresi si Gryffindor saat itu. Well, secara teknis memang bukan ekspresi—karena dia tak dapat menatap wajah Granger. Namun dari keabsenan suaranya, caranya menggigit bibir, dan dari suatu hal yang tak dapat dijelaskan… dia terlihat sedih—oh bukan, lebih menyiratkan kekuatiran…entahlah…
"Ya," jawabnya, mengangguk perlahan. "Aku memang takut. Sangat."
Kejujuran itu sungguh di luar dugaan Draco. Hermione Granger mengakui bahwa dia takut?
Gadis itu belum melepaskan pandangannya.
"Oh," sahut Draco. Dia takut, pikirnya bego. Hah? Dia mencari respon mantap untuk mengoloknya. Namun hati kecilnya mengatakan itu bukan saat yang tepat untuk mengolok-olok. "Oke—well…" Sesungguhnya dia tak tahu harus menjawab apa.
"Aku takut orang menyakitiku ketika aku berpikir—aku berharap mereka adalah orang yang baik," katanya. "Dan teman-temanku berkata jangan mendekati orang yang akan menyakitiku." Dia terlihat serius berpikir. "Dan apakah kau orang baik?" katanya lagi.
Awalnya Draco mengerutkan kening, mencari tanda-tanda bahwa gadis itu sedang bercanda. Apa aku orang baik? pikirnya. Pertanyaan yang aneh.Kenapa dia sih? Apa dia sedang menuduhnya pembuat onar seperti anak-anak Slytherin yang bikin ribut malam ini? Dan Draco tahu benar siapa yang dimaksud dengan 'teman-temanku' dalam pernyataannya. Si Pitak dan si Badut Istana. Yang dia tak mengerti, mengapa Granger membawa-bawa mereka pembicaraan itu? Dan apa yang dia takutkan?
Draco berdeham, mengangkat bahu. "Apa kau berharap aku orang yang baik?"
Si Gryffindor terdiam.
"Aku bisa menjadi orang yang sangat baik malam ini."
Untuk sejenak waktu serasa berhenti. Kemudian Draco menjadi tidak sabar lagi. Dia tak pernah suka dibuat menunggu. Dibuat menunggu berarti orang tersebut tidak menghormatimu. Banyak yang dapat dilakukan dengan waktu.
Ini adalah saat-saat yang paling aneh bagi Draco dalam seumur hidupnya ketika dia berdiri menawarkan tangannya dengan canggung. Dia tak tahan menunggu lagi. Gadis itu terkejut melihat tangan terulur itu. Menatap tangan Draco yang terjulur dengan ragu-ragu. Menggigit bibirnya. Tiga detik terasa bagaikan satu jam. Namun tiga detik itu berharga karena akhirnya dia maju melangkah dan menyambut tangan Draco.
"Tanganmu…dingin sekali," kata Granger kemudian.
Dia menaruh salah satu tangan Gryffindor itu di bahunya, sementara satunya lagi digenggamnya. Untuk beberapa saat masih ada kecanggungan di antara mereka. Canggung untuk bergerak. Canggung untuk lebih mendekatkan diri. Canggung untuk berkata sesuatu. Dan rasanya memang begitu aneh. Namun terasa menyenangkan di saat bersamaan.
"Seperti orang bodoh," kata gadis itu lagi. "Tak ada musik."
"Gunakan imajinasimu, bodoh." Oh, shit, batin mengutuk dirinya saat umpatan itu keluar dari mulutnya. Mereka sedang bermain 'pura-pura menjadi'.
Sepertinya Granger tidak sadar selip lidah itu. "Imajinasiku terbatas," sahutnya setengah putus asa. Dia terlihat sedang berkutat dengan pikirannya sendiri.
"Relakslah," geram Draco tak sabar sebelum Ketua Murid itu berkata sesuatu mengenai aku-harus-pergi atau ini-ide-buruk. "Aku tak mengerti apa yang membuatmu terlalu banyak berpikir."
"Kurasa ada banyak alasan."
Draco menghela napas keras. "Berhentilah berbicara. Berhentilah berpikir. Dan ayo kita lihat seberapa hebat kau berdansa," sahutnya. Granger tak sempat membalas. Bibirnya memasang seringai dan dia membayangkan apa yang akan dialami gadis itu di tangan seorang pro. Kemudian waktu terasa mulai berdetik riang.
Dia membimbingnya ke dalam langkah dansa waltz yang bersemangat. Gadis itu terkesiap, tidak menduga gerakan yang mendadak. Gerakannya terasa canggung. Langkahnya tidak karuan. Draco memimpinnya dengan langkah sulit. Keahlian yang telah diajarkan sang ibu padanya. Hingga usia sepuluh tahun, wanita itu adalah pasangan permanennya. Dia mengajarkan langkah-langkah, dekapan, dan ayunan yang diinginkan setiap pasangan dansa. Jelas Narcissa merupakan pasangan dansa yang paling hebat.
Draco senang jika ibunya memuji di sela langkah-langkah mereka. Atau jika wanita itu menolak ajakan dansa sopan dari kerabat-kerabat Malfoy lain di pesta. "Aku telah memiliki laki-laki hebat yang akan mengajakku berdansa," katanya seraya tersenyum pada Draco kecil. Wanita itu tiada duanya. Pasangan dansa paling piawai yang pernah Draco miliki—dan tentu jauh berbeda sekali dengan perempuan yang kini tengah jadi pasangan dansanya.
Draco membuat Granger terluntang-lantung mengikuti langkahnya. Menariknya lebih dekat. Membuatnya berputar. Melangkah. Menarik. Melepaskan. Beberapa kali gadis itu terkesiap lagi karena belum mengantisipasi langkah si Slytherin selanjutnya. Dan beberapa kali membuatnya menahan napas. Terkesiap lagi. Terkejut. Dan sekali-dua kali menginjak kaki Draco.
Dalam waktu yang normal, dia pasti akan mencemooh kecerobohannya. Tapi dia lagi tidak mood untuk komplain. Suasana hatinya sedang enak. Dia tahu apa yang dilakukannya kini berlawanan dengan prinsip yang sejak dulu secara teguh dia pertahankan. Berkali-kali logika di otak Draco berteriak,APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN, IDIOT? Bahkan Granger masih dapat berpikir jernih dan sempat berkata, "Ini ide buruk." Namun Draco hanya tertawa canggung. Gadis itu dapat mengatakannya terus-terusan semalaman penuh, namun toh Draco yakin dia takkan pergi. Mereka berdua telah tercebur malam ini. Lalu mengapa tidak hanyut saja sekalian? Toh besok akan kering lagi. Akan kembali normal lagi. Jadi, biarkan saja mereka basah malam ini.
Ya, hanya malam ini, batinnya lagi. Hanya untuk malam ini.
Dansa mereka cukup menyenangkan. Sesungguhnya Draco tak begitu suka berdansa. Dia hanya suka perasaan bahwa dia adalah orang yang memimpin. Mengontrol segala sesuatu. Mengontrol kapan harus berputar, mengontrol arah kaki, mengontrol pasangannya. Dia menikmati dominasi itu. Dan kenyataan bahwa pasangan dansanya saat itu adalah Hermione Granger, dia makin menikmatinya. Rasanya menyenangkan mengetahui dominasinya terhadap gadis yang suka sok hebat itu.
"Kau payah," bisik Draco, ketika gerakan dansa mereka mulai tidak secepat sebelumnya. Waktu mulai berlaluKini tak ada putaran atau langkah-langkah rumit. Tubuh bergerak perlahan, namun tak satu pun beranjak melangkah.
Dia merasakan kegugupan gadis itu. "Diamlah," sahutnya, bersemu merah. Mungkin gerakan yang melambat itu mulai meresahkannya. Waktu kini terasa berjalan perlahan seperti dininabobokan. Keraguan tampak di wajah sang Gryffindor lagi. Dia terlihat canggung. "Er—sudah malam"
"Please " sela Draco dengan nada berbisik, keluar begitu saja tanpa disadarinya sendiri. Seolah benaknya sedang melayang dan tenggelam dalam mimpi. "Hanya malam ini"
Waktu perlahan berlalu. Dan tak satupun di antara mereka menyadarinya. Entah sudah berapa lama mereka di sana. Sepuluh menit? Setengah jam? Hitungan waktu terasa tidak penting. Sudah cukup lama setelah perlahan gerakan mereka melambat. Sudah cukup lama ketika Draco menaruh kedua tangan gadis itu di bahunya. Dan sudah cukup lama ketika dia melingkarkan kedua tangannya sendiri di pinggang Granger yang ramping. Tenggelam dalam keheningan. Tenggelam dalam suasana. Menundukkan wajah. Kening nyaris bersentuhan. Tangan bergerak perlahan. Sebuah gerakan berdasarkan insting mencari kehangatan. Mencari kenyamanan.
Draco menemukan ketenangan dan kenyamanan yang dicarinya.
Suara jangkrik menjadi musik malam yang mengalun lembut. Malam tanpa bintang memayungi. Dinginnya malam musim semi hampir tak terasa. Pikiran yang tadi membuat kepala Draco pening, menguap tersapu seperti debu bersama hembusan angin musim semi.
Sejak dulu dia tak mengerti bagaimana Granger bisa membuat hal semacam itu. Hal-hal sederhana bersamanya tampak menyenangkan. Tak ada yang perlu dipikirkan.
Ada begitu banyak hal baru yang tidak Draco mengerti mengenai dirinya. Draco tahu Granger adalah sosok yang keras kepala. Sosok yang berkemauan kuat. Namun yang tidak dia mengerti adalah…apa yang gadis itu lakukan padanya? Bagaimana dia bisa bisa meringankan beban Draco melalui apapun yang gadis itu lakukan terhadapnya? Bagaimana dia bisa membuat beban pikiran yang berkecamuk di benaknya menguap seperti air di lautan?
Dan kini dia tidak mengerti dirinya sendiri. Dia tak mengerti ketika beberapa saat yang lalu mulutnya berkata padanya, "Tinggallah bersamaku malam ini." Dia tak mengerti mengapa tangannya terjulur menanti jemari Granger yang menyambut tangannya.
Dan kini…
Dia tak mengerti mengapa tangannya perlahan menarik gadis itu lebih dekat. Memejamkan mata, merasakan jemari Granger bergerak di dada Draco. Dia tak mengerti mengapa dia menundukkan kepala. Merasakan aroma kayu manis di bagian belakang telinganya. Mendengar hembusan napas hangat gadis itu yang mengalun di telinganya. Kemudian bergerak ke lekuk lehernya yang terbuka. Aroma yang menyenangkan. Aroma yang menenangkan. Bibir Draco menyapu lembut garis rahang si Putri Gryffindor.
Kemudian di saat-saat yang paling dia inginkan. Bergerak perlahan berusaha menemukan apa yang dia cari. Akhirnya Draco menemukan sudut bibir itu. Dia mencium bibir Hermione Granger. Rasanya seperti ceri. Tak ada yang diinginkannya di dunia saat ini selain merasakan bibir itu sekali lagi. Jantungnya berdegup kencang. Dia menahan napas. Dan dia merasakan bibir itu membuka beberapa saat…menerima…
Sebelum akhirnya berkata—
"Tidak… Draco…"
Draco.
Si Slytherin menatapnya. Namanya keluar dari bibir gadis itu.
"Mal-Malfoy," dia mengoreksi. Tapi tak berguna, tentu saja. Draco mendengarnya jelas. Dia menyukai bagaimana nama Draco terucap dari bibirnya. Namun dia benci pada bagian ketika gadis itu berkata 'tidak'.
Mereka terdiam sesaat. Granger menggigit bibirnya, menundukkan kepala. Tangan Draco bergerak ke wajah gadis itu, membawanya menghadap dirinya lagi, sebelum menundukkan kepala untuk menciumnya.
"Malfoy, please…jangan."
Si Slytherin mulai merasakan penolakan. Tangan gadis itu mendorong dadanya perlahan dan mundur dua langkah. Draco membuka mata, menatap Granger dari balik topeng. Untuk sesaat mereka hanya saling memandang. Napas berat. Draco Malfoy tidak pernah ditolak. Dan dia tidak suka ditolak. Dia benci ditolak. Draco maju dua selangkah menghampiri untuk menciumnya lagi.
"Jangan!" sahut Granger lebih tegas, mundur selangkah. Mereka terdiam. "Maaf…aku tak bisa…"
Draco menyadari peran Mr Charming tak berlaku lagi. Dia melepas topeng bodoh itu. Namun Granger mengalihkan pandangan sebelum Draco menjatuhkan benda itu ke atas tanah.
Namun kemudian gadis itu berbalik dan hendak meninggalkan taman. Mungkin ego seorang Malfoy yang akhirnya bergerak untuk menghentikan upaya Granger untuk melarikan diri dari semua yang telah terjadi. Dia berlari ke depan Granger dan memotong jalannya. Karena beribu penyataan yang hendak dia klarifikasi. Beribu keruwetan yang harus diluruskan. Dia telah merasakan hasrat gadis itu terhadapnya beberapa saat lalu. Draco bersumpah dia merasakannya walau hanya dalam beberapa waktu yang singkat.
"Aku harus pergi."
Dia bergerak mencari jalan ke balik tubuh si Slytherin, namun cowok itu terus memotong jalannya kemanapun dia melangkah. "Menyingkir, Malfoy," katanya tanpa menatap mata kelabu itu.
"Jangan melawan lagi, Granger. Jangan melawan—Kita telah melihatnya dengan mata terbuka," katanya hati-hati.
Masih berusaha pergi seolah tak mendengar Draco. "Ini kesalahan."
"Tatap aku, sialan!" geram Draco, tak mengerti mengapa gadis itu ingin melarikan diri lagi. Melarikan diri setelah semuanya sudah jelas. Tak ada yang mabuk. Semua terjadi dengan isi kepala yang jernih. Draco menciumnya. Dan gadis itu telah bersiap bergerak menyambutnya sebelum kekeraskepalaannya memblokir keinginan itu. "Tatap aku dan kita akan lihat apakah kau berani menatap seseorang yang kau balas ciumannya dan menyebut namanya beberapa saat lalu."
Gadis itu menghiraukan tantangan itu dan masih berusaha pergi. "Minggir!" tukasnya kasar.
Draco menarik tangan si Gryffindor kembali ke tempat mereka berdansa tadi.
"Lepaskan tanganku. Kau menyakitiku, brengsek."
Sebelum gadis itu menyadarinya, tangan Draco bergerak ke wajah si Gryffindor lalu membuka topengnya dengan kasar. Matanya terbelalak. Napas Draco memburu. Jantungnya berdegup kencang.
"Kita sudah sampai sini. Mengapa kita tidak menghadapinya secara gamblang?" tantang si Slytherin. "Jangan melarikan diri seperti tikus setelah kita berdua melihat semuanya terjadi."
"Tak ada yang perlu dihadapi. Kita tak perlu membicarakan apapun. Segalanya anggap saja tak pernah terjadi."
Granger tak menjawab. Dia masih berusaha meninggalkan tempat itu. Si Slytherin tak suka dihiraukan. Dia mencengkram tangan si Gryffindor, menahannya agar tetap di sana. Cengkraman itu sangat keras dan Draco tahu pergelangan tangan ramping itu mungkin bisa memar. Draco tak peduli.
"Segalanya tak pernah terjadi?" Draco tertawa. "Tidak, Granger," geramnya. "Kita. Akan. Bicara."
Granger menepis tangan Draco hingga cengkraman tangan itu terlepas. "Berhentilah bersikap arogan," tukasnya tajam. "Aku tak ingin terbawa lebih dalam lagi. Tolonglah mengerti, Malfoy. Aku tak bisa melanjutkan ini semua. Aku terlalu takut."
Rasanya ingin sekali Draco mengguncang-guncang tubuh gadis itu. Rasanya dia ingin tertawa. Menggelikan jika mereka nanti berlagak bahwa tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Gryffindor itu terlalu berusaha walaupun dia pasti sudah menyadari bahwa semua ini terlalu nyata untuk diacuhkan lagi. Cepat atau lambat mereka harus menghadapinya.
Kini sudah saatnya. Draco menarik napas.
"Kau tak dapat begitu saja mengatakan tidak bisa. Aku tak ingin menjadi satu-satunya orang yang terlihat bodoh di antara semua kekacauan ini," katanya panas. Namun si Gryffindor tampak tak ingin menyerah untuk segera meninggalkan tempat itu lagi. Draco mencengkram pundaknya memaksanya diam di tempat. Granger siap memprotes, namun Draco menyelanya sebelum dapat berkata apapun. "Diam di sini kau, keparat," tukasnya kasar.
Granger menepiskan cengkraman Draco. Wajahnya berubah ketus. Rasanya hebat sekali segalanya dapat berubah sedemikian cepat. Dari sentuhan ringan dan dekapan, hingga nada sinis dan penuh amarah. Dia tampak tidak berusaha pergi lagi. "Kau menyakitiku, brengsek," katanya.
Draco tak peduli. "Kita akan langsung ke titik masalah," katanya. "Kita akan membicarakannya layaknya dua orang dewasa. Apa yang kau rasakan terhadapku?"
Pertanyaan bodoh! batinnya, mengutuk diri sendiri. Apa yang kau rasakan terhadapku? Draco baby, kau terdengar seperti tokoh dalam roman murahan.
"Apa?" kata Granger. Memaksakan tawa.
Sungguh. Draco benci dia tertawa.
"Kuakui apa yang telah terjadi memang kacau. Sangat bukan kita. Tapi tak ada yang dapat dilakukan. Please, hiraukan saja."
"Apa? Hiraukan?" Draco menghela napas jengkel. "Dengar, Granger. Aku takkan membiarkan kau mengatakan menghiraukan begitu saja!" serunya. "Kau tak bisa begitu setelah setelah apa yang kulakukan terhadapmu. Aku menciummu. Brengsek! Aku benci diriku karena melakukannya. Dan kau membalas menciumku, Granger!"
Granger tampak marah. "Aku tak mengerti apa yang kau risaukan. Kau telah menghabiskan separuh hidupmu mencium gadis-gadis jalang dan yang menghangati ranjangmu sepanjang tahun. Aku tak mengerti mengapa kini kau mempersoalkannya?"
"Kau tahu pasti kenapa aku mempersoalkannya!" teriak Draco. "Karena yang kucium adalah seorang darah lumpur, Granger! Itu bedanya! Kau dengar itu, darah lumpur?" Dia menghiraukan perubahan air muka ketika mendengar 'darah lumpur' lagi. "Dan aku mencium dirinya— Tidak hanya sekali— tidak hanya dua kali— TAPI TIGA!"
Si Gryffindor terkesiap.
Ya, aku sudah tahu, brengsek. Kau pikir aku idiot?
"Seluruh leluhurku akan menertawakanku dalam liang kubur mereka!" kata Draco. "Malam itu. Malam yang sungguh bodoh itu! Malam setelah aku memenangkan pertandingan Quidditch. Kau ingat kan? Tentu saja kau pasti ingat. Kau tidak mabuk. Akulah yang sedang mabuk, Granger!" kata Draco. Gadis itu tampak ingin menutup telinganya, enggan mendengar. Namun Draco menahan kedua tangannya untuk tetap di kedua sisi tubuhnya. "Kita ada di sana. Aku mendengarmu mendesah. Kau melingkarkan tanganmu di belakang leherku. Kau membalas ciumanku, keparat! Kau ingat kan? Kau ingat ketika kau membalas menciumku seperti gadis jalang lainnya!"
Tangan gadis itu terayun. Namun secara refleks, Draco menangkap sebelum mendarat di wajahnya.
"Jangan berani-berani lagi mencoba menamparku, darah lumpur," geramnya. Kata-kata 'darah lumpur' membuat gadis itu semakin marah. Draco memang berniat demikian. Dia ingin membuat Granger ikut terluka bersama dirinya. Dan si Slytherin berhasil. Matanya berkilat karena marah. Dia menepis tangan si Gryffindor dengan kasar. "Dengarkan nasihatku. Akui saja, Granger. Kau menyukainya. Skandal kecil kita. Kau menyukai dan menciumku seperti-gadis-jalang-lainnya," ulangnya dingin.
Gadis itu terlihat terluka. Dan marah. Bahkah untuk Draco pun, kata-kata itu terdengar kasar. Kata-kata yang bodoh dan takkan menyelesaikan masalah karena nyatanya Granger pasti akan bertambah marah. Mungkin karena itu raut wajahnya berubah. Jantung Draco mencelos.
Demi Merlin…jangan tatap aku seperti itu.
"Aku benci padamu," desis gadis itu. Suaranya terdengar bergetar.
Aku benci padamu. Betapa rasionalnya.
Draco tertawa. "Bukan hal baru," katanya. "Aku benci dan muak padamu. Tapi kau tahu apa yang paling menggelikan? Aku benci karena dengan mudahnya kau mengacaukan pikiranku. Dan aku benci padamu karena itu. Rambutmu, kulitmu, matamu—aku benci semuanya. Dan setelah segala hal yang telah terjadi di antara kita, kau mengacaukan pikiranku dan membuatku menginginkanmu—"
"Hentikan…" Dia menggelengkan kepalanya. "Aku takkan mendengarkan ini—"
"Hanya menginginkanmu!" seru Draco tak peduli. Dia telah mengatakannya. Dan dia tak peduli lagi. Granger bahkan menggelengkan kepala, menolak menatapnya. Tapi Draco akan membuat gadis itu mendengarnya. "Ha haApa yang akan dikatakan dunia jika mereka tahu aku menginginkan seorang darah lumpur? Pansy sudah menertawakanku. Dia tahu aku menggumamkan namamu ketika tidur dengannya. Lihat, Granger? Aku kacau! Aku serius ketika mengatakan aku tak ingin menjadi satu-satunya orang yang terlihat bodoh dengan segala kekacauan ini! Jadi, katakan apa yang kau rasakan. Katakan kau menginginkanku. Aku takkan membiarkanmu pergi begitu saja, melihat kegilaan ini dan menertawakanku di luar sana. Akui apa yang kau rasakan sehingga aku bisa tahu bahwa bukan aku saja yang merasa dunia ini begitu kacau!"
