RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi, Chapter 4

Silahkan baca

BAB 4
"Sepuluh poin untuk Gryffindor," kata Profesor Sprout ketika Hermione dapat menjawab pertanyaannya—kuncup pertama lithelas yang berumur 3 minggu berwarna apa.
Pertanyaan mudah karena Hermione terus merawat lithelasnya, baik yang di pot maupun yang dia tanam di hutan. Ide tentang peri hutan itu sangat menarik perhatiannya. Hermione Granger adalah penyihir terpintar di Hogwarts. Banyak penyihir lain yang sudah melihat peri hutan sedangkan murid hebat seperti dirinya belum. Hermione merasa harus melihatnya.
Keinginan itu membuatnya terasa kekanakan. Yang benar saja, bersikeras melihat peri? Seperti anak berusia enam tahun sekali. Itulah alasannya tidak memberitahu Ron dan Harry. Mereka akan menertawakannya habis-habisan. Memberitahu mereka? No way. Itu sama saja menjadi bahan olok-olokan mereka selama satu tahun terakhir—sama juga seperti proyek SPEW-nya dulu.
Well, rencananya kali ini harus berjalan lancar. Kapan lagi dia dapat melihatnya? Peri-peri hutan itu? Ini tahun terakhirnya di Hogwart. Dia tak mau hanya melihatnya di buku-buku. Apapun yang akan dipikirkan kedua sahabatnya, tidak akan membuat Hermione mengurungkan semangatnya untuk menunggu lithelas-lithelasnya berbunga dan mekar.
Maka dari itu secara teratur dia pergi ke hutan untuk merawat lithelas-lithelasnya. Dia telah menemukan tempat yang tepat. Sebenarnya dia mengira telah menemukan tempat yang tepat. Semua ini gara Malfoy.
Merlin. Selalu saja dia. Dua kali dia berkonfrontasi dengan makhluk keparat dari neraka itu. Tapi sekarang dia tak bisa memindahkan lithelasnya lagi. Kuncup-kuncup telah tumbuh. Dia akan terus merawat lithelas-lithelasnya. Tak peduli siapa pun yang akan dia hadapi. Dia takkan menyerah begitu saja dengan Malfoy. Keberadaannya takkan menyiutkan nyalinya karena dia tak takut pada Malfoy. Dia tak pernah takut.
Kau tak bisa menghentikanku, kau dengar itu?
"Aaaarrggg…"
"Ya, Miss Granger?" tanya Profesor Sprout.
Hermione segera tersadar. "Oh…well, aku tak sengaja salah menaruh takaran pupuk yang tepat."
Profesor itu menilai pot Hermione. "Sudah cukup baik. Tak ada yang perlu kau kuatirkan." Wanita itu berjalan untuk melihat lithelas Harry. Dia meraih salah satu daun yang sudah tumbuh. "Tumbuhnya kurang baik, Mr Potter. Kau melihatnya? Dia sulit bernapas. Daunnya berwarna kekuningan. Dengan ukuran dahan seperti ini, kau pasti menambahkan pupuk kotoran gagak yang terakhir dua minggu lalu."
Hermione ikut mengamatinya dengan harapan bisa belajar sesuatu dari kesalahan Harry.
"Mr Zabini," panggil Profesor Sprout. "Kemarikan potmu."
Si Ketua Murid menghampiri ke mejanya. Harry menyeringai. Hermione mendengar Harry menggumamkan sesuatu yang nyaris tak terdengar oleh telinganya seperti, "Oh, jangan dia…"
Si Slytherin membawa potnya ke meja Harry. "Dua minggu yang lalu, dia juga baru menambahkan pupuk kotoran gagaknya. Memang agak terlambat. Tapi Mr Zabini menambahkan air seni kuda dua hari yang lalu agar dapat mengganti nutrisi yang hilang. Hasilnya seperti ini." Litheasnya jauh lebih sehat dari milik Harry.
Ketua Murid itu menyeringai. Harry memutar bola matanya.
"Mengerti, Mr Potter?"
"Ya, Sir." kata Harry datar.
Lalu Profesor Sprout beralih ke meja lain.
"Mengerti, Mr Potter?" cemooh Zabini menirukan suara ringan guru itu. Dia tersenyum lebar. "Sebaiknya kau mendengarkan profesor yang baik itu, Harry. Demi kebaikanmu sendiri."
"Oh, diamlah," sahut Harry datar. "Dasar Slytherin."
"Kau mengungkit-ungkit asrama? Hmmm…aku tak sabar menunggu ketika kami mengalahkanmu pada pertandingan Quidditch musim nanti."
"Berkacalah, Zabini. Kapan kalian pernah menang melawan kami?" Harry mencibir.
Zabini menyeringai. "Akan, Potter. Akan."

Wuss!
Draco memasuki hutan lagi.
Dia mencengkram Windflashnya kuat-kuat untuk membuatnya stabil dalam kecepatan penuh. Pikirannya berusaha tetap fokus dengan latihannya. Ini hanya sekadar mengisi waktu luang. Dan juga menghilangkan kebosanan dan pikiran yang mengganggunya. Mengalihkan Draco dengan ketegangan yang memacu adrenalinnya.
Draco menambah kecepatan sapu. Dia melesat sedemikian cepat sehingga pepohonan yang dilewatinya menjadi bayangan kabur berwarna coklat. Dengan kecepatan penuh, Windflash menembus pepohonan yang lebat.
Ranting-ranting yang memotong jalur terbangnya terasa sangat mengganggu. Mereka merobek jubahnya. Menggores kulitnya. Menampar wajahnya. Namun dia tak peduli. Tak peduli selama semua yang tak ingin dia pikirkan berlalu di belakangnya bersama angin. Angin yang menyapu wajahnya dan membawa hawa dingin musim gugur. Bulu kuduknya berdiri. Entah karena hawa dingin itu atau ketegangan yang memenuhi benaknya.
Dan asyiknya bukan main. Dia merasakan adrenalin mengalir deras melalui pembuluh darahnya. Satu langkah keliru, berarti dia akan menabrak pohon dan menjadi gundukan tulang yang telah lumat.
Wuss! Draco menukik menuruni bukit.
Dia melesat di antara dua pohon yang bergitu berdekatan sehingga dia dapat merasakan ujung sikunya bergesekan dengan kulit pohon yang kasar. Dia menukik dengan tiba-tiba sampai dia nyaris menabrak pohon besar yang menghadang.
Tangan Draco telah pegal setelah sekitar lima belas menit berada di posisi menegangkan dan mempertaruhkan nyawa. Tapi adrenalinnya sedang tinggi, jadi dia tak memperdulikannya. Dan perasaan itu semakin memacunya bagaikan air yang terjun tanpa ada yang menghalangi.
Yeah! Serunya dalam hati, kombinasi antara ketegangan dan keasyikan. Senyum sumringah terlukis di wajahnya.
Draco terus meluncur. Beberapa kali nyaris menabrak batang-batang pohon. Lalu dia melewati teritori hewan-hewan besar dan buas yang pasti akan langsung membunuhnya jika dia memelankan terbangnya sedikit saja. Ketika dia membelok tajam menghindari sebuah dahan pohon yang memotong jalur terbangnya, dahan pohon itu menggores keningnya. Namun dia tidak peduli. Tidak saat ini.
Wuss! Menembus hutan.
Wuss! Melesat naik, nyaris menabrak karang menonjol.
Wuss! Kiri.
Wuss! Kanan.
Kemudian pepohonan seperti membuka, tergantikan oleh padang rumput dan danau luas dan tenang seperti kaca. Air itu menjadi beriak ketika Draco melesat di atasnya. Pemandangannya indah dengan latar kastil Hogwart yang megah.
Dulu dia pernah melihat Potter lewat sekali-sekali dengan Fireboltnya. Melakukan latihan yang seperti Draco lakukan. Tapi sejak tahun ke tujuh ini Potter sepertinya tak pernah melakukannya lagi. Dia hanya mengandalkan latihan regular di lapangan Quiditch.
Draco memelankan terbangnya lalu melayang di atas air. Dia menghirup napas sejenak untuk melepaskan ketegangan. Jika sedang punya pikiran dia sering melakukan latihan seperti ini. Lalu menikmati kesendiriannya. Saat itulah dia benar-benar bisa menikmati keberadaanya di dunia. Menikmati bahwa dia ada.
Dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Sekitar selama setengah jam, dia terbang pelan mengelilingi sisi danau yang jauh dari Hogwarts untuk mengatur napas atau sekadar terbang tak tentu arah. Atau mencoba tukikan-tukikan yang bisa dia lakukan dengan sapunya sebagai tipuan dalam pertandingan Quidditch. Pikirannya dipenuhi strategi dan formasi. Tapi terkadang dia hanya sekadar melayang tak tentu arah dan menikmati angin. Melakukan kegiatan ini sendirian benar-benar nyaman dan menenangkan.
Draco mengelap keringat dengan punggung tangannya. "Ouch!" sahutnya. Dia mengenai keningnya yang terluka. Ada sedikit noda darah di punggung tangannya. Lalu tanpa peduli dia mengelapnya di sisi kausnya.
Setelah puas terbang selama beberapa menit lagi di atas danau, dia kembali masuk ke hutan untuk kembali ke Hogwart dengan menurunkan kecepatan menjadi kecepatan standar. Kemudian dalam perjalanan, tanpa sengaja matanya menanngkap gerakan dari balik pepohonan. Dia melihatnya. Lagi. Draco mengutuk dalam hati. Rasa panas familiar menjalar di pipinya.
"Kurang ajar," bisik Draco.
Darah lumpur Granger lagi, pikir Draco. Sebenarnya apa yang dia sering lakukan di tempat ini?
Draco melihatnya beberapa kali dalam beberapa hari terakhir. Suatu kali dia melihatnya melalui kaca jendela Shrieking Shack. Granger tentu tak menyadari Draco ada di rumah tua itu. Kalau dia tahu, dia akan pergi lebih dulu karena takut gonggongan Kofu. Kali itu, Draco memutuskan untuk mengacuhkannnya. Namun, dia semakin kesal tatkala dia melihat gadis itu ke hutannya lagi. Tiga kali dalam tiga hari. Well, itu sudah sangat cukup.
Draco memperhatikannya. Dia berusaha tak mengeluarkan suara karena dia tak ingin Granger menyadari kehadirannya. Draco terlalu lelah karena latihan untuk berkonfrontasi. Granger sedang menebar sesuatu di atas tanah. Pupuk, sepertinya.
Lalu dia mengintip dari balik pohon.
Ah, tunas-tunas itu. Lithelas. Buat apa dia menebarkannya di sini. Bukankah Profesor Sprout telah memberikan pot-pot itu? Apa yang membuatnya berpikir dia boleh memakai tempat ini lagi setelah aku memperingatkannya beberapa hari yang lalu? Well, apa pun alasannya, seharusnya jangan di tempat ini. Granger harus memindahkannya. Harus. Bagaimana pun caranya. Ya, bagaimanapun cara untuk membuatnya pindah dari tempatku.
Aku telah berbaik hati memperingatkannya ketika itu. Kini dia mengacuhkannya. Kurang ajar. Dia mengacuhkannya. Akan kubuat dia meninggalkan hutannya dan tidak akan kembali lagi. Dia harus pergi. Ya, dia harus pergi.
Dia akan pergi.

-bersambung-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar