RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi Chapter 15

Silahkan baca!


BAB 15
Tubuh Draco masih terasa pegal-pegal ketika dia berdiri malas di depan cermin. Hari yang melelahkan karena sedikit kurang istirahat. Ranjang rasanya begitu menggoda. Sepertinya dia sanggup tidur di sana melebihi masa hibernasi beruang selama musim dingin.
Baru tadi sore dia kembali dari kediamannya yang megah. Awalnya hanya untuk mengambil jubah pesta. Namun mendadak Lucius memberi latihan tambahan ketika tahu putra tunggalnya itu pulang. Sepanjang siang dia menghabiskan waktu untuk mencoba sebuah sihir hitam yang telah dilatih selama beberapa minggu belakangan ini. Sebuah kutukan yang belum pernah dicoba sebelumnya.
Luka-luka goresan telah hilang, namun memar-memarnya rasanya masih ada. Malam ini dia hanya berniat setor wajah sesaat di pesta, kemudian kembali ke kamar dan tidur hingga puas. Sementara ini sisa tenaga terakhirnya dihabiskan dengan mencoba menyimpulkan dasi kupu-kupu yang melingkar di lehernya dengan asal.
"Kau payah memakai dasi," kata si cermin untuk kesekian kali.
"Diamlah."
"Terlihat miring," katanya lagi.
Draco menghela napas jengkel. "Kau pernah melihat cermin yang ditonjok hingga pecah berkeping-keping?"
"Tidak. Tapi kudengar di kamar sebelah ada anak yang menyihir cerminnya hingga"
Draco menatap tidak sabar, tergoda mencabut tongkat sihirnya untuk menyihir benda itu menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan.
"Oh," kata si cermin akhirnya. "Aku mengerti. Aku akan diam sehening pemakaman di malam hari."
Draco menatap refleksi dirinya sekali lagi di depan cermin—yang telah memutuskan untuk tutup mulut demi kebaikannya sendiri. Dia memiliki warna rambut ayahnya. Dia senang memiliki warna itu karena begitu banyak orang telah mengatakan bahwa dia lebih mirip ibunya, sementara dia ingin lebih seperti Lucius. Segala hal mengenai lelaki itu telah diimpikan Draco semenjak kecil. Dominasi. Kesetiaan. Dan kegigihan. Semua Malfoy pasti memiliki ketiga hal itu. Dan Draco juga harus memilikinya kelak.
Di belakangnya, Greg tampak berkutat dengan kemejanya. Pakaian itu tampak kekecilan. Dia membelinya lima ukuran lebih kecil dari bobot tubuhnya. Greg bersikeras bahwa dia sanggup menurunkan berat tubuhnya sebelum pesta. Namun ternyata gagal setelah kemarin mereka berpesta brownies yang dikirimkan Mrs. Crabbe. Entah bagaimana nanti Greg menyiasati pakaiannya.
Kemudian Draco mendengar pintu kamarnya terbuka. Dia dapat melihatnya melalui pantulan cermin, Pansy Parkinson telah siap dengan gaun dan jubah pesta. Dia benar-benar mengenakan gaun merah marun seperti yang telah dikatakan sebelumnya. Tangannya menggenggam topeng yang berwarna senada. Dia tampak setengah kesal ketika menghampiri Draco.
"Kau lama sekali."
"Aku baru pulang dari rumah mengambil jubah pesta," kata Draco. "Ayo kita bergabung dengan yang lain."
Pansy tidak mengikutinya, malah menatap jubah Draco. "Hitam? Aku bilang kita akan memakai merah marun," katanya.
Draco menghela napas. "Aku tak ada waktu untuk memesan," katanya membela diri. "Ayo, Pans."
Pansy masih jengkel ketika dia berdiri di depan Draco. Dia menatap dasi yang melingkar di leher Draco. "Kau tidak berbakat memakai dasi, Draco," komentar Pansy, menghampirinya. Kekesalan terlihat ketika dia tangannya berkutat kasar dengan dasi kupu-kupu, mencoba merapikannya.
"Aku tidak perlu memperbaiki penampilanku dengan seutas dasi bodoh."
"Dasi menunjukkan kelas."
Draco mencoba sabar. Dia merasa lelah sekali. Dan kini dihadapkan dengan Pansy dan cermin sialan tadi. Draco memuji dirinya sendiri karena berhasil menahan diri untuk tidak meledak.
"Cuekin saja sih," kata Draco jengkel. "Kita sudah telat."
"Ya," sahut Pansy. "Miles, Therry, Vincent, dan yang lain sibuk diberi selamat."
"Oh, sudah dimulai rupanya."
"Ya, kita harus bergegas."
"Itu yang kucoba katakan sejak tadi," gerutunya, menyambar topeng berwarna hitam yang diletakkan di atas ranjang.
Rencananya malam ini: ingin cepat datang ke pesta. Ingin pesta cepat berlangsung. Supaya kemudian cepat berakhir. Cepat kembali ke asrama. Dan cepat tidur. Latihan siang tadi gila-gilaan dan harus segera dinetralisir dengan istirahat yang cukup.
Dia mengucapkan sampai jumpa pada Greg yang tampak masih sibuk dengan kancing kemejanya. Dia hanya bergumam tidak jelas, merespon Draco. Konsentrasinya masih pada kancing-kancing yang menolak untuk dikaitkan.
Pansy dan Draco tiba di ruang rekreasi. Beberapa anak masih berkumpul di sana, saling komentar tentang penampilan. Badan gemuk Vincent terlihat di tengah ruang. Beberapa anak menyempatkan diri menghampirinya untuk menepuk pundak, tersenyum, dan mengucapkan semangat. Memang ada yang berbeda dengan Vincent Crabbe malam ini. Serta dengan selusin anak Slytherin lain.
"Hei, berpuas-puaslah malam ini, mate," kata Blaise menepuk pundak Vincent.
"Pasti," jawabnya tersenyum lebar.
"Jadikan malam terakhirmu tak terlupakan."
Pesta terakhir di Hogwarts. Benar-benar terakhir dan sebuah perpisahan untuk Vincent dan yang lainnya.
Besok orang tua Vincent, Therry, dan setengah lusin anak Slytherin akan datang ke Hogwarts dan menjemput anak mereka. Vincent dan yang lain menjadi murid Slytherin kedua yang mengundurkan diri. Beberapa anak telah mendahului mereka. Para orang tua sudah tidak memerlukan mereka bersekolah di Hogwarts lagi. Panggilan untuk bergabung telah datang. Mereka yang berpotensi namun belum memiliki kemampuan yang cukup, akan dilatih lebih dini. Bagi mereka, itu merupakan anugrah. Mereka sudah muak untuk bermuka dua di Hogwarts dan sangat antusias untuk memenuhi paggilan itu. Kemudian tak lama lagi beberapa Slytherin akan menyusul.
Draco sudah memiliki kemampuan yang lebih dari anak yang lain. Melihat kemampuan yang telah dimilikinya, sepertinya dia dapat bersantai-santai hingga tahun ke tujuh berakhir. Semua yang dilakukannya selama ini tidak sia-sia. Tak ada anak lain yang berusaha sekeras dirinya. Dia membagi waktu antara rumah dan sekolah. Rumah adalah pelajaran utama, sedangkan sekolah adalah pelajaran tambahan dan hiburan. Dia hampir selesai menyelesaikan semua pelajaran krusial seperti teknik Apparation (yang diperolehnya tanpa prosedur lisensi Apparation secara legal), beberapa sihir hitam, kutukan Crusiatus level rendah (yang menyebabkan Draco sempat tak sadarkan diri selama dua hari), dan beberapa kutukan ringan.
Semuanya memang ilegal. Namun ilegal bukan berarti buruk. Ya, ilegal bukan berarti tidak baik. Jika mengerti esensi dari tindakan ilegal itu, semua bisa diterima. Yang mereka lakukan adalah demi perjuangan kaum mereka. Tak semua orang dapat mengerti. Tapi akan tiba saatnya jika mereka akan mengerti bahwa semua ini memang diperlukan. Demi masa depan mereka sendiri. Demi keharmonisan kehidupan mereka. Dan mereka yang mengundurkan diri sekarang sedang memperjuangkannya. Telah tiba waktu bagi mereka untuk meninggalkan ini semua demi kejayaan kaum mereka. Dan mengenyam 'pelajaran utama' mereka. Pelatihan mereka. Setelah sekian lama, kini sudah saatnya.
Betapa waktu terasa cepat sekali berlalu.
Sepertinya baru seminggu yang lalu, Draco menaiki Hogwarts Express meninggalkan Kediaman Malfoy untuk pertama kalinya. Ayahnya memeluknya singkat sambil mengatakan, "Buat kami bangga." Betapa seumur hidupnya Draco berusaha membuat ayahnya bangga. Semua hal yang dia lakukan untuk membuat ayahnya senang dan menjadi seorang Malfoy yang diharapkannya.
Kemudian dia ingat ibunya menangis ketika itu. Ah, dia memang cengeng. Wanita itu memeluknya begitu erat hingga Draco curiga dia berhasil mematahkan tulang rusuknya. Draco belum tahu betapa berat bagi Narcissa untuk melepas putra tunggalnya. Anak berumur sebelas tahun itu terlalu sibuk dengan perkiraan dan antusiasme petualangan baru di sekolah sihir Hogwarts yang ternama.
Ya, betapa enam tahun terasa cepat sekali berlalu. Anak usia sebelas tahun itu sudah tak ada lagi.
"Hei, Pansy. Kau keren malam ini," suara Millicent Bullstrode dari balik topengnya.
"Aku tahu."
Dia memang tahu. Dan dia selalu berusaha orang lain menyadarinya.
Millie memakai topengnya lagi, lalu menggandeng tangan Vincent erat-erat. Warna jubahnya yang shocking pink tampak mencolok—tapi lumayan serasi dengan jubah merah milik Vincent. Namun cowok gemuk itu terlihat jengkel berusaha menyingkirkan tangannya dari cengkraman Millicent seperti domba yang digembalakan. Dan tampaknya usaha itu sia-sia.
"Dimana topengmu, Crabbe?" tanya Draco.
Vincent tampak lebih jengkel lagi. "Memangnya benar-benar harus dipakai ya?"
"Ya, kurasa begitu. Aku mendengar isu mengenai detensi jika kau ketahuan tidak memakainya. Si carrot top ingin memastikan usahanya berjalan mulus."
"Grrr…biar kubunuh Weasley sialan itu," gerutu Vincent.
"Kenapa tidak dipakai sih?" sahut Millicent. "Keren kok. Aku membelinya sama agar cocok dengan punyaku."
"Itulah yang aku hindari," gumamnya tak terdengar oleh Millie. Kemudian dia menghela napas, "Aku hanya menginginkan sebuah penampilan keren untuk keberadaanku yang terakhir di Hogwarts tercinta."
Draco-Pansy meninggalkan pasangan Vincent-Millicent di asrama Slytherin dan keluar melalui tembok batu yang terbuka. Di luar, para Slytherin masih berdiri bercakap-cakap. Anak-anak yang lain tampak berdiri menunggu pasangan mereka yang masih di dalam. Beberapa sudah gelisah terus memandangi arloji sambil mengumpat-umpat. Theodore Nott yang ikut mengundurkan diri esok hari, terlihat di balik lukisan. Dia tampak sedang menikmati perhatian instan ketika beberapa anak memberi semangat, menjabat tangan, dan tepukan hangat. Dua anak yang Draco kenal akan mengundurkan diri juga, Urquhart dan si Seeker Will Harper, tampak berwajah mencurigakan sambil sembunyi-sembunyi memasukkan sesuatu—yang sepertinya kembang api rakitan—ke dalam saku jubahnya. Jelas mereka akan berbuat sesuatu yang melanggar peraturan untuk bersenang-senang di malam terakhir mereka.
Pansy berjalan dengan percaya diri. Tentu saja dia memang selalu tampak percaya diri. Pakaiannya baru dipesan lagi dari Milan. Topeng yang dikenakannya, baru datang tadi pagi. Sepanjang hari kemarin, dia terus sewot menunggu pesanan itu. Dia sudah menyiapkan beberapa kutukan untuk dirapalkan pada Weasley jika saja topeng itu tidak datang tepat waktu untuk tampil senada dengan gaunnya yang elegan. Sedangkan Draco yang tak peduli apa tema warna mereka tahun itu, akhirnya harus terus mendengar komentar menjengkelkan dari cewek itu. Tiap kali ada kesempatan, Pansy selalu melontarkan komentar semacam "Kau seperti akan menghadiri sebuah pemakaman" atau "Wajahmu pucat, kau tahu? Bahkan lebih pucat dari Loony Lovegood. Kontras dengan pakaianmu."
Anak-anak terlihat lebih ramai lagi sepanjang rute ke aula besar. Jubah-jubah beraneka warna tampak menyebar di setiap sudut. Topeng-topeng beraneka bentuk dikenakan di wajah mereka. Ada yang terlihat elegan seperti topeng-topeng abad pertengahan. Ada yang tampak misterius seperti topeng-topeng Halloween. Mereka mengingatkan Draco pada sebuah festival rakyat di Spanyol.
Di Aula Depan, anak-anak mulai terlihat lebih ramai lagi. Beberapa terkikik mengomentari jubah anak lain. Beberapa bertemu dan saling memuji penampilan. Beberapa berdiri melongo menatap seseorang yang tampak lebih cantik atau tampan dibandingan keseharian. Dan sebagian besar masih menyelinap di antara anak-anak, saling mencari pasangan masing-masing. Draco bertanya-tanya bagaimana mengenali orang yang wajahnya jelas-jelas tertutup topeng. Usaha yang hampir sia-sia sebenarnya. Bodoh sekali.
Pansy mengapit tangan Draco erat-erat. "Kita harus bersenang-senang malam ini," katanya. "Kecupan singkat untuk memulai keberuntungan?" Pertanyaan retoris, karena tanpa ba-bi-bu lagi cewek itu mendaratkan bibirnya ke atas bibir Draco.
Rasanya sudah lama sekali Draco mengalami hal ini. Maksudnya, dulu dia selalu menikmati apa yang dilakukan Pansy sekarang. Ada perasaan merasa hebat. Ada perasaan diinginkan oleh seseorang. Dan ada perasaan memiliki kemampuan untuk mendapat semua yang dia inginkan. Dia menyukai perasaan bahwa gadis-gadis menyukai dirinya. Kini Draco berusaha mengingat lagi rasa itu. Namun rasanya berbeda. Kini semua itu tampak tidak penting lagi. Dan kira-kira sudah puluhan detik sebelum akhirnya Draco merasa seseorang menepuk bahunya—
"Hei, maaf menginterupsi, Kawan," kata Blaise di belakang Draco. "Lihat Ketua Murid Putri kita tersayang?"
Pansy mendengus. "Kenapa bertanya padaku? Kau pikir aku babysitternya?"
"Aku tak bertanya padamu, idiot. Aku bertanya pada pacarmu," katanya sinis. Pandangan beralih ke Draco. "Tak melihatnya, ya? Merlin, pesta akan dimulai. Dan aku belum menemukan Ketua Murid kurang ajar itu."
"Dia sudah membuat masalah?" seringai Draco.
"Yeah. Ah, lagipula memangnya apa yang bisa kita harapkan dari Gryffindor? Mereka hanya membuat masalah."
Draco tersenyum sinis. "Memang."
Si Ketua Murid mengucapkan sampai jumpa sebelum berpisah jalan dan menanyakan kepada anak yang lain. Draco dan Pansy memasuki Aula Besar. Empat meja asrama yang panjang telah lenyap. Sebagai gantinya, meja-meja bundar bertaplak putih dengan lilin tampak menyebar Aula Besar. Di beberapa sisi dinding aula, tanaman rambat berdaun hijau tampak menghiasi untuk menghadirkan musim semi di dalam aula. Bunga-bunga kecil warna warni tampak menggantung di dahannya. Langit aula yang biasanya mendung dan berbadai, kini disihir dengan langit hitam yang bertaburan bintang.
Draco memilih meja yang berada agak di belakang. Vincent dan Millie muncul tak lama kemudian lalu bergabung dengan meja mereka. Rahang Vincent tampak mengeras. Sepertinya Draco tahu alasannya. Topeng itu tampak konyol sekali. Warnanya merah menyala yang berhiaskan bulu-bulu berwarnashocking pink. Punya Vincent sama persis dengan yang dikenakan Millie yang membuatnya semakin tampak memalukan.
Di meja utama, Dumbledore tua tampak tersenyum sumringah. Matanya berkelana mengamati kemeriahan pesta yang sebentar lagi akan berlangsung. Beberapa guru sudah berada di meja yang sama. MacGonagall terlihat di pojok aula, sedang membicarakan sesuatu dengan Weaselbee. Draco tersenyum senang melihatnya. Rambut Weasley yang merah mencolok, jelas merupakan radar alami akan keberadaannya. Topeng ternyata benar-benar tidak berpengaruh. Dia tetap saja jadi pembantu pesta.
Greg menyusul kemudian. Kemejanya yang kekecilan hampir dapat ditutupi oleh jubahnya yang terkancing di bagian perut. Cowok gemuk itu datang tanpa pasangan. Sebenarnya dia tak peduli dapat pasangan atau tidak karena sebulan ini dia bahkan tidak terlihat berusaha mengajak cewek satu pun. Vincent sempat mengoloknya, namun kini tampaknya justru dialah yang tampak iri. Lebih baik datang sendirian daripada dengan Millicent Bullstrode.
Makan malam telah dimulai. Mereka menggumamkan nama masakan dan secara sihir masakan itu muncul tersaji di depan mereka. Bunyi peralatan makan tidak senyaring waktu makan mereka sehari-hari. Kini tampaknya suara itu menyusut dan terdengar elegan. Semuanya tampak ingin terlihat anggun dan berkelas—walaupun di beberapa tempat masih terlihat kerang melompat ke meja lain karena tidak tahu cara membuka cangkangnya.
"Apa yang kau lakukan dengan kemeja pestamu, Greg?" tanya Vincent, menyantap yang sudah tersaji di atas meja.
"Tak ada," sahutnya. "Ini kemeja seragam sekolah. Ternyata jika dirombak sedikit, hasilnya tak jauh dengan kemeja pesta. Lagipula tertutup jubah. Takkan ada yang perhatikan."
Pansy si fashionista mengerutkan kening, mengejek penampilan Greg.
Seusai makan malam Dumbledore, berdiri dari kursinya. Para murid dan guru mengikuti. Dengan sebuah lambaian tongkat yang singkat, kursi dan bangku yang tadinya menyebar di penjuru ruang, kini meluncur ke sisi ruangan menyisakan lantai kosong agak luas di tengah aula. Dengan satu lambaian lagi, lantai di depan aula tampak terangkat membentuk sebuah panggung.
Kemudian pintu ganda di belakang Draco tiba-tiba terbuka. Grup band Fancystuck Four berjalan menuju panggung sambil membawa peralatan panggungnya masing-masing. Keempat personilnya mengenakan jubah yang mengatung dan potongan rambut yang pernah tren pada tahun 1970-an. Mereka melambaikan tangan heboh sambil tersenyum lebar. Para murid bertepuk tangan meriah. Beberapa cewek menjerit senang. Beberapa bersuit-suit nyaring.
Seorang personil menggumamkan aba-aba mulai. Kemudian mereka melantunkan sebuah lagu berirama perlahan sebagai lagu pertama. Para murid perlahan menyingkir ke tepi. Keempat kepala asrama dan pasangan mereka masing-masing berdiri di tengah-tengah lantai. Dari perwakilan pihak murid, Ketua Murid bersama para kepala asrama melakukan dansa pertama.
Untuk pertama kali, Draco baru melihat Granger malam itu. Dia hanya mengenakan gaun sederhana berwarna hijau lumut. Bahkan rambutnya hanya dipilin sederhana di belakang kepalanya meninggalkan beberapa anak rambut membingkai wajahnya. Draco tak heran mendapati beberapa cowok saat itu tampak melirik kepada si Gryffindor. Bukan karena pakaiannya tapi—karena dia memang memiliki sesuatu untuk membuat mereka semua seperti itu. Gaun sederhana itu dan apapun tampilan yang dia perlihatkan, hanya menambah pengaruhnya berkali lipat.
Draco menatapnya. Berdeham. Jemarinya bergerak ke leher, melonggarkan kerahnya sedikit.
"Dia tidak bisa dansa ya? Ampun deh," gumam Pansy bernada sinis. Draco hampir tidak menyadari Pansy sedang bicara.
Dua Ketua Murid itu berdansa di tengah aula. Blaise tampak percaya diri berdiri gagah. Sedangkan si gadis terlihat gugup berusaha untuk tetap berdiri.Sepertinya dia belum terbiasa memakai selop pesta anggun berhak tinggi. Wajahnya memerah. Draco menahan tawa.
Kita lihat sampai kapan kau dapat bertahan untuk tidak jatuh, Granger, pikir Draco geli.
Kemudian segera semua murid turun ke lantai dansa, bergabung dengan para guru dan Ketua Murid. Pansy menyambar tangan Draco menariknya ke lantai dansa. Draco menghela napas malas. Salah satu tangan Draco diletakkannya di pinggang dan satunya lagi digenggamnya erat-erat.
Pesta yang lumayan, pikir Draco tak begitu semangat. Pandangannya menyapu ruangan. Semua mulai berdansa. Namun matanya menemukan Granger sekali lagi. Dia masih tampak sibuk mengatur langkah. Dia juga bertarung dengan gaunnya yang panjang agar tidak terserimpet. Dia tampak gugup. Kemudian tak jauh dari si dua Ketua Murid, Draco melihat walinya, Severus, berdansa dengan Profesor Sinistra. Tentu saja walinya itu terpaksa harus turun ke lantai dansa karena dia kepala asrama Slytherin. Namun dia tak dapat menyembunyikan kerutan di wajahnya seperti sedang mengoreksi ujian parah milik Neville Longbottom. Mungkin dia menunggu waktu lagu pertama untuk segera berakhir.
"Kontrol kaki yang hebat, Vince," kata Draco sambil menyeringai ketika pasangan Vincent dan Millicent berdansa melewati mereka.
Vincent membalas menyeringai. "Jelaslah. Aku sudah tidak menginjak seseorang semenjak umur delapan tahun."
Mereka meninggalkan Draco-Pansy dengan membelah kerumunan. Saat itulah kemudian Draco kembali melihat pasangan Blaise dan Granger lagi. Senyum lebar masih menghiasi bibir di Ketua Murid Putra. Granger masih tampak kikuk dan tak nyaman. Semburat merah muncul di pipinya. Tangan Blaise yang berada di pinggang Granger, bergerak nakal perlahan ke bawah. Draco tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu. Kemudian si gadis memperlihatkan tampang galak, tangannya mengembalikan tangan Blaise dengan tegas ke tempatnya semula. Si Slytherin memasang wajah polos.
Draco menahan tawa tanpa suara.
Blaise memang bukan tipe orang yang suka memilih-milih cewek. Dia tak peduli dari golongan mana cewek itu berasal—tidak seperti Draco. Darah lumpur akan menjadi pilihannya yang paling bawah, namun dia tak menolak. Darah campuran sih oke serta lebih dari lumayan. Dan darah murni adalah jackpot. Intinya dia adalah pecinta wanita. Mungkin turunan langsung dari ibunya.
Malam ini dia dihadapkan dengan seorang darah lumpur. Jika dengan cewek lain, mungkin dia akan tunduk dengan karisma Blaise. Masalahnya yang dihadapinya sekarang bukanlah tipe yang mudah terpengaruh zat feromon penggaet lawan jenis yang dikeluarkan seseorang dari klan Zabini. Malah Draco bertanya-tanya, kapan dia akan menendang 'little Blaise' jika cowok itu berusaha melakukan seuatu yang membuat gadis itu marah. Pasti akan menjadi bulan-bulanan meriah Draco dan teman-teman di ruang rekreasi Slytherin.
Draco senyam-senyum sendiri membayangkannya.
"Kau menatapnya lagi."
Draco hampir tidak mendengarnya, masih geli. "Hmmm?"
"Darah lumpur favoritmu."
"Apa?"
Pansy memutar bola matanya, tersenyum sinis tak percaya.
Senyum Draco memudar. "Aku tidak tidak sedang menatap Granger—"
"Darimana kau tahu aku membicarakannya? Bahkan aku belum mengatakan namanya."
"Kau kenapa sih? Habis minum Wiski Api sebelum datang kesini?"
"Ayolah, Draco. Mari kita jernihkan masalah ini. Katakan saja padaku—kenapa dia? Dari semua cewek yang ada di Hogwarts, kenapa dia?"
Draco menelan ludah, berdeham. "Aku tak mengerti yang kau bicarakan, Pans," katanya dibuat sekalem mungkin.
Pansy mendengus. "Aku tak perlu menjelaskan. Kau yang harus menjelaskan, Draco. Ini memuakkan. Kenapa harus dia? Merlin, dia—Draco, dia seorang darah lumpur! Ada apa sih denganmu?"
"Aku tak harus mendengar tuduhan yang menggelikan ini," ujar si cowok jengkel menarik diri, meninggalkan Pansy di lantai dansa. Namun tentu saja bukan namanya Pansy jika dia tidak menyebalkan. Dia mengikuti di belakangnya.
"Kau mau melarikan diri, Draco?" tanyanya. "Tidak, tidak, tidak. Kita akan bicara malam ini." Beberapa anak mulai menoleh mendengar suara tegas tertahan dari Pansy. "Kita akan menjernihkan masalah ini. Malam ini."
"Masalah? Masalah apa?" geram Draco, menjaga nada suaranya. "Tak ada yang perlu dibicarakan. Kau selalu memperbesar-besarkan hal tidak penting. Dan seperti yang kubilang, kau bicara omong kosong." Dia keluar melalui pintu ganda ke Aula Depan.
Di Aula Depan tentu saja sangat sepi. Dansa baru dimulai dengan satu lagu. Belum ada para gadis yang duduk di tangga utama, mengeluhkan nyeri pergelangan kaki karena terlalu lama memakai hak tinggi. Belum ada perkelahian di luar karena pasangannya direbut orang lain. Atau belum ada pertengkaran mereka diacuhkan sepanjang pesta. Semua orang masih berkumpul di Aula Besar. Semua masih berpesta dan berdansa penuh suka cita.
Draco baru saja akan menaiki tangga utama yang sepi, namun si cewek mencengkram lengan Draco dan memaksa untuk menatapnya. "Katakan saja dengan lantang, Draco. Inilah alasan mengapa kau tak peduli lagi dengan hubungan kita. Ini semua tentang Granger, kan?"
Draco menelan ludah. Brengsek. Berhentilah mengungkit-ungkit dirinya. "Hubungan apa, Pans? Aku tak pernah punya perasaan apapun padamu. Terimalah kenyataan."
"Hah! Bahkan kau tak berani menjawab pertanyaanku."
"Dengar, aku tak perlu menjawab apapun," katanya datar. "Mengapa kau menggumamkan sesuatu yang irasional yang menggelikan? Semua orang tahu aku benci darah lumpur. Kau sendiri tahu aku benci darah lumpur. Kita semua, Pansy."
Pansy membuka topengnya frustasi. "Maka dari itu, Draco!" katanya dengan nada meninggi. "Karena aku tahu dulu kau sangat membenci darah lumpur, mengapa kini kau menatapnya seperti itu? Jangan kau kira aku tidak tahu."
Kini Draco yang tertawa. "Aku tak mengerti—Berdasarkan apa kau menyimpulkan—"
"Oke, berdasarkan apa?" potong Pansy menantang. Matanya menatap Draco tegas. "Bagaimana jika aku mengatakan bahwa karena aku melihatmu tersenyum setiap kau melihat kebodohan Granger seperti tadi? Kau tak pernah tersenyum, Draco—dulu kau menertawakannya. Mengejeknya! Atau bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku selalu melihatmu menatap si jalang itu setiap makan di Aula Besar? Jawaban itu memuaskanmu, hah? Atau bagaimana jika—"
Hentikan dia, bego. Hentikan dia bicara ngawur. "Pansy, dengar—"
"—bagaimana jika aku mengatakan bahwa karena aku mendengarmu menyebut namanya ketika kita tidur bersama pada malam kemenangan Slytherin yang lalu."
Draco mencelos. Tenggorokannya terasa tersekat.
"Menggelikan." Hanya itu yang dapat putra tunggal klan Malfoy itu katakan. Dia memaksakan tawa. Dia hampir dapat berterima kasih dan mencium Weasley karena keputusannya mengubah menjadi pesta topeng. Dengan begitu Pansy tak dapat melihat perubahan air muka Draco. "Kau tahu itu tak mungkin seumur hid—"
"Sampai kapan kau akan menyangkal?" potong Pansy lirih. "Kau membisikkan namanya. Aku takkan bertindak bodoh bahwa aku tak mendengarnya. Seandainya saja aku hanya bermimpi. Tapi yang kudengar itu nyata sekali, Draco. Malam itu kau berkhayal bahwa aku si Gryffindor jalang itu? Dan mungkin kini kau memilih cewek-cewek berambut coklat sehingga kau dapat mengkhayalkan dirinya yang sedang berbaring di sebelahmu? Berbaring di sebelahmu dan mencium—"
"Pansy" potong Draco sebelum cewek itu berkata lebih lanjut. Namun dia sendiri tak tahu harus mengatakan apa.
"Kau tahu apa yang terburuk dari semua ini? Yang terburuk adalah mengapa harus dia? Si jalang itu. Dia yang paling aku benci melebihi siapapun di dunia ini!" Suaranya bergetar. Pansy hampir menangis. Dia tak memakai topeng sehingga dengan jelas Draco dapat melihat air matanya tergenang. Tapi dia tahu Pansy menahannya karena dia selalu mempertahankan ego. Melihatnya seperti itu seakan ada tangan yang mencengkram jantung Draco. Mengapa dia harus menangis? Ini sama sekali tidak pantas untuk setetes air mata.
Jadi katakan saja padanya, Draco baby, mengapa dia? Mengapa si Granger jalang itu?
Perut Draco terasa campur aduk. Tenggorokannya terasa disumpal buntalan kain. Kepalanya pening. Pesta tampak terlihat berlebihan untuknya. Mendadak dia menginginkan ketenangan. "Aku hanya bisa mengatakan," kata Draco, menelan ludah dan berusaha mempertahankan kekalemannya yang tersisa. "Sama sekali tak ada hubungannya dengan dia. Kau hanya salah dengar. Aku mabuk. Kau mabuk. Kita semua minum Wiski Api malam itu."
"Aku tidak salah deng—"
"Kau hanya salah dengar, brengsek!" seru Draco tanpa sadar. "Dan kini menyingkir dari hadapanku!"
Pansy menatapnya dan terlihat sakit hati. Dia hendak mengatakan sesuatu namun mengurungkannya lagi. Tentu saja dia tidak menyingkir seperti yang Draco minta. Namun Draco tak dapat menatap mata Pansy lagi karena takut mata itu dapat membaca rahasianya seperti buku yang terbuka. Rahasia yang ingin dia sembunyikan dalam sudut yang terdalam. Jadi Draco memutuskan dialah yang akan menyingkir.
Pansy hanya salah dengar. Aku tak mungkin menggumamkan namanya. Tak mungkin. Tak mungkin Pansy tahu. Seharusnya tak ada yang tahu. Sialan. Tak ada yang boleh tahu.
Pansy berteriak memanggil di belakangnya ketika dia berjalan menuju tangga utama. Draco menghiraukannya. Entah apa yang cewek itu katakan—semacam menerima-balasannya, kau-pengecut, atau sejenisnya. Draco menghiraukan keputusasaan Pansy. Dia tak ingin mendengar apapun. Kepalanya terasa sangat pening bagaikan terhantam Bludger dengan kecepatan penuh. Mendadak dia merasa membutuhkan udara. Udara di dalam sini terasa pekat.
Kemudian perlahan suara Pansy hampir tak terdengar. Mungkin dia telah menyerah. Namun Draco mendengar suara-suara lain dari hatinya. Suara yang menertawakan kebodohannya, menghina perasaannya, dan mengejek kecerobohannya. Suara yang berlawanan dengan suara pesta dari Aula Besar—suara yang masih penuh dengan sorak suka cita.

Hermione merasakan tatapan tajam dari sudut aula. Pansy Parkinson. Tatapan benci itu terselip sesekali sementara dia sedang bercengkrama dengan teman-temannya. Cewek Slytherin itu memang selalu benci siapapun. Sepertinya dia dilahirkan hanya untuk bersikap sinis. Khususnya pada Hermione. Tapi tak ada gunanya mempedulikan dia. Dan si Gryffindor memang sedang tak ingin menatapnya. Membalas menatap cewek itu—atau pasangan kencannya dimanapun dia berada saat itu—hanya membuat Hermione semakin ingin meninggalkan aula. Dia lebih memilih mengalihkan pandangan kepada tumitnya.
Hermione memijat tumit yang kelelahan itu. Lantai dansa masih dipenuhi anak-anak. Lagu-lagu bersemangat telah perlahan berganti menjadi lagu yang mengalun lebih perlahan. Dia mengutuk lagu ini. Lagu yang berirama lambat membuat perasaannya semakin suram. Rasanya dia ingin kembali ke asrama secepatnya. Pesta ini memang sudah tidak menyenangkan sedari awal.
Saat itu adalah lagu ketiga belas yang dimainkan Fancystuck Four. Hermione mendepak Blaise pada lagu kedua setelah tangan Ketua Murid itu terus berusaha berkelana ke bagian bokongnya untuk kedelapan kali. Kemudian ketika dia hendak kembali ke asrama, pada lagu keempat Neville mengajak dansa. Seamus dan Harry bergantian menjadi pasangannya pada lagu ke tujuh dan ke delapan. Pada lagu kesepuluh, Hermione sudah KO di atas selopnya.
Selopnya memang indah. Bentuknya terbuka dengan tali keemasan yang malang-melintang anggun yang berujung membentuk simpul sederhana. Ya, memang indah. Namun sungguh-sungguh menyiksa. Hermione tak pernah terbiasa. Memakai hak tinggi dalam setahun dapat dihitung dengan jari. Padahal tingginya hanya tujuh senti. Hermione benar-benar benci selop berhak tinggi—well mungkin setengah tinggi. Dan kini dia semakin membencinya setelah selop sialan itu membuyarkan usaha Hermione untuk menikmati pesta.
Selop brengsek. Lagu bodoh. Malam yang menyebalkan.
"Kau ini perempuan bukan sih?" kata Harry geli. "Seharusnya pada usiamu sekarang, kau sudah terbiasa dengan hak tinggi."
"Diamlah, Harry."
"Ayolah kau tahu maksudku, Hermione. Hak tinggi dan perempuan seperti ibaratnya bola dengan laki-laki," kata Ron menimpali. Dia baru bergabung beberapa saat yang lalu.
"Kau juga diamlah, Ron," gerutu Hermione, memandangnya galak. "Cobalah sendiri kalian memakai selop hak tinggi. Dan kita lihat apa kalian bisa berkoar-koar setelah lima-sepuluh menit di atasnya."
"Laki-laki tidak memakai hak tinggi," kilah Ron.
"Kenapa tidak? Perempuan bisa main bola," balas Hermione tak mau kalah. "Daripada bawel disini, bukankah lebih baik kalian cari kesibukan. Usaha cari pasangan kek!"
Ron memang tidak sempat mencari pasangan karena kesibukannya. Profesor MacGonagall berhasil membuatnya kawalahan. Namun Harry datang sendiri ke pesta karena dia telah mendepak semua ajakan pergi para gadis penggemarnya. Dia tidak pernah semangat dengan orang yang tidak dikenal. Sebelumnya dia berencana hendak mengajak Parvati lagi seperti tahun keempat. Namun gadis itu menolaknya mentah-mentah—dan di depan semua orang. Hermione memaklumi Parvati karena tentunya dia sudah belajar dari pengalamannya ketika itu karena diacuhkan Harry semalaman penuh.
Ron sengsara. Harry merana. Dan kini Hermione bersama mereka. Selamat datang di klub gundah-gulana.
"Hermione, ayo kita dansa," pinta Ron.
"Lebih baik aku kembali ke asrama."
"Satu lagu saja. Aku belum dansa satu lagu pun. Harry saja yang datang tanpa pasangan sudah dansa dua lagu. Aku ingin menikmati pesta sebentar saja sebelum MacGonagall menemukanku lagi."
"MacGonagall takkan menemukanmu," kata Harry. "Topengmu hampir menutupi seluruh wajah."
"Wajahnya memang aman, Harry. Tapi jubahnya, merah dan berenda begitu…" komentar Hermione, menunjuk penampilan Ron.
"Tadinya jubah ini keren, kalian tahu? Hanya berwarna merah sederhana seperti jubah pesta normal pada umumnya," kata Ron. "Fred-George membelikan jubah ini setahun yang lalu. Dan Mum melihatnya—kemudian memutuskan untuk membuatnya tampak fashionable," gerutu Ron.
Hermione tersenyum. "Sebenarnya bukan hanya jubahmu yang menarik perhatian, Ron. Masalahnya juga dari rambutmu. Warnanya merah. Sangat Weasley."
"Begitu ya? Mungkin aku harus mengubah warna rambutku."
"Jangan mengada-ada."
Memang Di Hogwarts memang ada beberapa anak yang berambut merah. Tapi ada satu hal dari rambut merah para Weasley yang menjadi pembeda dan ciri khas dengan para rambut merah lainnya. Rumus dasar: jubah nyentrik + rambut merah Ron Weasley.
"Aku hanya ingin kabur dari Profesor MacGonagall. Sebentar saja menikmati pesta kan hak tiap orang. Paling tidak hanya berdansa satu-dua lagu juga boleh," gerutu Ron. Wajahnya tampak kusut. "Aku tahu malam ini akan panjang sekali—apalagi mengetahui selusin anak Slytherin akan mengundurkan diri besok. Mereka pasti akan mencoba membuat malam terakhirnya tak terlupakan."
"Yeah, aku sempat mendengar ribut-ribut di koridor tadi," kata Hermione. "Urquhart menyalakan petasan di bawah seorang rok anak perempuan. Aku memberinya detensi 2 malam."
"Kau tahu detensi itu takkan berguna, kan? Dia cabut dari Hogwarts besok pagi."
"Aku tahu," Hermione menghela napas. "Paling tidak aku melakukan kewajibanku sebagai Ketua Murid."
"Aku yakin mereka sedang merencanakan sesuatu…" kata Harry, menatap beberapa anak Slytherin yang sedang duduk-duduk di pojok aula. Hermione langsung tahu, Kapten Quidditch itu akan memulai spekulasi paranoidnya lagi. "…bergabung dengan Voldemort. Mereka tak boleh dilepaskan begitu saja dan membantu ayah mereka. Maksudku, sangat riskan sekali jika—"
"Oh Harry, please…"
Harry menoleh. "Apa?"
"Maukah kau menunda spekulasi besok-dunia-kiamat-mu sehari saja?"
"Aku tidak berspekulasi, Hermione. Aku hanya berantisipasi," kata Harry defensif. "Kita sudah sering mendengar penyerangan dimana-mana. Kementrian sudah mulai memenjarakan orang yang diduga terkait dengan gerakan Pelahap Maut. Inferi musuh mulai banyak. Penyerangan terdengar hampir setiap hari di Daily Prophet. Aku tak hanya sekadar cuap-cuap mencurigai anak-anak kriminal itu mengingat siapa orang tua mereka."
"Yeah, benar. Memang tak dapat dipungkiri lagi bahwa semua ini patut diwaspadai," kata Ron menyetujui. "Anak Slytherin mulai mengundurkan diri. Kurasa kita harus semakin hati-hati atas segala sesuatu. Mungkin mereka memang sudah mulai bergerak."
"Crabbe sudah bergerak lebih awal. Kudengar Nott juga. Kurasa, pentolan-pentolan yang lain tak lama lagi akan menyusul."
Rasanya Hermione ingin menuang satu baskom minuman punch dingin di atas meja ke atas kepala kedua sahabatnya untuk mendinginkan otak mereka yang beku. Dia tak mungkin menghabiskan malam yang menyebalkan itu hanya dengan mendengar celotehan yang membuat sakit kepala. Tak heran mereka bertiga merana begitu di pojok aula yang semarak.
"Kalian berlebihan," sahut Hermione. Rasanya kepalanya berdenyut-denyut. "Mungkin orang tua mereka hanya kuatir dengan keselamatan mereka. Bagaimanapun rumah terasa lebih aman."
"Yang benar saja, Hermione. Yang mereka takutkan adalah tubuh mereka dicincang jika mereja tidak bergabung dengan Tuan mereka," cemooh Ron, mengibaskan tangan. "Mungkin nanti Zabini akan bergabung. Atau Goyle."
"Orang seperti Zabini hanya cari aman. Dia bukan tipe petarung. Dia takkan mengundurkan diri dalam waktu dekat," kata Harry menganalisis.
Kemudian Ron seperti teringat sesuatu. "Oh, kau lupa orang kesayangan kita," katanya. "Kita melupakan Malfoy."
"Ah, tentu saja," Harry menyetujui, tampak berpikir-pikir. "Aku heran, mengapa dia tidak keluar lebih awal. Mungkin dia memang yang paling pengecut di antara semuanya."
"Oh, semoga dia keluar yang paling cepat di antara yang lain. Untuk pertama dalam hidupku, aku berharap seseorang menjadi Pelahap Maut supaya dia bisa segera keluar dari Hogwarts. Jika dia tidak berguna untuk kebaikan, paling tidak dia bisa berperan bagi kejahatan," gumam Ron sinis. "Maksudku, bahkan sebenarnya aku tak tahu makna dari keberadaannya di dunia! Kerjaannya hanya gonta-ganti cewek, mempermainkan mereka, bikin orang jengkel, menghina orang, mengintimidasi—jika aku disuruh menuliskan keburukan Malfoy, aku bisa membuatnya hingga lima perkamen penuh dengan tulisan kecil-kecil."
"Aku takkan peduli jika dia hanya sekadar playboy. Roger Davies juga seperti itu. Tapi yang paling buruk dari semua daftar itu adalah dia seorang Pelahap Maut! Tak ada yang lebih buruk dari menjadi seorang Pelahap Maut."
"Hentikan!" kata Hermione tegas. "Kalian hanya berspekulasi tanpa bukti yang jelas. Mereka tak terbukti sebagai Pelahap Maut. Itu menggelikan."
Nada suara mereka mulai meninggi. Dan raut wajah mereka mulai serius.
"Tapi aku melihat ayah-ayah mereka di makam Tom Riddle senior, Hermione. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri di hari kematian Cedric. Dan kalian melihatnya sendiri ketika Sirius tewas!"
"Tapi kau tak melihat anak-anak Slytherin itu, Harry! Yang kita lihat adalah ayah-ayah mereka. Bukan mereka sendiri!"
"Akan, Hermione. Akan. Lihat saja mereka sekarang! Mereka hanya membuat onar. Aku tak heran jika besok mereka akan memiliki cap tanda kegelapan di tangannya. Atau mungkin susah punya tapi letaknya tersembunyi. Di pantat, misalnya?"
"Dia memang seorang putra Pelahap Maut, tapi bukan berarti dia—"
"Dia?" tanya Ron, menyipitkan.
"Ma-maksudku, mereka…"
"Astaga, Hermione! Apa kau membela para Slytherin itu?"
"Harry, aku tidak membela siapapun!"
Pembicaraan ini seperti menghabiskan sebagian energinya. Ron menyipitkan matanya. Kepala Hermione benar-benar pening. Sekarang dia benar-benar tak ingin di tengah kebisingan ini. Asrama. Dia ingin kembali ke sana. Keheningan tak nyaman menyelimuti mereka di tengah suara alunan musik pesta. Beberapa tak ada yang berminat berbicara. Hingga akhirnya Harry memecah keabsenan suara itu—
"Sesungguhnya aku tidak peduli dengan anak-anak itu. Malfoy, Crabbe, Goyle…terserahlah apa yang mereka lakukan. Aku tak peduli." Kemudian dia menghela napas. "Pada dasarnya yang aku benar-benar benci adalah Pelahap Maut," katanya dingin. "Dan bonusnya, keluarga mereka memang Pelahap Maut. Tak perlu terlihat secara kasat mata. Aku tahu. Aku yakin suatu saat nanti junior-junior itu akan bergabung. Dan itulah yang membuatku membencinya setengah mati. Kita akan berperang melawan mereka. Perjuangan itu bahkan sudah dimulai. Dua sisi telah bersitegang. Dua ideologi telah bertarung. Masing-masing mertahankannya mati-matian. Takkan bisa disatukan. Apapun yang berhubungan dengan Pelahap Maut, aku takkan dekat-dekat mereka. Oh koreksi, aku muak dengan mereka. Aku berharap mereka mati setelah apa yang mereka lakukan padaku, kita, dan pada semua."
Hermione menggeleng putus asa. "Aku tak mengerti mengapa semua kekonyolan ini terjadi. Mengapa kita tak bisa hidup dalam damai…"
"Tanyakan pada Malfoy. Tanyakan pada Crabbe, Goyle, Lestrange. Tanyakan pada Kau-Tahu-Siapa. Tanyakan pada orang-orang sinting seperti mereka yang mengumbar pemahaman gila bahwa darah murni yang terbaik di dunia," tukas Ron. "Demi Merlin, Hermione, mereka menginginkan seseorang sepertimu menghilang di dunia!"
Hermione menunduk menatap tangannya. Dia tak tahu apa yang harus dikatakan. Pikirannya berkecamuk. Apakah orang-orang seperti mereka menginginkan kematiannya?
Apakah dia mengharapkan diriku hilang dari dunianya?
"Ginny pun bilang aku terlalu berprasangka," kata Ron. "Dan dia mengatakan begitu setelah dia menghela napas dan bergumam 'Ya ampun…Mengapa orang setampan Malfoy harus berada di Slytherin. Aku benar-benar menginginkannya'," olok-oloknya dengan suara menghina. "Merlin! Jika tali persaudaraan bisa diputus, aku bisa saja memutuskan hubungan untuk menjadi kakaknya. Menjijikan…"
"Kini kau yang berlebihan," ujar Harry, tersenyum muram. "Tapi mungkin aku juga akan berpendapat sama jika aku berada di posisimu. Entah mengapa jika ada cewek non Slytherin yang dekat dengan Malfoy atau sekadar mengagumi bahwa dia enak dilihat atau sekadar bercanda tentang aktifitasnya yang berhubungan dengan—er, kalian tahulah maksudku…aku merasa mereka murahan."
"Perkataan kalian kasar sekali…" kata terucap begitu tanpa Hermione sadari.
"Kasar?" cibir Ron. "Coba pikirkan, Hermione. Mereka tahu dia suka mempermainkan cewek, namun mereka tetap menginginkannya? Apa tidak dapat disebut murahan?" tukasnya. "Astaga, Hermione. Ada apa sih denganmu?"
Hermione terdiam lagi, menghindari tatapan Ron. Dia ingin keluar dari tempat ini secepatnya.
"Hermione?" Ron menatapnya curiga.
"Please, jangan…bertanya—Ron…" Hentikan. Tolong hentikan pembicaraan ini, batin Hermione. Kepalanya mendadak pening.
Hermione menyadari dirinya sedang bermain dengan api. Sekian lama dia melakukannya, namun berpura-pura tak tahu. Betapa dia memungkiri bahwa dia telah membohongi diri sendiri bahwa kebersamaan singkat dengan dirinya akan baik-baik saja. Atau hanya sekadar memikirkan dirinya jika mereka tidak bersama. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apa yang sedang dia pikirkan ketika dia mencium Pansy dua-tiga jam yang lalu?
Ya, Hermione melihat mereka berdua dari atas tangga. Sudah lama si Gryffindor tidak melihat Malfoy seperti itu dengan cewek lain. Bukan berarti dia tidak meyakini cowok itu bersama seseorang di suatu tempat. Bagaimanapun juga cowok itu adalah Draco Malfoy. Cassanova. Hanya saja melihatnya secara langsung seperti tadi terasa begitu mengganjal. Hanya sekilas dan tetap saja seperti menusuk hati. Hermione tak mengerti mengapa sesuatu yang dulu biasa kini dapat begitu menyesakkan dirinya.
Ada apa, Hermione? Mengapa kini kau peduli? Dulu kau menghiraukan apa yang dilakukannya dengan cewek-cewek seperti Pansy. Mengapa kini kau terluka?
Mungkin sudah seharusnya Hermione dihempaskan kembali ke bumi setelah begitu lama berada dalam nirwana. Kedamaian yang dia peroleh ketika berada dengan dengan cowok itu hanya sekadar kedamaian semu. Dunia tanpa kegusaran dan penat yang Hermione inginkan di hutan itu hanya sekadar utopia. Sesuatu yang tidak nyata. Sesuatu yang fana. Semua tidak akan baik-baik saja. Begitu indah, begitu menghanyutkan, namun begitu salah. Dan begitu…terlarang.
Di antara semua penghuni laki-laki di Hogwarts, hanya dia dapat membuat jantungnya berdegup kencang seperti itu. Mengapa? Pertanyaan itu terus menari di kepalanya. Brengsek…mengapa dia membuatku begini? Semua terasa begitu menyakitkan melihat sosok itu begitu tak tersentuh. Dia tertangkap pandangan Hermione dari atas tangga. Dengan setelan pesta. Begitu percaya diri. Begitu angkuh. Dan menyerap segala perhatian. Dialah semua gambaran sempurna yang diperlihatkan bagi seorang bangsawan tradisional yang masih menganut tingginya strata bagi mereka yang lahir dari orang tua penyihir. Tepat saat itu dia merasa sudah sepatutnya dirinya disadarkan bahwa sosok itu memang tak tersentuh. Tidak boleh disentuh.
Dan dia bersama Pansy Parkinson. Hermione dapat juga dapat menebaknya dari balik topeng. Hanya cewek itulah yang paling berani mengapit lengan Malfoy seperti itu. Cantik. Percaya diri. Angkuh. Seseorang yang setara. Seseorang yang menganut paham yang sama dari orang tua mereka. Tak dapat dipungkiri mereka tampak diciptakan untuk keberadaan satu sama lain.
Hermione memejamkan mata putus asa. Ketika membukanya, dia melirik ke tempat Pansy duduk tadi. Cewek Slytherin itu telah pergi. Kini tempat itu diisi anak-anak lain. Mungkin dia sedang menyusul Malfoy ke suatu tempat. Mungkin mereka kembali ke asrama. Hati Hermione mencelos. Rasanya begitu hampa.
Apa yang sedang mereka lakukan? Dimana dia? Apa yang sedang cowok itu pikirkan?
MerlinTidak. Ini tidak sehat. Ini sungguh tidak sehat, batinnya.
Hermione ingin menangis. Betapa dia merasa telah mengkhianati sahabatnya dengan berbohong bahwa segalanya baik-baik saja. Semua tidak baik-baik saja. Hermione telah terlanjur terhanyut. Betapa dia telah membiarkan dirinya bermain dengan api.
Merlin! Jika tali persaudaraan bisa diputus, aku bisa saja memutuskan hubungan untuk menjadi kakaknya! Kata Ron.
Bagaimana jika kedua sahabatnya tahu bahwa dia sering mencuri waktu bersama seorang putra Pelahap Maut akhir-akhir ini? Musuh terbesar mereka? Tapi apa yang akan terjadi jika mereka tahu bahwa Hermione menikmati keberadaannya bersama Draco di hutan itu? Apa yang akan terjadi jika mereka tahu bahwa Hermione membalas ciuman Slytherin itu pada malam kekalahan Gryffindor? Dan apa yang akan terjadi jika mereka tahu bahwa Hermione masih ingin melakukannya—lagi dan lagi?
Tidak. Hermione tak ingin persaudaraan itu terputus.
Harry menghela napas. "Lihatlah apa nyaris terjadi dengan keluargamu, Hermione," katanya. "Gara-gara para Pelahap Maut itu, orang tuamu nyaris tewas. Bahkan Cedric dan err—Sirius sudah…" Wajahnya mendadak suram. "Kau tidak bisa terus berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Berpikir bahwa kita dan mereka akan berjabat tangan. Atau berpelukan hangat. Akan ada perang, Hermione. Akan tiba saatnya."
"Harry benar," kata Ron. "Dan demi kebaikan kita, lebih baik kita tidak waspada dan menjauhi semua yang berhubungan dengan Slytherin, dengan Pelahap Maut, atau dengan—"
Tiba-tiba terdengar suara gelas pecah tak jauh dari mereka duduk.
Prang!
Tak jauh dari mereka duduk dua orang anak tengah berkelahi. Keduanya adu jotos dan saling mendorong ke meja di tepi lantai dansa sehingga membuat benda-benda di atasnya terjatuh dan pecah.
"Dengan mereka," sambung Ron sebal seraya menunjuk keributan yang tengah terjadi. "Ampun deh, kapan aku bisa tenang!"
Kejadian itu tentunya menjadi perhatian sebagian murid. Beberapa anak perempuan yang tengah berdansa, kini menjerit. Ternyata seorang anak laki-laki Ravenclaw kelas lima berkelahi. Lawannya yaitu Miles Bletchley, anak Slytherin yang tercatat akan mengundurkan diri dari Hogwarts esok hari. Keduanya tampak bergumul dengan topeng yang sudah entah dimana. Kemudian si Slytherin tampak akan mengeluarkan tongkat sihirnya. Serta merta Harry mengacungkan tongkat miliknya dan berteriak—
"Expelliarmius!"
Tak sampai hitungan detik, tongkat anak Slytherin itu terbang membentur dinding.
Profesor McGonagall datang menuju kerumunan anak. Dia membuka topeng memperlihatkan air muka geram. "Ada apa lagi ini?"
Hermione bersumpah dia melihat kedutan di pelipis profesor yang sedang murka itu. Setelah pembicaraannya dengan Harry dan Ron tadi, rasanya kepala dirinya sendiri ingin pecah. Dia merasa ingin kembali ke asrama secepatnya.
"Potong dua puluh angka untuk Slytherin dan Ravenclaw!" raungnya. "Dan detensi untuk Mr Carmichael dan Mr Bletchley!" tambahnya. "Aku takkan mentolerir segala tindakan membuat onar! Apalagi semua yang dilakukan teman-temanmu, Bletchley."
Miles Bletchley tampak tersenyum sinis. Tentu saja dia tidak kecewa. Besok dia sudah akan mengangkat kopernya dari Hogwarts. Dia tak perlu menjalani hukuman apapun. Sebaliknya, si anak Ravenclaw tampak murka dengan ketidakadilan itu. Dia sempat membela diri dan melempar kesalahan pada di Slytherin. Namun Profesor Mcgonagall tampak tidak peduli.
"Accio tongkat sihir Bletchley!" tukas Profesor McGonagall. Kemudian pandangannya beralih ke si anak Ravenclaw, "Dan tongkatmu juga Mr Carmichael."
Dengan setengah hati, anak itu mengeluarkan tongkatnya dari saku. Tongkatnya bergabung dengan puluhan tongkat sihir yang sudah tampak terlebih dahulu berada dalam genggaman guru Transfigurasi itu.
"Bubar kalian semua. Tak ada yang terjadi. Teruskan pesta," kata Profesor McGonagall pada murid-murid lain yang tampak memperhatikan keributan.
Tentu saja semua masih berbisik-bisik tentang kejadian barusan. Namun tak lama kemudian, suasana kembali menjadi tenang seperti sebelumnya.
Profesor MacGonagall menatap Ron yang baru saja akan mengambil langkah seribu. "RON WEASLEY!" katanya.
"Shit," bisik Ron kalut. "Habislah aku."
"Aku tidak mengangkatmu sebagai ketua jika aku tahu kau akan kabur seperti kelinci," geramnya. "Tahukah kau, banyak sekali anak-anak yang berusaha membuat onar? KAU LIHAT INI?"
Hermione melihat sekitar satu lusin tongkat sihir ditangan wanita itu yang pasti milik para pembuat onar yang sudah disita. Tak heran Profesor McGonagall semarah itu dengan banyaknya kekacauan pada malam itu.
"Seorang prefek menemukan beberapa anak hendak membuat keributan dengan menyalakan kembang api di dalam aula. Untung saja dia sudah menemukannya terlebih dahulu sebelum mereka masuk kesini! Beberapa anak lagi terlihat sedang mempermainkan seorang anak kelas tiga dari Hufflepuff dengan mantra Levicorpus. Dan barusan? Kau lihat kan? LIHAT KAN?"
Hermione menelan ludah. Profesor McGonagall tidak pernah terlihat semarah ini. Jika dalam ilustrasi, Hermione membayangkan wujudnya besar setengah raksasa. Sementara Ron tampak menciut ketakutan.
"Sekarang kuharap kau melakukan tugasmu!"
"Ba-baik, er—Profesor," katanya menundukkan kepala dan buru-buru berlalu.
Hermione dan Harry bertukar pandang dan menelan ludah.
Profesor McGonagall masih geram selepas perginya Ron. "Entah apalagi yang anak-anak kriminal itu lakukan—baik mereka maupun ayahnya sama saja," gerutunya. Hermione langsung tahu dia sedang membicarakan para Slytherin yang akan mengundurkan diri besok. Dan belum pernah dia melihat guru itu bersikap subyektif terang-terangan seperti itu. Setahunya, Profesor MacGonagall selalu bersikap netral ke asrama mana pun. "Bisa kau membantuku, Miss Granger? Taruh tongkat-tongkat ini di dalam lemariku di kantorku. Hanya kau yang bisa membuka lemariku."
"Baik, Profesor," jawab Hermione cepat-cepat.
"Sebaiknya siapkan tongkatmu. Ada banyak anak Slytherin yang berbuat onar malam ini," geramnya. Sebelum pergi, dia mengatakan, "Selamat bersenang-senang."
"Selamat bersenang-senang—my arse," sahut Harry pelan ketika Profesor McGonagall sudah menghilang dari pandangan. "Kurasa aku mau kembali ke asrama saja. Firasatku mengatakan pesta ini tidak akan menjadi lebih baik."
"Benar," sahut Hermione menghela napas, bersyukur akhirnya dia dapat pergi ke asrama.
Mereka berjalan menuju pintu ganda menuju tangga utama. Di luar pintu ganda, beberapa anak perempuan sudah duduk di atas tangga dan memijat pergelangan kaki mereka. Selop berhak itu tergeletak di samping mereka. Tak jauh dari situ, Ron terlihat sibuk memberi arahan. Sekilas dia melemparkan pandangan merananya kepada Harry dan Hermione.
"Kasihan Ron. Kuharap semua Slytherin segera pergi dari sini supaya kita segera bisa hidup tenang," gerutu Harry. "Tak ada yang baik jika berhubungan dengan Sytherin manapun. Mereka hanya sampah masyarakat."
Hermione terdiam.
"Setelah melihat apa yang dilakukan beberapa dari mereka malam ini, aku tak heran jika malam ini mereka mencoba meledakkan Hogwarts sekalian," kata Harry sinis. "Kuharap mereka mati saja."
Hermione menundukkan kepala menatap tumpukkan tongkat di tangannya.
"Setelah ke kantor Profesor McGonagall, kau tetap kembali ke aula?" tanya sahabatnya.
"Entahlah, mungkin aku akan menyusulmu ke asrama."
"Oke," gumamnya tanpa semangat. "Tak perlu bantuan untuk menemanimu?"
Hermione tersenyum. "Tidak, aku takkan lama. Sampai ketemu."

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar