RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi, Chapter 2

Silahkan baca

BAB 2
"Litheas yang tumbuh baik adalah seperti ini."
Keesokkan harinya di ruang kaca kelas herbologi. Profesor Sprout menjentikkan tongkat sihirnya dengan perlahan. Tanaman berbunga itu tercabut dari tanah dan terangkat setinggi jangkauan pandang para murid.
Hermione mengamati tanaman itu dengan seksama. Tampaknya sama seperti tanaman bunga pada umumnya. Batangnya berwarna hijau kecoklatan. Gadis itu pernah melihatnya di buku. Jika sudah mekar, bunganya sangat indah dan besarnya seperti bunga matahari. Namun warna kelopaknya lebih oranye. Dan bunga yang ada di rumah kaca ini masih berupa kuncup dan belum mekar.
"Tanaman ini berumur satu tahun. Adakah yang dapat menjelaskan kegunaan litheas?"
Mudah. Sangat mudah, sebenarnya.
Hermione mengacungkan tangannya ke udara. Tak ada yang heran ketika dia melakukannya untuk yang kesekian kali pada hari itu.
"Lithelas mempunyai banyak kegunaan," dia memulai. "Intisari dari lithelas sering dibuat penyedap makanan dan memberikan efek kenikmatan yang tiada duanya. Orang-orang juga banyak menggunakan lithelas sebagai penghias rumah karena bunganya yang indah. Pada jaman dahulu, lithelas menjadi obat penangkal racun yang sangat mujarab. Tapi, sekarang mulai ditinggalkan karena para ahli sudah menemukan tanaman yang lebih efektif dari lithelas."
"Bagus sekali, Miss Granger. Sepuluh angka untuk Gryffindor," kata Profesor Sprout. Wanita itu mengembalikan akar tanaman itu ke dalam tanah. "Lithelas tetap menjadi tanaman favorit di rumah-rumah untuk dirawat. Dan jika kalian tahu, bunga ini merupakan tempat favorit bagi peri hutan sebagai tempai tinggal."
Seamus mengangkat jarinya ke udara. "Peri hutan?" tanyanya antusias.
Wanita itu mengangguk, "Ya, Mr Finnigan." Dia memegang kelopak bunga lithelas yang seperti bunga matahari. "Para peri hutan yang mungil-mungil itu sering hinggap di atas bunga dan tidur di dalam kuncupnya ketika siang. Dan apabila tumbuh dengan baik, pada malam harinya mereka mekar dan berpendar. Mereka—para peri hutan—keluar untuk melakukan kegiatannya."
"Profesor," Ron menunjuk kuncup athelas. "Oh, berarti di dalam situ ada…"
"Peri hutan? Tidak, Mr Weasley. Peri hutan hanya ingin hidup di hutan atau padang rumput. Mereka menyukai kesunyian dan alam. Dan mungkin jumlahnya sudah semakin jarang mengingat pemukiman penyihir makin menyebar."
Peri hutan? Hermione pernah mendengar tentang peri hutan. Menurut salah satu buku tentang makhluk sihir yang beberapa waktu lalu dia baca, peri hutan dulunya tak semungil yang dia tahu sekarang. Dia sebesar manusia, beradab dan berbudaya seperti manusia. Salah satu legendanya menceritakan ratusan ribu tahun yang lalu, sebelum para peri harus meninggalkan dunia manusia, peri merupakan bangsa sihir terbesar dengan keagungan, keanggunan, dan keindahannya. Pada akhir kejayaannya, ada seorang wanita peri yang tercantik dari bangsanya jatuh cinta dengan seorang raja manusia. Wanita itu mengingkari takdirnya untuk pergi ke dunia para peri mengikuti kaumnya dan malah menikahi raja manusia itu. Peri-peri lain yang menjadi pelayan-pelayan setianya mengikuti wanita itu. Seiring jalannya waktu, karena kebesaran dan keabadian para peri sudah sirna, mereka tinggal bersembunyi di dalam hutan dengan dunia mereka sendiri. Tubuh mereka menyusut karena kehilangan kejayaan bangsa peri yang tersisa. Pasangan peri wanita dan raja itu memiliki keturunan. Keturunan hasil persilangan ras itu juga memiliki keturunan dan seterusnya. Konon, para veela yang ada sampai saat ini merupakan keturunan dari pasangan itu.
Legenda yang menarik.
Profesor Sprout berjalan ke arah sebuah lemari kaca di sudut rumah kaca itu. Dia mengeluarkan sebuah toples kaca penuh berisi biji-bijian berwarna coklat. Wanita itu tersenyum. "Ini bibit-bibit lithelas, anak-anak."
Para murid berbisik-bisik sambil memandangnya penuh keingintahuan.
"Sebaiknya kalian perhatikan dengan sungguh-sungguh." Profesor Sprout tersenyum. "Karena ini yang akan menjadi proyek kalian sampai awal musim semi," katanya kemudian.
Bisik-bisik para murid segera saja berubah menjadi dengungan yang memenuhi ruang kaca itu.
Profesor Sprout menjentikkan tongkat sihirnya ke arah lantai kosong di belakangnya. Lantai itu segera dipenuhi dengan pot-pot tanah liat berukir aneka bentuk dan kondisi. Tingginya sekitar tiga puluh sentimeter. Ada yang kondisinya masih bagus, ada yang sudah retak di sana-sini, dan yang sudah gompel. Masing-masing sudah berisikan tanah yang sudah terisi tiga seperempat bagian.
"Silakan masing-masing ambil sebuah pot," profesor itu menginstruksikan.
Lalu terjadilah kehebohan. Masing-masing anak berebut meraih pot-pot yang bentuknya paling bagus. Hermione tetap berdiri sabar untuk menunggu kerumunan itu membubarkan diri. Lalu setelah mengambil sebuah pot yang retak-retak di sana-sini dan bentuknya paling jelek, Hermione kembali ke bangku untuk menunggu instruksi Profesor Sprout selanjutnya.
Profesor Sprout menjentikkan tongkatnya lagi ke arah toples. Biji-biji itu terbang ke luar toples kaca itu, menuju para murid. Hermione mengangkat telapak tangannya dan biji-biji mendarat pelan di atas telapaknya.
"Kalian masing-masing mendapatkan 20 bibit lithelas," kata Profesor Sprout. "Waktu tanam yang baik adalah awal musim gugur. Jadi pada awal musim semi nanti, lithelas kalian dapat mekar sempurna. Dengan kata lain, kalian memiliki waktu seminggu ini untuk menanamnya sebelum musim panas benar-benar berakhir. Proyek ini akan menjadi nilai tengah semester. Kalian hanya perlu memperlihatkan satu tanaman hasil kerja kalian yang paling baik tumbuhnya."
"Profesor," kata Dean Thomas seraya mengerutkan keningnya. "Kami hanya tinggal menanamnya begitu saja?" tanyanya.
"Tentu saja tidak, Mr Thomas," sahut Profesor Sprout sabar. "Mereka tentu saja perlu dirawat." Guru Herbologi itu kembali menatap murid-murid. "Adakah yang mengerti bagaimana cara merawat lithelas?"
Hermione mengangkat tangannya. Dia mendapati lagi bahwa hanya dia seorang yang mengacungkan jarinya.
Demi Merlin. Apa tak ada yang pernah baca buku?
"Cara merawat lithelas sebenarnya mudah-mudah sulit," katanya. "Apabila kita mengerti ciri-cirinya dengan mudah kita tahu apa yang sedang dibutuhkan tanaman itu. Misalnya, jika tanaman itu bernapas lebih cepat berarti dia memerlukan pupuk kotoran kelelawar lebih banyak."
"Bagus. Sepuluh angka lagi untuk Gryffindor atas jawaban Miss Granger."
"Bernapas, Profesor?" tanya Dean lagi.
"Persis. Perhatikan, anak-anak." Dia menunjuk ke arah tanaman itu.
Bisik-bisik menjalar lagi di antara para murid. Awalnya tak ada yang melihat suatu pergerakan apapun pada tanaman itu. Hermione juga tidak. Namun, perlahan dia dapat melihatnya. Tumbuhan itu bergerak pelan melambai seperti dihembuskan oleh angin. Tumbuhan itu bernapas.
"Cara menanam lithelas secara lengkap dapat kalian pelajari di buku Tanam dan Tuai halaman dua ratus dua belas."
Lonceng berbunyi. Profesor Sprout membereskan alat-alat miliknya. Sebelum beberapa anak-anak keluar kelas, dia menambahkan, "Setiap pelajaran kalian jangan lupa meminta pupuk kotoran kelelawar padaku. Dan tanyakan saja apabila menemui kesulitan."
Hermione, Ron, dan Harry tergogoh-gopoh membawa pot itu ke ruang rekreasi Gryffindor. ("Minggir, minggir!" seru Ron ketika melewati segerombolan orang untuk memberinya jalan lewat). Mereka tak boleh sembarangan memakai sihir di koridor sekolah seperti yang tertulis di buku peraturan Hogwart. Hal itu jelas menyulitkan mereka ketika hendak menaiki tangga. Dan Hermione nyaris tersungkur ketika anak tangga itu secara sihir tiba-tiba hilang. Dia tak melihatnya karena sibuk menjaga keseimbangan. Untung saja Harry mengingatkan sebelum dia menapak di atasnya.
Mereka tiba di depan lukisan Nyonya Gemuk. Di depan lukisan itu ada beberapa murid kelas satu yang sedang menunggu. Nyonya Gemuk tak membukakan untuk mereka. Tentu saja. Dia mencoba menyanyikan lagu ciptaannya yang terbaru setelah beberapa waktu lamanya tidak menemukan korban yang tepat—dan tidak mencoba kabur. Anak-anak itu menatap Hermione, Ron, dan Harry penuh harap bahwa mereka bertiga akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan mereka.
"Lebah menderu," Hermione berkata.
Wajah nyonya Gemuk bertambah antusias ketika melihat kerumunan baru itu. "Oh, kalian juga harus mendengarnya."
"Lebah menderu," Ron mengulangnya.
Nyonya Gemuk menatap Ron dengan kesal. Tapi dia membuka lukisannya. Terima kasih, Merlin, karena tangan Hermione sudah kaku dan mulai terasa kesemutan membawa pot itu.
Anak-anak yang lain mendesah lega, memberikan pandangan terima kasih pada Ron. Nyonya Gemuk gusar ketika anak-anak kelas satu hendak meninggalkannya. "Tunggu, kalian belum mendengar laguku yang paling—" katanya pada anak-anak kelas satu itu. Tapi, mereka sudah melarikan diri mengikuti Ron ke dalam menara, dan meninggalkan Nyonya Gemuk di belakang.
Hermione, Ron, dan Harry menaruh pot-pot itu di atas karpet. Harry menghempaskan dirinya ke atas sofa seraya melonggarkan dasinya karena kepanasan. Hermione melepaskan jubahnya dan melemparnya ke sofa kosong terdekat.
Ginny yang sedang berbincang-bincang dengan teman sekamarnya, terheran melihat ketiga orang itu dengan barang bawaan yang tidak biasa. Dia menghampiri mereka seraya mengangkat alis. "Apa yang kalian bawa?" katanya sambil memperhatikan pot-pot itu.
"Singkat kata, ini proyek pelajaran herbologi kami sampai awal musim semi," kata Hermione sambil menunjuk pot-pot itu.
"Sepertinya menarik," gumam Ginny.
Ron mengerutkan kening. "Ah, tidak juga."
"Tapi, paling tidak yang jelas lebih menarik daripada yang ditugaskan Hagrid kemarin. Merawat cacing bersisik kelabu? Oh, Merlin… Dia menganggap cacing-cacing itu imut sekali, ya ampun…" Dia menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih. "Kumohon jangan katakan pada Hagrid, ya? Aku tak ingin dia tersinggung."
Hermione hanya tersenyum. "Hewan-hewan yang Hagrid sukai memang terlalu ajaib."
Ron menghempaskan dirinya di atas sofa di samping Harry. Dia mengambil buku Tanam dan Tuai dari dalam tasnya. "Halaman berapa cara menanamnya, Mione?"
"Dua ratus dua belas."
Ginny menatap pot-pot itu penuh antusias. Harry menjelaskan lebih lanjut proyek lithelas itu padanya.
"Lithelas?" tanya Ginny kemudian kepada Hermione. Tanpa menunggu jawaban hermione, dia melanjutkan, "Mum pernah menceritakan tentang peri hutan dan lithelas padaku. Di rumah kerabat kami yang berada di Irlandia banyak terdapat lithelas. Aku pernah melihat peri hutan suatu kali pada malam hari. Tapi ketika itu aku masih kecil sekali—enam…tujuh tahun? Sekitar itu kurasa."
"Tak ada peri hutan di sana. Aku tak pernah melihatnya," kata Ron.
Ginny tersenyum mengejek. "Kau selalu takut keluar rumah Paman Noam, Ron. Apalagi malam-malam. Kau jarang keluar rumahnya karena di ruang tamunya banyak sarang laba-laba yang tergantung."
"Memang. Tapi aku tidak takut."
Ginny memutar bola matanya.
Lalu wajah Ron bersemu merah, menyerah. "Percayalah, kali itu besar sekali," katanya meyakinkan agar percaya. "Kakinya dua belas dan—"
Harry nyengir. "Laba-laba memang berkaki banyak, Ron."
"Mengapa dia harus mempunyai kaki banyak yang menjijikan kalau kita saja bisa hidup dengan dua kaki!"
Hermione memandang Ginny. "Kupikir, peri hutan sudah jarang populasinya sekarang."
"Ya, Memang," Ginny berpikir sejenak. "Makanya terakhir aku melihatnya ketika aku masih kecil itu. Aku berumur berapa sih ketika itu? Enam atau tujuh, Ron?" tanyanya masih penasaran. Tapi kakaknya yang masih sakit hati rahasianya dibongkar, hanya mengangkat bahu. "Yah, kurasa memang sekitar segitu. Sekarang memang sudah semakin jarang terlihat. Karena daerah rumah kerabat kami itu sudah mulai banyak rumah. Sepertinya peri hutan tak menyukai keramaian. Padahal indah sekali peri hutan itu. Mereka seperti manusia kecil dengan sayap kupu-kupu transparan dan pada malam hari terlihat bersinar. Sayang sekali aku melihatnya dari jauh. Kata pamanku, mereka tak suka di dekati."
Peri hutan. Seberkas ide terlintas di benaknya.
Hermione ikut melihat buku Ron dan membacanya sejenak. Kemudian, perhatiannya kembali ke pot itu. "Tanamlah bibit lithelas sedalam lima ruas jari," kata Ron. Dia berpikir sejenak. "Tak sulit. Mudah kelihatannya," gumamnya.
Hermione menemukan sendok di atas meja untuk menggali permukaan tanah hingga mencapai kedalaman yang cukup. Harry dan Ron bangkit dari sofa lalu mengikutinya dengan saling bergantian menggunakan sendok itu. Mereka berdua memasukkan bibit itu dengan menyebarnya sekaligus.
"Tidakkah salah satu dari kalian ada yang bisa berpikir logis?" tanya Hermione kesal pada kedua sahabatnya itu.
Harry menatap Hermione tak sabar. "Memangnya apa yang harus dipikirkan?"
"Ya, Mummy?" sahut Ron pada Hermione.
Hermione menghiraukan nada sinis mereka. "Jangan terlalu dekat jaraknya. Beri sedikit ruang pada masing-masing bibit untuk akar mereka," katanya.
Kedua cowok itu menatap potnya. Sepertinya mereka baru sadar kawan mereka memang benar. Betapa bodohnya.
Harry dan Ron memperbaiki cara menanam mereka tanpa berkata apa-apa. Kali ini melakukannya tanpa sendok karena tak sabar. Karpet itu menjadi kotor oleh tanah-tanah yang berceceran. Kemudian mereka kembali menimbun bibit itu dengan tanah.
Cara kerja para cowok itu jauh dari rapi. Noda-noda tanah bertebaran. Letak bibit yang tak teratur. Ginny sepertinya lebih paham. Dia membantu kakaknya. Namun Ron menyuruhnya diam saja karena dia pikir dia bisa melakukannya sendiri. Setelah menggerutu pada kakaknya itu, Ginny memutuskan untuk menolong Harry, merapikan tanah dan letak bibit di atas tanah.
Setelah selesai dengan kesibukannya sendiri, Ron mengambil bukunya lagi tanpa memperdulikan keadaan tangannya. Kini buku itu pun menjadi kotor dengan noda kecoklatan. Wajahnya serius membaca setiap instruksinya.
Hermione hanya memasukkan empat butir. Berusaha tak dilihat teman-temannya, dia masukkan sisanya ke dalam saku.
Ron membaca buku itu. Dia mengerutkan keningnya. Lalu dia mencoba membacanya lagi. "Air pertama untuk menyiramnya adalah air yang sudah disinari bulan purnama pada malam sebelumnya." Dia berpikir sejenak lalu memandang Hermione. "Air yang sudah disinari bulan purnama?" ulangnya.
Harry baru selesai berkutat dengan tanahnya. "Apa?" tanyanya.
"Tertulis di buku ini," gumam Ron. Dia memberikan buku itu kepada Harry. Sekarang buku itu dua kali bertambah kotor di tangan Harry. "Harus disiram air yang sudah disinari bulan purnama."
Ginny mengangguk. "Well, sebentar lagi memang bulan purnama."
"Bagus kalau begitu," sahut Hermione. "Kini hanya tinggal merawatnya saja."
Ron membaca bukunya lagi. "Setelah disiram oleh air untuk pertama kalinya, lithelas harus disiram dengan air biasa setiap pukul empat sore selama tiga minggu awal mereka tumbuh," gumamnya. "Mudah."
"Mudah," Harry menyetujui. Dia menepuk-nepukkan kedua tangannya untuk membersihkannya dari noda. Butir-butir tanah jatuh mengotori karpet.
Mereka tergopoh-gopoh membawa pot-pot itu ke balkon kecil di sisi menara. Pot-pot itu dijejerkannya menyamping. Di sana adalah tempat yang tepat untuk merawatnya karena itu satu-satunya tempat di menara Gryffindor yang sering disinari cahaya matahari sepanjang hari. Ron bersikeras dia menginginkan tempat paling ujung agar memperoleh sinar paling banyak. Hermione dan Harry mengalah.
"Hei, kurasa aku harus pergi," sahut Hermione kemudian.
"Ke perpustakaan lagi?" tanya Ginny.
"Ya, begitulah."
Ginny tertawa. "Kadang kupikir, asramamu itu bukan Gryffindor, melainkan perpustakaan."
"Tempatnya memang di sana," ujar Ron mencibir.
Hermione menghiraukannya. Dia mengambil jubahnya yang tergeletak di atas sofa lalu memakainya lagi. "Oke, teman-teman. Kita bertemu ketika makan malam nanti."
"Bye," sahut Ginny.
Hermione melambai kepada mereka berdua, lalu keluar melalui lubang lukisan.
Dia melewati koridor yang penuh murid-murid. Peeves mulai menjahili anak-anak tahun pertama, mengambil tas salah satu anak dan melayangkannya dengan membuat dirinya tak kelihatan. Hermione menyelamatkan anak-anak itu dengan mengancamnya memanggil Baron Berdarah. Celakanya dia tak lagi takut dengan ancaman itu. Sudah bertahun-tahun lamanya dia di sini, pastinya tak hanya sekali ada orang yang mengancam dengan hal itu. Namun karena kebetulan, Baron Berdarah benar-benar datang melintas. Peeves pergi meninggalkan mereka dengan kalang-kabut. Setelah itu, Hermione berbelok menuju tangga utama. Dia mengacuhkan segerombolan cowok-cowok Slytherin yang menggoda dan bersiul padanya ketika dia menuruni tangga itu.
Kadang Hermione menikmati pandangan cowok-cowok pada dirinya. Namun, apabila yang menatapnya cowok-cowok Slytherin, pandangan itu terasa memuakkan.
Dan di antara mereka, tak ada Malfoy.
Hermione ingin Slytherin itu menyadari kehadirannya. Menyadari kehadiran seorang gadis yang biasa dia sebut dengan darah lumpur. Hermione akan senang, apabila Malfoy ada ketika teman-teman Slytherinya memandangi gadis itu—paling tidak karena mereka menyadari Hermione ada. Dia ingin menunjukkan dirinya sebagai sosok gadis yang lebih dari sekedar darah lumpur yang Malfoy ejek setiap saat. Bahwa dia telah tumbuh menjadi seseorang yang tak pernah cowok itu bayangkan.
Hermione melangkah keluar kastil Hogwart.
Benar. Keluar kastil. Bukan ke perpustakaan. Karena dia memiliki rencana.
Hermione keluar kastil melalui jembatan ke gubuk Hagrid, mengikuti jalan setapak yang menjauhi kastil. Dia memastikan tak ada orang yang melihatnya. Kemudian dia melihat pohon Dedalu Perkasa yang pernah dilihatnya ketika tahun ketiga bersama Harry dan Ron. Ya, dia akan pergi ke Shrieking Shack. Dia tahu rute tercepat ke Shrieking Shack tanpa memasuki terowongan. Karena pada dasarnya terowongan itu digunakan untuk melarikan diri melalui jalan bawah tanah pada masa kegelapan sekitar tujuh belas tahun yang lalu. Jadi, terowongan itu bukan rute tercepat.
Dia melewati hutan. Para murid cenderung ketakutan dengan hutan karena imej Hutan Terlarang yang sudah melekat dalam benak mereka. Bahaya itu. Hewan-hewan berbahaya itu. Dan kegelapannya. Tapi Hermione sudah percaya pada kemampuannya sendiri. Dia jelas salah seorang penyihir muda yang hebat dan mengerti bagaimana memepertahankan diri. Makanya dia berani memasukinya.
Hutan itu sangat indah pada waktu terang. Pepohonan raksasa tumbuh rapat. Sinar matahari yang sulit menembus hutan itu, menciptakan bias-bias yang indah seperti sulur di tiap sela-sela dedaunannya.
Hermione tak merasa takut lagi memasuki hutan itu. Dia sering memasuki hutan itu bersama kedua temannya selama bertempur melawan Voldemort—dia mulai membiasakan diri untuk menyebut nama itu. Dan entah dimana Voldemort sekarang. Di suatu tempat. Menunggu saat yang tepat untuk menyerang dan menebar mimpi buruk.
Tak lama kemudian, Hermione melihat Shrieking Shack itu. Tak banyak berubah. Tetap menyeramkan seperti dulu.
Dia tak memasuki rumah bobrok itu, hanya melewati halaman samping tak terawat yang dipenuhi rumput liar yang tak terpangkas hingga tumbuh tinggi. Kemudian dia memasuki pepohonan lagi dan menemukan padang rumput kecil. Seratus meter tak jauh darinya, danau terlihat terhampar luas. Tempat itu tak akan didatangi siapapun. Imej menyeramkan tentang Hutan Terlarang menyebabkan orang akan berpikir dua kali untuk ke sana. Apalagi rumor menyeramkan yang dimiliki oleh Shrieking Shack.
Tempat yang tepat, pikirnya. Ide tentang ingin melihat peri hutan terlintas di benaknya setelah mendengar cerita Ginny. Hermione merasa harus melihatnya sendiri, bukan gambar seperti di buku. Melihat keindahannya. Sisa-sisa keanggunannya.
Ya, aku harus melihatnya.
Hermione mengeluarkan bibit-bibit lithelas itu dengan tersenyum lalu masuk lagi ke dalam hutan.
OOOOOoooooOOOOO
"Draco."
Si Slytherin tak menjawab. Cewek Ravenclaw itu hampir selesai mengancingkan kemejanya. Dan tangan Draco terhenti membuka kenop menuju pintu keluar. Dia berbalik, menatap si cewek itu dengan malas. Dia berjalan perlahan menghampiri Draco sambil tersenyum menggoda. Dia menarik ujung lengan cowok itu perlahan, menatap dengan melalui bulu matanya yang lentik.
"Yang tadi itu menakjubkan. Kapan kita bisa bertemu lagi?"
Draco mengangkat bahu. "Kita lihat saja."
"Bisakah kau meninggalkan urusanmu dulu? Kau tampak terburu-buru." Gadis itu memberikan kecupan kilat di ujung bibirnya. Dia meluruskan keliman kemeja Draco dengan jemarinya. "Apa kita harus selesai sekarang?"
"Ya," sahutnya singkat, melangkah lalu menutup pintu di depan hidung gadis itu.
Koridor terlihat lebih sepi daripada biasanya. Dia melewati menara jam, menuju ke lingkar batu tinggi di ujung jembatan di samping kastil. Dia bertemu si Seeker, Will Harper, ketika melewati jalan setapak dekat lapangan Quidditch. Cowok bertubuh kecil itu menyapanya basa-basi dan mengingatkannya melatih formasi baru pada latihan Quidditch esok sore.
"Yeah. Ingatkan aku lagi besok," balas Draco, lebih bersemangat.
Will melambai. "Pasti."
Sang Kapten tersenyum sekadarnya.
Ketika Will berbelok untuk masuk ke kastil Hogwart dan hilang dari pandangannya, Draco meneruskan langkah. Tak ada lagi orang dalam perjalanan itu. Dia keluar dari jalan setapak lalu memasuki hutan. Pepohonan di hutan itu cukup lebat. Namun cukup lebat untuk menghalangi sedikit sinar matahari. Dan hutan itu tidak sunyi. Burung-burung masih berkicau walaupun matahari sudah tinggi. Seekor kelinci melompat ke arah semak-semak rimbun ketika dia datang. Tak lama kemudian, hutan itu habis berganti padang rumput kecil dengan sebuah danau.
Draco memandang sekelilingnya. Dia menemukan apa yang dia cari. Anjing itu tampak mencolok dengan alam di sekitarnya. Anjing itu berjenis husky dan lebih menyerupai serigala daripada anjing pada umumnya. Bulunya yang abu-abu dan putih kontras dengan rerumputan hijau menguning dan tinggi-tinggi. Matanya yang hijau menatap tajam hewan buruannya. Instingnya sebagai serigala tetap dimilikinya. Kofu–namanya- menyadari tuannya sudah datang, namun dia menghiraukan Draco. Sang pemburu tengah sibuk memakan hewan mangsanya—mungkin kelinci.
Setelah mendengus kesal teracuhkan oleh anjingnya sendiri, dia duduk di bawah sebuah pohon di tepi hutan itu.
Draco berbaring di atas rerumputan dengan kedua tangan di belakang kepalanya sebagai bantalan. Lalu memejamkan matanya. Dia dapat merasakan rumput liar yang panjang itu menggelitik kulit dan wajahnya ketika angin berhembus pelan. Dedaunan yang bergantung di dahan-dahan pohon melindunginya dari sinar matahari siang di awal musim gugur itu. Udara musim gugur yang khas kini mulai tercium jelas.
Dan tempat itu sangat sempurna untuknya. Tempatnya setiap kali dia ingin menikmati waktu luang. Sangat menenangkan. Jauh dari Hogwart. Tapi jauh dari bahaya hutan terlarang. Takkan ada orang yang mendekati tempat itu. Cewek-cewek bodoh itu atau mereka yang menjilat kebesaran keluarga Malfoy. Draco memang menikmatinya, namun toh kadang dia juga bisa merasa bosan.
Lima. Jumlah itu yang dia lakukan di ranjang bersama gadis yang berbeda dalam satu minggu ini. Melelahkan. Semua hal itu membentuk imej siapa Draco Malfoy sebenarnya. Si Casanova. Semua sudah mengetahui seberapa nakalnya dia. Dan si Slytherin menyukainya. Kemampuan seorang Malfoy terhadap lawan gendernya, mengharapkan dirinya, dan putus asa olehnya.
Namun tak ada perasaan yang terlibat. Terlarang. Dia menyukai gadis-gadis itu yang memohon padanya. Tapi dia mencintai dirinya sendiri. Pansy gadis yang paling banyak menghabiskan waktu paling banyak bersamanya. Semua sudah tahu. Dia senang bersamanya. Cewek itu sering menggumamkan nama Draco. Dan sang Casanova menikmatinya. Tapi tak ada yang lebih. Tidur dengannya—dan gadis lain—menjadikannya seperti olah raga. Dan ibarat olah raga, maka itu pun hanya sekadar bakat.
Draco menikmati kenyamannya di hutan itu. Tak ingin bertemu dengan siapapun. Dan dia merasa dia sudah tertidur karena sayup-sayup dia mendengar suara teriakan seorang gadis.
Dalam mimpinya mungkin. Beberapa detik kemudian, teriakan itu hilang. Namun teriakan itu tergantikan oleh suara gonggongan. Awalnya kecil, lalu membesar ketika Draco mengumpulkan kesadaran dari tidurnya.
Kofu menggonggong di dalam hutan.
Mungkin ada kelinci bodoh ingin menjajal kekuatan rahang Kofu padanya dengan melewati anjing itu. Tapi kenapa harus sekarang, Draco berpikir. Mengganggu waktu luangku.
"Tinggalkan makhluk keparat itu!" Draco berseru.
Matanya tetap terpejam, berusaha kempali ke alam bawah sadarnya. Tapi, hal itu tak berguna. Suara Kofu tetap terdengar dan semakin keras. Draco putus asa. Dia duduk dengan kesal. "Brengsek," Draco mengumpat pelan. Apakah ada tempat yang jauh dari peradaban di sekitar sini?
Draco berdiri lalu berbalik ke arah hutan menuju gonggongan Kofu. Dia tahu, anjing itu takkan berhenti menggonggong hingga mendapatkan buruannya. Pernah suatu malam Draco meninggalkan Kofu yang sedang mengonggongi tupai di atas pohon. Lalu keesokan paginya, dia melihat anjing itu tetap berada di bawah pohon dengan mengibaskan ekornya. Hewan itu menunggu sehari penuh dengan menatap ke atas pohon untuk menunggu tupai bodoh itu keluar.
Suara Kofu terdengar semakin keras seiring bertambah dekatnya dia dengan anjing itu. Dia melewati semak belukar— lalu melihatnya.
Kofu menyalak ke arahnya. Gadis itu berjongkok di atas pohon. Wajahnya menyiratkan ketakutan. Anjing itu menatapnya dari bawah dan terus menggonggong keras dengan riang—well, tentunya gadis itu tak menyadari Kofu sedang riang. Gadis itu menyadari kedatangan Draco. Dia berusaha menyembunyikan rasa takut dari wajahnya dan berganti melempar pandangan ini-salah-mu. Dia segera menarik roknya untuk menutupi pahanya perlahan—Draco menatap kulit itu sedetik—lalu gadis itu membenarkan posisi kakinya—berusaha untuk tidak lebih dari sedetik. Jelas sekali dia tak ingin Draco mengetahui ketakutannya. Dan Draco tahu, dia juga tak berniat meminta tolong padanya. Tak akan, sebenarnya. Draco tahu pasti. Karena gadis itu berambut coklat bergelombang. Matanya berwarna coklat madu keras kepala. Dan dia—
Hermione Granger.
Apa yang sedang dia lakukan di hutan ini? Tidakkah dia memiliki tempat lain yang lebih layak—dan masuk akal untuknya—daripada di sini? Well, aku di sini karena ingin jauh dari peradaban. Itu masuk akal untukku. Tapi tidak untuknya!
Setelah puas dengan pandangan ini-salah-mu-nya, Granger kembali menatap Kofu. Kelihatannya kini dia bingung siapa yang harus lebih dipersalahkan. Karenanya, dia kembali menatap Draco.
"Seharusnya dari awal aku tahu ini memang perbuatan busukmu, Malfoy!" tukasnya galak.
Hah? Awalnya kebingungan menyergap Draco. Apa maksudnya? Memangnya apa yang aku lakukan?
Lalu perlahan dia mulai menyadari. Si Gryffindor telah menuduh Draco, menyuruh Kofu untuk menggonggongi dirinya. Cowok itu tersenyum, memutuskan tak ingin meluruskan masalah. Dia bersandar pada pohon di belakangnya dan memasukkan kedua tangan di saku celana. Dia tak berminat membela diri karena apa yang yang membuat Granger kesal jelas takkan membuat dirinya keberatan.
"Sepertinya kau tak butuh bantuan," katanya, mengejek posisi yang tidak menguntungkan si Gryffindor. Berjongkok di atas sana seperti idiot. Kofu mendengar suara sang tuan di belakangnya lalu memutuskan untuk berhenti menggonggongi Granger.
"Siapa yang kelihatannya seperti membutuhkan bantuanmu?" serunya lebih menyerupai pernyataan ketimbang pertanyaan.
"Kau?"
Granger membuka mulut, hendak membalas, kemudian mengurungkan niat. Mungkin tak tahu apa yang harus dia katakan. Sebagai ganti, kini wajahnya merah padam. Kini Draco senang melihatnya seperti orang bodoh. Tak seperti biasanya yang selalu tangan terangkat di kelas.
Sang singa betina hendak mengeluarkan serangannya lagi. "Aku takkan menerima bantuan dari keparat yang menyebabkan orang terpaksa menerima bantuannya."
Merlin, dia benar-benar tampak bego sekali jika sedang panik begitu. "Siapa yang bilang aku akan membantumu, Granger."
"Aku memang tak pernah minta, brengsek!"
"Oke," sahut Draco. Singkat. Datar.
"Baik."
"Kofu, gigit dia!"
Kofu kembali menyalak dengan keras. Granger terkejut dan nyaris kehilangan keseimbangan. Namun, dia menemukan keseimbangannya dengan memegang dahan kecil yang ada di depannya.
"Keparat."
"Terima kasih kembali."
Granger memutar bola matanya. Lalu, dia menatap ke sekelilingnya, mencari jalan keluar. Ke tanah, pepohohan, semua arah kecuali menatap Si Slytherin.
Draco menghampiri anjing itu, membungkuk, dan menggaruk belakang telinganya. Kofu diam dalam sekejap. "Bagaimana bisa kau naik tapi tak bisa turun?"
"Dengan mudah aku turun apabila kau dan anjing bodohmu itu pergi."
"Yeah, bagus kalau begitu," ujar Draco sinis. "Dan dimana tongkat sihirmu?"
"Itu…well, itu…"
Granger tak mengatakan apa-apa. Wajahnya merah padam lagi. Dia menatap suatu tempat di bawah, atas rerumputan. Sebuah tongkat tergeletak di sana. Tongkatnya. Granger telah menjatuhkan. Bagaimana bisa? Dia—kata mereka—gadis terpintar di Hogwart. Jika begini, kini dia tak ada bedanya dengan si Neville-idiot-Longbottom.
"Enyahlah, Malfoy," geram si Gryffindor tak sabar. "Aku hanya butuh kau dan anjingmu pergi dari sini sehingga aku bisa turun."
"Jangan kuatir, Granger," cowok itu menyahut. "Tak ada yang lebih indah dari tidak melihat darah lumpur di muka bumi ini." Dia berbalik meninggalkannya. "Sampai jumpa. Ciao."
Mungkin dia sebenarnya bermasalah di balik otaknya. Idiot atau semacamnya. Darah lumpur takkan ada yang pernah beres. Tak bisa dibandingkan dengan darahnya. Bagaimanapun pintarnya, rupa wajahnya, tubuhnya―
Draco memanggil Kofu untuk mengikutinya. Mereka berbalik dan menuju balik semak-semak dari tempat dia berasal tadi, berharap dapat melanjutkan tidur siang yang terganggu oleh si darah lumpur keparat itu. Tak jauh dia melangkah, kemudian dia mendengar suara debam keras disambung suara rintihan, "Ouch!"
Granger. Tak dapat diragukan lagi, dia bersama kepala batunya sukses terjun bebas mengikuti gaya gravitasi. Tapi seperti biasa…
Siapa peduli

-bersambung-


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar