RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi Chapter 21

Silahkan baca!


BAB 21
Draco Malfoy kembali ke kastil dua jam kemudian tanpa kesulitan berarti. Hanya Blaise yang komplain dan menatapnya kesal ("Aku tak percaya ini, kau tidak datang tadi malam!"). Dia berkomentar tentang wajahnya yang seperti kertas kucel yang diremas-remas, lalu memaksanya untuk sarapan bersama di Aula Besar. Dan di sanalah, Draco mendengar kabar itu.
Aula yang akhir-akhir ini sunyi, mendadak ramai oleh sebuah kabar. Peeves yang melihat kejadian antara Filch dan Granger itu, lalu berceloteh ketika anak-anak sarapan pagi di aula. Anak-anak Slytherin antusias dan penasaran, menyeret Peeves untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Serentak seisi sekolah mengetahui bahwa dua jam yang lalu, Hermione Granger—sang Ketua Murid, murid terpintar pada anak seusianya, dan anak emas Gryffindor—telah melanggar jam malam hingga pukul empat pagi.
Gadis itu mendapat tiga detensi dan potongan enam puluh poin untuk Gryffindor. Filch memergoki ketika dalam perjalanan kembali ke dalam asramanya. Hermione tak berkata apa-apa. Tidak mengatakan tentang Draco. Atau tentang Shrieking Shack. Atau semua kejadian semalam…
Draco duduk di tepi ranjang setelah mengenakan celana. Seharusnya dia dapat merasakan rasa dingin karena kemejanya masih teronggok di lantai. Namun dia malah merasa kebas. Indra perasanya tak dapat merasakan apapun selain kehampaan. Matanya menatap kosong ke jendela.
Di luar masih gelap. Draco masih bisa mendengar suara-suara binatang malam dari jendela yang pecah. Matahari belum terbit. Tinggal menunggu jam untuk melihatnya bersinar dari ujung horison. Jika dia boleh berharap, dia ingin dapat menghentikan waktu. Dia tak ingin melihat matahari. Matahari baru, berarti hari yang baru. Hari yang baru, berarti akhir dari segalanya.
Draco tak butuh hari esok.
Kemudian dia menatap perapian. Api tidak lagi berkobar di atas kayu bakar. Kayu tersebut banyak yang telah menjadi bara dengan api kecil yang tengah menari. Draco menumpukan beban tubuh pada siku lengan di lutut. Dia tahu tak jauh darinya, seorang gadis sedang mengenakan pakaian. Tanpa kata-kata. Sejak beberapa jam yang lalu tak ada yang bicara. Dia tak berani menoleh.
Setelah beberapa saat, gadis itu berjalan ke arah pintu. Draco dapat merasakan Hermione akan meninggalkan tempat itu. Tak ada yang dapat dilakukannya. Slytherin itu sudah memperoleh apa yang seharusnya tidak boleh dia peroleh. Dia tak berhak untuk menghentikannya pergi. Jadi inilah. Akhir.
Dia hanya dapat merasakan Hermione berbalik sejenak sebelum keluar dari ruangan.
"Malfoy," katanya parau, terdengar dia sedang bertarung dengan perasaannya sendiri, "kuharap kita tak pernah bertemu lagi."
Tenggorokan Draco serasa tersekat. Dia mengumpulkan segenap keberanian untuk menatap mata coklat yang akan dia rindukan itu. Dia menelan ludah.
"Kuharap begitu."
Kemudian gadis itu berbalik dan menghilang di balik pintu, membawa semua ketenangan dan kenyamanan yang pernah Draco rasakan dari keberadaannya.
Maka itulah pertemuan terakhir mereka.
Draco Malfoy tak sanggup menelan apapun pagi itu. Pikirannya dipenuhi banyak masalah. Apa dia baik-baik saja? Apa yang akan dikatakannya pada kedua sahabatnya? Draco tahu gadis itu akan memendam kegalauan itu sendirian. Maka dia tidak heran ketika tak melihat sosok itu pada pagi harinya. Bukannya dia ingin melihatnya lagi. Justru dia bersyukur gadis itu tak ada di sana. Karena dia takkan sanggup melihatnya lagi.
Berita itu hanya sedikit mengalihkan kesuraman seisi Hogwarts. Karena kemudian Aula Besar kembali dalam ketegangan. Hari ini para Slytherin akan meninggalkan sekolah mereka.
Dumbledore masih berusaha terlihat tenang, walaupun wajahnya sedikit lebih serius. Guru-guru terdiam, menyantap sarapan dengan wajah pucat seperti zombi. Severus Snape terlihat di meja. Rahang terkatup rapat. Draco tahu dia masih belum menerima keputusannya untuk meninggalkan Hogwarts. Terlebih menghadapi para murid asrama yang dipimpinnya, meninggalkan Hogwarts.
Masih ada tiga-empat anak lagi yang tersisa di Slytherin. Mereka adalah penganut non blok. Tak ada kecenderungan memihak kelompok tertentu baik Kementrian, pihak Dumbledore, maupun pihak Lord Voldemort. Mereka memihak kemenangan. Siapa yang akan menang, kepadanyalah mereka akan menetapkan pilihan.
Draco kembali lagi ke asrama setelah sarapan hanya untuk melihat kembali sesuatu yang mungkin ketinggalan. Namun nihil, barang-barangnya sudah berada dalam koper. Kamar yang telah ditinggalinya selama enam tahun lebih itu kini telah kosong. Benda-benda asrama diam membisu. Lemari telah kosong. Ranjang-ranjang telah rapi. Dua di antaranya telah kosong lebih dulu semenjak beberapa minggu yang lalu. Dan kini giliran Draco untuk meninggalkannya. Koper Blaise dan miliknya berdiri di dekat pintu, menunggu untuk dibawa ke kereta thestral.
Kemudian dia menghampiri ranjang, berbaring dengan tangan di belakang kepala. Menatap langit-langit. Tanpa melakukan apapun.
Entah sudah berapa lama dia di sana hingga kepala Blaise muncul di balik pintu.
"Hei, apa yang kau lakukan di sini?" katanya. "Cepat ke atas, ayahmu sudah datang,"
"Akhirnya." Draco bangkit dari ranjang, berjalan ke arah pintu.
"Ya," sahut Blaise menghela napas. Dia menyapukan pandangan ke kamar mereka untuk terakhir kali. "Akhirnya."
Pintu kamar tertutup di belakang. Ruang rekreasi hampir kosong. Masih ada beberapa orang yang menatap Draco dan Blaise ketika mereka keluar kamar. Bahkan masih ada Pansy. Draco memilih untuk mengalihkan pandangan darinya.
Bergabung dengan yang lain, mereka keluar dari asrama. Bahkan sempat bertemu dengan hantu dengan darah keperakan yang mengerikan, Baron Berdarah. Hantu itu tidak mengatakan apapun, hanya mengangguk memberi mereka jalan untuk lewat.
Ayahnya sudah berdiri di depan Aula Besar ketika Draco sampai sana. Dia terlihat menjabat tangan sang kepala sekolah, bercakap-cakap untuk formalitas sekadarnya. Dumbledore masih terlihat tenang, sementara Severus tampak serius. Ketika Lucius melihat Draco, senyumnya melebar.
"Sudah siap, Nak?"
"Ya, Ayah."
Dia mengusap bahu Draco, memancarkan kebanggaan di wajahnya. Sang putra mengangguk, mengikuti ayahnya keluar Aula Depan.
Mrs Zabini berjalan menyambut Blaise, mencium pipi putranya. Sang mantan Ketua Murid keluar Aula Depan, masih tebar pesona dengan tangan melambai-lambai. Para murid yang berdiri mematung. Di dekat pintu seorang anak perempuan tampak menangis tersedu-sedu—cewek yang didepak Blaise tadi malam. Potter dan Weasley di antara mereka, tampak tegang. Draco tahu, bukannya duo Gryffindor itu tidak senang dengan hiatus masal murid Slytherin, mereka pasti tegang menyadari alasan di balik semua ini.
Dan mereka pasti tahu rasa tegang ini akan semakin meruncing di masa mendatang.
Blaise dan ibunya memasuki kereta Thestral. Kemudian disusul Pansy dan ayahnya. Pansy sempat mengerling ke arahnya, namun Draco buru-buru mengalihkan pandangan. Cowok itu kembali menatap ayahnya yang masih mengobrol basa-basi dengan Dumbledore mengenai situasi yang makin suram dan tak menentu.
"Bukannya meragukan sistem keamanan Hogwarts," kata ayahnya bernada bijak. "Saya rasa kami harus sedikit berhati-hati."
Senyum Dumbledore belum hilang dari wajahnya. "Tentu saja. Saya mengharapkan Draco untuk segera kembali belajar."
"Tentu kita akan bertemu lagi jika situasi mulai normal."
Draco bertanya-tanya, bagaimana dua orang dewasa itu bisa mempertahankan basa-basi seperti ini. Mereka bicara. Bertopeng tersenyum di wajah, namun sesungguhnya menggenggam belati di belakang mereka.
Kereta Blaise dan Pansy sudah berjalan lebih dulu. Kemudian kereta kosong yang baru datang untuk Draco dan ayahnya. Lucius mengucapkan salam perpisahan dan menjabat tangan untuk kedua kalinya. Kali ini ada yang berbeda, Draco dapat merasakan ketegangan di antara mereka. Lucius memberi jalan pada putranya untuk mengucapkan perpisahan. Namun Draco tak mengatakan apapun, hanya sekadar menjabat tangan. Mata biru Dumbledore masih menatapnya ramah, namun di dalamnya seolah ingin menembus pikirannya. Draco segera mengalihkan pandangan, melepas jabatan tangan itu. Ketika menjabat tangan Severus, dia mencoba untuk menarik tangannya lebih cepat lagi.
Draco menaiki kereta. Kemudian disusul ayahnya. Sekali lagi Lucius mengusap bahunya. Senyum masih terlukis di wajah. Saat itu Draco langsung meyakini dirinya sendiri bahwa inilah yang terbaik. Akhirnya dia bisa menjadi seseorang yang diharapkan ayahnya.
Kemudian tiba saatnya. Dia menelan ludah. Malfoy senior menyuruh kereta berjalan. Kemudian sang putra menyadari bahwa ketika roda itu berjalan, pejalanannya hidupnya di Hogwarts telah berakhir.
Draco Malfoy duduk, merasakan kereta berayun. Kemudian dia menoleh ke belakang, masih dapat melihat Dumbledore tua dan Severus masih menatap kereta mereka. Dan melihat bangunan kastil Hogwarts yang baru saja dia tinggalkan untuk terakhir kali.
Pandangannya kembali ke depan.
Banyak hal yang tak terduga yang Draco temukan dalam tujuh tahun keberadaannya di Hogwarts. Semua kegagalan dan prestasi hanya akan menjadi catatan kecil di masa lalu. Ada keinginan yang telah terpenuhi, namun ada harapan yang pecah terburai. Mendapat teman, menghadapi musuh, belajar banyak hal, merasakan sakit, dan mengenal— sesuatu yang perasaan baru dari seorang gadis yang istimewa.
Malam itu.
Draco tahu dirinya takkan pernah melupakan saat-saat itu untuk seumur hidupnya. Hermione membisikkannya di telinga. Dalam desahan. Dalam air mata. Tiga kata. Seolah ada bom waktu meledak di dalam tubuh ketika mendengarnya. Menjernihkan benaknya sebening kristal akan konsep yang dulu dia anggap semu. Sesuatu yang abstrak, namun bukan berarti tidak ada.
Hermione terdengar sungguh-sungguh mengatakannya—Aku mencintaimu—membuat Draco mencium bibir itu lagi. Lagi. Dan lagi karena dirinya tak dapat mengucapkannya. Semua perkataan yang keluar dari dirinya hanya akan terdengar seperti sebuah kebohongan, karena dia adalah Draco Malfoy. Seorang Draco Malfoy selalu mengingkari keberadaan perasaan itu.
Namun kini dia tak mampu lagi. Dia memang tidak mengatakannya pada gadis itu, namun berkata pada dirinya sendiri. Situasi tidak memungkinkan. Dan posisinya sebagai seorang Draco Malfoy tidak membolehkan. Dan dia menyesal nasib harus berkata demikian. Bahwa—
Draco Malfoy meninggalkan Hogwarts ketika dia jatuh cinta.
TAMAT

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
read comments

Dua Sisi Chapter 20

Silahkan baca!


BAB 20
Draco Malfoy menunggu di tengah kegelapan malam. Dia merapatkan syal yang melilit leher. Di sampingnya, Kofu tampak sibuk menjilati bulu-bulu, sesekali menggaruk telinga dengan kaki belakangnya. Sementara itu sang tuan duduk di atas batang pohon yang terjatuh tersambar petir berminggu-minggu lalu, membungkukkan badan dengan lengan menyangga beban tubuh. Mata memandang kosong di depannya.
Pemandangan menakjubkan. Peri-peri hutan. Sesuatu yang diinginkan Putri Gryffindor itu berbulan-bulan yang lalu.
Makhluk hutan mungil itu berpendar dalam kegelapan malam. Tubuh mungilnya menyerupai bentuk manusia, sama-sama memiliki dua tangan dan dua kaki sebesar dua ruas jari. Sayap kupu-kupunya yang transparan, berkepak ringan, dan berpendar keemasan. Kulit mereka seolah mengeluarkan cahaya. Dan kerlap-kerlipnya menjadi satu-satunya sumber cahaya malam itu. Mereka terbang kesana-kemari dalam kesunyian di antara litheas-litheas yang merekah indah.
Ini bukan pertama kali Draco melihat peri hutan. Seseorang dari masa lalu memperkenalkannya untuk pertama kali.
Waktu itu malam musim panas. Draco kecil berlibur di puri persinggahan musim panas milik keluarga di Scotlandia. Pada tengah malam ketika Draco masih tenggelam dalam mimpi, seseorang menyelinap ke kamar Draco lalu membangunkannya dari tidur. Adalah Lynx, kakeknya. Draco bertanya-tanya ketika lelaki tua itu berbisik menyuruhnya segera memakai jubah hangat dan tebal. Sang kakek hanya tersenyum dan menyuruhnya tak bersuaraagar tidak membangunkan yang lain. Apalagi membangunkan ibunya. Narcissa Malfoy takkan setuju putra semata wayangnya keluar dari rumah pada tengah malam seperti itu. Tipe ibu kau-gores-putraku-kau-kubakar-hidup-hidup.
Udara terasa sejuk khas musim panas. Langit terlihat cerah tanpa banyak gumpalan awan yang menutupi bintang. Sambil berjalan ke arah hutan, sang kakek menunjuk ke arah bintang memperlihatkan rasi bintang Draco. Dia yang memilih nama itu untuk sang cucu. Artinya 'naga', kata sang kakek.
Mereka berjalan tidak jauh. Ketika memasuki hutan, sang kakek menunjuk ke sebuah tempat. Dan Draco melihatnya pertama kali di kejauhan, menggali rasa keingintahuan sebagai anak berusia sepuluh tahun. Peri-peri hutan itu berterbangan seperti kunang-kunang. Lynx menyuruhnya tetap diam tak bersuara ketika mereka berjalan perlahan menghampiri. Ketika sampai di balik semak, mereka duduk berdempetan, dalam diam menikmati kerlap-kerlip itu. Hanya duduk di sana dan membiarkan benaknya berkelana liar mendengar sang kakek mendongengkan legenda di balik kisah peri hutan, rasanya menyenangkan sekali.
Draco berani taruhan, kisah legenda itu yang menarik seorang Hermione Granger untuk menanam litheasnya di hutan. The Tales of Aragon and Arwen. Tentang seorang raja manusia yang jatuh cinta pada seorang putri peri. Cerita yang menarik untuk anak berusia sepuluh tahun, namun terasa garing untuk seorang pemuda berusia tujuh belas tahun. Namun anak cewek selalu suka dengan sesuatu yang cengeng. Sesuatu yang norak. Pengaruh hormon esterogen yang berlebihan.
Draco masih mengingat hari itu dalam benaknya. Karena tiga minggu kemudian merupakan hari pertamanya masuk Hogwarts. Namun yang paling membuatnya teringat, adalah ketika dia menerima sebuah surat dari ibunya yang mengatakan bahwa Lynx Malfoy telah meninggal dalam tidurnya.
Kemudian kini Draco melihat makhluk-makhluk itu lagi setelah sekian lama. Rasanya dulu bentuk peri hutan tidak sekecil itu. Namun keindahannya tetap sama. Tak heran gadis itu ingin melihatnya. Hermione berasal dari keluarga Muggle, tentu dia tak pernah melihat hewan-hewan gaib seperti itu.
Draco masih menatap peri-peri hutan ketika telinga Kofu menegak. Kepala anjing itu mendongak sebagai tanda dia waspada. Perlahan tangan Draco terjulur, hendak meraih tongkat sihir yang tergeletak di sampingnya. Kemudian tiba-tiba terdengar ranting patah. Kofu menyalak. Draco menoleh, serta merta menggenggam waspada tongkat sihir, defensif.
Hermione Granger muncul di balik pepohonan, tampak terkesiap.
Draco menelan ludah, setengah terkejut mendapati gadis itu berada di sana—walaupun sebenarnya sudah menduga dia akan datang. Entah itu disebut apa. Keterikatan? Indra keenam? Blah, memangnya ada hal-hal yang seperti itu? Yang jelas Draco tahu adalah bahwa Hermione Granger pasti akan datang ke hutan itu. Karena tempat itulah yang telah memulai segalanya. Dan tempat itu pulalah yang paling tepat untuk mengakhirinya.
"Ma-maaf," kata si Gryffindor gugup.
Untuk sejenak mereka terpaku, saling menatap tanpa mengatakan apapun.
Gadis itu mundur selangkah. Keduanya mengalihkan pandangan. Kecanggungan atas segala hal yang pernah terjadi masih ada.
Dia tak bergerak, masih berdiri dimana dia muncul tadi. Draco mengalihkan pandangan, menatap peri-peri hutan yang berterbangan di atas litheas. Draco merasakan gadis itu merendahkan tubuhnya, duduk di atas rerumputan yang basah dan lembab. Dia mencoba tetap menjaga jarak, seraya merapatkan dan menekuk kaki dengan kedua tangan memeluk lutut.
Kemudian keheningan kembali untuk beradaptasi dengan kecanggungan. Matanya memandang kerlip peri hutan yang melayang-layang.
Ini yang diinginkannya dulu, pikir Draco melirik gadis itu. Untuk melihat mereka di hutan. Sebuah keinginan sederhana yang mengubah segalanya. Peri hutan yang telah menuntun kepada musuh terbesarnya. Yang telah menuntun pada semua kekacauan ini.
Draco tak tahu apa dia harus mengutuk atau berterima kasih pada nasib karena mempertemukannya dengan Hermione Granger. Perlu enam tahun lebih untuk menyadari bahwa gadis itu memang spesial. Banyak orang sudah melihatnya jauh bertahun-tahun sebelumnya. Dia gadis terpintar pada seusianya. Cerdas. Dan setiap orang tampak menyayanginya. Sejak dulu dia spesial dan berbeda dengan gadis-gadis yang lainnya. Namun Draco Malfoy tidak pernah peduli. Dia lahir dari pasangan Muggle, maka dia harus dipandang sebelah mata.
Lahir dari pasangan Muggle. Menyayangkan mengapa gadis itu harus lahir dari mereka. Bukan berasal dari seseorang dari keluarga seperti Pansy. Membatin mengapa Pansy tidak bisa seperti dirinya. Akan jauh lebih mudah jika Hermione adalah tipe-tipe gadis yang dulu Draco sering temui. Berbisik di telinga mereka, membisikkan sesuatu yang membuat mereka senang, lalu mengajak mereka ber-one night stand. Namun Hermione Granger memang spesial. Betapa inginnya Draco melakukan sesuatu seperti yang dilakukannya pada gadis-gadis lain. Mencium bibirnya. Merapat ke tubuhnya. Dan menghirup aromanya.
Draco melirik ke arah Granger. Gryffindor itu menatap kosong ke arah peri-peri hutan di depannya. Rambutnya tergerai. Duduk membisu memeluk lututnya erat. Tampak rapuh dan polos.
Ingin rasanya Draco menghampirinya, melepaskan sesuatu yang adiktif secara konsisten hadir di setiap kehadirannya. Namun dia tahu dirinya tak sanggup melakukan apa yang dikehendaki benaknya sendiri. Tidak. Tidak. Karena gadis itu terlalu spesial. Dia bukan seseorang yang patut diperlakukan seperti itu. Nasib telah sedikit berbaik hati padanya membawanya ke sini, maka dia harus sudah puas hanya dengan bersamanya.
Draco mengalihkan pandangan untuk mengusir keinginannya itu. Entah sudah berapa lama mereka terdiam di sana. Mungkin sejam. Bahkan Kofu hanya berbaring di atas tanah dan menjilati bulu-bulunya. Kemudian kembali berbaring memejamkan mata.
"Sisa kisah Aragorn dan Arwen," kata Draco kemudian, merasakan gadis itu terkejut mendengarnya bicara. "Inilah yang ingin kau lihat, bukan? Akhirnya kau melihatnya."
"Cinta terlarang Aragorn dan Arwen membawanya ke makhluk-makhluk ini."
"Cinta? Itu hanya dongeng cinta untuk menyenangkan anak perempuan sebelum tidur," kata Draco. "Orang-orang bodoh mereka itu. Yang benar adalah egoisme. Sang raja yang egois membuat sang putri meninggalkan sesuatu yang seharusnya menjadi jalannya, yaitu pergi bersama kaumnya."
Granger menundukkan kepala. "Seandainya ada situasi yang memungkinkanku juga bisa bertindak egois."
Pernyataan itu menusuk hatinya. Namun Draco tak berdaya untuk membenarkan atau menyangkal. Niatnya ke tempat ini bukan untuk menyalahkan situasi dan berharap dunia lebih bersahabat dengannya. Hanya satu hal sederhana yang ingin dilakukannya. Draco ingin melihatnya.
"Setelah semua tindakan yang kulakukan untuk menggoyahkanmu, aku bersyukur kau tetap keras kepala mempertahankan litheasmu, Granger," kata Draco kemudian. Mata tetap menatap ke peri hutan yang beterbangan. "Aku bersyukur kau tetap melakukannya."
"Begitu?"
"Litheas itu membawa kita ke sini."
Akhirnya Draco mengatakannya. Dari semua perkataan penuh sarkasme, ejekan, dan cacian yang dulu pernah dilontarkannya, hanya kata-kata barusanlah yang paling benar. Dan Draco agak takjub mendapati dirinya bersungguh-sungguh mengatakannya. Perkataan itu sungguh terasa benar. Bahwa dia tidak menyesali mereka pernah berbagi ruang dan waktu bersama. Namun pada akhirnya berbagi rasa sakit yang sama. Sesuatu yang membuat Draco merasa hidup dan manusiawi.
Jadi. Tak ada sesal.
Sejenak tak ada yang bicara. Draco telah mengatakan hal yang ingin dikatakannya. Bahwa dirinya senang karena waktu telah memberinya kesempatan membawa Hermione Granger pada dirinya. Kini rasanya beban di pundaknya seolah terangkat.
"Tapi mengapa akhirnya harus seperti ini?" tanya Granger.
Cowok itu tak menjawab, masih memandang peri hutan yang berterbangan di depan. Kemudian dia menundukkan kepala menatap tangannya. "Entahlah. Mungkin nasib sedang mencoba mempermainkan kita. Dia sedang tak ada kerjaan sehingga memutuskan untuk bermain-main dengan perasaan manusia."
"Kuharap dia tahu bagaimana rasanya." Draco mendengar nada sinis dalam suara gadis itu.
Dia menatap Granger. Ada kemarahan dalam diri Gryffindor itu. Draco tak punya waktu untuk ikut merasa marah sekarang. Atau komplain dengan keadaan. Dia lelah. Gusar dengan semua ini hanya akan membawanya berputar-putar pada rasa kesal yang takkan berakhir. Dia tak sanggup menghadapi Hermione Granger yang seperti itu karena hanya akan menarik Draco kembali ke dalam rasa marahnya dulu.
Malam belum begitu larut. Namun mungkin memang sudah waktunya untuk pergi. Gadis itu harus segera kembali ke kastil sebelum gerbang ditutup dan kembali menjadi seorang murid yang baik. Dia akan selalu menjadi seperti itu: panutan dan murid teladan. Masalah seperti ini tidak boleh mengganggunya lagi. Dan sudah pasti tidak akan terjadi setelah mereka meninggalkan tempat ini untuk saat itu dan selamanya.
Maka Draco mulai bangkit dari batang pohon. Kofu mengikuti tuannya, ikut beranjak bangun.
"Kau pergi?" tanya Hermione.
"Ya. Apa yang kuinginkan ketika datang kemari, sudah terpenuhi," katanya. "Tadi pagi aku hanya ingin berniat menghabiskan malam di sini sekadar menenangkan diri. Lalu keinginanku bertambah. Aku ingin menemuimu. Dan keinginan itu juga terpenuhi karena kau telah datang." Dia menghela napas. "Kau tahu aku orang yang tidak pernah puas, Granger. Setelah itu pun, aku menginginkan yang lain. Kini aku ingin menciummu."
Si Gryffindor menundukkan kepala.
"Nah," sahut Draco. "Sudah malam, Granger. Lebih baik kau segera kembali ke kastil. Pintu gerbang akan segera ditutup."
Hermione membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu. Kemudian menelannya lagi. Draco berharap apapun yang akan gadis itu katakan bukanlah untuk menyuruhnya tetap tinggal. Dan ternyata memang bukan. Gadis itu hanya berkata, "Dan- dan kau?"
"Aku…" katanya seraya mencoba mencari sebuah alasan. Namun dia malah menemukan sebuah fakta. "Aku mau mencari udara."

Sosok itu menghilang di balik pepohonan. Draco Malfoy. Sang musuh. Yang tak tersentuh. Telah menjadi bagian dari dirinya.
Aku ingin mencari udara—
Katanya. Hermione merasa pernyataan cowok itu benar. Betapa dirinya juga ingin bernapas sekarang. Udara terasa pekat dan begitu menyesakkan. Ketika Draco Malfoy dan anjingnya meninggalkan tempat itu, seolah udara menyusut tak tersisa. Hermione tahu takkan ada lagi sosoknya di hutan itu dalam waktu-waktu ke depan. Hatinya telah diberikan kepada seseorang dan kini orang itu akan membawanya pergi.
Mereka saling mengenal dengan cara dan akhir yang tak terduga. Mungkin Draco benar, seharusnya Hermione juga bersyukur. Dia bisa bertemu dengan seorang pemuda. Dan jatuh cinta. Dan merasakan patah hati. Dan tegar menghadapinya. Sesuatu yang mengingatkan bahwa kini dia telah beranjak dewasa. Akhirnya dia tahu maksud Ginny pada bagian 'kau tersiksa, namun kau menikmatinya.'
Jadi, akhirnya harus begitu. Tak ada sesal.
Namun ada satu yang yang ingin dilakukannya. Keinginannya datang ke hutan itu adalah untuk bertemu dengan Draco sekali lagi. Hanya sekadar duduk dan berbagi udara yang sama. Kemudian menunggu waktu, menanti matahari muncul di timur. Ya, bersamanya sekali lagi. Maka setelah menetapkan hati, Hermione bangkit dari duduknya. Kemudian berjalan ke arah tadi Draco menghilang, masuk lebih dalam ke dalam Hutan Terlarang.
Warna-warna gelap yang menyelimuti. Hewan malam yang tampak hati-hati bersuara. Tak ada ramai suara kicau burung yang bersenandung di atas pohon. Tak ada warna-warni hutan yang terlihat di bawah cahaya matahari. Malam itu cukup dingin walaupun angin seperti tidak berhembus karena terhalang pepohonan besar yang mengelilingi. Tak terlihat bintang berpendar di atas sana. Langit malam suram memancarkan seberkas sinar bulan keperakan di balik awan. Cahayanya terblokir dedaunan yang lebat. Dan rasanya sunyi sekali.
Hermione berjalan hati-hati di antara akar-akar yang menyembul di atas tanah, merasakan hatinya bergetar. Bangunan bobrok Shrieking Shack terlihat di balik pepohonan. Malam hari tempat itu jauh lebih menyeramkan. Kaca-kaca jendela telah pecah seolah pernah terjadi sebuah kejadian mengerikan di sana. Atap-atap rusak dan dinding-dinding tampak kusam menyeramkan. Sulur-sulur tanaman rambat dan cahaya bulan membuat bangunan itu tampak dingin dan suram membangkitkan imajinasi gambaran rumah dalam cerita horor. Namun rasa takut berada dalam urutan terakhir dalam daftarnya saat ini.
Dia menaiki undakan rumah, membuka pintu yang berderit. Kofu berlari keluar dari bangunan dan Hermione membiarkannya lewat. Hewan itu menyalak sekali, kemudian berlari ke arah bunyi gemeresik di balik semak. Mata Hermione kembali ke dalam, mencoba beradaptasi dengan kegelapan. Cahaya tidak dibutuhkan. Kegelapan membantunya untuk mengaburkan batas antara yang benar dan yang salah.
Langkahnya terangkat ketika menaiki tangga dengan perlahan. Hatinya berdegup kencang. Dan semakin kencang ketika dia hampir mencapai lantai atas. Kemudian dia melihat seberkas sinar yang keluar dari sebuah kamar. Hermione menahan napas. Ada Draco di dalam sana.
Hermione tahu cowok itu sering menghabiskan waktu di kamar itu—kamar yang sama dengan kamar yang digunakan Granger untuk mengobati luka cederanya akibat kecelakaan dulu. Memang masih jauh dari rapi dengan perabot yang reot dan berantakan. Namun tetap saja ruangan itu terlihat yang paling bersih di antara ruang yang lain. Menunjukkan bahwa ada seseorang yang sering datang ke sana untuk berbaring atau melakukan segala sesuatu.
Hermione berdiri di pintu kamar. Dia tahu dirinya pasti terlihat kacau. Kacau. Tak ada kata yang lebih tepat lagi. Dan jantungnya berdegup kencang ketika melihat si Slytherin berdiri di samping perapian yang menyala. Tatapannya kosong menatap api yang berkobar.
Seperti merasakan kehadirannya, cowok itu menoleh ke arah pintu. Matanya melebar tampak terkejut.
Sang Gryffindor menahan napas.
"Hermione," katanya. Nama itu meluncur dari bibirnya. "apa yang…"
Mau bertanya apa dia? Apa yang dilakukannya di sana? Mengapa belum kembali ke kastil? Namun Hermione bersyukur pertanyaan itu tak diteruskannya. Karena sesungguhnya, dia tak tahu harus menjawab apa.
Lalu Hermione menatap lantai, merasakan tubuhnya gemetar. Tangan memeluk diri, memaksanya agar tidak gemetar. Kemudian matanya kembali memandang cowok yang berdiri di samping perapian itu. Keinginannya untuk duduk di ruangan itu berbagi udara yang sama dengan Draco Malfoy, kini hilang sudah. Kini keinginannya bukan sekadar duduk…
"Aku…aku ingin mencari udara," bisiknya parau, merasakan mungkin dirinya tak dapat mengendalikan diri lagi.
Untuk sejenak tak ada yang berani berkata-kata maupun bergerak. Tenggorokannya tersekat. Ada dorongan di hatinya untuk bergerak. Dan Hermione enggan melawannya. Maka dia memberanikan diri untuk melangkahkan kaki. Menghampiri Slytherin itu. Perutnya kini terasa campur aduk. Melihat cowok itu tampak terpaku, menelan ludah.
"Kastil akan dikunci jika kau tidak buru-buru," katanya ketika Hermione berdiri di depannya. Tangan si Slytherin terkepal erat di sisi tubuhnya seperti sedang menahan diri.
Hermione menatap mata kelabu itu. Memberanikan diri lagi mengangkat tangannya perlahan, terjulur ke arah wajahnya. Tangannya terhenti di udara—keraguan menyelinap—kemudian melanjutkan perjalanannya lagi, menyentuh ke pipi Draco.
"Aku mencari udara," ulang Hermione dengan suara bergetar. Merasakan air mata menggenang di pelupuk mata. "Aku tak ingin kembali ke kastil malam ini."
Draco membuka mulut, kemudian menutupnya lagi seperti tak tahu apa yang harus dikatakan. Dia menatapnya, tampak masih tak mengerti. Hermione memperpendek jarak tubuh mereka, telapaknya masih gemetar. Kemudian memejamkan mata—
Bibirnya telah menemukan tujuan.
Hermione mengingat rasanya mencium Draco Malfoy. Sama seperti dulu, sesuatu seperti meledak dalam tubuhnya. Ada sesuatu hal yang terasa hidup. Begitu bernyawa. Hermione membawa telapak tangannya ke leher Draco. Menariknya lebih dekat. Perlahan. Lembut. Memejamkan mata untuk merasakan. Dia tahu jika dia membuka mata, mungkin dia harus melihat dunia nyata. Jika dia melihat dunia nyata, maka dia harus menghentikan sentuhan itu.
Draco menarik dirinya, sedikit panik ketika menyadari Hermione meneteskan air mata. "So- sori," katanya. Tapi untuk apa? Sori karena tidak mampu manahan diri? Membuatnya menangis? "Hermione…" Kening bersandar ke kening Hermione.
Tangan si Gryffindor gemetar mengusap pipi cowok Slytherin itu perlahan.
"Jangan berhenti. Aku baik-baik saja."
"Tapi…"
"Aku tak ingin kembali ke kastil malam ini," katanya sungguh-sungguh.
Saat itulah Draco pasti mengerti maksudnya. Dan jantung Hermione berdegup semakin kencang. Kemudian bibirnya kembali. Seketika itu juga sang Slytherin seolah tak dapat mengendalikan dirinya lagi, menekan tubuhnya kepada si Gryffindor. Bibir mereka saling bergerak menyambut, membiarkan dirinya ikut terhanyut. Waktu seakan abadi sehingga tidak peduli dunia nyata.
Hermione membuka bibirnya, membiarkan lidah cowok itu menyusup… Membiarkan merasakan… Mencari… Menjelajahi… Menemukan… Menyelidiki… Merasakan… Kali ini dia takkan menghentikannya seperti sebelum-sebelumnya. Dan sama seperti sebelumnya, sesungguhnya dia tak pernah ingin kecupan itu berakhir. Ketika di Hutan Terlarang. Ketika malam kemenangan Slytherin. Ketika pesta dansa musim semi. Tidak, Hermione tak pernah menginginkannya berakhir. Hanya saja, dahulu dia masih harus menghadapi dunia nyata.
Namun saat ini dunia nyata tidak penting.
Bibirnya terasa semakin putus asa. Hermione tak menyadari bahwa Draco telah membimbingnya ke tempat tidur tanpa sedetik pun melepaskan diri. Beberapa saat kemudian, sesuatu yang empuk terasa di bawahnya. Mereka telah berbaring di atas ranjang. Tentu saja dia tak ingat proses kapan dan bagaimana. Bibirnya, lidahnya, napasnya, membutakannya, mengaburkan daya pikirnya. Dan entah berapa lama Hermione menahan napas. Ciuman itu menyedot oksigen dalam paru-paru. Napasnya kian berat, hasratnya kian mendesak, napasnya memburu. Tangan cowok itu menyusuri sisi tubuhnya, merasakan lekuknya, membelai punggungnya, sekali lagi membiarkan merasakan, mencari, menjelajahi, menemukan, menyelidiki, merasakan. Lagi.
Hermione menarik dirinya mencari udara. Namun kebutuhan itu tak berkurang sedikit pun. Bibir Draco bergerak ke garis rahangnya, bawah telinganya, lehernya, kemudian menggigit dan menyesap. Membuat Hermione memberanikan diri untuk bergerak menarik sweter kasmir yang kenakan. Ketika sweter itu mencapai dada, mendadak dia merasakan tatapan cowok itu menarik diri.
Mata kelabu itu menembus matanya menyiratkan pandangan bertanya dan waspada.
Hermione Granger menyusupkan tangan ke belakang leher cowok itu, menariknya kembali ke bibirnya. Itu cukup memberi keberanian kepada si Slytherin untuk meneruskan. Seketika itu, Draco mengerti maksudnya.
Waktulah yang membimbing semua gerak tubuh.
Setelah itu, Hermione tahu telah tiba saatnya. Saat dia harus menyerah. Menyerah untuk berharap. Menyerah untuk berpikir. Menyerah untuk membutuhkan. Cepat atau lambat, toh ini pasti akan berakhir. Dan jika dia harus menyerah terhadap segala tentangnya, maka dia hanya ingin merindukannya. Membiarkannya tertinggal di masa lalu. Dunia kecil mereka, dimana tak ada orang yang tahu.
Dan Hermione mengatakan sesungguhnya, bahwa dia benar-benar tidak ingin kembali ke kastil malam itu. Maka dia tidak meninggalkan Shrieking Shack, tidak meninggalkan ruangan itu. Hanya malam ini. Dirinya telah memilih.
Seprai putih tempat tidur lusuh dan berantakan. Udara terasa panas oleh keringat.
Hermione Granger tidak meninggalkan ranjang di malam itu.
Dan Draco Malfoy berada di sisinya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
read comments

Dua Sisi Chapter 19

Silahkan baca!


BAB 19
"Besok kapan ayahmu akan datang menjemput, Draco?"
"Mungkin sebelum makan siang," jawabnya datar memandang Blaise berusaha menutup koper yang sudah kepenuhan.
"Oh, kalau begitu sama dengan ibuku. Kayaknya ayahnya Pansy juga," katanya, kini menduduki koper tersebut. "Sebisa mungkin aku memang tak ingin melewatkan makan siang di sini sih. Aku ingin punya waktu istirahat cukup setelah perjalanan panjang ke rumah."
"Berarti kita semua pergi sebelum makan siang."
"Tidak juga. Masih ada Daphne. Katanya dia dijemput saat makan malam," katanya lagi. "Demi Merlin, apa mungkin koper ini bisa menciut, hah?"
Draco duduk di tepi ranjang bersandar pada tiang, memutar-mutar tongkat sihir di antara jemari. Miliknya sudah selesai dikemas setelah makan siang tadi. Beberapa saat sebelum asrama mulai ramai dengan anak yang berseliweran untuk mencari barang-barang yang mungkin tertukar atau terselip di suatu tempat karena dipinjamkan kepada orang lain. Sesekali menonton Blaise dan sedikit menghibur melihat Ketua Murid itu bergulat dengan kopernya sendiri. Entah bagaimana nanti Blaise akan menutupnya karena isinya memang terlalu penuh. Seperempat bawaannya bahkan masih berada di luar koper.
Dan kini tidak ada hal yang dilakukannya untuk berkemas. Hanya sekadar duduk dan sedikit gugup menanti waktu. Waktu tidak pernah terasa begitu menekan seperti ini.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Blaise?"
"Makan malam tentu saja."
"Bukan. Maksudku setelah Hogwarts."
"Oh," sahut Blaise masih sibuk menekan koper. "Mau ikut Madre—Ibu—ke Bercelona."
"Inggris tidak menyenangkanmu lagi?"
Blaise tersenyum sok bijak. "Bukan itu. Aku ini cinta kedamaian, Draco," selorohnya. "Kabar-kabari saja jika semuanya sudah beres."
Begitulah Blaise Zabini. Tipe orang penikmat dan bukan pemerakarsa. Dia berhenti sekolah dari Hogwarts hanya sekadar untuk jauh dari konflik perang yang akan terjadi. Blaise atau ibunya bukan tipe yang menganut ideologi tertentu. Mereka hanya mempertahankan keadaan selama masih menguntungkan mereka. Mempertahankan status quo jika perlu. Sebisa mungkin hanya mendukung, bukan terjun langsung ke medan perang. Tipe orang yang mau dimanfaatkan, selama dirinya memperoleh keuntungan juga.
Terkadang Draco mengejek pandangannya, tentu, bahwa dia orang yang tidak punya pendirian atau semacamnya. Pola pikir orang seperti itu kadang-kadang memang harus disentil. Namun itu tidak begitu penting. Yang jelas Draco tahu adalah Blaise tetap memberikan rasa hormat padanya dan yang lain. Seperti biasa, semua opini itu hanya menjadi sebatas olok-olok belaka. Tak pernah ada percekcokan. Dan perselisihan mereka tidak pernah sampai serius. Jika Draco mencibir, Blaise hanya mendengus mengatakan, "Terserah, Malfoy. Kayak aku peduli saja?" Dia memang tampak munafik, namun bukan pengkhianat. Dia akan selalu loyal dan tidak akan menyeberang pihak.
Blaise telah menentukan jalannya sendiri, Draco juga telah memilih jalannya, dan demikian pula dengan yang lain. Namun ujung jalan mereka semua masih belum terlihat. Tak ada yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi setelah mereka keluar dari Hogwarts. Mengambil langkah ini benar-benar sebuah keputusan yang penuh resiko. Keputusan yang luar biasa besar.
Draco tak dapat menahan dirinya untuk tidak merasa gugup. Bayangkan untuk menghentikan kegiatan yang dilakukan secara konsisten selama tujuh tahun dan meninggalkan segala hal yang telah dekat dengannya menjadi sebuah masa lalu. Kemudian melakukan sesuatu yang sama sekali baru. Terkadang kekuatiran justru lebih besar dari harapan. Bagaimana jika langkah baru tersebut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan? Apakah semua temannya merasa gugup menanti masa depan? Apakah ini kegugupan karena kecemasan atau kegugupan akan antusiasme?
Berani mengambil langkah ke depan berarti harus berani meninggalkan langkah di belakang. Menyelesaikan segala urusan yang telah dia mulai, namun belum terselesaikan. Mungkin ini salah satu alasan ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Bahwa ada kemungkinan bahwa kegugupan juga bisa muncul karena ada sesuatu yang belum dibereskan. Hatinya mengatakan demikian setelah memikirkannya masak-masak semenjak beberapa jam terakhir. Memang masih ada satu hal. Ada sesuatu yang harus dilakukannya sebelum dia benar-benar pergi.
Draco menatap pintu kamar. Kemudian kembali menatap tongkat sihir yang berputar-putar di antara jemarinya. Kemudian menatap pintu lagi.
Sinting.
Urusan yang belum terselesaikan. Sinting. Apa aku harus melakukannya? batinnya.
Hanya satu keinginan sederhana.
Draco menelan ludah, sedikit bertambah gugup. Ini terasa janggal dan salah, karena Draco Malfoy tidak pernah gugup. Maka setelah menetapkan hatinya, dia memasukkan tongkat sihir ke saku lalu bangkit dari ranjang.
"Mau makan malam, Draco?" tanya Blaise.
"Bukan—"
"Aku ikut— tapi tunggu sebentar. Sebentar, oke? Aku harus—urgh—menutup koper keparat ini—urgh—dulu," katanya menekan koper membandel itu. "Pinjami aku pantatmu sebentar, Draco. Sini bantu aku."
Draco hendak mengatakan sesuatu bahwa dia bukan pergi untuk makan malam. Matanya menatap pintu kamar dan Blaise bergantian. Namun ujung-ujungnya dia memutuskan membantu temannya itu sejenak. Blaise menginstruksikan Draco duduk di ujung koper, sementara dirinya sendiri duduk di ujung satunya. Beban tubuh dua orang menekan ke bawah. Tutup koper terdesak, lalu berhasil terkait terkunci rapat.
Blaise tampak puas. "Oh, tak pernah kuduga menutup koper akan menyedot seluruh kesabaranku."
"Lalu dimasukkan kemana sisa jubahmu ini?"
Beberapa potong jubah musim dingin tebal yang tergeletak di atas tempat tidur Blaise.
"Oh, rencananya akan kuberikan pada Jake—kau tahu, anak kelas empat yang jerawatan itu. Lagian Barcelona tidak dingin. Tak ada gunanya aku menyimpan jubah musim dingin banyak-banyak," ujarnya mengangkat bahu. "Ayo, kita ke atas. Perutku sudah lapar."
"Aku bukan mau ke Aula Besar, Blaise."
"Mau kemana kau?" katanya mengernyitkan dahi.
Draco berpikir keras. "Ada sesuatu— yang harus kulakukan."
"Begitu ya?"
"Aku seperti tidak berselera makan saat ini," katanya. "Tapi kita bisa jalan bareng ke atas."
Blaise mengangguk—walau masih tampak penasaran. Draco menunggu si Ketua Murid di depan pintu kamar mereka. Setelah menumpuk jubah-jubah yang tidak dimasukkan ke dalam koper di atas ranjang kosong bekas tempat tidur Greg dulu, Blaise mengikuti Draco ke luar kamar.
Di ruang rekreasi, dua-tiga anak masih mondar-mandir membawa barang-barang. Seseorang melempar jubah dari ujung pintu kamarnya ke seseorang di ujung ruangan lain. Di samping perapian, dua anak kelas enam mengganggu seorang anak kelas dua, mengangkat tinggi tongkat sihir sementara si junior melompat-lompat berusaha menjangkau benda itu.
Draco hampir tertabrak seorang seorang anak kelas empat yang berjalan terhuyung-huyung. Tangannya membawa tumpukan tinggi pakaian dan sebuah kuali yang riskan jatuh di tumpukan paling atas ("Blaise, aku ambil jubahnya setelah makan malam," katanya mengintip dari balik tumpukan). Kemudian kembali berjalan sambil menyuruh orang-orang menyingkir dari jalannya.
Besok ruangan ini akan sepi. Semua cerita di ruang rekreasi itu akan berakhir selepas mereka meninggalkan langkah mereka di sini.
"Rencananya akan ada pesta kecil-kecilan nanti?" tanyanya ketika mereka melewati tembok batu pintu asrama Slytherin. "Sudah tahu?"
Draco mengangguk singkat.
"Bagus. Kita memang harus bersenang-senang malam ini. Dan siapa yang memberitahumu?"
"Daphne."
"Oh. Ini memang idenya sih," sahutnya memberitahu. "Well, bukan pesta heboh. Cuma ide mendadak di antara kita-kita saja. Katanya Jake sudah punya dua botol Wiski Api dan ada seorang anak kelas enam yang punya sebotol. Memang cuma tiga—masih mending daripada tidak ada sama sekali. Tapi apapun bisa dilakukan, benar kan? Saat-saat seperti ini terlalu sayang untuk dilewatkan."
"Yeah."
"Kalau begitu sudah pasti kau bakal ikutan?"
Draco berlagak mengamati baju zirah yang sedang menari tap dance tanpa menjawab pertanyaan. Dia benar-benar tak tahu. Jelas pesta bukan saat yang tepat saat ini. Banyak orang hanya akan membuat pusing. Akan ada yang banyak bicara. Akan ada banyak tingkah khas pesta. Kebisingan dan banyak lagi. Dan patut diingat, akan ada Pansy.
Blaise menghela napas. "Yah, memang bukan pesta gede-gedean seperti pesta kemenangan Slytherin dulu. Jangan berharap seramai itu, Draco, kau tahu itu," katanya mengingatkan. "Anak Slytherin sudah tidak sebanyak dulu. Paling-paling hanya ngobrol sampai pagi. Tapi lumayanlah untuk seru-seruan."
"Oke. Bukan masalah."
Kemudian sunyi tak ada yang bicara. Mereka berjalan melewati lorong bawah tanah sepi, menuju tangga. Draco merasakan tatapan Blaise seolah menunggu Draco untuk berkata lebih banyak. Perlahan dia menyadari, dirinya memang tak banyak bicara malam ini. Sesuatu yang janggal bagi siapapun karena Draco Malfoy seharusnya 'banyak bicara'. Dirinya selalu mendominasi di segala kesempatan.
"Draco, kau konslet ya?"
"Hah?"
"Ada apa denganmu?" tanyanya.
"Ada apa apanya?" tanya Draco balik. "Aku sudah bilang 'oke', Blaise. Berarti aku setuju-setuju saja," katanya.
Mereka berjalan menaiki tangga. Kemudian melewati Joe si Keeper Slytherin yang berjalan ke arah sebaliknya lalu bertukar sapaan.
"Bukan itu, idiot." Draco mendengar cowok itu menghela napas menatapnya kesal. "Aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan. Maksudku, untuk sebuah langkah besar yang telah kau impikan selama beberapa tahun terakhir, wajahmu itu seperti orang yang sedang sembelit, tahu tidak?" katanya, mengernyitkan dahi.
Draco tak dapat menahan senyum pada pernyataan teman seasramanya itu. "Dan kau bawel sekali malam ini, kau tahu itu."
"Aku sudah mengenalmu lama," katanya lagi. "Draco Malfoy si Casanova. Manwhore," Kata yang terakhir membuat Draco mendelik, menatap garang ke arahnya. "Aku tidak pernah melihatmu mellow. Kau pendiam sekali. Draco Malfoy yang pendiam seperti pertanda kiamat bakal datang sebentar lagi.Man, ini bukan dirimu. Dan yang sedang kau rasakan ini tidak sehat."
Draco tersenyum lebar. "Baik, Healer Zabini."
"Oh, kau malah mengolok," gerutu Blaise. "Aku tak tahu apa yang ada di benakmu, tapi aku sedikit menebak bahwa kau akan mencari kesenangan di tempat lain atau semacamnya. Tidak, tidak. Demi kesehatan jiwa-ragamu, Signore, kau harus ikut bersenang-senang dengan kami malam ini. Jadi, jangan bilang kau tidak ikut," hardiknya tajam. "Jangan pula sampai terbersit di benakmu."
"Oke. Lihat saja nanti."
"Terserah, Malfoy," tukas Blaise tak sabar. "Sekadar informasi yang harus kau sumpal ke dalam otak mungilmu itu, aku tak berminat ikut-ikutan tenggelam dalam kerajaan dunia kegelapanmu. Aku mau senang-senang malam ini. Dan seharusnya kau juga ikut."
Draco menghela napas, merasakan kekesalan temannya itu. "Aku cuma— well, katakan saja aku masih punya satu hal yang harus kuselesaikan."
"Unfinished business?"
"Semacamnya," katanya menimbang-nimbang.
Blaise terdiam sesaat tampak ragu. Dia menatap Draco sambil mengerucutkan bibirnya. "Boleh aku tahu? Apa kau habis membunuh seseorang dan ingin mengubur mayatnya di pekarangan Hogwarts? Aku juga punya unfinished business, Draco. Seseorang yang membuatku tergoda untuk memukul bagian kepala orang itu lalu menguburnya hidup-hidup." Draco masih mendengar sedikit kekesalan dalam suara Blaise. "Tapi bukan berarti aku nggak ikut pesta, kan?" gerutunya.
Draco mendengus tertawa. "Ada apa memangnya?"
"Jake pernah menantangku mencium seorang cewek Hufflepuff seminggu yang lalu. Dan kini cewek itu menguberku seharian tadi dan meyakinkanku bahwa aku cinta sejatinya. Ckckck… dan katanya dia mau ikut besok."
Draco bersiul.
"Yeah. Benar-benar sinting," ujarnya menggelengkan kepala. Lalu dia mengangkat bahu. "Aku sudah membereskannya dan mengatakan bahwa 'kita tidak ditakdirkan bersama' atau 'takdir memang kejam pada kita'."
Draco tersenyum mendengar olokan itu. Mereka tiba di atas tangga, sampai di persimpangan antara jalan ke Aula Besar dan ke tangga lain. Mereka berhenti sebentar, mengucapkan sampai jumpa.
"Oke. Unfinished business," gerutunya sebelum berjalan ke arah Aula Besar. "Tapi usahakan secepatnya kau kembali ke asrama, oke?"
"Lihat saja nanti."
Ketika Draco melanjutkan langkahnya menaiki tangga berikutnya, dia mendengar Blaise bergumam pada diri sendiri, "Oh, kini aku tambah yakin dia nggak bakal datang."

Hermione berbaring di atas ranjang, menatap langit-langit dalam kamarnya yang gelap. Tenggelam dalam pertarungan batin.
Dua hari setelah pembicaraan di perpustakaan itu, segalanya menjadi terasa sulit. Semua temannya tampak menyadari kebisuannya. Dan rasanya berat sekali menghadapi mereka sambil bersikap acuh tak acuh. Ketika bangun tidur, Lavender bertanya kenapa matanya sembab. Ketika pelajaran Transfigurasi, Ron bertanya ada apa, kenapa Hermione begitu pendiam tanpa pernah tangan teracung ke atas seperti dulu. Dan sore tadi di ruang rekreasi, Ginny bilang bahwa jika dia ingin mencurahkan hati, dia bisa bicara dengannya.
Apakah perasaan itu memang telihat sejelas itu di wajahnya hingga orang-orang tampak khawatir?
Seandainya semudah itu untuk bicara tanpa kemudian dihakimi. Dan Hermione tak tahu harus bagaimana mengatasinya. Dia belum pernah merasakan emosi ini. Masalah ini tidak bisa begitu saja diselesaikan sekeras apapun Hermione belajar.
Ini bukan sesuatu yang berhubungan dengan sekolah. Atau yang berhubungan dengan pelajaran. Atau dengan buku-buku. Atau ujian, atau pekerjaan rumah, nilai, tugas, atau sesuatu yang dapat diselesaikan jika dia berkelakuan baik. Atau jika belajar yang rajin, dan jika terus belajar, dan terus belajar, belajar lagi, dan lagi… Ini sama sekali tidak berhubungan dengan masalah yang sering dihadapinya di sekolah. Dunia tahu bahwa selama ini dia hanya pacaran dengan buku dan bercinta dengan ilmu. Yang kini Hermione hadapi menyangkut tentang seorang laki-laki—yang akan membuat heboh seisi Hogwarts jika mereka tahu.
Hermione Granger tidak pernah memikirkan seorang laki-laki.
Dulu Mad-Eye Moody—yang saat itu bukan Mad-Eye sungguhan—dalam pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam pernah mengatakan, "Caranya adalah analisis masalah yang kau hadapi dulu, baru setelah itu kau akan lebih mudah memutuskan mana mantra yang tepat untuk digunakan."
Hermione telah menganalisis 'masalah' yang telah dihadapinya. Namun dia tak tahu 'mantra' apa yang harus digunakan. Masalah yang berhubungan dengan hati dan perasaan, tidak pernah tercantum dalam kurikulum dan buku pelajaran manapun. Apakah dia harus menghiraukan segala sesuatu dan berharap waktu akan membuatnya lupa? Ataukah dia harus mencari pelarian?
Lavender Brown pasti memiliki opsi lain. Jika cewek itu berada di posisi Hermione, mungkin Lav akan mencari orang lain untuk dipikirkan. Orang yang baru jika dengan orang sebelumnya telah gagal. Tentu saja mudah baginya, karena dia dapat dengan mudah menyukai seseorang. Karena dia selalujatuh cinta. Dia menyukai Oliver Wood pada tahun kedua. Sakit hati karena ditolak Cedric Diggory pada tahun ketiga. Sempat marah dengan Hermione karena berkencan dengan Viktor Krum pada tahun keempat. Tahun kelima sempat menyukai Ron Weasley. Dan patah hati gara-gara seorang Muggle yang ditinggalkannya sebelum masuk ke Hogwarts pada tahun keenam. Hermione ingat, selama dua minggu awal masuk sekolah Lavender masih terus menangis tiap malam. Tapi tetap saja kemudian wajahnya menengadah, dan siap memburu cowok lain.
Baginya, cinta adalah permen. Sesuatu yang manis dan mudah dibagi-bagikan kepada orang lain. Dan kembali lagi untuk mencari yang lain.
Apakah akan mudah jika Hermione mencari orang lain juga? Namun mengapa hingga kini tak ada 'orang lain' yang bisa membuat jantungnya berdegup seperti itu? Ataukah mungkin ini adalah sesuatu yang menyerempet pandangan orang-orang dulu bahwa 'cinta pertama tidak akan pernah mati'? Sebuah pandangan klasik. Namun jika mengacu pada pandangan milik Lavender, konsep cinta-pertama-tidak-akan-pernah-mati menjadi cenderung relatif.
Tapi Hermione mengenal seseorang yang pernah mengalaminya.
Ginny Weasley.
Beberapa hari yang lalu, di aula Ginny mengatakan, "Ah itu sudah basi." Ya, mungkin topiknya memang basi. Tapi Hermione tahu perasaan Ginny pada Harry belumlah 'basi'. Dia lihat bagaimana gadis itu mengerling ke arahnya ketika semua orang tak menyadari—apalagi Harry sendiri. Melirik cowok lain memang mudah. Namun menyukai seseorang dengan kadar suka seperti ketika dia menyukai Harry, itu kesulitan lagi. Ginny masih hidup dengan perasaan itu.
Dia tahu dirinya bertepuk sebelah tangan. Namun dia telah bersepakat dengan rasa sakit. Rasanya asyik sekali memikirkan seseorang, katanya. Mungkin karena itu kau akan sulit tidur. Dan rasanya malas sekali untuk makan. Dan terus berdegup kencang jika berada di dekatnya. Terkadang melakukan sesuatu yang bodoh. Kau salah tingkah melulu. Atau bersemu merah. Sangat menyiksa, namun kau menikmatinya.
Ginny benar mengenai bagian 'sangat menyiksa'. Namun dia salah dengan bagian 'kau menikmatinya.' Karena apa yang sedang Hermione rasakan, tak ada rasa nikmat sama sekali. Perasaannya adalah kutukan.
Dan kini dirinya dalam kebimbangan. Dia ingin menemui, namun rasa takut itu masih melingkupi. Dia hanya memiliki satu malam berada dalam udara dan atap yang sama dengan cowok itu. Hari esok akan datang dan membawa hatinya pergi. Waktunya hanya satu malam dan Hermione tak tahu bagaimana harus mengakhiri, bagaimana harus menyerah.
Sudah sejam Hermione berbaring di atas tempat tidur dan bahkan melewatkan makan malam. Menatap langit-langit kosong berharap jawaban permasalahan akan muncul secara ajaib dalam benaknya. Namun dia hampir tak menyadari ketika ada seseorang yang masuk. Seberkas sinar muncul dari luar kamar yang diterangi cahaya temaram. Dia baru menyadari ketika orang tersebut menyalakan obor untuk menerangi kamar. Mata Hermione mengerjap sejenak, beradaptasi dengan cahaya.
"Merlin, kukira tak ada orang! Ngapain kau gelap-gelapan begini?" kata Lavender Brown.
Hermione mengambil posisi duduk menghadap Lavender. "Hanya mengistirahatkan mata," jawabnya bohong. "Sedang apa?"
"Oh, hanya ingin mengambil buku Legiun Litheas. Harus mengembalikan ke perpustakaan sebelum tutup," katanya. Kemudian tangan berada di pinggang, memandang Hermione. Keningnya berkerut. "Kau jarang turun makan, kini mulai gelap-gelapan. Jika aku tidak mengenalmu, aku pasti sudah menduga kau digigit vampir atau semacamnya."
"Bukan."
"Jadi kau digigit manusia serigala?"
Hermione hanya tersenyum. "Maksudku, aku baik-baik saja, Lav."
"Oh," sahutnya datar. Dia berjalan ke arah lemari di samping tempat tidurnya, mencari-cari dalam laci. "Terakhir aku bergelap-gelapan sendirian tidak jelas begitu adalah ketika aku ditolak Cedric— Oh, dimana buku sialan itu." Setengah tidak sabar, dia menumpahkan seisi laci di atas tempat tidur. "Dan satu kali ketika aku baru putus dari Neil—mantan pacarku yang muggle itu," lanjutnya lagi.
"Selalu tentang cowok ya?"
Lavender balas tersenyum. "Ah, benar juga," katanya seraya berpikir. "Berarti… jadi, Hermione dear, apa masalahnya? Dan siapa orang ini?"
"Apa?"
"Kau sedang menyukai seseorang, tentu saja."
Hermione hampir tersedak mendengar komentar langsung tak terduga itu. "Apa?"
"Ginny benar," ujar Lavender kalem.
Hermione mengangkat sebelah alisnya. "Sori?"
"Ginny dan aku sedikit ngobrol waktu makan malam tadi. Dia penasaran ada apa denganmu belakangan ini. Aku hanya menebak bahwa nilai ujianmu ada yang jelek. Namun Ginny menebak ngasal bahwa kau mungkin sedang jatuh cinta atau semacamnya—atau malah ditolak cowok, siapa tahu. Dan aku baru sadar, tebakannya benar." Kemudian dia menemukan buku yang dicarinya. Tapi dia belum beranjak keluar kamar—sayang sekali—malah berdiri dengan tangan di pinggang. "Jadi? Ada klarifikasi? Siapa orang yang membuatmu sinting ini?"
Hermione memaksakan tawa. "Jangan mengada-ada," sahutnya mengalihkan pandangan. "Tak ada 'seseorang'."
Lavender menghela napas keras kali ini. "Baiklah. Simpan saja itu untuk dirimu sendiri," katanya. Kemudian dia berbalik, kembali keluar kamar. Namun sebelum dia menyentuh gagang pintu, Hermione memanggil.
"Lav?"
Gadis itu berbalik. "Ya, honey bun?"
Hermione menggigit bibirnya ragu.
Lavender menunggu. Tangan di pinggang lagi.
"Er— tidak jadi."
Lavender mendengus sekarang. "Well sekarang, kau juga membuatku sinting," ujarnya menghela napas. "Ngapain dibuat stres sih? Kau menyukainya, temui saja dia. Lalu katakan padanya apa yang ingin kau katakan. Jangan kuatir, Hermione, takkan ada yang mendepakmu. Lagian siapa sih orang yang nggak menyukaimu hah?" katanya enteng. "Jika tak mau bilang padanya juga tidak masalah. Setidaknya bisa bersamanya—itu kan yang paling kau inginkan? Tapi akan lebih baik jika kau mengatakannya sih. Hatimu akan lebih plong."
Rasa panas menjalar di pipi Hermione. "Kau sinting. Ini tak ada hubungannya dengan—"
"Kaulah yang sedang sinting, ingat?" sahut Lavender. "Ah, paling-paling setelah itu kalian akan berbagi ciuman panas dan satu-dua hal lain yang akan menyertai. Cuma satu nasihatku, jangan lupa mantra Kontrasepsi," lanjutnya datar.
Wajahnya serasa terbakar sekarang. "Hal seperti itu takkan terjadi."
"Uh-uh. Dan itu kata-kata yang sama kukatakan waktu Harry bilang Kau-Tahu-Siapa telah kembali," ujar Lavender kalem. "Ngomong-ngomong, sudah ya. Aku sungguh buru-buru."
Hanya sedetik kemudian, dia membuka pintu lalu menghilang di baliknya. Meninggalkan Hermione dengan suatu hal untuk dipikirkannya.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, Lavender Brown menjadi seseorang yang tidak pernah berpikir panjang. Dia membebaskan dirinya. Sesuatu yang hampir takkan mungkin dilakukan oleh Hermione. Selalu ada yang namanya batasan. Kenyataan dan imej akan selalu menjadi batasan karena dia adalah murid terpintar di Hogwarts. Karena dia adalah Ketua Murid. Dia diharuskan mengerti mana yang boleh dilakukan atau tidak.
Hermione membaringkan diri di atas ranjang. Mata kembali memandang langit-langit yang kosong. Benaknya memainkan berbagai film pendek yang diputar berulang-ulang.
Apa yang telah terjadi beberapa bulan terakhir ini memang telah melewati batasan itu. Perasaannya telah mengalahkan logika, konsekuensi, dan rasionalitas. Namun dua hari lagi ketiganya akan kembali. Draco Malfoy akan pergi. Secara logika, itu tidak aneh karena mereka memang dua sisi yang berbeda. Mereka tidak mungkin bersama karena akan ada konsekuensi yang begitu besar. Mereka adalah dua orang yang cerdas, rasionalitas seharusnya dapat mengingatkan bahwa ini tidak boleh terjadi semenjak dia menginjakkan kakinya di hutan itu.
Namun dua hari lagi. Dua hari lagi segalanya akan kembali seperti semula bahwa mereka berada dalam dua sisi yang berbeda. Maka Hermione hanya memiliki satu hari. Hanya malam ini dirinya masih boleh menghiraukan semua batasan itu dan membebaskan dirinya lalu untuk berada dalam udara yang sama dengan Slytherin itu. Menghiraukan hari esok. Jauh di lubuk hatinya Hermione menyadari bahwa semua ini harus diakhiri sebelum membuatnya gila. Rasa takutnya. Perasaannya.
Gadis itu bangkit dari tempat tidur, menelan ludah, merasakan jantungnya berdegup kencang. Keberanian mendorongnya mengayunkan langkah menuju pintu kamar. Kemudian bergegas menuju lubang lukisan. Menghiraukan desakan Nyonya Gemuk yang memaksanya mendengar nyanyian yang baru diaransemen ulang. Setengah frustasi menyuruhnya membuka lukisan. Kemudian lubang lukisan terbuka.
Hermione meyakinkan diri bahwa jika dia ragu, inilah saatnya untuk berubah pikiran. Namun ketika kakinya menyentuh tangga turun, dia menyadari bahwa sebenarnya dirinya memang tidak memiliki waktu lagi untuk berubah pikiran. Keinginannya hanya mau bertemu.
Hanya ingin bertemu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
read comments

Dua Sisi Chapter 18

Silahkan baca!


BAB 18
"Draco, please—" ratap Pansy di belakangnya. "Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku minta maaf."
Berjalan terburu-buru, dia hanya menoleh singkat dan melemparkan pandangan tajam. "Pansy, PLEASE! Berapa kali aku harus mengatakannya?" balas Draco menggeram. "Aku. Sudah. Tidak. Peduli. Menyingkirlah dari hadapanku!"
"Tapi aku tak ingin kau—"
"Aku tak peduli apa yang kau ingin dan tidak inginkan, Pans! Aku ingin bernapas. Jangan dekati aku dalam waktu dekat ini," tukas cowok itu gusar.
Pansy masih berjalan di belakangnya. Draco melanjutkan langkah, mengutuki diri mengapa tadi tak mengambil jalan memutar agar tidak bertemu dengan cewek dari neraka ini. Betapa kesalnya dia sekarang. Mungkin dari jauh orang lain dapat melihat asap telah mengepul di atas kepalanya. Atau bahkan bisa menggoreng telur mata sapi di ubun-ubun.
"Jangan membuat semua ini menjadi kesalahanku, Draco. Kau tidak adil padaku," katanya masih mengikuti cowok itu. "Bukan cuma salahku saja orang tuamu memintamu berhenti sekolah. Aku melakukannya demi dirimu! Itu salahmu juga kau berhubungan dengan darah lumpur itu—"
Draco berhenti mendadak, membuat Pansy terkejut. Dia menatapnya garang. "Jangan–bahas–ini–lagi, oke?"
"Kau mematahkan hatiku, Draco!" serunya. Kini suaranya sedikit gemetar.
Draco menggeram gusar.
Patah hati? Oh, kayak dia punya hati saja!
Tapi Draco tidak mengatakan apa-apa dan hanya mempercepat langkahnya lagi. Dan seperti yang sudah dapat diduga, cewek itu tetap mengikutinya.
"Dan aku yakin kau akan merasakannya sendiri nanti jika kau masih menemuinya!" kata Pansy. Suaranya bergetar. "Kau tak berpikir si Weasley atau Potter mungkin telah mencoba mendekati si jalang itu—"
"Pansy—"
Namun cewek Parkinson itu tetap saja ngoceh. "Dan dia akan meninggalkanmu, Draco. Jadi jika kau masih—"
Draco murka sekarang. Kemudian menghentikan langkahnya mendadak, menatap garang cewek Slytherin itu. "PARKINSON!" serunya ketus. Kejengkelan itu sudah sampai ke ubun-ubun. Napas berat penuh emosi. Dia tak tahan lagi.
Pansy Parkinson menatap mata Draco, memaksa cowok itu melihat rasa sakit dalam matanya. Dan ya, Draco melihatnya. Memang ada suatu kegelapan. Sebuah kepahitan. Mungkin itukah yang Pansy sebut dengan patah hati?
"Jangan teriak-teriak di koridor," kata Severus Snape yang muncul dari balik pintu kelas Ramuan. Mereka berhenti melangkah. "Kalau tidak akan kupotong poin asrama kalian."
Draco menatap Severus Snape di depan pintu, wajah masih gusar.
Itu asramamu juga, bodoh! Dia di pihak mana sih, geramnya sinis. Oh, aku lupa. Dia memang sudah menyeberang pihak dari dulu.
"Maaf, Profesor," sahut Pansy. Mata mengerling Draco tajam.
"Malfoy," kata Severus hati-hati, membuat cowok Slytherin itu memendang guru Ramuannya. "Bisa aku minta waktumu sejenak?"
Draco mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Brengsek, geramnya dalam hati. Dia sedang enggan bicara dengan lelaki itu hari ini. Dia tak ingin bicara dengan siapapun hari ini.
Dia mengerling Pansy sangar. Tangan terkepal erat. Kekesalannya bertambah, melihatnya enggan pergi seperti parasit yang menyedot separuh kesabarannya. Tapi kemudian dia menyakinkan dirinya sendiri, Semenit bersama Severus seharusnya takkan rugi apa-apa, pikirnya pahit. Bagaimana aku bisa bilang tidak?
"Baik… Sir," sahutnya berat. Tangan masih terkepal erat, berjalan meninggalkan Pansy.
Cewek itu masih sempat berbisik, "Kita masih harus membicarakannya, Draco."
Draco mendelik ke arahnya. Maumu, batin cowok itu ketika mengikuti guru Ramuan itu masuk ke kelasnya. Dan memastikan pintu itu tertutup agak keras di belakang, tak peduli Severus mungkin benar-benar akan mengurangi poin. Anak Slytherin sudah tidak peduli lagi dengan usaha perolehan Piala Asrama.
Dalam hati, dirinya bertanya-tanya waktu macam apa yang akan dia habiskan—yang lelaki itu bilang 'sejenak'—dengan walinya itu. Severus mengarahkannya ke sebuah meja yang di atasnya terdapat akar-akar Mandrake panjang dan masih bernoda tanah. Dua buah pisau bersih dan sebuah keranjang rotan berada di dekatnya. Dihadapkan pada benda-benda itu, membuat Draco bingung.
"Bantu aku potong akar-akar Mandrake ini dengan ukuran panjang 3 senti."
Draco melongo. "Apa?" sahutnya, tak mengira Severus memanggil untuk proyek charity. Dia dapat mendengar nada mendengus dalam suaranya sendiri.
"Kau mendengarku, Draco. Bantu aku potong akar-akar ini dengan ukuran panjang 3 senti," ulangnya seperti mengira Draco menderita tuli sesaat.
Sang murid mengernyitkan dahi, namun memutuskan untuk diam mengikuti instruksi yang diperintahkan si guru Ramuan. Dia memutuskan untuk melakukannya secepat mungkin agar dapat meninggalkan ruangan itu selekasnya.
Severus berdiri di ujung meja. Terlihat agak canggung jika Draco tak keliru—karena canggung biasanya sebuah kata yang sering kali mustahil untuk seseorang seperti walinya itu.
"Jika selesai, taruh di keranjang ini," instruksinya lagi.
Draco tak mengatakan apa-apa. Dan memperhatikan instruksi itu layaknya murid yang baik.
Apapunlah. Asal bisa lolos dari si mulut nenek tua itu.
Pansy Parkinson secara KONSISTEN mengekornya selama beberapa terakhir ini dan berkata 'Aku tahu kau marah padaku', 'Aku melakukannya demi kau', dan semua tetek bengek lain— membuat Draco tergoda untuk membeli penyumpal telinga. Dia bicara tentang pengaduannya kepada orang tua Draco tentu saja. Dan kini dia merengek minta maaf. Memang seharusnya begitu, karena jalang itu telah mencampuri urusannya dengan berkoar-koar kepada orang tuanya. Kenapa sih dia bawel sekali?
Draco kesal? Ya. Dan marah? tidak. Dia sudah sampai pada tahap bahwa sudah tak peduli lagi pada segalanya. Dia tak ingin menghabiskan waktu tak berguna dengan terus marah padanya. Jadi dia tak peduli lagi apapun yang Pansy lakukan. Dan yang kini membuat Draco sudah marah dan muak adalah kini Pansy menjadi Pengganggu Kelas Wahid di seluruh dunia. Jika cewek itu berharap segalanya akan kembali seperti sedia kala, itu takkan terjadi. Takkan. Terjadi. Seumur. Hidupnya.
Draco mengerling sekilas ke arah Severus di sela-sela kegiatannya memotong-motong akar Mandrake. Lelaki itu tampak berpikir serius, memandangi lantai. Seolah dalam benaknya terjadi pertarungan pilihan.
"Draco," katanya. Dia berjalan ke arah lemari bahan-bahan ramuan. Berlagak membereskan satu-dua benda di atas rak tengah. "Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan secara serius."
Lepas dari Pansy seperti sebuah anugerah. Namun masalahnya menjadi lepas dari mulut nenek tua cerewet masuk ke mulut bebek.
Severus masih berada di dekat lemari. Tampaknya berusaha untuk membuat percakapan ini tidak seserius tampak luar. "Kau yakin dengan keputusanmu?"
Seketika itu Draco langsung mengerti.
Dia mengerti mengapa Severus bersikap canggung seperti itu. Atau kenapa dia meminta waktu padanya. Bukan sekadar untuk membantu memotong akar-akar itu, tentu saja. 'Meminta bantuan' hanyalah sebuah alasan Severus sebenarnya untuk ingin bicara dengan Draco.
Pertanyaan 'Kau yakin dengan keputusanmu' mengarah pada keputusan Draco untuk keluar dari Hogwarts. Semua permintaannya untuk membantu memotong akar Mandrake hanya celah agar dia bisa bicara empat mata tentang hal itu. Masalahnya adalah Draco sedang enggan untuk membahasnya. Dia serius berkata pada Pansy ketika dia tak ingin membahas apapun mengenai hal itu. Dengan siapapun.
Dia mengatupkan rahang rapat, memotong akar-akar dengan tenaga lebih besar daripada yang diperlukan. Mengapa aku harus ketemu banyak orang idiot hari ini? Dia berusaha tidak menatap mata walinya, sengaja terus menyibukkan diri.
Mendadak dia ingin segera keluar dari ruangan itu. Tapi di luar mungkin masih ada Pansy… Di luar masih ada Pansy… batinnya menahan diri.
"Draco?"
Urg, sudah dimulai, geramnya dalam hati mencoba sabar.
"Ya Sir," katanya—namun enggan menjelaskan 'ya' tersebut mengiyakan pertanyaan 'Kau yakin dengan pilihanmu?' atau menjawab panggilan 'Draco?'. Nada datar. Tanpa ekspresi, emosi, ataupun intonasi apapun yang menunjukkan adanya perasaan tertentu.
"Mengapa?" tanyanya lagi. Tampaknya dia sudah mengambil pemahaman bahwa 'ya' Draco mengacu pada makna 'Kau yakin pada pilihanmu.'
Draco tak menjawab, merasakan tatapan Severus Snape sesekali di sampingnya. Lelaki itu diam terhenti sejenak tadi dari kegiatan-berlagak-menyibukkan-diri-membereskan-lemari-tanaman-obat-padahal-lemarinya-sudah-rapi untuk menunggu jawaban. Namun Draco enggan bereaksi lebih banyak. Draco malas meladeni sikap sok pedulinya seolah mereka adalah wali-putra baptis yang harmonis.
Hah. Adjektiva 'harmionis' sebenarnya sudah lama menghilang di antara hubungan mereka.
Untuk sejenak lelaki itu tak berkata lebih lanjut. Namun Draco tahu dia masih berusaha untuk mencari bahan pembicaraan. "Kau akan menyia-nyiakan banyak hal jika kau berhenti sekolah begitu saja," kata Severus perlahan. "Kau cerdas, Draco. Masa depanmu masih cerah dan memiliki potensi untuk lebih mengembangkan diri di sini. Kau murid terbaikku secara akademis."
Peringkat kedua terbaik. Atau kau hanya ingin menyenangkanku saja? batin Draco sinis. Namun akhirnya memutuskan untuk hanya berkata "Baik Sir," singkat ala kadarnya karena enggan meladeni khotbahnya.
"Aku tak pernah meminta apapun darimu," kata Severus. "Aku hanya ingin kau berpikir masak-masak."
"Saya sudah memikirkannya masak-masak, Sir," kata Draco dingin menekan nada pada kata yang terakhir.
Sudah lama Severus tidak banyak omong seperti itu. Biasanya pembicaraan di antara mereka hanya sebatas akademis. Draco menjaga jarak dan orang itu pasti merasakannya. Segalanya telah berubah dalam beberapa tahun terakhir.
Bunyi desis kecil terdengar di tungku tak jauh dari mereka. Udara terasa lembab di ruang bawah tanah kelas Ramuan itu. Draco mendadak merasa saat-saat berada di ruangan itu akan menjadi waktu yang panjang. Dia mempercepat memotong akar-akar sialan itu tanpa memperdulikan ukuran lagi.
"Kau masih muda," kata walinya lagi sedikit tegas. "Jangan bertindak gegabah dan ingin jadi pahlawan. Sudah cukup Hogwarts memiliki satu orang macam Potter."
Penyumpal telinga sungguh ide yang brilian, batin Draco. Besok akan kubeli di Hogsmaede.
"Anda tak perlu kuatir, Sir. Saya tak berminat menjadi Harry Potter," katanya dengan nada mengejek.
"Aku gurumu dan peduli dengan masa depanmu," kata Severus tajam. Raut mukanya serius. "Aku hanya tak ingin kau menyianyiakan hidupmu demi orang-orang yang tidak menghargaimu."
Draco menghela napas keras. Dia yakin Severus mendengarnya, namun lelaki itu tampak tak berminat berhenti bicara.
"Dengan segala hormat, Sir, itu bukan urusan Anda. Masa depanku adalah urusanku sendiri. Dan aku tak ingin menghabiskan hidupku menjadi pengkhianat sepertimu."
Shit.
Sungguh, perkataannya hanya selip lidah saja karena Draco sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang. Dia tak bermaksud untuk mengatakannya—walaupun seratus persen maknanya memang benar. Severus Snape. Sang pengkhianat. Sudah isu global.
Severus tampak terperanjat. Draco mengutuk dirinya karena selip lidah itu. Karena dengan begitu percakapan mereka malah akan bertambah panjang. Namun hebatnya, Severus masih tampak menahan diri. Benar-benar aktor hebat.
"Jangan bicarakan sesuatu yang tak kau pahami."
"Yeah tentu— Sir," cibir Draco. "Maaf." Dia memutar bola mata, malas untuk berkonfrontasi dengan Severus saat ini. Terlalu banyak kepenatan yang sedang berkecamuk di benaknya, dan dia tak berminat untuk menambah kadarnya.
Namun tampaknya lelaki itu mendengar nada cibiran dalam nada suara Draco. Dan dia masih menahan diri dan berusaha untuk tenang. Dari wajahnya, Draco tahu Severus takkan membiarkan masalah itu berlalu begitu saja.
Sial.
Air mukanya mengeras. "Kau tak memahami apa yang terjadi."
"Baik, baik, aku mengerti," tukas Draco semakin kesal. "Aku memang keliru. Jangan bicarakan tentang itu lagi, oke? Aku tidak mood membicarakannya. Oh, kau orang baik. Tentu saja kau bukan pengkhianat." Semoga hidungmu tak bertambah panjang, Pinokio.
"Yang Ayahmu lakukan adalah salah."
Mengapa semua orang sedang tak bisa sedikit sensitif? Aku sedang tak ingin membicarakan hal ini! "Jangan menghakimi apa yang benar dan apa yang salah jika kau sendiri bukanlah orang suci! Apalagi dari mulutmu sendiri," kata Draco gusar. "Aku cukup dewasa untuk mengetahui tindakan kotor apa yang telah kau lakukan dulu!"
"Akhirnya pembicaraan kita mengarah ke sini juga," katanya dingin.
Betapa Draco benci pembicaraan ini harus sampai sini juga. Mereka belum pernah membicarakannya. Severus pun tidak pernah mengatakan apapun—mungkin tak berani bertanya apakah Draco tahu atau tidak karena mencegah . Pembicaraan ini tabu. Disimpan dalam peti di dasar samudra terdalam. Dan membiarkannya tergeletak di sudut benak mereka dan tak terbicarakan.
"Ya, aku sudah lama menghiraukannya! Aku sudah lama tak peduli dengan apa yang telah kau lakukan!" tukasnya tajam.
"Aku melakukan apa yang kuyakini benar!"
"Apanya yang benar? Hah!" Draco tertawa. "Kau telah menjual mereka! Kau menjual nama-nama Pelahap Maut demi kebebasanmu sendiri. Mereka dipenjara sementara kau mencium udara kebebasan."
"Aku bukan menjual mereka," geramnya. "Paham mereka keliru!"
"Bukan, Severus. Kau memilih apa yang paling enak untukmu sendiri!" seru Draco tajam. "Kau memilih apa yang menurutmu aman! Kau tak ingin rugi! Apa yang kau rasakan ketika tanda kegelapan di tanganmu berkedut? Apa kau mengingat mereka yang terpenjara? Mengingat rasa bersalahmu karena mejerumuskan mereka?"
Severus terdiam sejenak mencoba untuk tetap tenang. "Kuharap kau cukup cerdas untuk mempercayai fitnah orang lain terhadapku. Bahkan fitnah ayahmu," katanya hati-hati.
Draco tersenyum sinis. "Oh, percayalah. Ayahku tidak perlu melakukannya," katanya mengibaskan tangan. "Bahkan Ayah tidak mengatakan apapun mengenaimu. Dia masih menganggap kau waliku dan masih berusaha untuk menghormati hubungan itu. Dia membebaskanku untuk menilaimu dan membiarkan waktu yang akan memberitahuku segalanya." Jeda sejenak. Draco menatapnya dingin sebelum akhirnya kembali menekuni akar-akar Mandrake yang tinggal sedikit. "Dan kini aku telah memiliki penilaianku sendiri."
Aku tak mengerti orang itu. Aku tak mengenalnya lagi, kata Lucius suatu hari beberapa tahun yang lalu. Dia berbicara tentang Severus Snape.
Pada saat yang sama, membuat Draco akhirnya berpikir, Aku juga tak mengerti. Kemudian itu menjadi salah satu alasan dia untuk tak ingin terlibat perasaan lebih lanjut dengan Severus lagi. Kini hubungan perwalian mereka hanya sebatas memori masa lalu.
Rasanya berbeda sekali jika Draco mengilas balik hubungan mereka ketika dirinya baru memasuki Hogwarts dulu. Tanpa kata-kata, walinya itu membantu kapan saja. Memudahkan Draco melakukan berbagai hal. Mendapatkan jadwal penggunaan lapangan Quidditch. Membantu dalam pelajaran Ramuan. Memperingan hukuman yang seharusnya Draco peroleh jika ketahuan melanggar aturan. Anak berumur sebelas tahun memiliki seseorang yang dekat dalam lingkungan tempatnya bersekolah, ada rasa bangga di hatinya. Sesuatu yang membuat iri anak lain.
Namun lambat laun, Draco merasakan kejanggalan. Dia menceritakan kebaikan dan kedermawanan guru Ramuan itu pada ayahnya. Namun Lucius hanya mengangguk singkat tanpa berkomentar. Tak pernah mendengar penghargaan apapun keluar dari mulutnya walau hanya sekadar 'Benarkah?' atau 'Baik sekali dia'. Seolah ada kerenggangan di antara mereka. Tak pernah mengatakan apapun mengenai apa yang telah terjadi di masa lalu. Tak ada komentar atau perintah tertentu. Seolah dia membiarkan Draco untuk menilai sendiri tentang walinya itu.
Akhirnya waktu dan kedewasaan membuat Draco akhirnya mengerti. Bahwa walinya telah berbuat sesuatu di masa lalu yang tidak dapat dimaafkan ayahnya. Severus melakukan pengkhianatan— membeberkan nama-nama Pelahap Maut di pengadilan. Nama-nama rekan mereka seperjuangan mereka. Kemudian menerima tawaran perlindungan Dumbledore. Dia bukan seperti yang Draco pikir sebelumnya dan membuatnya bertanya-tanya di sisi mana Severus berada.
Kini semua telah jelas. Severus telah menentukan pilihan dengan memilih si Dumbledore tua. Dia tak menjawab panggilan Lord Voldemort. Fakta itu cukup menjawab segala kebingungan Draco bahwa ayah dan walinya telah berpisah jalan. Dan kini Draco telah menentukan keputusannya sendiri bahwa—
Dia akan mengikuti jalan ayahnya dengan meninggalkan Hogwarts dan menjawab panggilan Sang Lord.
Itulah yang terjadi pada malam itu ketika Lucius meminta Draco untuk keluar kamar sejenak Senyum sumringah terlukis di wajah ayahnya. Dia membawanya kembali ke ruang bawah tanah di kediaman Malfoy untuk menemui sang tamu agung.
Lord Voldemort sedang duduk di kursi berlengan kesayangan ayahnya ketika Draco memasuki ruangan. Sulit dilukiskan bagaimana perasaan melihat sosoknya. Gabungan antara rasa takut dan harapan. Gabungan antara kekejaman dan kejayaan. Dan Draco tak tahu mana yang lebih besar dalam dirinya, rasa takut yang teramat sangat atau memuja yang penuh dengan kekaguman. Dia berkata dengan suara rendah yang membuat Draco merinding, "Sudah saatnya, Putra Lucius Malfoy." Dia menawarkan panggilan. Kemudian ayah-ibunya menatap Draco penuh harap. Sang putra tunggal menjawab apa yang mereka harapkan. Draco Malfoy menelan ludah, menjawab dengan mantap, "Ya."
Sebentar lagi Hogwarts hanya tinggal bagian dari memorinya. Babak yang perlu ditutup dalam drama hidupnya. Hanya tinggal tunggu waktu dan segalanya akan berakhir. Dia masih memiliki banyak hal yang perlu dipikirkan bersama dengan Lucius. Bersama dengan Lord Voldemort.
Pilihan yang diingkari Severus Snape bertahun-tahun yang lalu.
Rasa kesal memenuhi benak Draco. Mendadak ruangan itu terasa menghimpitnya. Dia memotong akar-akar Mandrake yang tersisa lebih cepat. Dia ingin buru-buru meninggalkan tempat itu.
"Aku telah menetapkan hati," kata Draco lagi, tanpa mengalihkan pandangan dari tugasnya. "Tak ada yang dapat merubahnya."
"Aku tahu, tapi—"
"Bagus. Jadi, jangan campuri urusanku lagi," sahut Draco.
"Kau mau kemana, Draco?" kata Severus tegas ketika melihat Draco berjalan meninggalkan meja menuju pintu. "Kita belum selesai bicara!"
"Yeah, memang belum," tukasnya.
"Draco!"
"Tapi tugasku memotong akar Mandrake keparatmu telah selesai."
Kemudian Draco Malfoy melempar pisau ke dalam keranjang rotan. Dia berjalan penuh kekesalan ke arah pintu, lalu menghilang di baliknya.

"Sinting! Mereka sampai mengosongkan asrama itu!"
"Jika Hufflepuff yang kosong sih aku masih tidak peduli. Tapi ini Slytherin, man!"
"Ini terlalu dibuat-buat. Tak mungkin mereka meninggalkan Hogwarts hanya karena ketakutan dan kekuatiran. Karena mereka tidak tampak tidak takut dan kuatir sama sekali!"
"Mereka merencanakan sesuatu"
"…akan dipulangkan secepatnya sebelum terlambat"
"…harus kirim burung hantu ke Mum"
"…melakukan langkah antisipasi…"
Pembicaraan itu terdengar sama-samar saja di telinga Hermione. Benaknya berkelana ke pikirannya yang lain, memikirkan sesuatu yang mengganggu hatinya.
Saat itu hampir pukul sepuluh. Beberapa anak masih di ruang rekreasi, sibuk berargumentasi setelah menahan diri dalam ketegangan menyelimuti selama makan malam. Berita tentang pengunduran diri masal itu menyebar cepat dari mulut ke mulut. Suasana tegang itu segera menjalar ke pelosok sekolah. Semua orang berbisik-bisik dan menatap curiga ke meja Slytherin. Para guru pun tampak serius, namun tetap membisu. Nyaris tidak ada yang bicara di meja Gryffindor. Harry dan Ron menunduk melempar tatapan gugup sembari mengerling sekilas ke meja berlambang ular itu. Semua kekuatiran yang hanya dikira spekulasi, kini menjadi tuduhan yang serius.
Barulah ketika sampai di ruang rekreasi Gyffindor, pembicaraan para murid mulai terbuka. Berbagai komentar dan kekuatiran menyeruak ke permukaan. Beberapa anak kelas tiga berkumpul di pojok dengan wajah tegang. Tiga-empat anak duduk di tangga tampak melempar opini.
Di depan perapian, Harry dan Ron berdiskusi serius. "Jadi… memang sudah dimulai," kata Harry berat. "Mereka telah bersiap-siap."
Ron mengatupkan rahangnya rapat, menelan ludah. "Ya."
"Bahkan enam orang sudah pergi duluan. Aku melihat Millicent Bullstrode menyeret kopernya di Aula Depan tadi sore," kata Harry serius. "Sebenarnya aku sudah menduga bahwa sebagian dari mereka pasti akan pergi. Namun aku tidak sampai berpikir mereka sampai pergi seperti itu secara bersamaan! Maksudku— ini terlalu mencolok. Mereka mau bikin pasukan ya?"
Dahi Ron berkerut serius. "Mum menyuruh kita lebih berhati-hati. Dad juga," katanya. Kemudian dia merendahkan suaranya, "Orde telah berantisipasi…"
Hermione menatap kosong ke pangkuan, beberapa kali menelan ludah. Kepalanya terasa berat sekali seolah ada tekanan dari segala penjuru. Berkali-kali dia berusaha menaruh perhatian pada kedua temannya. Namun kemudian pikirannya kembali pada sesuatu yang ingin dihindarinya. Sulit untuk memperhatikan sesuatu jika benaknya dipenuhi pikiran yang lain.
Ada apa denganmu? Inilah yang kau inginkan!
Berkali-kali Hermione meyakinkan dirinya seperti doa. Ini yang diinginkannya— Ini yang diharapkannya ketika meninggalkan Draco di malam pesta itu. Menjaga jarak dan menjauhkan diri darinya. Berhari-hari tidak bicara atau mencoba menemuinya. Tak perlu ada kebohongan lagi. Tak perlu lagi merasakan rasa bersalah terhadap teman-temannya.
Ya, itu memang yang diinginkannya. Dia tidak membohongi kedua sahabatnya lagi. Namun semakin memungkirinya, kini semakin menyadari bahwa dia malah membohongi dirinya sendiri.
Dia akan pergi… dia akan pergi… dia akan pergi…
Kenapa seorang Draco Malfoy bisa begitu bodoh. Kenapa dia memihak orang-orang seperti mereka? Tidakkah dia tahu bahwa seorang anak tak dapat memilih dimana dia akan dilahirkan? Takdir sudah memilih jalan untuknya, seperti Hermione yang tidak pernah meminta dilahirkan dari keluarga Muggle. Tak ada yang salah jika manusia memiliki kehidupan yang berbeda dengan orang lain. Siapa yang berhak menghakimi bahwa yang salah adalah salah, yang benar adalah benar? Siapa yang berhak menghakimi bahwa seseorang lebih baik dari seseorang lainnya?
Tidakkah orang bego itu mengerti semua itu? Kenapa dia harus pergi?
"Hermione?" panggil Ron samar-samar. "Wajahmu pucat. Ada apa?"
Apa dia pergi hanya karena marah padaku? Apa dia akan bergabung dengan orang-orang jahat seperti yang aku duga?
"Hermione?"
Samar-samar Hermione tersadar. "Er— apa? Maksudku, tidak ada apa-apa" katanya, namun benak masih terasa di awang-awang. Kepala terasa pening. Tangan di bawah meja, tanpa sadar telah mencengkram jubahnya sendiri hingga buku-buku jari memutih.
Dasar Slytherin bodoh… kenapa dia mau pergi dengan orang-orang seperti mereka?
"Kau baik-baik saja?"
KENAPA dia harus pergi?
"Hermione!"
Hermione merasakan sentuhan di pundak yang membuat dirinya benar-benar tersadar. Dia membuka ingin membuka mulut untuk mengatakan basa-basi tidak-ada-apa-apa atau tidak-ada-yang-perlu dikuatirkan. Tenggorokannya tersekat, mencegah kata-kata itu keluar. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan, berbagai pikiran tampak masuk di saat bersamaan. Namun seolah sebuah tombol tertekan. Sebuah pilihan menyala di benaknya. Ada yang harus dilakukannya. Secepatnya.
"A-aku harus pergi."
"Hah?" Ron bertukar pandang dengan Harry. "Sudah hampir jam sepuluh. Mau kemana kau pada jam segini?"
Pertanyaan itu seolah tak terdengar ketika Hermione kembali berkata, "Aku harus pergi." Seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Hermione, kau membuatku kuatir," tanya Harry lagi.
Si Ketua Murid seolah tersadar. "Hanya ke er— perpustakaan."
Dia merasakan kedua temannya mengerutkan kening. Mereka merasakan kegelisahan dalam dirinya. Namun Hermione tak memiliki waktu untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Dia harus segera pergi.
"Sudah malam, Mione. Mungkin sudah tutup," kata Ron. Hermione dapat mendengar nada bingung dalam suara cowok itu.
"Masih ada waktu beberapa menit jika aku buru-buru," sahutnya cepat, memaksakan senyum. "Aku perlu— er, aku memerlukan buku ini secepatnya."
"Jangan bilang kau mau begadang dan membaca malam ini. Kau pucat tampak tidak sehat."
"Aku baik-baik saja, Harry," sahutnya dengan nada setengah tak sabar, menatap Harry dan lubang lukisan bergantian. "Aku benar-benar harus—"
Ron menghela napas, menatapnya hati-hati. "Tidak, Hermione. Kau tidak baik-baik saja," katanya. "Kau aneh sekali belakangan ini. Seolah beban seluruh umat seluruh umat manusia berada di bahumu. Jangan kira aku tidak menyadarinya. Namun kami hanya ingin kau mengatakannya sendiri jika kau telah siap. Dan kuharap kau telah siap. Jika kau ingin membicarakan sesuatu, kau bisa membicarakannya dengan kami."
Hermione menunduk. Seandainya saja aku akan pernah siap.
"Tak ada yang perlu dibicarakan. Tidak ada yang serius, sungguh," katanya, memaksakan senyum. "Kalian bicarakan apa sih? Ada-ada saja."
"Mungkin sebaiknya besok saja kau meminjam buku itu."
"Ron" katanya, menelan ludah. Otak berputar mencari alasan. "Aku hanya mau minjam buku. Tak ada yang perlu dikuatirkan, kan?" Memaksakan tawa.
Hermione menatap kedua temannya bergantian. Harry melempar pandangan ke Ron, kemudian Ron menundukkan kepala menghela napas. Sebelum Hermione membiarkan mereka melontarkan pertanyaan atau pernyataan lebih lanjut, dia sudah melempar senyum kemudian berbalik melangkah cepat untuk pergi. Setelah meninggalkan mereka di ruang rekreasi, langkah itu berubah menjadi lari. Dan Hermione menyadari bahwa dirinya baru saja melakukan kebohongan sekali lagi.

Draco tak habis mengerti apa kerjanya para peri rumah di Hogwarts ini. Apa mereka tak pernah berbenah di perpustakaan? Rak-rak buku di sana bagian Seksi Terlarang seperti tak pernah disentuh berabad-abad lamanya. Debu tebal menyelimuti permukaan. Dan judul buku tampak usang hampir tak terbaca. Bagaimana dia dapat mengembalikan buku-buku tersebut di raknya jika huruf-huruf itu tak terbaca?
Ini detensi ketiga. Akhirnya. Berarti tiga minggu telah dia lewati setelah malam pesta musim semi dirinya menonjok prefek sialan itu. Pince berhasil membuatnya sibuk tiap Sabtu malam. Menyortir buku-buku tua yang teronggok di gudang dan menaruhnya secara manual di rak yang telah disediakan. Kata kunci: TANPA SIHIR. Dan ada ribuan buku di dalam sana. Masih mending jika tulisannya terbaca. Kebanyakan dari buku-buku tua itu memiliki tulisan yang sudah pudar. Dan beberapa mencoba menggigit Draco jika salah memegang. Pince memilih Sabtu malam seperti itu agar Draco bisa menghabiskan detensinya hingga batas jam malam.
Sesungguhnya Draco bisa saja meninggalkan detensi terakhirnya ini—kayak dia peduli saja. Tak lama lagi dia akan meninggalkan Hogwarts. Takkan ada yang peduli dengan potongan nilai asrama. Takkan ada yang peduli dengan asrama mana yang memperoleh piala. Tapi ujung-ujungnya dia malah mendapati dirinya malah berdamai dengan keadaan. Mungkin tak ada ruginya sekali terakhir ini saja. Toh dengan begitu dia bisa menjauhi Pansy. Berada di antara rak-rak yang sepi sedikitnya juga menyenangkan. Keheningan selalu menenangkan.
Namun kemudian Draco memutuskan untuk duduk-duduk di atas lantai, bersandar di rak. Sedikit mulai bosan melakukan segala sesuatu. Dia mengeluarkan tongkat sihir dan memutar di antara jemarinya. Dia melirik jam besar di atas pintu. Ternyata baru pukul sepuluh malam. Pikirnya masih pukul sembilan.
Tinggal satu detensi. Dan sebentar lagi berakhir, pikirnya. Bersabar selama tiga hari lagi dan kau akan terbebas dari dari Pansy. Tiga hari lagi terbebas dari sekolah ini. Terbebas dari Gryffindor ituTerbebas dari keraguan orang tuanya.
Mungkin saat ini yang paling dikesalkan adalah mengenai Pansy. Cewek itu telah menjadi Pengganggu Nomor 1 sepanjang masa. Memang, dia telah mengurangi intensitas 'kecenderungan untuk merusak suasana'. Tapi apa yang telah dia lakukan dua hari yang lalu, membuat Draco benar-benar geram. Dia mengikutsertakan ibu Draco dalam usahanya berbaikan. Ibunya sampai berkata, "Masalah apapun yang kau miliki dengan Pansy, lebih baik diselesaikan."
Draco tak suka jika ibunya sudah ikut campur begitu. Kini pembicaraan yang menyangkut rasa takut putra semata wayangnya itu terlalu 'bermain-main' dan keluar jalur, kembali ke permukaan lagi. Dan kembali menekankan pentingnya keputusan untuk mengeluarkan-sang-anak-emas-dari-sekolah-terkutuk-dan-membahayakan-kemurnian-darah-klan-Malfoy-yang-berharga.
Draco bersandar di rak buku, mengambil buku lalu membuka sampul kulitnya dengan malas. Dia membalik-balik halamannya yang sudah dimakan ngengat. Isinya mengenai pelajaran mantra sihir hitam. Mantra-mantra yang populer digunakan ketika kudeta perdana mentri sihir Edward Cromwell abad ke-15. Dia pernah mempelajari beberapa di antaranya hanya sebatas mengisi wawasan. Tapi ketinggalan jaman sekali jika digunakan saat ini.
Pasti buku ini seharusnya diletakkan di bagian sejarah mantra, pikir Draco.
Kemudian dia memisahkan buku yang pudar sampulnya tersebut ke tumpukan buku dengan klasifikasi yang sama. Judul buku tak terbaca, sehingga Draco belum boleh menaruhnya ke dalam rak. Dia hanya diperintah untuk menaruhnya ke dalam rak jika subyeknya sudah jelas. Itu tugas Madam Pince untuk benar-benar memutuskan dimana meletakannya.
Draco mengambil buku yang lain. Namun sama merepotkannya: judulnya tak ada, isinya tidak jelas, dan menggunakan bahasa Anglo-Saxon. Bikin susah aja. Dia menyingkirkan buku itu secepatnya dan mengambil buku yang lain bersampul merah. Tiba-tiba buku itu mengeluarkan jeritan nyaring.
"Fuck!" sahutnya kaget.
Cepat-cepat dia menaruh buku itu kembali. Seketika buku itu berhenti melengking.
"Kau harus meminta ijin dulu pada buku tersebut sebelum menyentuhnya," kata sebuah suara perlahan di belakangnya. "Aku tahu caranya karena pernah meminjamnya awal tahun lalu."
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya. Nada masih setengah terkejut. Akumulasi keterkejutan mendengar lengkingan buku itu dan melihat ada orang lain selain Draco di sana.
Hermione Granger berdiri di ujung rak, berdiri dengan canggung. Dia menundukkan kepala.
"Er— pa-patroli."
Draco mencoba membaca wajahnya. Granger memandang ke arah lain menghindari matanya. Pukul sepuluh malam memang waktunya patroli. Namun Draco tahu Granger bukan ke sini karena tugas. Malam itu bukan tugas patrolinya. Dia mungkin tahu alasan utamanya datang ke tempat ini. Namun dia tak berani mengangkat topik itu.
Dari mana dia tahu aku di sini? Namun kemudian dia dapat menjawab pertanyaannya sendiri, Oh, tentu saja. Dia kan Ketua Murid. Tentu tahu siapa yang dapat detensi dan harus melaksanakan apa.
Kecanggungan kembali hadir di antara mereka. Draco menyingkirkan buku yang melengking tadi tanpa menyentuhnya, kemudian mengambil sejumlah buku dari tumpukan, berjalan ke rak terdekat, menaruh asal ke dalam rak. Hanya untuk mencari sesuatu untuk dilakukan selain berdiri canggung tanpa dialog di dekat gadis itu. Draco mengerling, mendapati Granger sedang berdiri canggung berlagak mengamati deretan buku di ujung rak.
Dan Granger masih di sana, belum pergi untuk 'patroli'.
"Kukira kau sedang patroli," ujar Draco sabar.
"Oh," Granger berdeham gugup. "Ya memang," katanya salah tingkah. "Aku baru ingin pergi— Tapi aku lihat-lihat buku er— sejenak"
Draco mengambil buku-buku lagi. Mencoba menganalisis isi buku. Namun pandangannya melihat kabur di atas kertas karena sibuk mengerling ke arah gadis itu. Si Ketua Murid sedang menatap deretan buku—walaupun sepertinya dia tak benar-benar membaca judul-judulnya. Hanya pura-pura.
Draco kembali menekuni tugasnya, mencoba baca judul di sampul kulit yang sudah usang. Apa tulisannya? Konflik Perebutan Wilayah Pe… Penyihir Wa… Wales? Warrington? pikirnya pada tulisan yang sudah kabur itu. Namun kemudian dia melirik Gryffindor itu lagi dan mendapati orang itu juga sedang menatapnya. Sang gadis buru-buru mengalihkan pandangan.
Dia membuatku gila, gerutu Draco dalam hati.
"Kau bisa mencari pembuat onar di tempat lain, Granger. Di sini tidak ada apa-apa."
Granger bersemu merah. "Aku…" katanya. "Aku hanya ingin kemari sebentar bertanya sesuatu."
Draco menatap tumpukan buku, menaruh buku yang tadi dipegangnya ke atas klasifikasi sejarah sihir. Sekadar mencoba melakukan apapun selain diam dan merasa canggung.
"Apa benar kau akan pergi?"
Draco mendengar Granger berkata. Akhirnya gadis itu mengatakannya. Pertanyaan itu. Draco tahu itulah alasan Granger datang ke perpustakaan. Korfirmasi kepergiannya. Dan sesungguhnya dia enggan sekali membicarakan itu. Dia hanya ingin pergi dari Hogwarts dengan tenang tanpa gangguan. Sudah cukup dengan bisik-bisik dan kerlingan curiga semua murid. Bukannya Draco peduli, hanya saja semuanya terasa mengganggu sekali. Tapi toh dia menjawab pertanyaan Granger juga.
"Ya," jawabnya menghela napas.
Diam sejenak.
"Kenapa?" tanya Granger lagi.
Draco mencoba mencari alasan yang netral. "Karena Hogwarts tidak aman. Orang tuaku kuatir."
Terlalu netral. Bahkan Hermione tak percaya. "Kau pikir aku akan mempercayainya?" cibirnya.
Draco mendengus. "Kenapa aku harus peduli kau percaya atau tidak?"
"Jadi," kata gadis itu lagi. "Apa alasan sesungguhnya?"
"Sesungguhnya aku tak ingin membicarakannya."
Untuk sesaat tak ada yang bicara. Situasi kembali seperti semula. Si Gryffindor menatap deretan buku dalam rak dan Draco sibuk berkutat dengan buku-buku dengan judul kabur. Juga masih menjaga jarak lima meter di antara mereka. Mencari jarak aman. Aman? Aman dari apa?
Granger tertawa sinis. "Kurasa aku tahu kenapa."
"Bagus sekali, jenius," sahut Draco. "Simpan hipotesamu sendiri, aku tidak berminat mengetahuinya."
"Ayahmu yang menyuruh bukan?"
Draco mulai kesal. "Granger, sudah kubilang aku tak ingin membicarakannya."
"Harry dan Ron benar," katanya menghiraukan kekesalan Draco. "Kau akan bergabung dengan banjingan-bajingan kriminal itu."
"Hei, siapa yang kau sebut dengan 'bajingan-bajingan kriminal'?"
Granger tampak tak peduli dengan protes Draco. "Aku tak mengerti pemikiran kalian. Para kaum rasialis!" cemoohnya. "Orang-orang yang membunuh mereka yang tak berdosa!"
Draco mendengus. "Oh percayalah, mereka tidak tak-berdosa seperti itu," cibirnya.
"Oh akhirnya kau mengakui kalian memang bajingan kriminal."
"Apa? Apa aku terdengar pernah mengatakannya?" protes Draco. "Kami bukan bajingan kriminal, brengsek. Kami adalah orang yang berjuang mempertahankan hak. Kami—oh, mengapa aku repot-repot membicarakan ini pada seseorang jelas yang takkan mengerti. Pada orang yang memahami bahwa orang-orang itu pantas mendapatkannya—"
"Pantas? Pantas bagaimana? Mereka tidak tahu apa-apa, Malfoy!" seru Granger. "Apa salahnya menjadi Muggle? Apa salahnya menjadi seseorang yang lahir dari orang tua Muggle? Apa salahku?"
Draco mengatupkan rahangnya rapat. "Jangan sok suci," oloknya tajam. "Orang-orang seperti mereka"—tak sanggup mengatakan 'orang orang sepertimu'—"tidak berhak berada di dunia sihir! Semua sudah berbaik hati menghiraukan keberadaan mereka di dunia Muggle, namun mereka tetap mencoba memasuki dunia sihir!"
"Memangnya kenapa? Mereka memang penyihir! Mereka memiliki hak sama denganmu!"
"Mereka mengambil apa yang telah kami bangun sejak dulu! Merampas—"
Granger tertawa. "Merampas? Apanya yang—"
"Mereka bukan penyihir sesungguhnya, Granger! Mereka hanya parasit berdarah lumpur!"
"Itu hanya analogi yang dibuat-buat oleh orang-orang sinting, Malfoy! Milikku sama seperti yang lain dengan warna merah darah yang sama!" tukas Hermione tajam. "Aku bahkan tidak melihat perbedaannya!"
Draco tertawa sinis. "Oh, tentu kau takkan mengerti—"
"Memang!" seru gadis itu frustasi. "Aku memang tak mengerti! Dan aku tak ingin mengerti karena alasan itu terlalu menggelikan! Dan kau begitu bodoh untuk pergi dengan alasan yang menggelikan seperti itu!"
Akhirnya dia mengatakannya juga.
Draco tahu inilah yang ingin dikatakannya dari tadi. Bahwa sesungguhnya Hermione Granger tak ingin dirinya pergi. Dan kini dia menatap Draco dengan kekesalan dan amarah. Napas berat seakan pembicaraan ini telah menguras separuh energinya.
"Jadi katakan, Malfoy," kata Granger parau, "sampai kapan kalian akan mencoba menyingkirkan orang-orang yang tidak kalian kehendaki? Sampai semua mati? Sampai aku mati—"
"Jangan mengada-ada," geram Draco. Dasar sinting, siapa juga yang mau membuatnya mati. "Terserahlah kau mau bilang apa. Dengar Granger, aku tak ingin membicarakan ini lagi," gerutunya gusar, merasa pembicaraan ini tanpa akhir.
"Berarti kau tetap akan pergi." Granger tertawa sinis. "Dasar bego"
Draco hanya menatapnya, merasa tak perlu untuk merespon ejekan yang terdengar putus asa itu. Mendadak dirinya merasa lelah.
Pertengkaran ini. Basi. Terulang lagi. Isu lama. Seolah mereka kembali ke masa tahun-tahun sebelumnya, ketika hari-hari pertemuan mereka masih diwarnai kebencian. Pertengkaran reguler mengenai apa yang benar atau apa yang salah. Apa yang hitam dan apa yang putih. Ya, mereka memang telah melewati fase itu lama sekali. Telah lama berselang ketika batas benci masih begitu jelas.
Seharusnya mereka sudah melewati fase pertengkaran ini berbulan-bulan yang lalu.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Draco.
"Kau sungguh tak tahu alasannya?"
Kontak mata si Gryffindor tak lepas sedetik pun dengan mata kelabu si Slytherin. Dan gadis itu tampak begitu sedih.
Draco mengalihkan pandangan, enggan menjawab. Tangan terkepal erat. Apa dirinya memang tahu apa jawaban dari pertanyaan Granger itu? Di lubuk hatinya, mungkin dia tahu. Namun kini yang ingin mereka katakan sesungguhnya adalah pertanyaan dan penyataan yang tak boleh terucap. Dan seharusnya gadis itu tahu bahwa pertengkaran ini takkan membawa kemanapun. Merubah apapun.
"Bodoh," sahut si Slytherin, "kau ke sini hanya akan membuatnya lebih berat."
"Aku tahu."
Kemudian keheningan menyelimuti. Begitu hening sehingga seakan bunyi jarum yang terjatuh pun dapat terdengar di telinga. Dan rasa sakit mencengkram hatinya. Seolah ada tangan tak terlihat yang meremasnya erat-erat.
Kemudian sebuah suara wanita memecah keheningan.
"Baiklah, Mr Malfoy. Detensimu telah selesai," kata Madam Pince muncul dari balik rak. Matanya langsung mengarah ke tumpukan buku yang tersisa. "Apa ini hasil sortiran buku yang judulnya tak terbaca? Oh, benar. Kelihatannya bagus sekali kerjamu—Eh? Miss Granger? Sedang apa di sini?"
Wanita itu menatap Granger dan Draco bergantian. Draco langsung tahu Madam Pince pasti merasakan ketegangan di antara dua murid itu.
"Ada apa ini?" tanyanya curiga.
Granger menunduk menatap lantai. "Tidak ada, Madam," sahutnya pelan. "Saya sedang patroli."
"Oh," gumam Madam Pince. Kemudian matanya kembali ke Draco. "Rapihkan sisa bukunya, Mr Malfoy. Kau boleh kembali ke asramamu. Langsung ke sana dan jangan berbuat macam-macam."
Draco menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Jangan berbuat macam-macam. Well, dia tidak membuat penjelasan itu menjadi spesifik, batinnya ketika wanita penjaga perpustakaan itu berjalan meninggalkan mereka.
Untuk sesaat tak ada yang bergerak. Namun akhirnya Draco berjalan ke arah tumpukan buku, merapihkannya ke pojok. Dia mengusap tangannya yang kotor penuh debu ke jubah. Kemudian mengerling sekilas ke Gryffindor itu.
"Detensiku selesai. Aku pergi," ujarnya cepat.
Draco merasa tak sanggup lagi. Dia memasukkan tongkat ke saku, lalu berjalan meninggalkannya. Langkahnya terasa begitu berat. Seolah ada magnet besar yang menariknya dari dalam bumi. Tenggorokannya terasa tersekat. Namun tak jauh, dia berbalik badan, sejenak terdiam tak berani menatap gadis itu. Awalnya rasa ragu menyelinap, mengatakan apa yang ada di benaknya. Kemudian dia memaksa merangkai kata.
"Dan—Granger," katanya. Terdiam sejenak, menelan ludah. Kemudian memberanikan diri menatap coklat madu milik Hermione Granger sekali lagi. "Kau akan baik-baik saja."
Si Gryffindor mengangkat wajah, mendengar Draco berkata.
"Mungkin kau tahu apa yang akan terjadi nanti di masa mendatang. Kekacauan apapun yang akan terjadi di luar sana nanti," kata Draco lagi, tampak serius. Namun berusaha tenang di saat bersamaan. "Aku tahu kau akan bertahan. Kau akan baik-baik saja."
Si Slytherin berbalik meninggalkan tempat itu. Dia tak tahu bahwa ketika sosoknya menghilang dari pandangan, si Gryffindor menangis tanpa suara di antara deretan rak yang sunyi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
read comments