RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi, Chapter 5

Silahkan baca

BAB 5
"Oh, great," gumamnya sedih.
Hermione menatap bayangan dirinya di cermin kecil yang dia keluarkan dari tas. Bayangan hitam melintang terlihat di bawah matanya. Dia mengusapkan jemarinya berharap bayang hitam itu menghilang. Namun sia-sia. Setelah menghela napas dengan berat putus asa, dia menaruhnya lagi ke dalam tas.
Hermione menyusuri koridor yang penuh dengan para murid. Membalas satu-dua sapaan teman dan melambai sekadarnya. Dia menutup mulutnya ketika menguap lebar. Dia masih mengantuk pagi hari itu.
Kemarin hari yang gila.
Malam itu setelah mengerjakan PR—setelah patroli bulanannya dengan Zabini, Hermione hampir saja tertidur di atas ranjangnya. Kemudian, tanpa peringatan apapun, alarm penanda bahaya milik Parvati meraung keras. Sontak teman-teman sekamarnya bangun semua. Alarm itu jatuh dan rusak setelah Lavender melemparnya dengan bantal. Bukannya berhenti meraung, benda itu malah tidak dapat dimatikan. Entah ada tuas on-off atau bagian lain yang rusak.
Anak-anak Gryffindor terganggu dan menatap penuh rasa ingin tahu ke kamar Hermione. Kacau sekali, semua yang ada di kamar itu berbicara dengan suara yang keras untuk menandingi suara alarm yang terus meraung—padahal jelas tak berguna karena mereka semua menutup telinganya. Hermione menyihir lemari pakaian mereka menjadi kedap suara. Dengan setengah stres dan setengah kalang kabut, Harry memasukkannya ke dalam lemari itu.
Jadi, pagi itu beberapa kali dia mendengar alarm itu berbunyi keras tiap kali teman sekamarnya membuka lemari untuk mengambil pakaian.
Dengan langkah gontai, Hermione melangkah memasuki Aula Besar. Seorang anak kelas dua Hufflepuff menyenggolnya karena berlarian kejar-kejaran temannya. Hermione hanya sempat berkata tanpa semangat, "Jangan lari—" Dia tak meneruskan kata-katanya lagi karena kedua anak itu sudah menghilang di balik pintu. Dan dia terlalu malas untuk mengejarnya.
Dia menjumpai ke lima anak cowok yang sekamar itu di bangku Gryffindor. Ada bayangan hitam di sekeliling mata mereka. Harry bergeser untuk memberi tempat Hermione untuk duduk.
"Pagi," sapa Hermione datar.
"Yo." Dean yang bersuara. Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Hari yang hebat, ya?" kata Ron berbasa-basi. Dia mengambil sepotong roti tanpa selai. Perutnya tak menuntut apa-apa pagi itu. Dia tak bernafsu untuk makan.
Hermione memutar bola matanya. "Sangat."
"Bagaimana kabarnya?" tanya Dean.
Hermione tahu dia menanyakan tentang alarm itu. "Terus berbunyi sepanjang waktu. Suaranya masih terdengar samar-samar," katanya tanpa semangat. "Tak ada yang bisa tidur sampai jam tiga malam."
Seamus mengerutkan keningnya. "Memangnya gara-gara apa sih?"
"Entahlah. Mungkin karena ada kelelawar yang tanpa sengaja menabrak jendela. Sensitif sekali alarm itu," jawab Hermione. "Aku sudah memintanya membuangnya. Lebih baik tidur dengan resiko Pelahap Maut menerobos dibandingkan jika tiap malam aku tidak bisa tidur seperti itu."
Aula besar menjadi bertambah ramai karena anak-anak mulai turun untuk sarapan. Hermione merasakan suatu pandangan terhadap dirinya dari meja yang lain. Dia mencari ke sekelilingnya. Lalu dia menemukan sepasang mata biru-kelabu tengah memandanginya. Dia tak bisa membaca ekspresinya. Dia tampak—entahlah…mungkin marah. Pertemuan mereka di—yang katanya—hutannya selalu membuat mereka berkonfrontasi.
Hermione mengalihkan pandangannya ketika merasakan darahnya mulai memanas. Dia tak heran melihat kebencian itu terpancar di wajah Malfoy. Dia tahu dia telah membuat Malfoy marah karena telah memaksanya berbagi tempat dengan Hermione di hutan itu. Tapi dia takkan menyerah begitu saja pada Malfoy. Dia takkan begitu saja mengangkat kaki dari tempat itu. Malfoy harus menerimanya. Ini tahun terakhirnya di Hogwart. Dia harus melihat peri-peri itu.
Terdengar kekanakan sekali, Hermione mengakui.
Sisa kejayaan itu. Sisa keanggunan itu. Sisa peradaban itu. Peri hutan. Kekanakan atau tidak, Hermione harus melihatnya.
"…Seorang murid dari Huflepuff sudah mengundurkan diri," Dean sedang berbicara.
"Ada lagi?"
"Yang telah kudengar sebelumnya, ada dua dari asrama kita. Kalau tak salah, Creevey bersaudara sudah mengundurkan diri."
"No way. Aku tidak mendengar apa-apa," kata Seamus yang kini baru berbicara.
"Kementrian menangkap seorang pengikut Kau-tahu-Siapa yang berbuat onar di Diagon Alley," gumam Ron. "Sepertinya ia sedang mabuk karena menggumamkan sesuatu seperti 'Akhirnya… Dia yang Agung akan datang membersihkan dunia kita dari mereka yang kotor' atau semacamnya."
Hermione merasakan sesuatu perasaan menyakitkan merayapinya. Suatu kegundahan. Darah kotor. Darah lumpur yang kotor. Malfoy kerap mengatakannya. Hatinya sakit. Walaupun kata-kata itu sudah begitu sering diucapkan namun hatinya tetap terasa sakit. Dia tak pernah terbiasa. Kata-kata itu terlalu kasar. Terlalu menyakitkan.
Kadang dia merasa takut. Segala hal yang buruk hampir terjadi setiap hari. Dia mengkuatirkan kedua orang tuanya di rumah. Bagaimana jika iblis-iblis itu berbuat sesuatu terhadap mereka seperti yang pernah dia lihat pada piala dunia Quidditch? Bagaimana jika mereka menyakiti kedua orang tuanya gara-gara mereka memiliki seorang putri berdarah lumpur?
Gara-gara dirinya.
Kadang dia mempertanyakan posisinya sendiri di kedua dunia itu. Di dunia sihir, dia merasa tersisih. Tak diinginkan. Tak dihargai. Apakah para penyihir itu dengan tangan terbuka menerimanya. Jika iya, mengapa orang-orang Malfoy bersikeras bahwa Hermione tidak berhak? Jika dia memang tidak berhak, tapi dia adalah seorang penyihir. Di sisi dunianya yang lain, ada orang tuanya yang muggle. Mereka tidak mengerti apapun tentang konsep pemisahan penyihir berkelahiran penyihir dan penyihir berkelahiran muggle. Mereka tidak mengerti apa-apa. Dan Hermione merasa dia telah menyusahkan orang-orang yang dia sayangi karena menjadi seorang penyihir berkelahiran muggle—penyihir yang tidak dihargai di dunianya sekarang.
Darah lumpur…itu kata mereka…
"Kau akan baik-baik saja," gumam Neville sambil tersenyum seakan bisa membaca pikirannya. Dia menggengam tangannya penuh persahabatan.
Hermione tak tahu harus berbuat apa. Dia menatap teman-temannya yang lain. Mereka juga sedang menatapnya sambil tersenyum. Tak ada yang dapat dilakukannya selain membalas senyum mereka. Memastikan bahwa jangan kuatir padanya.
Saat ini, di sinilah tempat teramannya. Dia memang berhak berada di sini. Dia terus mengatakannya di dalam hati. Walaupun begitu banyak kejadian menyeramkan terjadi di sini. Namun disinilah rumah keduanya selama enam tahun. Serta satu tahun lagi yang sedang menanti di depannya. Dia berusaha melupakan kegundahannya.
Walaupun terlalu menyakitkan untuk lupa sepenuhnya.
"Creevey telah pergi. Kau kehilangan kedua fansmu, Harry," ujar Ron sambil merangkul bahu Harry.
Harry memutar bola matanya. "Yeah. Sayang sekali."
"Nenekku juga menyuruhku berhenti sekolah dulu untuk sementara," kata Neville. Ia meminum jusnya dengan malas.
"Apa?" tanya Dean.
Neville menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak, tidak. Tentu aku menolaknya. Aku sudah enam tahun di sini bersama kalian. Tentu saja aku takkan menyia-nyiakan satu tahun lagi bersama kalian lebih lama," kata Neville sambil tersenyum sedih.
"Jangan bicara hal-hal cengeng seperti wanita, Neville," gumam Seamus.
Hermione mengerutkan keningnya. "Hal-hal cengeng seperti wanita?"
"Yang kumaksud tentu saja bukan kau, Hermione," Seamus mengoreksi.
"Bukan aku?"
"Er, kau seorang wanita tentu saja," sahut Seamus cepat-cepat.
Ron menonjok bahu Neville pelan. "Yeah, jangan bicara seakan tahun depan kau tewas, teman. Kau sensitif sekali hari ini."
Mereka semua tertawa.

Hermione datang ke tempat lithelas itu dengan perasaan was-was pada siang harinya. Tentu saja. Dua kali terpergok oleh Malfoy dalam situasi yang memalukan dan lima kali tersudut dengan anjingnya. Untung saja ketika dia terpergok anjingnya tanpa ada Malfoy, dia memiliki tongkatnya untuk mempertahankan diri.
Brengsek. Anjing sialan itu.
Padahal anjing itu sangat tampan. Dia belum pernah melihat anjing sebagus itu. Bulu putih-kelabunya sangat indah. Matanya biru dan sangat garang. Tapi sayang sekali dia seperti tuannya. Sama jahatnya. Sama brengseknya. Maka ketika dia mendatangi tanah lapang kecil di tengan hutan itu, dia menajamkan indra pendengarannya. Mencoba merasakan apabila bahaya datang. Tapi, terima kasih Merlin. Dia tak merasakannya sekarang.
"Halo," sapanya pada tanaman-tanaman itu, seakan mereka akan membalas sapaannya kembali.
Hermione menyentuh salah satu bagian tanaman itu yang menjadi bakal daun. Dia tersenyum puas. Hebat. Mereka akan tumbuh daun. Sudah berapa lama sejak dia menanamnya? Tiga minggu? Empat minggu?
Dia mengeluarkan kantung kecil dari sakunya. Setelah membuka tali pengikatnya, dia menaburkan pupuk kotoran gagaknya di atas tanah sekitar tanaman. Dia mengambil sebatang ranting untuk mengorek-orek tanah untuk membuat tanah itu tetap gembur.
Hermione lalu berdiri, saling menepuk-nepukkan kedua tangannya agar butiran-butiran pupuk dan tanah berjatuhan. Tanaman itu perlu disiram sekarang. Dia mencari sekelilingnya dan menemukan sebuah tanaman berdaun lebar untuk menadah air. Dia memetik daun yang masih baik dan belum berlubang termakan ulat.
Hermione berjalan melewati akar-akar pepohonan yang besar dan menyembul keluar dari permukaan tanah. Dengan hati-hati ia menapakkan kakinya di atas tanah agar tidak tersandung. Dia selalu menikmati jalan-jalannya di hutan ini untuk merawat lithelas-lithelas itu. Rasanya sangat menenangkan. Ini dunianya yang lain. Dunia baru. Dimana dia merasa telah diterima—persetan dengan Malfoy—dan tak peduli apa yang sedang terjadi di luar sana.
Dan satu-satunya hal yang membuatnya tidak sempurna adalah pertemuannya dengan Malfoy dan anjing bengseknya itu. Merlin. Kapan dia bisa merasa tenang dari orang-orang semacam itu? Bertemu dengan Draco Malfoy takkan pernah menyenangkan. Dan selalu menyerupai mimpi buruk.
Kini dia sampai di padang rumput kecil. Rumputnya yang panjang melambai tertiup angin musim gugur. Permukaan air danau itu bergerak tenang karena angin yang kemudian menimbulkan riak-riak kecil. Hermione berjalan ke arah danau. Setelah sampai di pinggirnya, dia menyentuh air itu dengan tangannya. Dingin. Dia merasa berat melakukan segala sesuatu. Lalu dia memutuskan untuk beristrahat sejenak di tempat itu.
Dia bersandar dengan membebankan tubuh dengan tangannya. Dia menatap gumpalan awan putih di latar langit biru. Awan itu melayang beriringan secara perlahan tertiup angin. Sangat pelan. Dia tak pernah melihat langit seluas ini. Seindah ini. Mungkin dia harus sering melakukan ini lagi sendirian. Memejamkan mata. Bernapas merasakan angin musim gugur. Meninggalkan segala penat akibat tugas-tugasnya, urusannya sebagai wakil Prefek, dan lainnya. Tak peduli apa yang terjadi di luar sana. Tak peduli jika ada yang memanggilnya darah lumpur atau semacamnya.
Atau bahkan tidak memikirkan apa-apa.
Namun kali itu dia ingin memikirkan persahabatannya. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Mereka bertiga. Apa yang akan terjadi setelah mereka lulus? Apa mereka akan tetap bersama? Sesuatu yang besar jelas akan terjadi. Kejadian besar yang akan menentukan masa depan dunia sihir. Dan dia takut. Setelah kekacauan-kekacauan itu pun, apakah segala halnya akan tetap sama?
Dan kemudian pikiran mengenai ajakan Ron pada tempo hari terlintas di benaknya. Banyak orang mengira ada sesuatu di balik persahabatan mereka. Atau—banyak orang berharap ada sesuatu di balik persahabatan mereka. Well, tidak. Mereka salah. Karena hal itu tidak mungkin. Hermione meyakinkan dirinya terus menerus. Persahabatan mereka akan terus seperti itu. Persahabatan mereka sangat indah. Terlalu indah untuk diubah. Terlalu indah untuk berubah. Terlalu egoiskah? Dia hanya takut kehilangan. Merekalah yang menerima Hermione Granger apa adanya.
Pantas saja tak ada anak yang tahan berteman dengan dengannya. Dia mengerikan sekali. Sungguh!
Itu yang terlontar dari mulut Ron pada Harry tentang gadis itu ketika mereka masih di kelas satu. Bertahun-tahun yang lalu. Sungguh menyakitkan. Anak bodoh itu.
Hermione membuka matanya. Dia tersenyum karena mengingatnya. Sekarang Hermione dapat menertawakannya. Mengenangnya. Mengenang usia sepuluh tahun—awal pertemuan mereka. Tak ada yang menyangka saat itu jika mereka dapat berteman seperti sekarang ini. Dan banyak hal telah terjadi. Begitu banyak. Harapan. Petualangan. Voldemort. Kehilangan kawan—Cedric, Sirius. Jangan biarkan mereka kehilangan lebih banyak lagi. Karena―
Harry dan Ron. Mereka tak tergantikan.
Dia menyayangi mereka. Dia berharap dia akan terus menjadi lebih dewasa bersama-sama. Jika bisa, dia ingin mengatakannya pada mereka. Tapi mereka laki-laki. Mereka hanya akan menertawakannya dan Ron akan berkata, "Hermione, otakmu konslet?" atau "Dasar perempuan."
Hanya tinggal satu tahun lagi. Semoga segalanya berjalan lancar. Demi Merlin. Dan siapapun yang di atas sana. Biarkan segalanya berjalan lancar.
Angin berhembus lagi. Kali ini lebih pelan. Melambaikan rerumputan yang tumbuh panjang yang kemudian menggelitiki kulit tangan dan kakinya. Hermione menghela napas panjang. Dia tak tahu sudah berapa lama dia duduk di atas rerumputan itu. Cukup lama. Dan dia kesal harus segera mengakhiri kenyamanan itu.
Dengan malas Hermione beranjak dari duduknya. Dia memungut daun lebar yang tadi dipetiknya. Kemudian dia menghampiri permukaan air, membungkuk untuk mengambil air itu dengan daun yang telah dibuat menjadi berbentuk corong.
Hermione berdiri dengan hati-hati agar air itu tidak tumpah. Ketika dia berbalik untuk menuju hutan, menjatuhkan daun itu berikut airnya. Dia merasakan percikkan air itu di kakinya. Dia berdiri terpaku. Terkejut.
"Malfoy."
Cowok itu berdiri dengan bersandar di sebuah pohon. Matanya yang biru-kelabu menatapnya. Dia menyilangkan kedua tangannya. Angkuh. Tak ada anjingnya. Entah ada dimana anjing itu. Dimana pun anjing itu berada—terima kasih, Merlin—dia tak ada di sini.
Hermione membalas menatapnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Apa yang kau lakukan di sini, Granger?"
"Sudah berapa lama kau di situ?"
"Dan kau sendiri?" Malfoy mengangkat alisnya.
"Hentikan mengulang pertanyaanku," kata Hermione mulai kesal.
"Aku melakukan apa yang ingin aku lakukan, Granger. Dan yang ingin aku lakukan adalah tidak menjawab pertanyaanmu sebelum kau menjawabku lebih dulu," kata Malfoy arogan.
Hermione tertawa mengejek. "Tetap seperti biasa, Malfoy?"
"Aku seorang Malfoy, ingat?"
Oh, yeah. Malfoy takkan pernah berubah. Takkan ada yang bisa merubahnya. Dunia berarti akan kiamat kalau ternyata suatu saat dia berubah.
Hermione memungut daun itu dan kembali mengambil air. Kali ini dia lebih berhati-hati.
"Apapun yang sedang kau lakukan saat ini, lebih baik hentikan saja, Granger."
"Asal kau tahu, aku pun melakukan apa yang ingin aku lakukan," kata Hermione. Dia berjalan ke arah Malfoy lalu melewati untuk masuk ke dalam hutan. Dia berhati-hati berjalan menatap tanah. "Tak ada yang dapat menghentikanku." Dia mengerling sejenak kepada Malfoy ketika sampai di dekatnya untuk berkata pelan dan lambat penuh sarkasme, "Dan bahkan jika itu kau."
Malfoy tersenyum di sudut bibirnya, berjalan di belakang Hermione. "Tidak, tidak, Granger. Kau akan menghentikan kegiatan bodohmu segera. Aku akan membuatmu melakukannya. Ini hanya mengenai waktu kapan saat yang tepat."
Hermione berhati-hati terhadap langkahnya untuk menjaga kuantitas air itu. "Oh, arogan sekali." Hermione memutar bola matanya. "Sangat dirimu sekali, Dickhead."
"Ingin mulai lagi?" Malfoy menaikkan alis matanya.
"Oh, bukan, Malfoy. Aku hanya menyelesaikan apa yang telah kau mulai, Mr…"
"Apa, Granger? Lontarkan lagi."
"Apa, ya?" Hermione terdiam sejenak untuk berpikir. "Keparat?"
"Original sekali. Dan kau tetap darah lumpur, kau tahu itu."
Hermione mencibir. "Ya. Dan kau terus memandangi darah lumpur ini ketika dia duduk di tepi danau."
Malfoy mencemooh. "Mungkin kau berhasil membuat beberapa cowok bodoh melirikmu. Tapi aku mengenal betul seberapa berlumpurnya dirimu," katanya sinis. "Kita sudah saling mengenal. Kau sudah tahu siapa aku, kan?"
"Kepala besar. Si brengsek dari Slytherin. Ya. Tentu saja. Memangnya ada lagi yang perlu kuketahui?" balas Hermione. Dia hampir tersandung akar yang menyembul dari tanah.
Mereka sampai di tanah lapang kecil itu. Hermione menyiramkan air itu di atas tanaman hati-hati, memastikan masing-masing tanaman memperoleh cukup air. Setelah semua air habis, dia menjatuhkan daun itu ke tanah lalu mengelap tangan yang basahnya ke bagian belakang roknya.
"Kau menanam lithelasmu di sini? Ingin melihat peri hutan itu, Granger?"
Ha-ha. Bagus-sekali. Dia tahu. Kau ingin menertawakanku, Malfoy? Aku tak heran. Itu yang selalu kau lakukan seumur hidupmu. Itu seperti menjadi tugasmu selama kau hidup, bukan? Membuat Granger brengsek ini hidup dalam neraka.
"Bukan urusanmu, sebenarnya," sahut Hermione.
"Apapun yang berurusan dengan daerahku, menjadi urusanku juga. Aku memperingatkanmu sekali lagi. Pergi dari sini atau kau akan merasakan sesuatu yang akan kau sesali. Ingat itu baik-baik."
"Daerahmu, Malfoy?" Hermione tertawa. Kedua tangan di pinggang, mencoba menyelesaikan konfrontasi mereka. "Apa yang kau lakukan untuk menandai teritorimu? Mengencinginya?" cemoohnya.
Dia menghiraukan sindiran Hermione. "Aku pasti sudah menyuruh Kofu merusak tanaman-tanaman itu jika saja kau tak melindunginya dengan Mantra Pelindung. Dan sekarang kau ada di sini untuk memindahkannya." Malfoy menyilangkan tangannya lagi.
Hermione memandangnya malas. "Well, aku di sini bukan untuk mengikuti perintahmu. Dan hati-hati, Malfoy―" Dia menatap ke sekelilingnya. "Aku tak melihat anjingmu. Kau tak memiliki pelindung sekarang."
"Aku tak memerlukan siapapun—apapun—untuk melindungiku. Di sini hanya ada kita. Aku yang kuat. Dan kau yang lemah. Kita menyadarinya, Granger," kata Malfoy. "Dan kau tak memiliki pelindung. Jadi, kurasa seharusnya kaulah yang harus berhati-hati." Malfoy tersenyum. Tak ada kebaikan sedikit pun dalam senyuman itu. "Tak ada Potter atau Weaselman yang akan menyelamatkan harimu seperti biasa."
"Aku tak lemah—"
Malfoy menghiraukannya. Senyuman di ujung bibirnya belum menghilang. "Ada apa Granger? Kau menolak mereka untuk tidur denganmu sehingga mereka tak bersamamu sekarang?"
"Kau brengsek, kau tahu itu," katanya. Hermione memerah karena dipenuhi kemarahan.
Malfoy membebankan tubuhnya pada salah satu kakinya. "Oh, aku tahu. Mungkin potter memiliki seseorang untuk dia tiduri. Aku tahu dia banyak penggemar yang rela melakukan apa saja untuknya. Tapi mungkin Weasel juga dan kini pun dia meninggalkanmu." Malfoy maju ke arahnya.
Hermione mengeluarkan tongkat sihirnya. Ia mengacungkannya ke arah Malfoy. "Jangan berani-berani—"
"Aku benar, Granger?"
"Apa?" sahut Hermione penuh emosi.
"Oh, atau…" Malfoy melanjutkan, berlagak berpikir. "Potter sudah punya sederet orang yang dia bisa tiduri dan sekarang Weasel kini tak punya saingan untuk menidurimu?"
Demi Merlin. Jauhkan dia dariku. Siapapun. Apapun. Jauhkan dia dariku. Aku tahu dia hanya ingin membuatku marah. Berang. Meledak. Well, dia berhasil. Selamat. Tapi kau tahu tidak semudah itu kau menyingkirkanku.
"Kau begitu…menjijijkan," Hermione mendesis.
Malfoy tertawa lagi.
"Kau tak mengenal kami, Malfoy. Apa yang membuatmu berpikir kau—" Hermione melayangkan pandangan ke tubuh Malfoy, dari atas ke bawah, menilai. "—berhak mengatakan sesuatu tentang kami. Merekalah pahlawan yang orang-orang banggakan. Mereka bermoral. Mungkin kau iri. Aku benar, kan? Kau iri. Akui saja. Kau iri. Harry memiliki nama dan ketenaran yang tak kau miliki. Dan Ron…paling tidak dia memiliki hati. Dia manusia dibanding iblis seperti dirimu. Mereka memiliki apa yang tidak kau miliki."
"Mereka tak memiliki apa yang aku miliki, Granger. Mereka tak memiliki kemampuan yang setiap laki-laki inginkan—"
"Mereka dapat memiliki gadis yang layak, Malfoy. Bukan gadis gampangan yang biasa kau peroleh."
"Aku bisa mendapat apapun yang aku inginkan. Dan siapapun."
Aku tahu. Maka dari itu, hanya itulah yang ada di kepalamu. Kau hanya memikirkan kapan selanjutnya kau bisa mengunjungi gadis-gadis jalang itu di atas tempat tidur.
Malfoy maju selangkah.
"Jangan coba-coba…" tukas Hermione. Napasnya tak teratur. Dia marah.
Malfoy maju selangkah lagi. Dia mencoba meraih tongkat yang ada di saku celananya di belakang.
Ujung tongkat Hermione telah menyentuh kaus kemeja Malfoy. "Jangan coba-coba." ulangnya lebih tegas. Dia mundur selangkah. "Jika kau berani maju, aku bersumpah akan—"
"Akan apa, Granger?" tanya Malfoy menantang.
Hermione menyipitkan matanya. "Membuatmu merasakan sakit yang takkan pernah kau rasakan," dia mendesis.
Malfoy menatapnya tajam. "Kau sedang takut," kata Malfoy parau. "Aku dapat melihat bagaimana dirimu saat ini." Dia menatap tubuh Hermione. "Bagaimana dirimu bernapas…seperti kau sekarang ini."
"Aku marah, bajingan," kata Hermione. Dia berharap malfoy tidak menyadari ketakutannya. "Aku tak pernah takut padamu. Kau hanyalah cowok yang bersembunyi di balik kebesaran nama keluargamu dan ayahmu sendiri."
"Jika kau berpikir untuk melibatkan kedua orang tuaku dalam percakapan kita, kau membuat kesalahan besar. Akan kupastikan itu," kata Malfoy tajam.
Hermione mengambil napas. "Apa yang diajarkan ayahmu, Malfoy? Bagaimana mengintimidasi orang lain?" Dia merasa harus mengeluarkan semua kebencian itu dari benaknya agar Malfoy tahu. Agar Malfoy tahu.
"Kesalahan lagi, Granger."
"Aku kasihan padamu—aku menyesalkan bagaimana dia membesarmu, Malfoy." Suara Hermione bergetar. Sial, sial, sial. Berhentilah bergetar. Mata Malfoy mulai menyipit menatapnya.
"Sudah kukatakan hentikan membicarakan ayahku—"
"Malfoy, aku menyesalkan kau ada di dunia ini…"
"Keparat—"
"Dan aku menyesalkan ibumu melahirkanmu!"
Hermione benar-benar terkejut ketika Malfoy menepis tangan Hermione. Kejadiannya sangat cepat. Tongkat itu terlepas dari tangannya. Malfot mendorong, mendesaknya ke pohon. Kedua tangannya mengunci bahu dan tubuh Hermione. Wajahnya sangat dekat dengannya. Tegang. Penuh amarah yang gelap mata.
"Jangan—," Draco mendesis tajam. Hermione dapat merasakan napas Malfoy di wajahnya. Mendirikan bulu kuduknya. "Jangan pernah libatkan kedua orangku lagi dalam percakapan kita."
Hermione berdiri terpojok dengan tegang. Mata Malfoy menatap tajam tanpa berkedip bagaikan pecahan kaca. Dia baru kali menatap matanya yang biru-kelabu sedekat itu. Dan Hermione merasa takut. Dia tak boleh takut di saat-saat seperti ini. Itu akan menjadi kelemahannya. Namun ketika mata itu seakan kian bertambah gelap, dia tahu Malfoy juga sedang dipenuhi kemarahan. Hermione dapat merasakan napas Malfoy mulai berat di kulitnya. Dia tak boleh takut, sialan.
"Aku tahu kau benci padaku. Well, aku juga. Semua orang sudah tahu," kata Malfoy kemudian. Dia diam sesaat menyusun kata-kata yang akan dilontarkannya lagi. Suaranya lebih rendah dan parau ketika dia mengatakan, "Aku juga tahu bagaimana memuakkannya bila disentuh seseorang yang kau benci sampai ke pembuluh darahmu." Kedekatan itu membuat Hermione sangat tegang. Dia dapat melihat refleksi dirinya sendiri dalam mata Malfoy. "Aku akan membuatmu menyesal telah menginjakkan kakimu ke tempat ini. Aku telah memperingatkanmu, Granger," dia mendesis. Gigi Malfoy bergemeletuk menahan amarah. "Aku tahu apa yang akan kulakukan nanti…" Suaranya lebih menyerupai bisikan. Demi Merlin. Apa yang akan Malfoy lakukan? "…akan menghentikanmu kembali ke tempat ini." Hermione tak sempat berpikir. Kejadiannya sangat cepat. Cowok itu melakukannya.
Hermione terpaku dalam shock. Malfoy mencium bibirnya.
Malfoy menekan mulutnya ke atas bibir Hermione. Kepala gadis itu terdesak ke kulit pohon yang kasar. Ada suatu perasaan menjalar di sekujur tubuhnya. Ada sesuatu. Malfoy menahan wajah Hermione dengan kedua telapak tangannya ketika mulut gadis itu mencoba membebaskan diri. Dia menutup mulutnya rapat-rapat. "Enyahlah—" Mulutnya terbuka ketika dia mengatakannya. Malfoy mendorong lidahnya masuk.
Tangannya yang sudah terbebas mendorong dada Malfoy agar menjauh. Namun dia terlalu kuat. Dia fokus pada segenap tenaganya yang ada. Lalu memejamkan mata untuk—
Malfoy mundur ke belakang. Lalu berjongkok untuk memegang kakinya. "Kau menginjak kakiku, keparat!"
Hermione tak membalas perkataan itu. Dia tak ingin berpikir karena akan melepas kesempatannya pergi. Dia berbalik lalu lari masuk ke dalam pepohonan. Dia tak boleh menoleh ke belakang. Dia tak boleh berpikir. Dia tak boleh peduli. Sebelum benar-benar jauh dia mendengar Malfoy berteriak, "Jangan kembali ke sini lagi, brengsek!"
Hermione tetap lari. Malfoy tak mengejarnya. Tapi, dia harus lari. Lari seakan Malfoy mengejarnya. Dan terus menjauh. Menjauh dari cowok brengsek itu. Dia tak boleh berpikir dulu. Jangan berpikir dulu.
Tangannya tergores dahan ketika dia melewati semak-semak belukar. Dia tak memperdulikannya. Bahkan dia tak merasakan sakitnya. Lalu setelah itu—setelah cukup jauh, dia berhenti. Dia bersandar di balik pohon. Napasnya tak beraturan dan terengah-engah. Seakan-akan sepanjang dia berlari tadi, dia lupa untuk bernapas. Matanya terpejam. Jantungnya berdetak keras sehingga dia merasa jantungnya akan melompat setiap waktu.
Demi Merlin. Apa itu tadi?
Tubuh Hermione lemas. Dia berjongkok. Punggungnya bersandar dan menggesek kulit pohon yang kasar. Dia gemetaran karena napasnya belum teratur. Dia menyentuhkan jemari ke atas bibirnya.
Masih begitu terasa. Cowok itu. Bibir itu. Bibirnya.
Dia takut.

"Kau letakkan dimana matamu itu?" Draco mengumpat. Seorang anak tingkat empat Hufflepuff terkejut dengan nada suara Draco. "Lima poin untuk Hufflepuff karena keteledoran yang membahayakan orang lain."
Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Keteledoran yang membahayakan orang lain? Yang benar saja." Draco mendengarnya bergumam sendiri.
Draco kembali menyusuri koridor penuh dengan rasa marah.
Sore hari itu Draco merasa harus menimpakan segalanya ke seseorang. Melampiaskan kebodohannya. Kebodohannya beberapa saat yang lalu. Demi Merlin. Dari berbagai pilihan hukuman yang dapat ditimpakan ke Granger jalang itu, mengapa tindakan itu yang dia lakukan?
Darah lumpur menjijikan. Menjijikan!
Draco mendamprat siapa saja yang membuatnya kesal sepanjang koridor itu. Dia juga menjatuhkan poin kepada siapa saja yang menyenggolnya. Atau bahkan mereka yang hanya menatapnya seperti Gryffindor menatap Slytherin.
Dia ingin melampiaskannya.
Lalu kesempatan itu datang ketika dia berbelok menuju koriodor yang ke arah Aula Besar. Langkah melambat. Dia tersenyum mengejek menatap gumpalan rambut merah dan hitam yang sudah dia kenal baik itu.
Potter yang menatapnya lebih dulu. Weasley baru menyadari keberadaannya ketika melihat perubahan ekspresi pada wajah Potter. Langkahnya terhenti.
"Oho, Potter dan anak buahnya," kata Draco. "Sebuah kejutan yang menyenangkan." Nada suaranya ramah tetapi dipenuh dengan sarkasme.
Dia menatap pakaian Potter yang basah oleh keringat. Dan kedua lawan bicaranya itu menatapnya penuh dengan antisipasi.
"Mau ke kelas, Potter?" tanya Draco basa-basi.
Potter tak langsung menanggapinya. Dia hanya menyeringai.
Kemudian Draco berlagak seperti mengingat sesuatu, "Oh ya, kau sudah memilih anggota tim regulermu. Selamat, Potter. Semoga berhasil memilih anggota tim yang berkompeten."
"Kau sangat rendah hati sekali, Malfoy," Potter mencibir. "Tapi simpan saja ucapan selamat itu sampai pertemuan kita ketika aku mengalahkanmu nanti."
"Ck ck ck…kasar sekali. Apa kata pers nanti? Tak baik untuk popularitasmu." Draco menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian wajahnya riang lagi ketika menatap si rambut wortel. "Hei Weasley, gagal masuk tim, huh? Dia menyingkirkanmu ya. Sepertinya teman tersayangmu telah menghilangkan satu-satunya hal yang membuat orang-orang menyadari keberadaanmu di Hogwart, bukan begitu? Sayang tak ada lagi Weasel King. Dan tak ada sirkus Hogwarts lagi. Aku fans beratmu kau tahu? "
Wajah Weasley merah padam.
"Kau berbicara omong kosong, Malfoy," kata Potter terlihat seperti menahan marah.
Weasley menatap Draco tajam. "Paling tidak Gryffindor memilih orang tepat di posisi yang tepat untuk mengalahkan Slytherin nanti. Kurasa Slytherinlah yang melakukan kesalahan dengan memilih cowok cantik yang terlalu sibuk mencari cewek untuk menghangati ranjangnya."
"Oh, aku dapat melihat bahwa kau tidak memandangnya sebagai sebuah berkah, Weasley," ujar Draco. "Sebuah keunggulan tepatnya." Dia maju selangkah. "Dan kau sendiri? Apa yang kau miliki? Bagaimana rasanya hidup dan bernapas di bawah bayang-bayang dua orang yang bersinar di Hogwart? Si Anak Emas Potter"—Draco mengerling singkat ke arah si kepala codet, lalu menyipitkan mata ke arah si rambut wortel—"Atau si kebanggaan Gryffindor si darah lumpur Granger?"
Draco bersumpah dapat melihat pembuluh darah Weasley berkedut di sisi keningnya, menahan amarah. Bagus, dia benar-benar marah. Cowok bego itu terlalu mudah dipancing kemarahannya. Ini yang Draco harapkan.
"Jangan panggil dia dengan kata-kata itu lagi, Malfoy."
"Apa, Weasley? Darah lumpur? Kau tak ingin aku memanggil dia darah lumpur?" tanya Draco sengaja menekankan intonasi pada dua kata yang membuat Ron bergidik. "Lalu aku harus memanggil dia apa? Granger jalang?"
Tangan Weasley mulai terkepal erat. Draco tersenyum.
Bagus. Aku menekan tombol yang tepat. Katakan itu sekali lagi dan segalanya akan berjalan seperti keinginanmu. Terus memanas-manasi Weasley. Buat dia marah. Dia akan menyerangmu dan kau bisa menghajarnya kemudian dengan dalih mempertahankan diri. Buat dia menjadi pelampiasan. Pelampiasan dari tindakan bodohmu itu. Tindakan yang kau lakukan terhadap Granger keparat itu.
Darah lumpur sialan.
"Tindakan yang salah, Mafoy," sahut Potter kemudian. "Sebaiknya kau pergi—"
"Lalu kenapa? Akankah aku mendapatkan balasan dari si Potter yang terkenal?"
"Kau tak seberharga itu untuk kami pedulikan," gumam Weasley akhirnya.
"Aku yakin kau memang tak memahami sesuatu yang berharga dalam diriku." Malfoy mengeluarkan tangannya. Sejenak Harry menahan napas dan siaga mencengkram tongkat sihirnya. Namun Malfoy tidak menggenggam apa-apa. Dia hanya menyilangkan tangan di dada.
"Oh, jelas aku sangat mengerti, Malfoy."
"Bagus sekali," sahut si pirang. Dia maju selangkah perlahan dengan angkuh untuk memperkecil jarak di antara mereka. "Kalau begitu kau tahu bahwa aku bisa mendapatkan apapun yang kumau. Siapapun. Bahkan dia yang tak tersentuh." Draco tersenyum. "Kau tahu apa artinya, kan?" bisiknya.
Weasley tahu.
Weasley dan Potter tahu. Draco sedang membicarakan Hermione. Raut wajah Weasley langsung mengeras.
"Jauhkan bokong keparatmu dari kami, Malfoy. Demi kebaikanmu sendiri."
"Atau maksudmu jauhkan bokongku dari dia?"
Wajah Weasley memerah dipenuhi amarah. Dia maju selangkah. Draco menatap penuh antisipasi. Dan dia juga maju selangkah. "Aku telah memperingatkanmu, Malfoy," desis Ron. Napasnya menjadi lebih berat dan lebih cepat. "Aku memperingatkanmu untuk jauhi dia."
Si pahlawan-bokong-tiap-orang berkata, "Ron, lebih baik kita—"
"Uh-uh?" kata Draco mengabaikan Potter.
"Enyahlah, Malfoy," kata Weasley.
"Jauhi Granger, ya?" gumam Draco nekat. "Kurasa cukup sulit. Well, dia memang darah lumpur," dia menekankan intonasi pada kata-kata itu. "Tetapi, kau jelas tahu, dia terlalu hot untuk dilepaskan."
Tetap bicarakan si Granger itu dan kau akan berhasil. Pada dasarnya memang semua hal yang kita bicarakan ini akan jatuh ke Granger. Karena dialah yang salah. Pada saatnya nanti dia juga akan menerima balasannya.
"Tinggalkan dia, Ron. Dia tak berharga untuk kau pedulikan," seru Potter. Tapi dia hanya seorang pengganggu saat ini. Dia mencengkram tangan Weasley. Namun si rambut merah tak bergeming.
Draco maju selangkah lagi. Kini jarak di antara Weasley dan Draco kurang dari semeter. Sekarang hanya membutuhkan sepercik api dan selanjutnya bom itu akan meledak dengan sendirinya. "Kau tahu, jika aku menginginkannya, aku akan mendapatnya," kata Draco dengan merendahkan suaranya.
Untuk sesaat mereka semua terdiam. Dan yang pertama bergerak adalah Weasley. Kepalan tangan Weasley menyentuh rahangnya. Sudah Draco antisipasi namun dia tak mengelak.
"Oh—fuck," mendengar Potter berseru putus asa.
Bagus. Draco tersenyum. Segalanya jadi lebih mudah, kan?
Sebuah pukulan balasan dari Draco mendarat telak di pipinya. Weasley terhuyung-hunyung. Potter bergerak ke tengah mereka penuh dengan antisipasi. Bukan untuk melerai. Potter takkan berniat berdamai. Dia hanya ingin melindungi si rambut merah. Maka dia mendorong dada Draco kasar. "Menjauh kau, keparat!" serunya.
Kau menikmati pestanya, Potter?
Dan selanjutnya satu pukulan juga ikut mendarat di wajah kepala pitak. "Brengsek!" umpatnya. Tak seperti Weasley, dia tak mudah dijatuhkan. Tentu saja. Dia kan sang pahlawan penyelamat-bokong-setiap-orang.
Potter bergerak ke belakang Draco, mengunci kedua tangannya. Weasley datang memastikan kepalan tangannya mendarat sukses di perut, dada—
Dia lupa siapa aku? Aku seorang Malfoy. Aku tak mudah dikalahkan.
Draco tak ingat kapan dia bisa lepas dari cengkraman Potter. Dia hanya ingat ketika bunyi duk keras menghantam Potter. Atau Weasley? Atau dirinya sendiri? Siapa peduli. Segalanya terjadi cepat. Pukulan kanan. Kiri. Mata berkunang-kunang. Penuh dengan adrenalin yang mengalir di pembuluh darah. Kompetisi antar laki-laki yang didukung hormon testosteron. Menyenangkan, bukan?
Tak lama kemudian, dia merasa ada kekuatan yang menghantamnya ke dinding. Dia melihat si rambut merah terengah-engah, menatapnya dengan tongkat teracung ke arahnya.
"Ada apa, Weaselman?" tantang Draco gusar. "Memakai sihir? Heh, kau merusak pesta."
Napas Draco juga tak teratur. Dia terengah-engah. Dia berusaha mengatur napas. Dia melihat Potter juga kewalahan.
"Kau keparat," geram Weasley. Dia baru saja akan mengangkat tongkatnya lagi namun Potter segera menghentikan.
"Cukup, Ron! Keparat ini tak berharga!"
Draco memaksakan senyum santai walaupun dia masih merasa marah sekali. Dia merapikan jubahnya dengan tenang, mengelap setetes darah dengan jempolnya.
"Jika saja—" Weasley terdiam sejenak mengatur napas. "Jangan pernah lagi menyebutnya darah lumpur. Jangan berani mendekatinya—"
"Oh, tidak," cemoohnya, berlagak takut. "Aku telah membuat kesalahan."
"Aku memperingatkan kau!"
Draco tertawa lagi. "Terima kasih atas peringatannya. Aku akan mempertimbangkan. Sungguh," katanya.
Draco mendengus. Hatinya tak berubah lebih baik. Dia menyumpah-nyumpah lagi dalam hati. Kekesalan tetap menyelimutinya bagai kabut kelabu yang membayangi. Bukan karena menghajar Weasley. Bukan pula karena telah menghajar Potter. Keduanya hampir tak berpengaruh apa-apa. Rasa kesal itu. Tindakannya terhadap Granger di hutan itu. Di luar akal sehat. Tidak logis. Apa yang membuatnya bertindak seperti itu. Spontanitas? Itu sepertinya bukan alasan karena ada banyak hal-hal lain yang bisa dilakukan. Tindakan bodoh itu. Tindakan paling akan disesalinya karena dia telah mencium Granger jalang itu.
Darah lumpur itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar