Silahkan baca!
BAB 20
Draco Malfoy menunggu di tengah kegelapan malam. Dia merapatkan syal yang melilit leher. Di sampingnya, Kofu tampak sibuk menjilati bulu-bulu, sesekali menggaruk telinga dengan kaki belakangnya. Sementara itu sang tuan duduk di atas batang pohon yang terjatuh tersambar petir berminggu-minggu lalu, membungkukkan badan dengan lengan menyangga beban tubuh. Mata memandang kosong di depannya.
Pemandangan menakjubkan. Peri-peri hutan. Sesuatu yang diinginkan Putri Gryffindor itu berbulan-bulan yang lalu.
Makhluk hutan mungil itu berpendar dalam kegelapan malam. Tubuh mungilnya menyerupai bentuk manusia, sama-sama memiliki dua tangan dan dua kaki sebesar dua ruas jari. Sayap kupu-kupunya yang transparan, berkepak ringan, dan berpendar keemasan. Kulit mereka seolah mengeluarkan cahaya. Dan kerlap-kerlipnya menjadi satu-satunya sumber cahaya malam itu. Mereka terbang kesana-kemari dalam kesunyian di antara litheas-litheas yang merekah indah.
Ini bukan pertama kali Draco melihat peri hutan. Seseorang dari masa lalu memperkenalkannya untuk pertama kali.
Waktu itu malam musim panas. Draco kecil berlibur di puri persinggahan musim panas milik keluarga di Scotlandia. Pada tengah malam ketika Draco masih tenggelam dalam mimpi, seseorang menyelinap ke kamar Draco lalu membangunkannya dari tidur. Adalah Lynx, kakeknya. Draco bertanya-tanya ketika lelaki tua itu berbisik menyuruhnya segera memakai jubah hangat dan tebal. Sang kakek hanya tersenyum dan menyuruhnya tak bersuaraagar tidak membangunkan yang lain. Apalagi membangunkan ibunya. Narcissa Malfoy takkan setuju putra semata wayangnya keluar dari rumah pada tengah malam seperti itu. Tipe ibu kau-gores-putraku-kau-kubakar-hidup-hidup.
Udara terasa sejuk khas musim panas. Langit terlihat cerah tanpa banyak gumpalan awan yang menutupi bintang. Sambil berjalan ke arah hutan, sang kakek menunjuk ke arah bintang memperlihatkan rasi bintang Draco. Dia yang memilih nama itu untuk sang cucu. Artinya 'naga', kata sang kakek.
Mereka berjalan tidak jauh. Ketika memasuki hutan, sang kakek menunjuk ke sebuah tempat. Dan Draco melihatnya pertama kali di kejauhan, menggali rasa keingintahuan sebagai anak berusia sepuluh tahun. Peri-peri hutan itu berterbangan seperti kunang-kunang. Lynx menyuruhnya tetap diam tak bersuara ketika mereka berjalan perlahan menghampiri. Ketika sampai di balik semak, mereka duduk berdempetan, dalam diam menikmati kerlap-kerlip itu. Hanya duduk di sana dan membiarkan benaknya berkelana liar mendengar sang kakek mendongengkan legenda di balik kisah peri hutan, rasanya menyenangkan sekali.
Draco berani taruhan, kisah legenda itu yang menarik seorang Hermione Granger untuk menanam litheasnya di hutan. The Tales of Aragon and Arwen. Tentang seorang raja manusia yang jatuh cinta pada seorang putri peri. Cerita yang menarik untuk anak berusia sepuluh tahun, namun terasa garing untuk seorang pemuda berusia tujuh belas tahun. Namun anak cewek selalu suka dengan sesuatu yang cengeng. Sesuatu yang norak. Pengaruh hormon esterogen yang berlebihan.
Draco masih mengingat hari itu dalam benaknya. Karena tiga minggu kemudian merupakan hari pertamanya masuk Hogwarts. Namun yang paling membuatnya teringat, adalah ketika dia menerima sebuah surat dari ibunya yang mengatakan bahwa Lynx Malfoy telah meninggal dalam tidurnya.
Kemudian kini Draco melihat makhluk-makhluk itu lagi setelah sekian lama. Rasanya dulu bentuk peri hutan tidak sekecil itu. Namun keindahannya tetap sama. Tak heran gadis itu ingin melihatnya. Hermione berasal dari keluarga Muggle, tentu dia tak pernah melihat hewan-hewan gaib seperti itu.
Draco masih menatap peri-peri hutan ketika telinga Kofu menegak. Kepala anjing itu mendongak sebagai tanda dia waspada. Perlahan tangan Draco terjulur, hendak meraih tongkat sihir yang tergeletak di sampingnya. Kemudian tiba-tiba terdengar ranting patah. Kofu menyalak. Draco menoleh, serta merta menggenggam waspada tongkat sihir, defensif.
Hermione Granger muncul di balik pepohonan, tampak terkesiap.
Draco menelan ludah, setengah terkejut mendapati gadis itu berada di sana—walaupun sebenarnya sudah menduga dia akan datang. Entah itu disebut apa. Keterikatan? Indra keenam? Blah, memangnya ada hal-hal yang seperti itu? Yang jelas Draco tahu adalah bahwa Hermione Granger pasti akan datang ke hutan itu. Karena tempat itulah yang telah memulai segalanya. Dan tempat itu pulalah yang paling tepat untuk mengakhirinya.
"Ma-maaf," kata si Gryffindor gugup.
Untuk sejenak mereka terpaku, saling menatap tanpa mengatakan apapun.
Gadis itu mundur selangkah. Keduanya mengalihkan pandangan. Kecanggungan atas segala hal yang pernah terjadi masih ada.
Dia tak bergerak, masih berdiri dimana dia muncul tadi. Draco mengalihkan pandangan, menatap peri-peri hutan yang berterbangan di atas litheas. Draco merasakan gadis itu merendahkan tubuhnya, duduk di atas rerumputan yang basah dan lembab. Dia mencoba tetap menjaga jarak, seraya merapatkan dan menekuk kaki dengan kedua tangan memeluk lutut.
Kemudian keheningan kembali untuk beradaptasi dengan kecanggungan. Matanya memandang kerlip peri hutan yang melayang-layang.
Ini yang diinginkannya dulu, pikir Draco melirik gadis itu. Untuk melihat mereka di hutan. Sebuah keinginan sederhana yang mengubah segalanya. Peri hutan yang telah menuntun kepada musuh terbesarnya. Yang telah menuntun pada semua kekacauan ini.
Draco tak tahu apa dia harus mengutuk atau berterima kasih pada nasib karena mempertemukannya dengan Hermione Granger. Perlu enam tahun lebih untuk menyadari bahwa gadis itu memang spesial. Banyak orang sudah melihatnya jauh bertahun-tahun sebelumnya. Dia gadis terpintar pada seusianya. Cerdas. Dan setiap orang tampak menyayanginya. Sejak dulu dia spesial dan berbeda dengan gadis-gadis yang lainnya. Namun Draco Malfoy tidak pernah peduli. Dia lahir dari pasangan Muggle, maka dia harus dipandang sebelah mata.
Lahir dari pasangan Muggle. Menyayangkan mengapa gadis itu harus lahir dari mereka. Bukan berasal dari seseorang dari keluarga seperti Pansy. Membatin mengapa Pansy tidak bisa seperti dirinya. Akan jauh lebih mudah jika Hermione adalah tipe-tipe gadis yang dulu Draco sering temui. Berbisik di telinga mereka, membisikkan sesuatu yang membuat mereka senang, lalu mengajak mereka ber-one night stand. Namun Hermione Granger memang spesial. Betapa inginnya Draco melakukan sesuatu seperti yang dilakukannya pada gadis-gadis lain. Mencium bibirnya. Merapat ke tubuhnya. Dan menghirup aromanya.
Draco melirik ke arah Granger. Gryffindor itu menatap kosong ke arah peri-peri hutan di depannya. Rambutnya tergerai. Duduk membisu memeluk lututnya erat. Tampak rapuh dan polos.
Ingin rasanya Draco menghampirinya, melepaskan sesuatu yang adiktif secara konsisten hadir di setiap kehadirannya. Namun dia tahu dirinya tak sanggup melakukan apa yang dikehendaki benaknya sendiri. Tidak. Tidak. Karena gadis itu terlalu spesial. Dia bukan seseorang yang patut diperlakukan seperti itu. Nasib telah sedikit berbaik hati padanya membawanya ke sini, maka dia harus sudah puas hanya dengan bersamanya.
Draco mengalihkan pandangan untuk mengusir keinginannya itu. Entah sudah berapa lama mereka terdiam di sana. Mungkin sejam. Bahkan Kofu hanya berbaring di atas tanah dan menjilati bulu-bulunya. Kemudian kembali berbaring memejamkan mata.
"Sisa kisah Aragorn dan Arwen," kata Draco kemudian, merasakan gadis itu terkejut mendengarnya bicara. "Inilah yang ingin kau lihat, bukan? Akhirnya kau melihatnya."
"Cinta terlarang Aragorn dan Arwen membawanya ke makhluk-makhluk ini."
"Cinta? Itu hanya dongeng cinta untuk menyenangkan anak perempuan sebelum tidur," kata Draco. "Orang-orang bodoh mereka itu. Yang benar adalah egoisme. Sang raja yang egois membuat sang putri meninggalkan sesuatu yang seharusnya menjadi jalannya, yaitu pergi bersama kaumnya."
Granger menundukkan kepala. "Seandainya ada situasi yang memungkinkanku juga bisa bertindak egois."
Pernyataan itu menusuk hatinya. Namun Draco tak berdaya untuk membenarkan atau menyangkal. Niatnya ke tempat ini bukan untuk menyalahkan situasi dan berharap dunia lebih bersahabat dengannya. Hanya satu hal sederhana yang ingin dilakukannya. Draco ingin melihatnya.
"Setelah semua tindakan yang kulakukan untuk menggoyahkanmu, aku bersyukur kau tetap keras kepala mempertahankan litheasmu, Granger," kata Draco kemudian. Mata tetap menatap ke peri hutan yang beterbangan. "Aku bersyukur kau tetap melakukannya."
"Begitu?"
"Litheas itu membawa kita ke sini."
Akhirnya Draco mengatakannya. Dari semua perkataan penuh sarkasme, ejekan, dan cacian yang dulu pernah dilontarkannya, hanya kata-kata barusanlah yang paling benar. Dan Draco agak takjub mendapati dirinya bersungguh-sungguh mengatakannya. Perkataan itu sungguh terasa benar. Bahwa dia tidak menyesali mereka pernah berbagi ruang dan waktu bersama. Namun pada akhirnya berbagi rasa sakit yang sama. Sesuatu yang membuat Draco merasa hidup dan manusiawi.
Jadi. Tak ada sesal.
Sejenak tak ada yang bicara. Draco telah mengatakan hal yang ingin dikatakannya. Bahwa dirinya senang karena waktu telah memberinya kesempatan membawa Hermione Granger pada dirinya. Kini rasanya beban di pundaknya seolah terangkat.
"Tapi mengapa akhirnya harus seperti ini?" tanya Granger.
Cowok itu tak menjawab, masih memandang peri hutan yang berterbangan di depan. Kemudian dia menundukkan kepala menatap tangannya. "Entahlah. Mungkin nasib sedang mencoba mempermainkan kita. Dia sedang tak ada kerjaan sehingga memutuskan untuk bermain-main dengan perasaan manusia."
"Kuharap dia tahu bagaimana rasanya." Draco mendengar nada sinis dalam suara gadis itu.
Dia menatap Granger. Ada kemarahan dalam diri Gryffindor itu. Draco tak punya waktu untuk ikut merasa marah sekarang. Atau komplain dengan keadaan. Dia lelah. Gusar dengan semua ini hanya akan membawanya berputar-putar pada rasa kesal yang takkan berakhir. Dia tak sanggup menghadapi Hermione Granger yang seperti itu karena hanya akan menarik Draco kembali ke dalam rasa marahnya dulu.
Malam belum begitu larut. Namun mungkin memang sudah waktunya untuk pergi. Gadis itu harus segera kembali ke kastil sebelum gerbang ditutup dan kembali menjadi seorang murid yang baik. Dia akan selalu menjadi seperti itu: panutan dan murid teladan. Masalah seperti ini tidak boleh mengganggunya lagi. Dan sudah pasti tidak akan terjadi setelah mereka meninggalkan tempat ini untuk saat itu dan selamanya.
Maka Draco mulai bangkit dari batang pohon. Kofu mengikuti tuannya, ikut beranjak bangun.
"Kau pergi?" tanya Hermione.
"Ya. Apa yang kuinginkan ketika datang kemari, sudah terpenuhi," katanya. "Tadi pagi aku hanya ingin berniat menghabiskan malam di sini sekadar menenangkan diri. Lalu keinginanku bertambah. Aku ingin menemuimu. Dan keinginan itu juga terpenuhi karena kau telah datang." Dia menghela napas. "Kau tahu aku orang yang tidak pernah puas, Granger. Setelah itu pun, aku menginginkan yang lain. Kini aku ingin menciummu."
Si Gryffindor menundukkan kepala.
"Nah," sahut Draco. "Sudah malam, Granger. Lebih baik kau segera kembali ke kastil. Pintu gerbang akan segera ditutup."
Hermione membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu. Kemudian menelannya lagi. Draco berharap apapun yang akan gadis itu katakan bukanlah untuk menyuruhnya tetap tinggal. Dan ternyata memang bukan. Gadis itu hanya berkata, "Dan- dan kau?"
"Aku…" katanya seraya mencoba mencari sebuah alasan. Namun dia malah menemukan sebuah fakta. "Aku mau mencari udara."
Sosok itu menghilang di balik pepohonan. Draco Malfoy. Sang musuh. Yang tak tersentuh. Telah menjadi bagian dari dirinya.
Aku ingin mencari udara—
Katanya. Hermione merasa pernyataan cowok itu benar. Betapa dirinya juga ingin bernapas sekarang. Udara terasa pekat dan begitu menyesakkan. Ketika Draco Malfoy dan anjingnya meninggalkan tempat itu, seolah udara menyusut tak tersisa. Hermione tahu takkan ada lagi sosoknya di hutan itu dalam waktu-waktu ke depan. Hatinya telah diberikan kepada seseorang dan kini orang itu akan membawanya pergi.
Mereka saling mengenal dengan cara dan akhir yang tak terduga. Mungkin Draco benar, seharusnya Hermione juga bersyukur. Dia bisa bertemu dengan seorang pemuda. Dan jatuh cinta. Dan merasakan patah hati. Dan tegar menghadapinya. Sesuatu yang mengingatkan bahwa kini dia telah beranjak dewasa. Akhirnya dia tahu maksud Ginny pada bagian 'kau tersiksa, namun kau menikmatinya.'
Jadi, akhirnya harus begitu. Tak ada sesal.
Namun ada satu yang yang ingin dilakukannya. Keinginannya datang ke hutan itu adalah untuk bertemu dengan Draco sekali lagi. Hanya sekadar duduk dan berbagi udara yang sama. Kemudian menunggu waktu, menanti matahari muncul di timur. Ya, bersamanya sekali lagi. Maka setelah menetapkan hati, Hermione bangkit dari duduknya. Kemudian berjalan ke arah tadi Draco menghilang, masuk lebih dalam ke dalam Hutan Terlarang.
Warna-warna gelap yang menyelimuti. Hewan malam yang tampak hati-hati bersuara. Tak ada ramai suara kicau burung yang bersenandung di atas pohon. Tak ada warna-warni hutan yang terlihat di bawah cahaya matahari. Malam itu cukup dingin walaupun angin seperti tidak berhembus karena terhalang pepohonan besar yang mengelilingi. Tak terlihat bintang berpendar di atas sana. Langit malam suram memancarkan seberkas sinar bulan keperakan di balik awan. Cahayanya terblokir dedaunan yang lebat. Dan rasanya sunyi sekali.
Hermione berjalan hati-hati di antara akar-akar yang menyembul di atas tanah, merasakan hatinya bergetar. Bangunan bobrok Shrieking Shack terlihat di balik pepohonan. Malam hari tempat itu jauh lebih menyeramkan. Kaca-kaca jendela telah pecah seolah pernah terjadi sebuah kejadian mengerikan di sana. Atap-atap rusak dan dinding-dinding tampak kusam menyeramkan. Sulur-sulur tanaman rambat dan cahaya bulan membuat bangunan itu tampak dingin dan suram membangkitkan imajinasi gambaran rumah dalam cerita horor. Namun rasa takut berada dalam urutan terakhir dalam daftarnya saat ini.
Dia menaiki undakan rumah, membuka pintu yang berderit. Kofu berlari keluar dari bangunan dan Hermione membiarkannya lewat. Hewan itu menyalak sekali, kemudian berlari ke arah bunyi gemeresik di balik semak. Mata Hermione kembali ke dalam, mencoba beradaptasi dengan kegelapan. Cahaya tidak dibutuhkan. Kegelapan membantunya untuk mengaburkan batas antara yang benar dan yang salah.
Langkahnya terangkat ketika menaiki tangga dengan perlahan. Hatinya berdegup kencang. Dan semakin kencang ketika dia hampir mencapai lantai atas. Kemudian dia melihat seberkas sinar yang keluar dari sebuah kamar. Hermione menahan napas. Ada Draco di dalam sana.
Hermione tahu cowok itu sering menghabiskan waktu di kamar itu—kamar yang sama dengan kamar yang digunakan Granger untuk mengobati luka cederanya akibat kecelakaan dulu. Memang masih jauh dari rapi dengan perabot yang reot dan berantakan. Namun tetap saja ruangan itu terlihat yang paling bersih di antara ruang yang lain. Menunjukkan bahwa ada seseorang yang sering datang ke sana untuk berbaring atau melakukan segala sesuatu.
Hermione berdiri di pintu kamar. Dia tahu dirinya pasti terlihat kacau. Kacau. Tak ada kata yang lebih tepat lagi. Dan jantungnya berdegup kencang ketika melihat si Slytherin berdiri di samping perapian yang menyala. Tatapannya kosong menatap api yang berkobar.
Seperti merasakan kehadirannya, cowok itu menoleh ke arah pintu. Matanya melebar tampak terkejut.
Sang Gryffindor menahan napas.
"Hermione," katanya. Nama itu meluncur dari bibirnya. "apa yang…"
Mau bertanya apa dia? Apa yang dilakukannya di sana? Mengapa belum kembali ke kastil? Namun Hermione bersyukur pertanyaan itu tak diteruskannya. Karena sesungguhnya, dia tak tahu harus menjawab apa.
Lalu Hermione menatap lantai, merasakan tubuhnya gemetar. Tangan memeluk diri, memaksanya agar tidak gemetar. Kemudian matanya kembali memandang cowok yang berdiri di samping perapian itu. Keinginannya untuk duduk di ruangan itu berbagi udara yang sama dengan Draco Malfoy, kini hilang sudah. Kini keinginannya bukan sekadar duduk…
"Aku…aku ingin mencari udara," bisiknya parau, merasakan mungkin dirinya tak dapat mengendalikan diri lagi.
Untuk sejenak tak ada yang berani berkata-kata maupun bergerak. Tenggorokannya tersekat. Ada dorongan di hatinya untuk bergerak. Dan Hermione enggan melawannya. Maka dia memberanikan diri untuk melangkahkan kaki. Menghampiri Slytherin itu. Perutnya kini terasa campur aduk. Melihat cowok itu tampak terpaku, menelan ludah.
"Kastil akan dikunci jika kau tidak buru-buru," katanya ketika Hermione berdiri di depannya. Tangan si Slytherin terkepal erat di sisi tubuhnya seperti sedang menahan diri.
Hermione menatap mata kelabu itu. Memberanikan diri lagi mengangkat tangannya perlahan, terjulur ke arah wajahnya. Tangannya terhenti di udara—keraguan menyelinap—kemudian melanjutkan perjalanannya lagi, menyentuh ke pipi Draco.
"Aku mencari udara," ulang Hermione dengan suara bergetar. Merasakan air mata menggenang di pelupuk mata. "Aku tak ingin kembali ke kastil malam ini."
Draco membuka mulut, kemudian menutupnya lagi seperti tak tahu apa yang harus dikatakan. Dia menatapnya, tampak masih tak mengerti. Hermione memperpendek jarak tubuh mereka, telapaknya masih gemetar. Kemudian memejamkan mata—
Bibirnya telah menemukan tujuan.
Hermione mengingat rasanya mencium Draco Malfoy. Sama seperti dulu, sesuatu seperti meledak dalam tubuhnya. Ada sesuatu hal yang terasa hidup. Begitu bernyawa. Hermione membawa telapak tangannya ke leher Draco. Menariknya lebih dekat. Perlahan. Lembut. Memejamkan mata untuk merasakan. Dia tahu jika dia membuka mata, mungkin dia harus melihat dunia nyata. Jika dia melihat dunia nyata, maka dia harus menghentikan sentuhan itu.
Draco menarik dirinya, sedikit panik ketika menyadari Hermione meneteskan air mata. "So- sori," katanya. Tapi untuk apa? Sori karena tidak mampu manahan diri? Membuatnya menangis? "Hermione…" Kening bersandar ke kening Hermione.
Tangan si Gryffindor gemetar mengusap pipi cowok Slytherin itu perlahan.
"Jangan berhenti. Aku baik-baik saja."
"Tapi…"
"Aku tak ingin kembali ke kastil malam ini," katanya sungguh-sungguh.
Saat itulah Draco pasti mengerti maksudnya. Dan jantung Hermione berdegup semakin kencang. Kemudian bibirnya kembali. Seketika itu juga sang Slytherin seolah tak dapat mengendalikan dirinya lagi, menekan tubuhnya kepada si Gryffindor. Bibir mereka saling bergerak menyambut, membiarkan dirinya ikut terhanyut. Waktu seakan abadi sehingga tidak peduli dunia nyata.
Hermione membuka bibirnya, membiarkan lidah cowok itu menyusup… Membiarkan merasakan… Mencari… Menjelajahi… Menemukan… Menyelidiki… Merasakan… Kali ini dia takkan menghentikannya seperti sebelum-sebelumnya. Dan sama seperti sebelumnya, sesungguhnya dia tak pernah ingin kecupan itu berakhir. Ketika di Hutan Terlarang. Ketika malam kemenangan Slytherin. Ketika pesta dansa musim semi. Tidak, Hermione tak pernah menginginkannya berakhir. Hanya saja, dahulu dia masih harus menghadapi dunia nyata.
Namun saat ini dunia nyata tidak penting.
Bibirnya terasa semakin putus asa. Hermione tak menyadari bahwa Draco telah membimbingnya ke tempat tidur tanpa sedetik pun melepaskan diri. Beberapa saat kemudian, sesuatu yang empuk terasa di bawahnya. Mereka telah berbaring di atas ranjang. Tentu saja dia tak ingat proses kapan dan bagaimana. Bibirnya, lidahnya, napasnya, membutakannya, mengaburkan daya pikirnya. Dan entah berapa lama Hermione menahan napas. Ciuman itu menyedot oksigen dalam paru-paru. Napasnya kian berat, hasratnya kian mendesak, napasnya memburu. Tangan cowok itu menyusuri sisi tubuhnya, merasakan lekuknya, membelai punggungnya, sekali lagi membiarkan merasakan, mencari, menjelajahi, menemukan, menyelidiki, merasakan. Lagi.
Hermione menarik dirinya mencari udara. Namun kebutuhan itu tak berkurang sedikit pun. Bibir Draco bergerak ke garis rahangnya, bawah telinganya, lehernya, kemudian menggigit dan menyesap. Membuat Hermione memberanikan diri untuk bergerak menarik sweter kasmir yang kenakan. Ketika sweter itu mencapai dada, mendadak dia merasakan tatapan cowok itu menarik diri.
Mata kelabu itu menembus matanya menyiratkan pandangan bertanya dan waspada.
Hermione Granger menyusupkan tangan ke belakang leher cowok itu, menariknya kembali ke bibirnya. Itu cukup memberi keberanian kepada si Slytherin untuk meneruskan. Seketika itu, Draco mengerti maksudnya.
Waktulah yang membimbing semua gerak tubuh.
Setelah itu, Hermione tahu telah tiba saatnya. Saat dia harus menyerah. Menyerah untuk berharap. Menyerah untuk berpikir. Menyerah untuk membutuhkan. Cepat atau lambat, toh ini pasti akan berakhir. Dan jika dia harus menyerah terhadap segala tentangnya, maka dia hanya ingin merindukannya. Membiarkannya tertinggal di masa lalu. Dunia kecil mereka, dimana tak ada orang yang tahu.
Dan Hermione mengatakan sesungguhnya, bahwa dia benar-benar tidak ingin kembali ke kastil malam itu. Maka dia tidak meninggalkan Shrieking Shack, tidak meninggalkan ruangan itu. Hanya malam ini. Dirinya telah memilih.
Seprai putih tempat tidur lusuh dan berantakan. Udara terasa panas oleh keringat.
Hermione Granger tidak meninggalkan ranjang di malam itu.
Dan Draco Malfoy berada di sisinya.









0 komentar:
Posting Komentar