"Hentikan!" teriak gadis itu putus asa.
Untuk sesaat keduanya terdiam dalam kemarahan. Waktu terasa begitu lama ketika tak satu pun di antara mereka mengatakan apapun. Draco Kemudian wajah Granger perlahan
"Aku benci padamu," katanya, menggelengkan kepala.
Draco tertawa.
"Diam, diam, DIAM!" Dia mundur selangkah. "Please, jangan membawaku lebih dalam lagi."
"Merlin, kau keras kepala sekali!" kata Draco gusar.
"Persetan denganmu!" serunya. "Kita pun tak tahu semua kegilaan ini akan mengarah kemana, Malfoy! Jika aku mengatakan aku membencimu, kita dapat kembali dalam dunia kita yang normal. Jika aku mengatakan aku menyukaimu—ini semua tetap akan sia-sia!" lanjutnya panas. "Aku selalu ketakutan bahwa Ron dan Harry benar. Bahwa kau akan tetap memandangku sebagai seorang darah lumpur keparat. Dan ternyata mereka memang benar. Barusan kau mengatakannya dengan sepenuh hati. Kemudian aku menyadari bahwa kau akan selalu memandangku seperti itu, Malfoy. Sangat menyakiti hatiku. Dan bersama teman-teman kaparatmu—kalian akan memulainya. Kalian akan meninggalkan semua ini. Kalian akan menegakkan supremasi kalian. Kalian akan pergi. Kau akan pergi. Membunuh orang-orang sepertiku. Mungkin membunuhku!
"Tidakkah kau sadar? Aku harus melawannya. Aku ingin melawannya. Persetan denganmu. Aku takkan akan mengakui perasaanku karena aku tahu ini takkan mengarah kemanapun. Aku tahu seumur hidupmu kau takkan pernah menghargai seseorang yang dilahirkan dari Muggle. Bahkan aku meragukan kau mengenal kata menghargai. Menghormati. Peduli, mengasihi, mencintai…" katanya putus asa. Kemudian dia menambahkan dengan suara lebih pelan dan getir, "Aku takkan datang ke hutan lagi. Kini kau boleh tenang. Aku akan berhenti menemuimu. Aku tidak menginginkanmu. Dan aku mengatakannya sebelum segalanya terlambat. Aku terlalu takut."
Brengsek, tak seorang pun boleh mendepak Draco Malfoy. Tak seorang cewek pun pernah mengatakan 'tidak' pada Draco Malfoy.
Mereka saling menatap penuh amarah dalam diam. Suara jangkrik terdengar pelan. Angin berhembus. Kemudian Draco mendengus mengejek—karena jika dia tak berbuat apapun, maka dia merasa kalah. Merasa terdepak.
"Aku tahu jauh dalam lubuk hatimu kau masih ingin bertemu denganku. Melanjutkan skandal kotor kecil kita."
"Kau terlalu menyanjung dirimu sendiri."
"Dan kau terlalu hipokrit," balas Draco.
Granger mendengus, menggelengkan kepala, mengalihkan pandangan. "Situasi ini tidak akan mengarah kemanapun," katanya. "Sia-sia." Terdiam sesaat. Kemudian menatap Draco, "Aku ingin jadi hipokrit. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin menjadi pengecut," lanjutnya. "Hanya kali ini biarkan aku menjadi pengecut."
Kemudian seperti waktu-waktu yang dulu. Seperti kini. Sosok itu pun berbalik. Melarikan diri. Lagi. Rasa marah yang Draco rasakan, tidak dapat menghalangi sosok itu menghilang di balik lukisan. Meninggalkan sang Slytherin dalam suasana awal musim semi yang dingin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar