Silahkan baca!
BAB 12
Berita itu bagaikan petir yang menyambar tepat di atas kepalanya.
Siang itu Hermione baru saja menyelesaikan pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam bersama Harry dan Ron. Dia langsung dapat menebak ada berita buruk ketika Ginny menghampiri mereka bertiga dengan wajah memerah setelah berlari. Ginny menyodorkan sebuah surat kabar denganheadlines Pelahap Maut Merambah East End. Hermione terdiam.
Pelahap Maut Merambah East End
LONDON, Kamis — Sedikitnya sepuluh muggle tewas dan enam belas lainnya hilang dalam sebuah serangan yang ditujukan di East End, London, Rabu malam lalu. Beberapa rumah mengalami kerusakan akibat mantra Sampar. Dugaan sementara serangan ini didalangi oleh Pelahap Maut yang akhir-akhir ini tampak gencar menyusun pasukan inferi musuh untuk menentang kementrian.
Selusin Pelahap Maut diduga terlibat dan seorang saksi yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan Bellatrix Lestrange tampak di antara para penyerang itu. Kementrian memberikan alasan yang dikemukakan untuk publik muggle bahwa penyerangan itu adalah aksi teroris Taliban—
Hermione bahkan tidak membaca artikel itu hingga tuntas. Dia segera melesat ke kantor Dumbledore untuk mencari kejelasan akan nasib kedua orang tuanya. Awan kelabu seakan melayang di atas kepala Hermione. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Jantungnya berdegup kencang menanti kepastian. Dia tidak menangis walaupun dia menginginkannya. Dia tidak berteriak menuntut kejelasan walaupun dia ingin sekali mengguncang bahu setiap orang untuk memberitahu apa yang sedang terjadi. Hermione kalut.
Harry dan Ron menyusul ke kantor Dumbledore. Mereka menanti jawaban bersama-sama dalam kegelisahan. Waktu bagaikan terhenti karena hari berjalan begitu lambat. Keinginan Hermione untuk pergi ke East End ditolak Dumbledore karena situasi dikatakan belum kondusif. Hermione menunggu dalam kegelisahan dan tak satupun orang berbicara. Kemudian jawaban yang ditunggunya baru muncul sejam kemudian.
Mundungus muncul di perapian. Wajahnya tidak pernah terlihat seserius itu karena dia memang tidak pernah serius dan penuh seloroh. Hermione berdiri sambil menggigigiti bibirnya. Dia melaporkan segala macam hal kepada Dumbledore. Catatannya sungguh panjang dan melelahkan. Banyak rumah rusak. Tak ada Pelahap Maut yang tertangkap untuk diinterogasi. Muggle-muggle yang hilang diduga telah dijadikan inferi. Semua kabar buruk mengalir dan Hermione mendadak pening untuk mendengarkan semua itu. Berita itu terasa sangat berlebihan dan mengerikan.
"B—bagaimana…Mum…Dad…" bisik Hermione, memotong daftar panjang laporan Mundungus. Tenggorokannya terasa tersekat.
Mundungus mengerutkan kening. "Siapa?"
"Orang tuanya! Memangnya siapa lagi?" sahut Ron tidak sabar.
"Siapa namanya—Granger, eh?" Mundungus menaruh telunjuknya di atas deretan nama dalam daftarnya. "Grosset…Bukan…Gardiner…Grang—oh, bukan…Hmmm, tidak ada. Nihil. Berarti mereka selamat."
Orang tuanya selamat.
Informasi itu segera meringankan tubuhnya seperti sebuah bulu yang melayang di angkasa. Namun bagaikan sebuah bulu yang melayang pula, Hermione masih berada di dalam ketidakpastian. Dia dirudung rasa bersalah. Kekuatirannya seakan menjadi nyata. Ayah dan Ibunya harus terlibat dalam kengerian yang sedang berlangsung di dunia sihir. Dunia yang dijalani Hermione sekarang. Walaupun dia tahu bahwa ini bukan salahnya, tapi tetap saja dia merasa seharusnya mereka tidak terlibat hal yang bahkan mereka tidak mengerti. Mereka berdua bahkan tidak tahu apa-apa. Mereka tidak bersalah.
Tak ada target khusus dalam penyerangan itu. Tampaknya Pelahap Maut hanya mencari korban untuk dijadikan inferi. Namun demikian, beberapa hari setelahnya Hermione masih sibuk berkirim surat dengan kedua orang tuanya menanyakan kabar. Permohonan diajukan kepada Orde untuk memberi tempat perlindungan pada mereka. Permohonan dikabulkan namun yang menolak justru pasangan Granger itu sendiri. Kekuatiran yang berlebihan, demikian alasan mereka. Dan Hermione tak dapat berbuat lebih jauh atas kekeraskepalaan keluarga itu.
Ritme waktu tetap berjalan beraturan dan setiap saatnya semakin berlalu. Namun segalanya tak membuatnya lebih baik. Setiap harinya Hermione masih bangun. Beranjak ke kelas. Kemudian masuk ke kelas lain. Bertegur sapa. Melakukan segala rutinitas. Tersenyum ramah. Namun segalanya terasa hanya seperti topeng belaka. Tak hanya Hermione, demikian juga Harry dan Ron. Hogwarts bagaikan terselimuti oleh selubung ilusi yang memperlihatkan ketentaraman—padahal ketakutan dan kecurigaanlah yang kini menguasai. Dia-yang-namanya-tak-boleh-disebut kian menyebar rasa takut jauh di luar Hogwarts. Bagaikan angin, bayang-bayang itu bertiup, menyebar, dan membawanya menyusup ke benteng perlindungan Hogwarts yang tersohor.
Penyerangan kini semakin gencar. Hogmaede bukan hanya hingga pukul tiga sore untuk menghindari tamu-tamu yang mencurigakan. Berita-berita suram semakin sering menjadi headine surat kabar. Dan berita yang paling mencengangkan adalah berita yang Hermione terima mengenai penyerangan di East End.
Berita tentang pesta dansa musim semi hanya sedikit menerangkan masa-masa kelabu itu. Beberapa tampak antusias mencari teman kencan, hanya sedikit orang yang sudah sibuk mencari gaun. Harry tampak tidak peduli. Dia mengutarakan berbagai spekulasi bahwa mungkin di Hogwarts ada mata-mata. Atau ada penyusup. Harry bersikap paranoid—hanya membuat Hermione bertambah kuatir tiap kali. Dan Ron sebagai ketua pelaksana, dia tampak sangat sibuk sendiri. Hermione tidak merasa senang maupun acuh. Dia terlalu sibuk dengan perasaan dan terus tenggelam dalam pikirannya.
Setelah peristiwa yang terjadi, Hermione merasa asing. Semua perasaan tampak campur aduk. Kadang dia merasa dia berhak berada di sini—dimana para penyihir seusianya berada dan menuntut ilmu. Dahulu dia terasa begitu tenang dan aman bersama Mum dan Dad. Sepuluh tahun pertama dalam hidupnya yang dipenuhi kenyamanan dan penerimaan. Namun kini segalanya tampak kabur. Mungkin ini memang bukan dunianya? Hermione merasa para Slytherin memang benar bahwa ini memang bukan dunianya. Banyak hal absurd yang telah terjadi. Salah satunya…ketika malam itu ketika Hermione membalas ciuman Malfoy. Dia tidak mengerti mengapa. Penyesalan sehingga dia semakin ingin membenci dirinya sendiri.
Hermione takut dengan semua yang dirasakannya. Segalanya begitu asing. Dan ada suara dalam hatinya yang mengajaknya ke rumah. Tempat ayah dan ibunya. Dia menginginkan sebuah tempat untuk melarikan diri. Karena dia takut.
Hermione merindukan pulang.
Benarkah Hogwarts masih menjadi rumahnya? Waktu yang membawa Hogwarts semenjak beratus-ratus yang lalu hingga saat ini masih berputar. Baik kemegahan dan segala kemasyurannya terbentuk oleh waktu. Namun seiring dengan itu, kini bayangan telah menyelimuti. Ketakutan yang samar kian menyusup dan membawa segalanya menuju ketidakpastian. Hermione merasakan itu. Hermione menghitung jumlah murid yang telah mengundurkan diri dari Hogwarts. Gryffindor tiga anak. Hufflepuff enam anak. Ravenclaw empat anak. Slytherin nihil.
Selama beberapa lama, Hermione merasa semangatnya meredup. Dia merasa begitu benci dengan Pelahap Maut. Meja Slytherin tampak begitu menjijikan karena banyak di antara para orang tua murid-murid di asrama itu adalah Pelahap Maut yang bertanggung jawab atas semua masa suram ini. Pelahap Maut keparat itu telah merenggut rasa aman dari dirinya dan kedua orang tuanya yang tidak tahu apa-apa. Dari semua anak yang mengundurkan diri, tidak ada anak yang berasal dari asrama Slytherin. Mereka tampak tenang seakan-akan semua kengerian yang terjadi adalah sesuatu yang mereka harapkan.
Anak-anak Slytherin tampak masih tertawa-tawa dengan lepas di mejanya masing-masing. Hermione tidak pernah lagi melirik ke meja itu karena segalanya tampak menjijikan. Asrama itu banyak menghasilkan orang-orang yang tidak berhati nurani dan mengagungkan darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Hermione tidak mengerti. Apa yang salah dengan darahnya? Sihir adalah sihir. Sama sekali tidak berhubungan dengan darah. Orang tuanya juga tidak behubungan dengan semua ini. Mereka tidak berhubungan dengan darah lumpur yang mengotori dunia mereka. Mereka tidak ada hubungannya dengan keberadaan Hermione di dunia mereka. Mereka hanya memberikan kehidupan pada Hermione ke dunia nyata.
Slytherin biadab. Merekalah yang seharusnya mati. Keparat. Bajingan. Mereka pantas mati.
Hermione ingin menangis tetapi menangis pun terasa begitu rumit. Kekuatirannya terasa begitu mengungkung. Semua sudut di Hogwarts terasa memancarkan kesuraman. Hermione seakan tidak dapat menghirup rasa aman lagi. Sampailah dia berada di dalam suatu titik…Aku muak. Aku takut. Aku hanya menginginkan kesendirian. Biarkan aku sendiri.
Perlu beberapa lama bagi Hermione untuk akhirnya terpikir tempat itu kembali. Tempat itu yang membuatnya tenang. Angin dari musim manapun yang membawa segala kegundahannya pergi. Pepohonan menyamarkan segala fakta yang terjadi di dunia nyata. Suara angin, binatang, dan bahkan keheningan menutupi suara hatinya yang menginginkan untuk pergi dari semua ketakutan itu.
Maka setelah waktu makan siang—dan Hermione tak memasukkan makanan ke mulutnya sesendok pun—dia mengucapkan sampai jumpa kepada kedua temannya dengan alasan ingin ke perpustakaan. Ketika keluar kastil, angin musim dingin berhembus pelan. Angkasa tampak bagaikan permadani putih kelabu yang menghampar luas. Dedaunan telah meranggas meninggalkan batang-batang pohon tanpa perlindungan. Udara dingin yang menusuk kulit seakan tidak terasa lagi di indra perasanya. Gumpalan uap yang keluar dari mulutnya tampak seperti asap ketika Hermione menghembuskan napas melawan rasa dingin.
Bibirnya terasa kering. Hermione memakai topi rajutannya. Selendang rajutan Gryffindor berwarna merah-kuning dilingkarkan ke lehernya lebih erat. Dia tidak memakai sarung tangan sehingga dia merasakan tangannya beku.
Segalanya tampak pucat. Jalan setapak tampak hilang di bawah salju yang berwarna putih bersih. Hermione masih ingat kemana dia ingin pergi. Ketika dia memasuki pepohonan, hutan terasa hening tak bersuara. Padang rumput tertutup salju. Danau mulai membeku. Tak ada suara burung. Hewan-hewan besar pasti sedang hibernasi. Musim memang telah berganti ketika terakhir Hermione datang ke tempat itu untuk merawat litheasnya. Dengan transformasi itu pun, Hermione masih tetap merasakan perasaan ketika dia berada di sini. Perasaan aman dalam keheningan. Sebuah pelarian diri. Hermione sedang membutuhkannya sekarang.
Bagaimana kabar litheasnya? Dalam beberapa hari terakhir, bahkan Hermione lupa mengenai keberadaan tanaman itu. Pastinya mereka sudah layu. Selama beberapa bulan Hermione telah merawatnya dan sekarang malah dibiarkan begitu saja. Rasa menyesal menghinggapinya, namun tak ada hal yang dapat mengembalikan waktu. Waktu dan rasa tentramnya sudah terenggut akibat ideologi ekstrim para Pelahap Maut. Revolusi mereka mengakibatkan jatuhnya korban. Tak akan ada kesepakatan antara dua ideologi yang berlawanan. Ada orang bijak yang mengatakan bahwa waktu akan menjawab segalanya dan waktu akan memudarkan kesedihan yang ditimbulkan. Pepatah yang bagus. Tapi tidak menyelesaikan masalah. Masalahnya orang bijak itu tidak mengatakan kapan saat itu akan tiba dan berapa lama manusia harus melewatinya.
Pelahap Maut versus Orde Phoenix. Darah murni versus pendukung kesetaraan. Dan di Hogwarts bahkan terlihat kubu-kubu yang terpisah antara Gryffindor versus Slytherin. Singa versus ular. Dua sisi itu tampak tak tergoyahkan. Dua sisi itu begitu nyata.
Begitu menakutkan.
Hermione tiba di tanah lapang mungil, tempat dia menanam litheasnya. Ketika Hermione duduk di atas sebuah akar pohon besar yang menyembul ke atas tanah, bendungan dalam air matanya jebol. Tubuhnya berguncang menahan karena kesedihan yang tertahan. Hutan di musim dingin masih sunyi. Hermione menangis tanpa suara, membenamkan wajahnya ke pangkuan. Dia membutuhkan tangisan ini. Dia bersyukur tidak ada orang di tempat itu yang akan menenangkannya. Kerena menangis justru sangat menenangkan saat ini.
Perlu beberapa waktu lamanya, sebelum Hermione akhirnya dapat menguasai diri. Ledakan emosinya perlahan memudar. Dia menghapus air mata dengan lengan jubah. Udara menjadi terasa tidak sedingin sebelumnya. Untuk beberapa saat, pandangan Hermione masih menerawang dan duduk diam hanya sekadar menikmati keheningan. Lalu ketika dia mencoba beranjak, pandangannya tak sengaja menyapu ke arah salah satu bagian tanah lapang mungil itu. Sebelumnya dia mengira dia akan menemukan semua hal di tempat itu terselimuti oleh salju. Namun ternyata dia salah, ada sesuatu yang menyembul tidak tertutup salju. Benda itu tampak segar di tengah udara yang membeku. Benda itu tampak hidup di antara semua kehidupan yang sedang tertidur dalam tidur panjang di musim dingin.
Litheasnya masih berdiri dengan anggun di atas salju.
Hermione menghampiri setengah tidak percaya. Malfoy mengatakan pada tempo hari bahwa litheasnya telah layu. Dia berbohong. Mengapa dia berbohong? Ataukah dia juga tidak tahu bahwa litheasnya tumbuh lagi. Tapi bagaimana bisa? Litheas harus tumbuh dengan perawatan. Apapun jawabannya, Hermione senang dia masih bisa menemukan litheasnya dalam keadaan hidup.
Hermione berjongkok di depan tanamannya itu, memandangnya penuh antusias. Daunnya berwarna hijau tampak segar dan kuncup bunga yang terlihat akan mekar sebentar lagi. Segalanya persis seperti litheas yang dia rawat di dalam kastil Hogwarts. Hermione tidak pernah merasa senang dalam beberapa hari terakhir sehingga hal ini terasa begitu membahagiakannya. Ketegaran yang semakin memudar dan keinginan yang makin menghilang sedikit terobati melihat ada sebuah hal yang tetap bertahan hingga saat ini. Setelah semua yang terjadi, litheasnya tetap bertahan.
Tapi bagaimana?
Kemudian sebuah jawaban muncul dalam benaknya. Litheas takkan mungkin bertahan tanpa perawatan. Ada satu nama yang muncul walaupun terasa tidak masuk akal. Bagaimanapun juga, hanya nama itu yang terngiang di benaknya. Malfoy.
Seorang Slytherin. Seorang penyihir berdarah murni.
Tapi apa alasannya? Alasan tidak akan ada di dalam benak Malfoy. Di antara puluhan anak yang berada di asrama Slytherin, dialah yang paling mustahil untuk melakukan hal itu. Malfoy adalah yang pertama memanggil Hermione dengan sebutan darah lumpur. Dialah yang mempengaruhi seluruh penghuni Slytherin untuk melakukan konfrontasi-konfrontasi sejak mereka kelas satu. Dialah menyebabkan segala kesulitan yang pernah dirasakan Hermione, Harry, dan Ron. Dalam dirinyalah, semua keburukan berada di sana…
Malfoy. Namun apapun dugaan untuk menyangkalnya, nama itu selalu kembali.
Hermione teringat kembali peristiwa ketika dia membawa Malfoy ke Shrieking Shack dan merawat lukanya. Apa yang mendorongnya melakukan hal itu? Dari semua motif untuk merawat luka-luka Malfoy, mungkin nama Hermionelah yang menjadi deretan paling bawah bagi seseorang yang mungkin melakukan kebaikan pada murid Slytherin yang terjahat itu. Ketika itu apakah yang menjadi alasannya?
Tidak ada, pikir Hermione. Kebaikannya saat itu tidak memerlukan alasan. Tapi apakah Malfoy juga seperti itu?
Slytherin…Gryffindor…darah murni…darah lumpur…Perlahan-lahan dalam lubuk hatinya, Hermione merasa dua sisi itu semakin samar. Benarkah dua sisi itu samar?
Aku hanya menginginkan kedamaian.
Hermione menemukannya di hutan ini. Dia terus kembali. Dan dia ingin selalu kembali. Dia ingin menemukan ketenangan. Dia ingin menemukan kenyamanan. Dia ingin bertemu pepohonan yang mengisolasinya dari dunia nyata, dia ingin bertemu angin yang membawa kegundahannya pergi, dia ingin bertemu—
"Menangis," bisik Malfoy pada malam itu. "Jangan—" Hermione membuka matanya, membawa satu tetes—dua tetes air mata untuk mengalir mencium pipi Hermione lembut di sepanjang air mata itu mengalir. "Jangan, Granger."
Draco. Dia ingin melihatnya…









0 komentar:
Posting Komentar