Silahkan baca!
BAB 6
"Ada apa denganmu?" tanya Ron sambil mengerutkan keningnya.
Hermione mengintip dari buku Menyingkap Arti Bentuk Bulan untuk menatap Ron. Dia mengangkat alis matanya. "Ada apa denganku?" tanyanya balik.
"Yeah."
Beberapa hari berlalu setelah kejadian itu. Keributan kedua sahabatnya dengan Malfoy. Antara kepalan tangan dengan kepalan tangan. Antara pukulan dengan pukulan. Dan di hutan―
Antara bibir dengan bibir.
Saat ini Ron mengarahkan pion benteng di atas papan caturnya ke dekat salah satu prajurit Harry. Benteng itu bergerak perlahan sesuai perintah Ron. Harry mengumpat keras ketika benteng itu menghancurkan prajuritnya berkeping-keping. Kemudian dia bersumpah akan membalasnya. Ron tersenyum puas, mengolok-oloknya.
"Bukan. Maksudku, memangnya ada apa denganku?" Hermione memutar bola matanya.
"Kau lebih sering menghela napas sendiri," kata Ron yang kini menatapnya. "Ya kan, Harry?" tanyanya mengharapkan persetujuan.
"Hmmm…" gumam Harry tanpa menolehkan wajahnya dari atas papan catur. Dia tak memberi respon yang diharapkan sahabatnya. Bahkan mungkin dia tak mendengar pertanyaan Ron dan hanya sekedar merespon karena namanya dipanggil. Dia sedang tenggelam dalam konsentrasi, memikirkan strategi untuk membalaskan dendam atas pembantaian salah satu pionnya.
Hermione terdiam sejenak tak tahu harus mengatakan apa untuk pernyataan Ron. "Ada yang salah dengan itu?"
"Ya. Tak seperti biasanya. Kau menghela napas dengan suara yang keras."
"Setiap orang bernapas," kata Hermione malas.
"Aku tahu itu," balas Ron tak sabar. "Tapi kau menghela napas lalu mencengkram sesuatu lebih kuat—"
"—Atau memejamkan matamu erat-erat lalu berbisik 'brengsek'," kata Harry, kini menimpali.
Ron mengangguk setuju pada Harry. "Benar―dan memejamkan matamu erat-erat lalu berbisik 'brengsek'," ulangnya.
"Mungkin itu kebiasaan baruku. Biasakanlah," ujar Hermione sekenanya.
"Aku mengenalmu, Mione. Kau pasti—" Ron terdiam. Kemudian dia membuka mulut, membelalakkan mata ke atas papan catur sihir itu. Karena kini kudanya menjadi santapan pion mentri Harry. "No way!"
"Yes way," sahut Harry bersorak.
Hermione memutar bola matanya.
Ada apa denganku? Ya, andai saja kau tahu, Ron. Aku dalam persimpangan yang menyebalkan. Kau tahu, musuh besar kita menciumku. Menciumku, brengsek. Aku ingin sekali memberitahumu atau Harry agar kalian mendampratnya untuk tidak macam-macam lagi denganku. Tapi kenapa hal itu tak kulakukan? Karena kalian akan bertanya padaku apa yang kulakukan di sana. Aku membeberkan rahasiaku sendiri yang selama ini kututupi. Maka dari itu, guys. Maka dari itulah.
Hermione merapikan roknya ketika dia mengangkat kakinya ke atas sofa nyaman itu. Dia bersandar di bantal besar yang nyaman sambil terus berusaha memfokuskan diri untuk membaca buku. Benar. Memfokuskan diri. Jika saja itu bisa berhasil.
Yang paling menyebalkan setelah semua ini adalah jika Malfoy menatapnya. Di Aula Besar. Di kelas Ramuan. Di setiap tempat jika mereka berpas-pasan. Sepertinya dia berusaha memastikan pesan dari tindakan di luar akal sehatnya itu tersampaikan dengan baik. Yaitu agar Hermione jera menginjakkan kakinya di tempatnya.
Tempatnya? Omong kosong.
Namun pesan Malfoy tersampaikan dengan baik. Jika dia bertemu pandang dengan Slytherin itu, segera saja ingatan itu terputar lagi di kepalanya. Dia akan merasakan wajahnya memerah. Marah. Kesal. Atau sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain? Dia takkan berani memikirkan itu.
Brengsek.
"Kau mengatakannya lagi," kata Ron.
Permainan catur mereka telah selesai. Hermione dapat melihat dari raut wajah Harry. Dia kalah lagi untuk kesekian kalinya dari Ron. Dia harus benar-benar menyadari bahwa hampir mustahil untuk mengalahkan Ron dalam permainan catur. Sama mustahilnya untuk mengalahkan Harry menangkap Snitch dalam pertandingan Quidditch.
"Tidak kok," Hermione membantah. Benarkah aku mengatakannya lagi?
Ron mengerutkan keningnya. "Iya."
"Aku tidak—"
"Iya, kau melakukannya."
"Tidak, aku tidak—" Hermione terdiam tak sabar. Lalu dia mengalah karena kalau dia terus membantah, percakapan itu akan terus menjadi ya-tidak-ya-aku tidak. "Jika benar, memangnya kenapa?"
"Bahkan aku yakin kau tak membaca buku itu."
Hermione mendelik. "Apa?"
"Halaman yang kau baca tak berubah tak berubah-ubah sejak tadi."
"Memangnya kenapa, Ron? Mungkin aku sedang berusaha menghafalnya?" kata Hermione jengkel. "Lebih baik jangan bicarakan tentang aku lagi. Takkan berguna. Mungkin ada topik lain yang jauh lebih menarik—seperti kemenangan Gryffindor atas Ravenclaw kemarin siang?"
Harry yang tadinya masih merenggut, langsung nyengir lebar penuh kebanggaan. "Ha! Satu kemenangan lagi!"
"Lihat, kan?" sahut Hermione pada Ron. "Bicara mengenai hal ini lebih menyenangkan," katanya datar. Dia kembali menatap Harry. "Kerja bagus, Kapten."
"Yeah," sahut Harry puas.
"Aku selalu yakin kau akan menang tiap tanding dengan Ravenclaw," gumam Ron sambil mengangkat bahu. "Kemenanganmu bukan barang baru. Aku ingin lihat jika suatu hari kau bermain untuk liga nasional."
"Nikmati saja apa yang sudah ada. Kenikmatan atas kemenangan selalu menyenangkan, Ron," ujar Harry tanpa menghilangkan cengiran dari wajahnya.
"Tapi kau tak mengerti sisi untungnya Jamie London dari kekalahan, Harry," kata Ron sambil terkekeh. "Sebagai kapten tim, dia memang gagal mendapatkan piala untuk Ravenclaw. Tapi sebagai laki-laki waras yang dapat berpikir rasional, dia dengan leluasa berada di samping Seeker cantik Staphanie Parker sebagai pelipur lara," kata Ron tertawa sinis. Kini dia duduk di dekat perapian sambil mengorek-orek bara dengan tongkat.
Ron mengangkat bahu. "Setelah kalah, kau tahu kan…waktunya sang pahlawan datang untuk menghibur dan si wanita lalu mengatakan 'Ini bukan salahmu' dan hal-hal lain semacam itu. Aku melihat Jamie London merangkulnya. Well, secara teknis tidak benar-benar merangkul, sih. Dia hanya menaruh salah satu tangannya di bahu Stephanie dan menghiburnya."
Harry mendengus.
"Dasar laki-laki. Beruntung benar dia," gumam Hermione.
"Yeah," sahut Harry sinis.
"Dan sebaiknya kau mempersiapkan dirimu lagi untuk melawan Slytherin nanti, Harry. Kau harus menang. Harus!" gumam Ron dengan geram. "Si keparat itu harus menerima balasannya."
"Yeah," sahut Harry. "Setelah apa yang dilakukannya pada kita tempo hari, aku sudah tak sabar membuatnya tahu rasa."
Ron mendadak berdiri. "Ya ampun!" Tongkat besi yang dipegangnya dibiarkannya jatuh sehingga menimbulkan suara berdentingan keras. Harry dan Hermione menatapnya. "Aku lupa memberikan pupuk pada lithelasku."
"Kenapa sih kau sering lupa memberikan pupuk? Minggu lalu juga, kan? Tidak pernahkah kau belajar dari pengalaman?" tanya Hermione.
Ron menghiraukannya. Kedua tangannya berada di kepala. "Kapan harus menambahkan air mata Veela? Apakah tiga minggu setelah waktu penanaman? Astaga. Aku juga telah lupa. Astaga, astaga, astaga. Mengapa tak ada yang mengingatkanku!" Dia langsung kabur ke balkon untuk menyelamatkan proyeknya.
"Kurasa aku tahu kenapa Ron begitu. Ketika Macgonagall mentrasfigurasinya dari keledai gara-gara Malfoy pada waktu itu, otaknya tak ikut berubah menjadi otak manusia. Kurasa itulah sebabnya Ron menjadi seperti ini," gumam Harry.
Hermione tersenyum.
Bagaimana aku bisa mengingatkan Ron untuk mengurus litheas-litheasnya? Aku sendiri bingung bagaimana aku harus kembali ke hutan itu untuk mengurus milikku. Bagaimana menyusup ke sana tanpa diketahui oleh Malfoy? Bagaimana jika dia memergokiku lagi?
Draco merasakan pening di kepalanya.
Mungkin akibat Bludger beberapa kali mendarat telak di pelipisnya. Dia kesal sekali karena ini tak seperti biasanya. Dia selalu dengan mudah menghindari Bludger sialan itu. Apakah ini karena kemampuan para Beaternya yang semakin hebat? Atau kemampuan dirinya sendiri yang menurun.
Tidak. Tidak. Tidak. Mungkin hanya karena kabut.
Dia pun semakin hebat. Dia dapat merasakannya.
Malfoy duduk di bangku penonton di dekat lapangan Quiditch. Tak ada orang lain di sana. Teman-temannya sudah masuk ruang ganti. Dan mereka—sebagian besar gadis—yang menonton latihan pun sudah masuk ke kastil. Namun dia ingin sendiri di sini saat ini.
Napasnya kini mulai stabil setelah terengah-engah karena latihan keras itu. Dia merasakan keringat mengalir dari pelipis. Draco mengelapnya dengan lengan jubah Quiditchnya. Dia merasa perih di pergelangan tangan. Kemudian dia melihat memar itu. Memar kecil berwarna kebiruan dan goresan kecil berdarah di sisi lain pergelangan tangan. Dia berharap dengan mantra Penyembuh, memar itu dan semua lukanya akan segera hilang dan kembali bersih keesokan harinya.
Awalnya Draco ingin ke Shrieking Shack sehabis latihan karena sudah beberapa hari ini dia tak ke sana lagi. Tapi dia harus mempersiapkan dirinya untuk pertandingan Quiditch yang akan diadakan dekat-dekat ini. Jadi, dia membiarkan anjingnyalah yang mengunjunginya.
Draco menggaruk bagian belakang telinga Kofu. Dia tahu anjing itu menyukainya. Kemudian dia membelai bulunya yang halus bagaikan sutra. Mata Draco menerawang, seakan memandang sesuatu yang berada di balik kabut.
Anjingnya kerap mengunjungi Draco apabila dia jarang datang ke hutan. Anjing itu tahu kapan dia harus datang. Yakni waktu sore ketika Draco latihan Quiditch. Dia berlarian di pinggir lapangan berharap tuannya melihat. Hanya teman setimnya saja yang tahu tentang Kofu. Mereka mengira Draco menemukannya di hutan dan menjinakkannya. Jadi mereka tak keberatan anjing itu berada di sana. Jika lapangan itu dipakai tim lain, maka orang-orang hanya memandang anjing itu hanya sebagai serigala liar biasa.
Draco merasa lelah sekali setelah latihan habis-habisan di pertengahan musim gugur. Dia harus dalam kondisi seperti ini ketika melawan Gryffindor nanti. Tak lama lagi. Satu minggu lagi. Sampai tiba saatnya, dia akan berlatih lebih keras. Menjadi lebih tangguh. Gryffindor kemungkinan besar akan memakai Harry. Dia Seeker terbaik di timnya. Mungkin terbaik di Hogwarts. Tetapi siapa pun Seeker mereka, entah Potty, Weasel, atau mungkin saja si Weaselette, dia pasti akan mengalahkan mereka.
Tapi bisa juga tim mereka menggunakan Weasley. Rambut merah keparat itu pasti berkeinginan untuk memperlihatkan seberapa hebat dirinya di depan darah lumpur Granger. Ya, jangan kira aku tak bisa melihat mata itu. Caranya menatap Granger. Memuakkan.
Granger. Sudah beberapa hari yang lalu semenjak dia mencium bibirnya.
Draco tak menginginkannya. Tapi perlu diingat juga, Hermione juga tidak menginginkannya. Ciuman itu terjadi secara spontan. Di luar akal sehat. Tetapi dari semua cara, mengapa dia memilih cara yang paling menjijikan seperti itu? Gila. Tidak logis. Terlalu spontan. Granger seorang darah lumpur, demi Merlin. Mungkinkah dia merasa waktu itu dengan menciumnya adalah cara yang tepat untuk menghentikan Granger?
Ha ha. Benar-benar ironis. Aku yakin dengan begitu dia tak berani datang lagi. Aku memang menyesal melakukannya. Menyesal karena tak menemukan cara lain. Menyesal setiap detiknya. Kau dengar itu? Aku menyesaaaaal.
Tapi itu takkan sia-sia. Seperti yang pernah dia katakan pada Granger, betapa memuakkan jika disentuh oleh orang yang dibenci. Jadi semua tidak sia-sia. Semuanya sepadan karena akan membuat Granger jalang itu jera menginjakkan kaki di tempat itu lagi.
Di tempatku lagi. Kau dengar itu, Granger!
"Gonggongi dia kalau dia datang lagi," kata Malfoy pada anjing itu.
Anjing itu menggonggong. Entah tanda mengerti atau hanya sekedar menggonggong karena tuannya mengajak bicara. Toh dia menggonggong pada setiap orang yang dia tak kenali.
Kemudian kepala anjing itu terangkat waspada. "Ada apa?" tanya Draco. Anjing itu menggonggong sebentar lalu berlari meninggalkan Draco. Draco melihat seekor tupai berlari panik ke tengah hutan diikuti Kofu.
"Simpan tenagamu apabila bertemu dengan Granger jalang itu," gumam Draco ketika anjing itu menghilang dari pandangannya di tengah kabut. Tapi Kofu menghiraukannya.
Granger. Kadang-kadang Draco berusaha menatapnya pada saat di Aula Besar. Hanya untuk mengintimidasinya atau mengetahui apa yang dia pikirkan. Dan itu membuatnya senang karena Granger selalu saja mengalihkan pandangannya. Hermione sepertinya benar-benar masih marah padanya karena wajahnya memerah. Bagus. Kejadian pada siang hari itu akan membuatnya berpikir dua kali jika ingin macam-macam dengan seorang Malfoy. Dia akan terus memastikan Granger takkan kembali lagi. Tempat itu harus menjadi privasinya.
Tapi apa yang akan dia lakukan jika Granger datang lagi? Ha ha. Menciumnya lagi, Draco baby?
Draco merasakan sebuah telapak tangan menyentuh pundaknya. Draco menoleh namun tak mengatakan apa-apa. Maka gadis itu yang memulai.
"Apa yang kau lakukan di sini, Draco?" tanya Pansy Parkinson. Dia duduk di sebelahnya, di tribun penonton yang kosong.
"Duduk," jawab Draco.
Pansy diam sejenak, tak tahu harus membalas apa atas jawaban singkat itu. "Kau tak ada di ruang ganti, tak ada di aula besar, tak ada di kamarmu. Dan kau habis latihan. Jadi, kupikir kau pasti di sini," kata Pansy seraya menaruh salah satu tangannya di atas paha Draco.
Draco benar-benar tak ingin ada orang lain di sini. Bahkan jika itu Pansy yang menawarkan salah satu malam yang hebat padanya lagi di atas ranjangnya.
Pansy tampaknya tak ingin berargumentasi penyataannya tak dibalas satu kata pun oleh Draco. Dia diam saja sambil duduk dengan bersandar di lengan Draco, menatap kosong ke depan. Seakan-akan dengan melakukannya, dia dapat mengetahui apa yang sedang dipikirkan Draco.
Kabut tak beranjak dari atmosfir di sekitarnya, menimbulkan pandangan terbatas di depan. Dan dia merasa aneh dengan adanya Pansy di sini. Apa yang dia lakukan di sini? pikirnya. Menatap ke depan seperti orang bodoh. Maksudku—bukan berarti aku juga bodoh dengan melakukan hal yang sama, hanya saja—well—arg, terserahlah.
"Tidakkah kau merasa terlalu bekerja keras, Draco? Mengenai Quidditch. Mengenai ayahmu."
Draco menggeram. "Jangan bicarakan tentang itu, Pansy."
"Kau sudah terlalu sering pergi," ujar Pansy. Dia menatap Draco. "Kemarin kau meninggalkanku begitu saja di kamarmu. Dan begitu pula dengan pagi sebelumnya."
Memangnya aku pernah melakukan hal lain lebih daripada itu? Apa yang aku harus lakukan? Itu yang memang kerap kulakukan setelah kita tidur bersama, bukan?
"Aku punya urusan." kata Draco sambil mengangkat bahu. "Well, setiap orang memang mempunyai sesuatu untuk diurus, kan?"
"Dan kita semakin jarang bertemu, Draco."
"Aku sibuk, Pans. Kupikir kau mengerti."
"Memang," sahut Pansy jengkel. "Tapi—"
"Jadi biasakanlah!"
Pansy duduk tegak sambil membelalakan matanya. "Bukan berarti aku menganggapmu cowok terpenting dalam hidupku, Draco," tukasnya. "Tapi aku tidak suka menghiraukanku seperti ini." Pansy tampak marah. "Mengapa kini kau begitu menyebalkan? Kau sadar itu? Apa ini tentang perempuan lain? Well aku tidak peduli karena yang aku tahu kau akan selalu kembali padaku."
Kau bercanda, ya. Dalam hidupku selalu ada perempuan lain. Karena mereka menginginkanku. Dan kembali padamu? Tak lain dan tak bukan hanya sekadar servis singkat yang hebat. Aku seorang Malfoy, ingat?
Draco menatapnya malas tanpa berkata apa-apa. Dia tahu dia tak harus menjawabnya karena hal itu tak berguna. Bahkan jika dia mengatakan tak peduli 'ya, ada perempuan lain' pun, Pansy takkan bisa menjauhinya. Gadis itu benar-benar menginginkan dirinya.
"Aku benar, bukan?" tambahnya lagi.
"Kau membicarakan hal yang tak berguna." Datar. Monoton.
Pansy menatapnya. "Aku tahu aku benar."
Demi Merlin. Apa ini harus diperpanjang? Memangnya kau siapa? Draco tertawa pelan. "Kau tak pernah komplain mengenai hal itu sebelumnya. Dan jangan berlagak polos seperti wanita baik-baik, Pansy. Dan memangnya aku tak tahu apa yang kau lakukan dengan sebagian penghuni Hogwarts bergender laki-laki?"
Pansy menyipitkan matanya. "Kau brengsek."
Dan kau gadis jalang. Tapi pernahkah aku protes? "Pergilah dari sini, Pansy. Aku ingin sendiri."
"Oke," sahutnya. "Uruslah apapun yang harus kau urus. Lakukan agar kau bisa jatuh dalam kebimbangan yang aku tahu salah satunya karena ayahmu mengirim burung hantu untuk menyuruhmu meninggalkan Hogwart kemarin. Benar begitu, Draco? Mengerjakan tugas para Pelahap Maut. Membunuh siapa lagi kali ini?"
Draco menyipitkan matanya. "Kau tahu bahwa aku belum pernah membunuh orang," kata Draco dengan merendahkan suaranya.
"Cepat atau lambat pasti akan terjadi jika kau terus mengabdi pada Dia."
"Terserah," sahut Draco malas. Dia sadar kemungkinan itu akan terjadi. Ya, Pansy benar. Cepat atau lambat. Bukannya dia tak ingin melakukan apa yang diperintahkan olehNya. Tapi, demi Merlin, Draco harus membunuh? Dia sering menghajar orang-orang yang menghalangi keinginannya. Mendesak mereka ke dinding. Mencengkram kerah mereka sembari mengancam. Mengetahui bahwa mereka takkan macam-macam dengan dengannya lagi.
Kontrol yang berada di tangannya terasa begitu menyenangkan. Dominasi itu.
Tapi bagaimana rasanya membunuh? Membunuh untuk menegakkan supremasi para darah murni. Darahnya. Sesuatu yang bukan sekadar menghajar, tapi mencabut nyawa orang lain. Nyawa-nyawa para darah kotor. Darah kotor bak lumpur seperti yang mengalir pada pembuluh darah Granger.
Granger. Ya darah seperti dirinya.
Milord menginginkan dunia yang bersih. Draco pun begitu, seperti yang telah diajarkan ayahnya semenjak dia menghembuskan napasnya pertama kali ke dunia. Membersihkan, kataNya. Membunuh. Dan Draco harus mengabdi padaNya.
Draco memacu Windflashnya dengan kecepatan penuh. Dia mengendarai sapunya lebih lama dari biasanya. Menerobos hutan. Melewati danau. Menaiki bukit. Menyusuri sungai. Tangannya sudah mulai pegal. Dia berusaha konsentrasi pada latihannya. Namun, percakapan itu tak menghilang dari benaknya. Percakapan itu. Kemarin. Ketika matahari mulai menyelinap ke balik horizon untuk memulai malam. Dan ketika Draco menyelinap pulang ke rumahnya yang megah untuk semalam dengan bubuk Flo atas perintah ayahnya.
"Ayah, tak bisakah menunggu sampai aku menyelesaikan sekolahku!"
Lucius mencengkram kerah bajunya. "Kau tahu, kau tak boleh menolak permintaanNya."
"Tidakkah Dia juga dapat berpikir, ini juga demi keuntunganNya agar sekutunya dapat keahlian lebih apabila aku dapat menyelesaikan pendidikanku di Hogwart."
Ayahnya menamparnya. Narcissa terperanjat. Namun, tak bisa berbuat apa-apa. Kebencian merayapi tubuh Draco. "Jangan pernah kau memberitahu apa yang harus dilakukan Dia, Draco," ayahnya mendesis.
Ibu, apa kau juga takut padanya?
Tamparan itu begitu keras sampai Draco hampir terjatuh. Rasa panas menjalar sampai ke otaknya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Dia tak tahu harus merasakan apa. Marah. Sesal. Takut.
tak boleh merasakan takut. Brengsek, dia tak boleh merasakan takut. Karena dia tahu bahwa ayahnya tak pernah merasa takut. Ayahnya yang hebat. Betapa dia ingin menjadi seperti ayahnya. Seorang Malfoy seperti dirinya. Dipercaya oleh Dia yang Agung. Dan Lucius Malfoy tak pernah takut—maka Draco juga. Karena hanya itulah yang bisa membawanya sejauh ini. Bertahan terhadap tekanan. Ayahnya. Lord Voldemort. Sisi lawannya. Potter. Pengikutnya.
Lucius pergi. Ibunya segera menghampirinya. Draco tidak mendengar apa yang dikatakan ibunya. Dia masih merasa marah. Draco menyuruh ibunya diam. Dia tahu seharusnya dia tak berbuat itu. Ibunya adalah seseorang yang paling peduli dari semua orang yang dikenal Draco. Tapi, pikirannya kacau.
Dia diperintahkan segera bergabung dengan para Pelahap Maut. Draco memang menginginkannya. Dari dia kecil, dia sudah dipersiapkan untuk kebangkitan Lord Voldemort. Kebangkitan penyihir berdarah murni. Dia tahu akan tiba saatnya.
Tapi tak secepat ini.
Tangannya sudah mulai pegal dan kesemutan. Buku-buku jarinya tetap mencengkram erat gagang sapu itu sampai memutih.
Pengecut. Apa aku pengecut?
Tengah malam, Draco melihat ayahnya pulang setelah beberapa jam pergi entah dari mana.
Dia tak sengaja mendengar percakapan itu ketika dia melewati ruang makan Kediaman Malfoy. Pintunya terbuka sehingga dia dapat terhenti ketika namanya disebut.
"―Draco belum perlu bergabung, kan?"
"Jangan katakan kau juga mengharapkan dia tak bergabung, Narcissa?"
"Dia putra kita, demi Merlin."
"Jangan—"dia terhenti sejenak, menghela napas. Kemudian dia melanjutkan, "M'Lord memang merubah rencana. Draco akan dipersiapkan sampai sudah waktunya. Sampai dia selesai sekolahnya. Tapi aku tetap ingin Draco mengabdi padaNya. Akan tiba waktunya nanti."
Draco segera meninggalkan tempat itu. Dia berjalan dengan hati galau. Dia merasakan hawa dingin merambat di kulitnya. Dia tak tahu perasaan apa itu. Lega?
Apakah jika aku merasa lega berarti aku pengecut?
Benarkah aku pengecut?
Apakah aku pengecut?
Sapu terbang itu membawanya melewati pepohonan dekat Shrieking Shack. Pohon-pohonnya kian merapat. Dia dapat merasakan dahan-dahan kecil menggores wajahnya.
Brengsek.
Apa aku pengecut?
Pikiran itu bertubi-tubi menghujam di benaknya.
Aku tak pernah takut padamu. Kau hanyalah cowok yang bersembunyi di balik kebesaran nama keluargamu dan ayahmu sendiri.
Pengecut. Granger mengatakannya.
Tapi Draco merasa telah melakukan apa yang harus dia lakukan di Hogwart. Mencari informasi. Menanamkan pengaruh. Hanya saja dia belum ingin keluar dari sini. Dan dia masih belum ingin bertarung. Dia tahu banyak yang telah bergabung dan beberapa telah tewas dalam perjuangan mereka. Nanti akan tiba waktunya, jika dia telah selesai tahun ke tujuh, pertempuran itu akan dimulai terang-terangan. Draco menyadari bahwa—mungkin dia memang pengecut. Draco takut mati. Memalukan.
Mungkin akan tiba saatnya nanti, dia akan bergabung. Sesuai rencana. Draco hanya ingin masa tenangnya. Mempersiapkan diri. Menyerap pendidikan yang akan menjadi boomerang melawan Dumbledore dan pengikutnya.
Ya. Akan tiba saatnya nanti. Kau benar, Ayah. Setelah semua yang sudah dan akan terjadi, aku hanya menginginkan masa tenangku.
Betapa dia merindukan segalanya. Segala hal di masa lalu yang jauh dari kegalauan. Jauh dari kebimbangan. Keputusasaan. Rasa tenang.
Memori Draco terasa berputar di benaknya. Masa lalu…Masa kini…
Ayah, ini sapu terbangku yang baru?
Kau pikir kami lemah dengan darah kami, Malfoy? Semua hanya tentang hal-hal tak berguna yang ayahmu ajarkan bagaimana mengintimidasi orang lain!
Draco… ayahmu mencintaimu.
Sikat Gryffindor sialan itu, Malfoy!
Mereka memilihku sebagai Kapten Quiditch, Bu.
Dimana kau mempelajari hal-hal semacam itu. Kapan kita melakukannya lagi?
Brengsek.
Kemudian—
Pandangannya mendadak kehilangan arah. Refleksnya berkurang. Sebuah dahan nyaris menghantam kepalanya. Dia ingin menghindari. Dan berhasil. Tapi segalanya menjadi tak seperti biasanya. Menjadi tak terkontrol. Dia tak bisa mengantisipasi apa yang akan muncul di depannya.
Berita buruk.
Lalu segalanya berjalan sangat cepat sehingga dia nyaris tak menyadarinya. Pohon itu memotong jalurnya. Menghadangnya. Draco segera merasakan tubuhnya terpelanting menghantam material padat. Lalu kepalanya membentur tanah. Begitu keras. Salah satu bagian kepalanya terasa semarak dan ramai bagaikan pesta tahun baru.
Segalanya seperti menjadi redup. Lalu kegelapan menyelimutinya.









0 komentar:
Posting Komentar