Silahkan baca!
BAB 18
"Draco, please—" ratap Pansy di belakangnya. "Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku minta maaf."
Berjalan terburu-buru, dia hanya menoleh singkat dan melemparkan pandangan tajam. "Pansy, PLEASE! Berapa kali aku harus mengatakannya?" balas Draco menggeram. "Aku. Sudah. Tidak. Peduli. Menyingkirlah dari hadapanku!"
"Tapi aku tak ingin kau—"
"Aku tak peduli apa yang kau ingin dan tidak inginkan, Pans! Aku ingin bernapas. Jangan dekati aku dalam waktu dekat ini," tukas cowok itu gusar.
Pansy masih berjalan di belakangnya. Draco melanjutkan langkah, mengutuki diri mengapa tadi tak mengambil jalan memutar agar tidak bertemu dengan cewek dari neraka ini. Betapa kesalnya dia sekarang. Mungkin dari jauh orang lain dapat melihat asap telah mengepul di atas kepalanya. Atau bahkan bisa menggoreng telur mata sapi di ubun-ubun.
"Jangan membuat semua ini menjadi kesalahanku, Draco. Kau tidak adil padaku," katanya masih mengikuti cowok itu. "Bukan cuma salahku saja orang tuamu memintamu berhenti sekolah. Aku melakukannya demi dirimu! Itu salahmu juga kau berhubungan dengan darah lumpur itu—"
Draco berhenti mendadak, membuat Pansy terkejut. Dia menatapnya garang. "Jangan–bahas–ini–lagi, oke?"
"Kau mematahkan hatiku, Draco!" serunya. Kini suaranya sedikit gemetar.
Draco menggeram gusar.
Patah hati? Oh, kayak dia punya hati saja!
Tapi Draco tidak mengatakan apa-apa dan hanya mempercepat langkahnya lagi. Dan seperti yang sudah dapat diduga, cewek itu tetap mengikutinya.
"Dan aku yakin kau akan merasakannya sendiri nanti jika kau masih menemuinya!" kata Pansy. Suaranya bergetar. "Kau tak berpikir si Weasley atau Potter mungkin telah mencoba mendekati si jalang itu—"
"Pansy—"
Namun cewek Parkinson itu tetap saja ngoceh. "Dan dia akan meninggalkanmu, Draco. Jadi jika kau masih—"
Draco murka sekarang. Kemudian menghentikan langkahnya mendadak, menatap garang cewek Slytherin itu. "PARKINSON!" serunya ketus. Kejengkelan itu sudah sampai ke ubun-ubun. Napas berat penuh emosi. Dia tak tahan lagi.
Pansy Parkinson menatap mata Draco, memaksa cowok itu melihat rasa sakit dalam matanya. Dan ya, Draco melihatnya. Memang ada suatu kegelapan. Sebuah kepahitan. Mungkin itukah yang Pansy sebut dengan patah hati?
"Jangan teriak-teriak di koridor," kata Severus Snape yang muncul dari balik pintu kelas Ramuan. Mereka berhenti melangkah. "Kalau tidak akan kupotong poin asrama kalian."
Draco menatap Severus Snape di depan pintu, wajah masih gusar.
Itu asramamu juga, bodoh! Dia di pihak mana sih, geramnya sinis. Oh, aku lupa. Dia memang sudah menyeberang pihak dari dulu.
"Maaf, Profesor," sahut Pansy. Mata mengerling Draco tajam.
"Malfoy," kata Severus hati-hati, membuat cowok Slytherin itu memendang guru Ramuannya. "Bisa aku minta waktumu sejenak?"
Draco mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Brengsek, geramnya dalam hati. Dia sedang enggan bicara dengan lelaki itu hari ini. Dia tak ingin bicara dengan siapapun hari ini.
Dia mengerling Pansy sangar. Tangan terkepal erat. Kekesalannya bertambah, melihatnya enggan pergi seperti parasit yang menyedot separuh kesabarannya. Tapi kemudian dia menyakinkan dirinya sendiri, Semenit bersama Severus seharusnya takkan rugi apa-apa, pikirnya pahit. Bagaimana aku bisa bilang tidak?
"Baik… Sir," sahutnya berat. Tangan masih terkepal erat, berjalan meninggalkan Pansy.
Cewek itu masih sempat berbisik, "Kita masih harus membicarakannya, Draco."
Draco mendelik ke arahnya. Maumu, batin cowok itu ketika mengikuti guru Ramuan itu masuk ke kelasnya. Dan memastikan pintu itu tertutup agak keras di belakang, tak peduli Severus mungkin benar-benar akan mengurangi poin. Anak Slytherin sudah tidak peduli lagi dengan usaha perolehan Piala Asrama.
Dalam hati, dirinya bertanya-tanya waktu macam apa yang akan dia habiskan—yang lelaki itu bilang 'sejenak'—dengan walinya itu. Severus mengarahkannya ke sebuah meja yang di atasnya terdapat akar-akar Mandrake panjang dan masih bernoda tanah. Dua buah pisau bersih dan sebuah keranjang rotan berada di dekatnya. Dihadapkan pada benda-benda itu, membuat Draco bingung.
"Bantu aku potong akar-akar Mandrake ini dengan ukuran panjang 3 senti."
Draco melongo. "Apa?" sahutnya, tak mengira Severus memanggil untuk proyek charity. Dia dapat mendengar nada mendengus dalam suaranya sendiri.
"Kau mendengarku, Draco. Bantu aku potong akar-akar ini dengan ukuran panjang 3 senti," ulangnya seperti mengira Draco menderita tuli sesaat.
Sang murid mengernyitkan dahi, namun memutuskan untuk diam mengikuti instruksi yang diperintahkan si guru Ramuan. Dia memutuskan untuk melakukannya secepat mungkin agar dapat meninggalkan ruangan itu selekasnya.
Severus berdiri di ujung meja. Terlihat agak canggung jika Draco tak keliru—karena canggung biasanya sebuah kata yang sering kali mustahil untuk seseorang seperti walinya itu.
"Jika selesai, taruh di keranjang ini," instruksinya lagi.
Draco tak mengatakan apa-apa. Dan memperhatikan instruksi itu layaknya murid yang baik.
Apapunlah. Asal bisa lolos dari si mulut nenek tua itu.
Pansy Parkinson secara KONSISTEN mengekornya selama beberapa terakhir ini dan berkata 'Aku tahu kau marah padaku', 'Aku melakukannya demi kau', dan semua tetek bengek lain— membuat Draco tergoda untuk membeli penyumpal telinga. Dia bicara tentang pengaduannya kepada orang tua Draco tentu saja. Dan kini dia merengek minta maaf. Memang seharusnya begitu, karena jalang itu telah mencampuri urusannya dengan berkoar-koar kepada orang tuanya. Kenapa sih dia bawel sekali?
Draco kesal? Ya. Dan marah? tidak. Dia sudah sampai pada tahap bahwa sudah tak peduli lagi pada segalanya. Dia tak ingin menghabiskan waktu tak berguna dengan terus marah padanya. Jadi dia tak peduli lagi apapun yang Pansy lakukan. Dan yang kini membuat Draco sudah marah dan muak adalah kini Pansy menjadi Pengganggu Kelas Wahid di seluruh dunia. Jika cewek itu berharap segalanya akan kembali seperti sedia kala, itu takkan terjadi. Takkan. Terjadi. Seumur. Hidupnya.
Draco mengerling sekilas ke arah Severus di sela-sela kegiatannya memotong-motong akar Mandrake. Lelaki itu tampak berpikir serius, memandangi lantai. Seolah dalam benaknya terjadi pertarungan pilihan.
"Draco," katanya. Dia berjalan ke arah lemari bahan-bahan ramuan. Berlagak membereskan satu-dua benda di atas rak tengah. "Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan secara serius."
Lepas dari Pansy seperti sebuah anugerah. Namun masalahnya menjadi lepas dari mulut nenek tua cerewet masuk ke mulut bebek.
Severus masih berada di dekat lemari. Tampaknya berusaha untuk membuat percakapan ini tidak seserius tampak luar. "Kau yakin dengan keputusanmu?"
Seketika itu Draco langsung mengerti.
Dia mengerti mengapa Severus bersikap canggung seperti itu. Atau kenapa dia meminta waktu padanya. Bukan sekadar untuk membantu memotong akar-akar itu, tentu saja. 'Meminta bantuan' hanyalah sebuah alasan Severus sebenarnya untuk ingin bicara dengan Draco.
Pertanyaan 'Kau yakin dengan keputusanmu' mengarah pada keputusan Draco untuk keluar dari Hogwarts. Semua permintaannya untuk membantu memotong akar Mandrake hanya celah agar dia bisa bicara empat mata tentang hal itu. Masalahnya adalah Draco sedang enggan untuk membahasnya. Dia serius berkata pada Pansy ketika dia tak ingin membahas apapun mengenai hal itu. Dengan siapapun.
Dia mengatupkan rahang rapat, memotong akar-akar dengan tenaga lebih besar daripada yang diperlukan. Mengapa aku harus ketemu banyak orang idiot hari ini? Dia berusaha tidak menatap mata walinya, sengaja terus menyibukkan diri.
Mendadak dia ingin segera keluar dari ruangan itu. Tapi di luar mungkin masih ada Pansy… Di luar masih ada Pansy… batinnya menahan diri.
"Draco?"
Urg, sudah dimulai, geramnya dalam hati mencoba sabar.
"Ya Sir," katanya—namun enggan menjelaskan 'ya' tersebut mengiyakan pertanyaan 'Kau yakin dengan pilihanmu?' atau menjawab panggilan 'Draco?'. Nada datar. Tanpa ekspresi, emosi, ataupun intonasi apapun yang menunjukkan adanya perasaan tertentu.
"Mengapa?" tanyanya lagi. Tampaknya dia sudah mengambil pemahaman bahwa 'ya' Draco mengacu pada makna 'Kau yakin pada pilihanmu.'
Draco tak menjawab, merasakan tatapan Severus Snape sesekali di sampingnya. Lelaki itu diam terhenti sejenak tadi dari kegiatan-berlagak-menyibukkan-diri-membereskan-lemari-tanaman-obat-padahal-lemarinya-sudah-rapi untuk menunggu jawaban. Namun Draco enggan bereaksi lebih banyak. Draco malas meladeni sikap sok pedulinya seolah mereka adalah wali-putra baptis yang harmonis.
Hah. Adjektiva 'harmionis' sebenarnya sudah lama menghilang di antara hubungan mereka.
Untuk sejenak lelaki itu tak berkata lebih lanjut. Namun Draco tahu dia masih berusaha untuk mencari bahan pembicaraan. "Kau akan menyia-nyiakan banyak hal jika kau berhenti sekolah begitu saja," kata Severus perlahan. "Kau cerdas, Draco. Masa depanmu masih cerah dan memiliki potensi untuk lebih mengembangkan diri di sini. Kau murid terbaikku secara akademis."
Peringkat kedua terbaik. Atau kau hanya ingin menyenangkanku saja? batin Draco sinis. Namun akhirnya memutuskan untuk hanya berkata "Baik Sir," singkat ala kadarnya karena enggan meladeni khotbahnya.
"Aku tak pernah meminta apapun darimu," kata Severus. "Aku hanya ingin kau berpikir masak-masak."
"Saya sudah memikirkannya masak-masak, Sir," kata Draco dingin menekan nada pada kata yang terakhir.
Sudah lama Severus tidak banyak omong seperti itu. Biasanya pembicaraan di antara mereka hanya sebatas akademis. Draco menjaga jarak dan orang itu pasti merasakannya. Segalanya telah berubah dalam beberapa tahun terakhir.
Bunyi desis kecil terdengar di tungku tak jauh dari mereka. Udara terasa lembab di ruang bawah tanah kelas Ramuan itu. Draco mendadak merasa saat-saat berada di ruangan itu akan menjadi waktu yang panjang. Dia mempercepat memotong akar-akar sialan itu tanpa memperdulikan ukuran lagi.
"Kau masih muda," kata walinya lagi sedikit tegas. "Jangan bertindak gegabah dan ingin jadi pahlawan. Sudah cukup Hogwarts memiliki satu orang macam Potter."
Penyumpal telinga sungguh ide yang brilian, batin Draco. Besok akan kubeli di Hogsmaede.
"Anda tak perlu kuatir, Sir. Saya tak berminat menjadi Harry Potter," katanya dengan nada mengejek.
"Aku gurumu dan peduli dengan masa depanmu," kata Severus tajam. Raut mukanya serius. "Aku hanya tak ingin kau menyianyiakan hidupmu demi orang-orang yang tidak menghargaimu."
Draco menghela napas keras. Dia yakin Severus mendengarnya, namun lelaki itu tampak tak berminat berhenti bicara.
"Dengan segala hormat, Sir, itu bukan urusan Anda. Masa depanku adalah urusanku sendiri. Dan aku tak ingin menghabiskan hidupku menjadi pengkhianat sepertimu."
Shit.
Sungguh, perkataannya hanya selip lidah saja karena Draco sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang. Dia tak bermaksud untuk mengatakannya—walaupun seratus persen maknanya memang benar. Severus Snape. Sang pengkhianat. Sudah isu global.
Severus tampak terperanjat. Draco mengutuk dirinya karena selip lidah itu. Karena dengan begitu percakapan mereka malah akan bertambah panjang. Namun hebatnya, Severus masih tampak menahan diri. Benar-benar aktor hebat.
"Jangan bicarakan sesuatu yang tak kau pahami."
"Yeah tentu— Sir," cibir Draco. "Maaf." Dia memutar bola mata, malas untuk berkonfrontasi dengan Severus saat ini. Terlalu banyak kepenatan yang sedang berkecamuk di benaknya, dan dia tak berminat untuk menambah kadarnya.
Namun tampaknya lelaki itu mendengar nada cibiran dalam nada suara Draco. Dan dia masih menahan diri dan berusaha untuk tenang. Dari wajahnya, Draco tahu Severus takkan membiarkan masalah itu berlalu begitu saja.
Sial.
Air mukanya mengeras. "Kau tak memahami apa yang terjadi."
"Baik, baik, aku mengerti," tukas Draco semakin kesal. "Aku memang keliru. Jangan bicarakan tentang itu lagi, oke? Aku tidak mood membicarakannya. Oh, kau orang baik. Tentu saja kau bukan pengkhianat." Semoga hidungmu tak bertambah panjang, Pinokio.
"Yang Ayahmu lakukan adalah salah."
Mengapa semua orang sedang tak bisa sedikit sensitif? Aku sedang tak ingin membicarakan hal ini! "Jangan menghakimi apa yang benar dan apa yang salah jika kau sendiri bukanlah orang suci! Apalagi dari mulutmu sendiri," kata Draco gusar. "Aku cukup dewasa untuk mengetahui tindakan kotor apa yang telah kau lakukan dulu!"
"Akhirnya pembicaraan kita mengarah ke sini juga," katanya dingin.
Betapa Draco benci pembicaraan ini harus sampai sini juga. Mereka belum pernah membicarakannya. Severus pun tidak pernah mengatakan apapun—mungkin tak berani bertanya apakah Draco tahu atau tidak karena mencegah . Pembicaraan ini tabu. Disimpan dalam peti di dasar samudra terdalam. Dan membiarkannya tergeletak di sudut benak mereka dan tak terbicarakan.
"Ya, aku sudah lama menghiraukannya! Aku sudah lama tak peduli dengan apa yang telah kau lakukan!" tukasnya tajam.
"Aku melakukan apa yang kuyakini benar!"
"Apanya yang benar? Hah!" Draco tertawa. "Kau telah menjual mereka! Kau menjual nama-nama Pelahap Maut demi kebebasanmu sendiri. Mereka dipenjara sementara kau mencium udara kebebasan."
"Aku bukan menjual mereka," geramnya. "Paham mereka keliru!"
"Bukan, Severus. Kau memilih apa yang paling enak untukmu sendiri!" seru Draco tajam. "Kau memilih apa yang menurutmu aman! Kau tak ingin rugi! Apa yang kau rasakan ketika tanda kegelapan di tanganmu berkedut? Apa kau mengingat mereka yang terpenjara? Mengingat rasa bersalahmu karena mejerumuskan mereka?"
Severus terdiam sejenak mencoba untuk tetap tenang. "Kuharap kau cukup cerdas untuk mempercayai fitnah orang lain terhadapku. Bahkan fitnah ayahmu," katanya hati-hati.
Draco tersenyum sinis. "Oh, percayalah. Ayahku tidak perlu melakukannya," katanya mengibaskan tangan. "Bahkan Ayah tidak mengatakan apapun mengenaimu. Dia masih menganggap kau waliku dan masih berusaha untuk menghormati hubungan itu. Dia membebaskanku untuk menilaimu dan membiarkan waktu yang akan memberitahuku segalanya." Jeda sejenak. Draco menatapnya dingin sebelum akhirnya kembali menekuni akar-akar Mandrake yang tinggal sedikit. "Dan kini aku telah memiliki penilaianku sendiri."
Aku tak mengerti orang itu. Aku tak mengenalnya lagi, kata Lucius suatu hari beberapa tahun yang lalu. Dia berbicara tentang Severus Snape.
Pada saat yang sama, membuat Draco akhirnya berpikir, Aku juga tak mengerti. Kemudian itu menjadi salah satu alasan dia untuk tak ingin terlibat perasaan lebih lanjut dengan Severus lagi. Kini hubungan perwalian mereka hanya sebatas memori masa lalu.
Rasanya berbeda sekali jika Draco mengilas balik hubungan mereka ketika dirinya baru memasuki Hogwarts dulu. Tanpa kata-kata, walinya itu membantu kapan saja. Memudahkan Draco melakukan berbagai hal. Mendapatkan jadwal penggunaan lapangan Quidditch. Membantu dalam pelajaran Ramuan. Memperingan hukuman yang seharusnya Draco peroleh jika ketahuan melanggar aturan. Anak berumur sebelas tahun memiliki seseorang yang dekat dalam lingkungan tempatnya bersekolah, ada rasa bangga di hatinya. Sesuatu yang membuat iri anak lain.
Namun lambat laun, Draco merasakan kejanggalan. Dia menceritakan kebaikan dan kedermawanan guru Ramuan itu pada ayahnya. Namun Lucius hanya mengangguk singkat tanpa berkomentar. Tak pernah mendengar penghargaan apapun keluar dari mulutnya walau hanya sekadar 'Benarkah?' atau 'Baik sekali dia'. Seolah ada kerenggangan di antara mereka. Tak pernah mengatakan apapun mengenai apa yang telah terjadi di masa lalu. Tak ada komentar atau perintah tertentu. Seolah dia membiarkan Draco untuk menilai sendiri tentang walinya itu.
Akhirnya waktu dan kedewasaan membuat Draco akhirnya mengerti. Bahwa walinya telah berbuat sesuatu di masa lalu yang tidak dapat dimaafkan ayahnya. Severus melakukan pengkhianatan— membeberkan nama-nama Pelahap Maut di pengadilan. Nama-nama rekan mereka seperjuangan mereka. Kemudian menerima tawaran perlindungan Dumbledore. Dia bukan seperti yang Draco pikir sebelumnya dan membuatnya bertanya-tanya di sisi mana Severus berada.
Kini semua telah jelas. Severus telah menentukan pilihan dengan memilih si Dumbledore tua. Dia tak menjawab panggilan Lord Voldemort. Fakta itu cukup menjawab segala kebingungan Draco bahwa ayah dan walinya telah berpisah jalan. Dan kini Draco telah menentukan keputusannya sendiri bahwa—
Dia akan mengikuti jalan ayahnya dengan meninggalkan Hogwarts dan menjawab panggilan Sang Lord.
Itulah yang terjadi pada malam itu ketika Lucius meminta Draco untuk keluar kamar sejenak Senyum sumringah terlukis di wajah ayahnya. Dia membawanya kembali ke ruang bawah tanah di kediaman Malfoy untuk menemui sang tamu agung.
Lord Voldemort sedang duduk di kursi berlengan kesayangan ayahnya ketika Draco memasuki ruangan. Sulit dilukiskan bagaimana perasaan melihat sosoknya. Gabungan antara rasa takut dan harapan. Gabungan antara kekejaman dan kejayaan. Dan Draco tak tahu mana yang lebih besar dalam dirinya, rasa takut yang teramat sangat atau memuja yang penuh dengan kekaguman. Dia berkata dengan suara rendah yang membuat Draco merinding, "Sudah saatnya, Putra Lucius Malfoy." Dia menawarkan panggilan. Kemudian ayah-ibunya menatap Draco penuh harap. Sang putra tunggal menjawab apa yang mereka harapkan. Draco Malfoy menelan ludah, menjawab dengan mantap, "Ya."
Sebentar lagi Hogwarts hanya tinggal bagian dari memorinya. Babak yang perlu ditutup dalam drama hidupnya. Hanya tinggal tunggu waktu dan segalanya akan berakhir. Dia masih memiliki banyak hal yang perlu dipikirkan bersama dengan Lucius. Bersama dengan Lord Voldemort.
Pilihan yang diingkari Severus Snape bertahun-tahun yang lalu.
Rasa kesal memenuhi benak Draco. Mendadak ruangan itu terasa menghimpitnya. Dia memotong akar-akar Mandrake yang tersisa lebih cepat. Dia ingin buru-buru meninggalkan tempat itu.
"Aku telah menetapkan hati," kata Draco lagi, tanpa mengalihkan pandangan dari tugasnya. "Tak ada yang dapat merubahnya."
"Aku tahu, tapi—"
"Bagus. Jadi, jangan campuri urusanku lagi," sahut Draco.
"Kau mau kemana, Draco?" kata Severus tegas ketika melihat Draco berjalan meninggalkan meja menuju pintu. "Kita belum selesai bicara!"
"Yeah, memang belum," tukasnya.
"Draco!"
"Tapi tugasku memotong akar Mandrake keparatmu telah selesai."
Kemudian Draco Malfoy melempar pisau ke dalam keranjang rotan. Dia berjalan penuh kekesalan ke arah pintu, lalu menghilang di baliknya.
"Sinting! Mereka sampai mengosongkan asrama itu!"
"Jika Hufflepuff yang kosong sih aku masih tidak peduli. Tapi ini Slytherin, man!"
"Ini terlalu dibuat-buat. Tak mungkin mereka meninggalkan Hogwarts hanya karena ketakutan dan kekuatiran. Karena mereka tidak tampak tidak takut dan kuatir sama sekali!"
"Mereka merencanakan sesuatu…"
"…akan dipulangkan secepatnya sebelum terlambat…"
"…harus kirim burung hantu ke Mum…"
"…melakukan langkah antisipasi…"
Pembicaraan itu terdengar sama-samar saja di telinga Hermione. Benaknya berkelana ke pikirannya yang lain, memikirkan sesuatu yang mengganggu hatinya.
Saat itu hampir pukul sepuluh. Beberapa anak masih di ruang rekreasi, sibuk berargumentasi setelah menahan diri dalam ketegangan menyelimuti selama makan malam. Berita tentang pengunduran diri masal itu menyebar cepat dari mulut ke mulut. Suasana tegang itu segera menjalar ke pelosok sekolah. Semua orang berbisik-bisik dan menatap curiga ke meja Slytherin. Para guru pun tampak serius, namun tetap membisu. Nyaris tidak ada yang bicara di meja Gryffindor. Harry dan Ron menunduk melempar tatapan gugup sembari mengerling sekilas ke meja berlambang ular itu. Semua kekuatiran yang hanya dikira spekulasi, kini menjadi tuduhan yang serius.
Barulah ketika sampai di ruang rekreasi Gyffindor, pembicaraan para murid mulai terbuka. Berbagai komentar dan kekuatiran menyeruak ke permukaan. Beberapa anak kelas tiga berkumpul di pojok dengan wajah tegang. Tiga-empat anak duduk di tangga tampak melempar opini.
Di depan perapian, Harry dan Ron berdiskusi serius. "Jadi… memang sudah dimulai," kata Harry berat. "Mereka telah bersiap-siap."
Ron mengatupkan rahangnya rapat, menelan ludah. "Ya."
"Bahkan enam orang sudah pergi duluan. Aku melihat Millicent Bullstrode menyeret kopernya di Aula Depan tadi sore," kata Harry serius. "Sebenarnya aku sudah menduga bahwa sebagian dari mereka pasti akan pergi. Namun aku tidak sampai berpikir mereka sampai pergi seperti itu secara bersamaan! Maksudku— ini terlalu mencolok. Mereka mau bikin pasukan ya?"
Dahi Ron berkerut serius. "Mum menyuruh kita lebih berhati-hati. Dad juga," katanya. Kemudian dia merendahkan suaranya, "Orde telah berantisipasi…"
Hermione menatap kosong ke pangkuan, beberapa kali menelan ludah. Kepalanya terasa berat sekali seolah ada tekanan dari segala penjuru. Berkali-kali dia berusaha menaruh perhatian pada kedua temannya. Namun kemudian pikirannya kembali pada sesuatu yang ingin dihindarinya. Sulit untuk memperhatikan sesuatu jika benaknya dipenuhi pikiran yang lain.
Ada apa denganmu? Inilah yang kau inginkan!
Berkali-kali Hermione meyakinkan dirinya seperti doa. Ini yang diinginkannya— Ini yang diharapkannya ketika meninggalkan Draco di malam pesta itu. Menjaga jarak dan menjauhkan diri darinya. Berhari-hari tidak bicara atau mencoba menemuinya. Tak perlu ada kebohongan lagi. Tak perlu lagi merasakan rasa bersalah terhadap teman-temannya.
Ya, itu memang yang diinginkannya. Dia tidak membohongi kedua sahabatnya lagi. Namun semakin memungkirinya, kini semakin menyadari bahwa dia malah membohongi dirinya sendiri.
Dia akan pergi… dia akan pergi… dia akan pergi…
Kenapa seorang Draco Malfoy bisa begitu bodoh. Kenapa dia memihak orang-orang seperti mereka? Tidakkah dia tahu bahwa seorang anak tak dapat memilih dimana dia akan dilahirkan? Takdir sudah memilih jalan untuknya, seperti Hermione yang tidak pernah meminta dilahirkan dari keluarga Muggle. Tak ada yang salah jika manusia memiliki kehidupan yang berbeda dengan orang lain. Siapa yang berhak menghakimi bahwa yang salah adalah salah, yang benar adalah benar? Siapa yang berhak menghakimi bahwa seseorang lebih baik dari seseorang lainnya?
Tidakkah orang bego itu mengerti semua itu? Kenapa dia harus pergi?
"Hermione?" panggil Ron samar-samar. "Wajahmu pucat. Ada apa?"
Apa dia pergi hanya karena marah padaku? Apa dia akan bergabung dengan orang-orang jahat seperti yang aku duga?
"Hermione?"
Samar-samar Hermione tersadar. "Er— apa? Maksudku, tidak ada apa-apa…" katanya, namun benak masih terasa di awang-awang. Kepala terasa pening. Tangan di bawah meja, tanpa sadar telah mencengkram jubahnya sendiri hingga buku-buku jari memutih.
Dasar Slytherin bodoh… kenapa dia mau pergi dengan orang-orang seperti mereka?
"Kau baik-baik saja?"
KENAPA dia harus pergi?
"Hermione!"
Hermione merasakan sentuhan di pundak yang membuat dirinya benar-benar tersadar. Dia membuka ingin membuka mulut untuk mengatakan basa-basi tidak-ada-apa-apa atau tidak-ada-yang-perlu dikuatirkan. Tenggorokannya tersekat, mencegah kata-kata itu keluar. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan, berbagai pikiran tampak masuk di saat bersamaan. Namun seolah sebuah tombol tertekan. Sebuah pilihan menyala di benaknya. Ada yang harus dilakukannya. Secepatnya.
"A-aku harus pergi."
"Hah?" Ron bertukar pandang dengan Harry. "Sudah hampir jam sepuluh. Mau kemana kau pada jam segini?"
Pertanyaan itu seolah tak terdengar ketika Hermione kembali berkata, "Aku harus pergi." Seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Hermione, kau membuatku kuatir," tanya Harry lagi.
Si Ketua Murid seolah tersadar. "Hanya ke er— perpustakaan."
Dia merasakan kedua temannya mengerutkan kening. Mereka merasakan kegelisahan dalam dirinya. Namun Hermione tak memiliki waktu untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Dia harus segera pergi.
"Sudah malam, Mione. Mungkin sudah tutup," kata Ron. Hermione dapat mendengar nada bingung dalam suara cowok itu.
"Masih ada waktu beberapa menit jika aku buru-buru," sahutnya cepat, memaksakan senyum. "Aku perlu— er, aku memerlukan buku ini secepatnya."
"Jangan bilang kau mau begadang dan membaca malam ini. Kau pucat tampak tidak sehat."
"Aku baik-baik saja, Harry," sahutnya dengan nada setengah tak sabar, menatap Harry dan lubang lukisan bergantian. "Aku benar-benar harus—"
Ron menghela napas, menatapnya hati-hati. "Tidak, Hermione. Kau tidak baik-baik saja," katanya. "Kau aneh sekali belakangan ini. Seolah beban seluruh umat seluruh umat manusia berada di bahumu. Jangan kira aku tidak menyadarinya. Namun kami hanya ingin kau mengatakannya sendiri jika kau telah siap. Dan kuharap kau telah siap. Jika kau ingin membicarakan sesuatu, kau bisa membicarakannya dengan kami."
Hermione menunduk. Seandainya saja aku akan pernah siap.
"Tak ada yang perlu dibicarakan. Tidak ada yang serius, sungguh," katanya, memaksakan senyum. "Kalian bicarakan apa sih? Ada-ada saja."
"Mungkin sebaiknya besok saja kau meminjam buku itu."
"Ron…" katanya, menelan ludah. Otak berputar mencari alasan. "Aku hanya mau minjam buku. Tak ada yang perlu dikuatirkan, kan?" Memaksakan tawa.
Hermione menatap kedua temannya bergantian. Harry melempar pandangan ke Ron, kemudian Ron menundukkan kepala menghela napas. Sebelum Hermione membiarkan mereka melontarkan pertanyaan atau pernyataan lebih lanjut, dia sudah melempar senyum kemudian berbalik melangkah cepat untuk pergi. Setelah meninggalkan mereka di ruang rekreasi, langkah itu berubah menjadi lari. Dan Hermione menyadari bahwa dirinya baru saja melakukan kebohongan sekali lagi.
Draco tak habis mengerti apa kerjanya para peri rumah di Hogwarts ini. Apa mereka tak pernah berbenah di perpustakaan? Rak-rak buku di sana bagian Seksi Terlarang seperti tak pernah disentuh berabad-abad lamanya. Debu tebal menyelimuti permukaan. Dan judul buku tampak usang hampir tak terbaca. Bagaimana dia dapat mengembalikan buku-buku tersebut di raknya jika huruf-huruf itu tak terbaca?
Ini detensi ketiga. Akhirnya. Berarti tiga minggu telah dia lewati setelah malam pesta musim semi dirinya menonjok prefek sialan itu. Pince berhasil membuatnya sibuk tiap Sabtu malam. Menyortir buku-buku tua yang teronggok di gudang dan menaruhnya secara manual di rak yang telah disediakan. Kata kunci: TANPA SIHIR. Dan ada ribuan buku di dalam sana. Masih mending jika tulisannya terbaca. Kebanyakan dari buku-buku tua itu memiliki tulisan yang sudah pudar. Dan beberapa mencoba menggigit Draco jika salah memegang. Pince memilih Sabtu malam seperti itu agar Draco bisa menghabiskan detensinya hingga batas jam malam.
Sesungguhnya Draco bisa saja meninggalkan detensi terakhirnya ini—kayak dia peduli saja. Tak lama lagi dia akan meninggalkan Hogwarts. Takkan ada yang peduli dengan potongan nilai asrama. Takkan ada yang peduli dengan asrama mana yang memperoleh piala. Tapi ujung-ujungnya dia malah mendapati dirinya malah berdamai dengan keadaan. Mungkin tak ada ruginya sekali terakhir ini saja. Toh dengan begitu dia bisa menjauhi Pansy. Berada di antara rak-rak yang sepi sedikitnya juga menyenangkan. Keheningan selalu menenangkan.
Namun kemudian Draco memutuskan untuk duduk-duduk di atas lantai, bersandar di rak. Sedikit mulai bosan melakukan segala sesuatu. Dia mengeluarkan tongkat sihir dan memutar di antara jemarinya. Dia melirik jam besar di atas pintu. Ternyata baru pukul sepuluh malam. Pikirnya masih pukul sembilan.
Tinggal satu detensi. Dan sebentar lagi berakhir, pikirnya. Bersabar selama tiga hari lagi dan kau akan terbebas dari dari Pansy. Tiga hari lagi terbebas dari sekolah ini. Terbebas dari Gryffindor itu. Terbebas dari keraguan orang tuanya.
Mungkin saat ini yang paling dikesalkan adalah mengenai Pansy. Cewek itu telah menjadi Pengganggu Nomor 1 sepanjang masa. Memang, dia telah mengurangi intensitas 'kecenderungan untuk merusak suasana'. Tapi apa yang telah dia lakukan dua hari yang lalu, membuat Draco benar-benar geram. Dia mengikutsertakan ibu Draco dalam usahanya berbaikan. Ibunya sampai berkata, "Masalah apapun yang kau miliki dengan Pansy, lebih baik diselesaikan."
Draco tak suka jika ibunya sudah ikut campur begitu. Kini pembicaraan yang menyangkut rasa takut putra semata wayangnya itu terlalu 'bermain-main' dan keluar jalur, kembali ke permukaan lagi. Dan kembali menekankan pentingnya keputusan untuk mengeluarkan-sang-anak-emas-dari-sekolah-terkutuk-dan-membahayakan-kemurnian-darah-klan-Malfoy-yang-berharga.
Draco bersandar di rak buku, mengambil buku lalu membuka sampul kulitnya dengan malas. Dia membalik-balik halamannya yang sudah dimakan ngengat. Isinya mengenai pelajaran mantra sihir hitam. Mantra-mantra yang populer digunakan ketika kudeta perdana mentri sihir Edward Cromwell abad ke-15. Dia pernah mempelajari beberapa di antaranya hanya sebatas mengisi wawasan. Tapi ketinggalan jaman sekali jika digunakan saat ini.
Pasti buku ini seharusnya diletakkan di bagian sejarah mantra, pikir Draco.
Kemudian dia memisahkan buku yang pudar sampulnya tersebut ke tumpukan buku dengan klasifikasi yang sama. Judul buku tak terbaca, sehingga Draco belum boleh menaruhnya ke dalam rak. Dia hanya diperintah untuk menaruhnya ke dalam rak jika subyeknya sudah jelas. Itu tugas Madam Pince untuk benar-benar memutuskan dimana meletakannya.
Draco mengambil buku yang lain. Namun sama merepotkannya: judulnya tak ada, isinya tidak jelas, dan menggunakan bahasa Anglo-Saxon. Bikin susah aja. Dia menyingkirkan buku itu secepatnya dan mengambil buku yang lain bersampul merah. Tiba-tiba buku itu mengeluarkan jeritan nyaring.
"Fuck!" sahutnya kaget.
Cepat-cepat dia menaruh buku itu kembali. Seketika buku itu berhenti melengking.
"Kau harus meminta ijin dulu pada buku tersebut sebelum menyentuhnya," kata sebuah suara perlahan di belakangnya. "Aku tahu caranya karena pernah meminjamnya awal tahun lalu."
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya. Nada masih setengah terkejut. Akumulasi keterkejutan mendengar lengkingan buku itu dan melihat ada orang lain selain Draco di sana.
Hermione Granger berdiri di ujung rak, berdiri dengan canggung. Dia menundukkan kepala.
"Er— pa-patroli."
Draco mencoba membaca wajahnya. Granger memandang ke arah lain menghindari matanya. Pukul sepuluh malam memang waktunya patroli. Namun Draco tahu Granger bukan ke sini karena tugas. Malam itu bukan tugas patrolinya. Dia mungkin tahu alasan utamanya datang ke tempat ini. Namun dia tak berani mengangkat topik itu.
Dari mana dia tahu aku di sini? Namun kemudian dia dapat menjawab pertanyaannya sendiri, Oh, tentu saja. Dia kan Ketua Murid. Tentu tahu siapa yang dapat detensi dan harus melaksanakan apa.
Kecanggungan kembali hadir di antara mereka. Draco menyingkirkan buku yang melengking tadi tanpa menyentuhnya, kemudian mengambil sejumlah buku dari tumpukan, berjalan ke rak terdekat, menaruh asal ke dalam rak. Hanya untuk mencari sesuatu untuk dilakukan selain berdiri canggung tanpa dialog di dekat gadis itu. Draco mengerling, mendapati Granger sedang berdiri canggung berlagak mengamati deretan buku di ujung rak.
Dan Granger masih di sana, belum pergi untuk 'patroli'.
"Kukira kau sedang patroli," ujar Draco sabar.
"Oh," Granger berdeham gugup. "Ya memang," katanya salah tingkah. "Aku baru ingin pergi— Tapi aku lihat-lihat buku er— sejenak…"
Draco mengambil buku-buku lagi. Mencoba menganalisis isi buku. Namun pandangannya melihat kabur di atas kertas karena sibuk mengerling ke arah gadis itu. Si Ketua Murid sedang menatap deretan buku—walaupun sepertinya dia tak benar-benar membaca judul-judulnya. Hanya pura-pura.
Draco kembali menekuni tugasnya, mencoba baca judul di sampul kulit yang sudah usang. Apa tulisannya? Konflik Perebutan Wilayah Pe… Penyihir Wa… Wales? Warrington? pikirnya pada tulisan yang sudah kabur itu. Namun kemudian dia melirik Gryffindor itu lagi dan mendapati orang itu juga sedang menatapnya. Sang gadis buru-buru mengalihkan pandangan.
Dia membuatku gila, gerutu Draco dalam hati.
"Kau bisa mencari pembuat onar di tempat lain, Granger. Di sini tidak ada apa-apa."
Granger bersemu merah. "Aku…" katanya. "Aku hanya ingin kemari sebentar bertanya sesuatu."
Draco menatap tumpukan buku, menaruh buku yang tadi dipegangnya ke atas klasifikasi sejarah sihir. Sekadar mencoba melakukan apapun selain diam dan merasa canggung.
"Apa benar kau akan pergi?"
Draco mendengar Granger berkata. Akhirnya gadis itu mengatakannya. Pertanyaan itu. Draco tahu itulah alasan Granger datang ke perpustakaan. Korfirmasi kepergiannya. Dan sesungguhnya dia enggan sekali membicarakan itu. Dia hanya ingin pergi dari Hogwarts dengan tenang tanpa gangguan. Sudah cukup dengan bisik-bisik dan kerlingan curiga semua murid. Bukannya Draco peduli, hanya saja semuanya terasa mengganggu sekali. Tapi toh dia menjawab pertanyaan Granger juga.
"Ya," jawabnya menghela napas.
Diam sejenak.
"Kenapa?" tanya Granger lagi.
Draco mencoba mencari alasan yang netral. "Karena Hogwarts tidak aman. Orang tuaku kuatir."
Terlalu netral. Bahkan Hermione tak percaya. "Kau pikir aku akan mempercayainya?" cibirnya.
Draco mendengus. "Kenapa aku harus peduli kau percaya atau tidak?"
"Jadi," kata gadis itu lagi. "Apa alasan sesungguhnya?"
"Sesungguhnya aku tak ingin membicarakannya."
Untuk sesaat tak ada yang bicara. Situasi kembali seperti semula. Si Gryffindor menatap deretan buku dalam rak dan Draco sibuk berkutat dengan buku-buku dengan judul kabur. Juga masih menjaga jarak lima meter di antara mereka. Mencari jarak aman. Aman? Aman dari apa?
Granger tertawa sinis. "Kurasa aku tahu kenapa."
"Bagus sekali, jenius," sahut Draco. "Simpan hipotesamu sendiri, aku tidak berminat mengetahuinya."
"Ayahmu yang menyuruh bukan?"
Draco mulai kesal. "Granger, sudah kubilang aku tak ingin membicarakannya."
"Harry dan Ron benar," katanya menghiraukan kekesalan Draco. "Kau akan bergabung dengan banjingan-bajingan kriminal itu."
"Hei, siapa yang kau sebut dengan 'bajingan-bajingan kriminal'?"
Granger tampak tak peduli dengan protes Draco. "Aku tak mengerti pemikiran kalian. Para kaum rasialis!" cemoohnya. "Orang-orang yang membunuh mereka yang tak berdosa!"
Draco mendengus. "Oh percayalah, mereka tidak tak-berdosa seperti itu," cibirnya.
"Oh akhirnya kau mengakui kalian memang bajingan kriminal."
"Apa? Apa aku terdengar pernah mengatakannya?" protes Draco. "Kami bukan bajingan kriminal, brengsek. Kami adalah orang yang berjuang mempertahankan hak. Kami—oh, mengapa aku repot-repot membicarakan ini pada seseorang jelas yang takkan mengerti. Pada orang yang memahami bahwa orang-orang itu pantas mendapatkannya—"
"Pantas? Pantas bagaimana? Mereka tidak tahu apa-apa, Malfoy!" seru Granger. "Apa salahnya menjadi Muggle? Apa salahnya menjadi seseorang yang lahir dari orang tua Muggle? Apa salahku?"
Draco mengatupkan rahangnya rapat. "Jangan sok suci," oloknya tajam. "Orang-orang seperti mereka"—tak sanggup mengatakan 'orang orang sepertimu'—"tidak berhak berada di dunia sihir! Semua sudah berbaik hati menghiraukan keberadaan mereka di dunia Muggle, namun mereka tetap mencoba memasuki dunia sihir!"
"Memangnya kenapa? Mereka memang penyihir! Mereka memiliki hak sama denganmu!"
"Mereka mengambil apa yang telah kami bangun sejak dulu! Merampas—"
Granger tertawa. "Merampas? Apanya yang—"
"Mereka bukan penyihir sesungguhnya, Granger! Mereka hanya parasit berdarah lumpur!"
"Itu hanya analogi yang dibuat-buat oleh orang-orang sinting, Malfoy! Milikku sama seperti yang lain dengan warna merah darah yang sama!" tukas Hermione tajam. "Aku bahkan tidak melihat perbedaannya!"
Draco tertawa sinis. "Oh, tentu kau takkan mengerti—"
"Memang!" seru gadis itu frustasi. "Aku memang tak mengerti! Dan aku tak ingin mengerti karena alasan itu terlalu menggelikan! Dan kau begitu bodoh untuk pergi dengan alasan yang menggelikan seperti itu!"
Akhirnya dia mengatakannya juga.
Draco tahu inilah yang ingin dikatakannya dari tadi. Bahwa sesungguhnya Hermione Granger tak ingin dirinya pergi. Dan kini dia menatap Draco dengan kekesalan dan amarah. Napas berat seakan pembicaraan ini telah menguras separuh energinya.
"Jadi katakan, Malfoy," kata Granger parau, "sampai kapan kalian akan mencoba menyingkirkan orang-orang yang tidak kalian kehendaki? Sampai semua mati? Sampai aku mati—"
"Jangan mengada-ada," geram Draco. Dasar sinting, siapa juga yang mau membuatnya mati. "Terserahlah kau mau bilang apa. Dengar Granger, aku tak ingin membicarakan ini lagi," gerutunya gusar, merasa pembicaraan ini tanpa akhir.
"Berarti kau tetap akan pergi." Granger tertawa sinis. "Dasar bego…"
Draco hanya menatapnya, merasa tak perlu untuk merespon ejekan yang terdengar putus asa itu. Mendadak dirinya merasa lelah.
Pertengkaran ini. Basi. Terulang lagi. Isu lama. Seolah mereka kembali ke masa tahun-tahun sebelumnya, ketika hari-hari pertemuan mereka masih diwarnai kebencian. Pertengkaran reguler mengenai apa yang benar atau apa yang salah. Apa yang hitam dan apa yang putih. Ya, mereka memang telah melewati fase itu lama sekali. Telah lama berselang ketika batas benci masih begitu jelas.
Seharusnya mereka sudah melewati fase pertengkaran ini berbulan-bulan yang lalu.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Draco.
"Kau sungguh tak tahu alasannya?"
Kontak mata si Gryffindor tak lepas sedetik pun dengan mata kelabu si Slytherin. Dan gadis itu tampak begitu sedih.
Draco mengalihkan pandangan, enggan menjawab. Tangan terkepal erat. Apa dirinya memang tahu apa jawaban dari pertanyaan Granger itu? Di lubuk hatinya, mungkin dia tahu. Namun kini yang ingin mereka katakan sesungguhnya adalah pertanyaan dan penyataan yang tak boleh terucap. Dan seharusnya gadis itu tahu bahwa pertengkaran ini takkan membawa kemanapun. Merubah apapun.
"Bodoh," sahut si Slytherin, "kau ke sini hanya akan membuatnya lebih berat."
"Aku tahu."
Kemudian keheningan menyelimuti. Begitu hening sehingga seakan bunyi jarum yang terjatuh pun dapat terdengar di telinga. Dan rasa sakit mencengkram hatinya. Seolah ada tangan tak terlihat yang meremasnya erat-erat.
Kemudian sebuah suara wanita memecah keheningan.
"Baiklah, Mr Malfoy. Detensimu telah selesai," kata Madam Pince muncul dari balik rak. Matanya langsung mengarah ke tumpukan buku yang tersisa. "Apa ini hasil sortiran buku yang judulnya tak terbaca? Oh, benar. Kelihatannya bagus sekali kerjamu—Eh? Miss Granger? Sedang apa di sini?"
Wanita itu menatap Granger dan Draco bergantian. Draco langsung tahu Madam Pince pasti merasakan ketegangan di antara dua murid itu.
"Ada apa ini?" tanyanya curiga.
Granger menunduk menatap lantai. "Tidak ada, Madam," sahutnya pelan. "Saya sedang patroli."
"Oh," gumam Madam Pince. Kemudian matanya kembali ke Draco. "Rapihkan sisa bukunya, Mr Malfoy. Kau boleh kembali ke asramamu. Langsung ke sana dan jangan berbuat macam-macam."
Draco menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Jangan berbuat macam-macam. Well, dia tidak membuat penjelasan itu menjadi spesifik, batinnya ketika wanita penjaga perpustakaan itu berjalan meninggalkan mereka.
Untuk sesaat tak ada yang bergerak. Namun akhirnya Draco berjalan ke arah tumpukan buku, merapihkannya ke pojok. Dia mengusap tangannya yang kotor penuh debu ke jubah. Kemudian mengerling sekilas ke Gryffindor itu.
"Detensiku selesai. Aku pergi," ujarnya cepat.
Draco merasa tak sanggup lagi. Dia memasukkan tongkat ke saku, lalu berjalan meninggalkannya. Langkahnya terasa begitu berat. Seolah ada magnet besar yang menariknya dari dalam bumi. Tenggorokannya terasa tersekat. Namun tak jauh, dia berbalik badan, sejenak terdiam tak berani menatap gadis itu. Awalnya rasa ragu menyelinap, mengatakan apa yang ada di benaknya. Kemudian dia memaksa merangkai kata.
"Dan—Granger," katanya. Terdiam sejenak, menelan ludah. Kemudian memberanikan diri menatap coklat madu milik Hermione Granger sekali lagi. "Kau akan baik-baik saja."
Si Gryffindor mengangkat wajah, mendengar Draco berkata.
"Mungkin kau tahu apa yang akan terjadi nanti di masa mendatang. Kekacauan apapun yang akan terjadi di luar sana nanti," kata Draco lagi, tampak serius. Namun berusaha tenang di saat bersamaan. "Aku tahu kau akan bertahan. Kau akan baik-baik saja."
Si Slytherin berbalik meninggalkan tempat itu. Dia tak tahu bahwa ketika sosoknya menghilang dari pandangan, si Gryffindor menangis tanpa suara di antara deretan rak yang sunyi.