RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi Chapter 11

Silahkan baca!

BAB 11
Draco tak membiarkan dirinya bernapas. Jika dia bernapas, air akan memasuki paru-parunya. Dia pernah tahu bagaimana rasanya. Dadamu akan terasa sangat panas terbakar seakan tenggorokan dikeluarkan melalui mulutmu hidup-hidup. Secara instingsif, kau akan berusaha untuk mencari oksigen namun yang kau dapatkan adalah kesengsaraan dan rasa sakit yang tak kunjung hilang. Semakin kau mencari udara, semakin sadar bahwa mungkin hidupmu tak lama lagi. Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu membawamu ke kematian. Ya, Draco tahu.
Namun saat ini bukan saatnya. Kematian seperti itu terlalu menggelikan untuknya.
Draco keluar dari permukaan air untuk mencari udara. Napasnya terengah-engah. Dia mengusap wajah dengan telapak tangannya untuk menyingkirkan aliran air. Semilir angin terasa begitu dingin di kulitnya. Namun Draco hanya memejamkan mata, mencoba menikmati mandi berendamnya. Air hangat itu terasa nikmat. Keheningan di kamar mandi tua di Shrieking Shack, perlahan-lahan membawa ingatan merasuk ke dalam benaknya lagi.
Ingatan tentang percakapan di di kediaman Malfoy.
"Kita masih perlu menunggu lebih lama lagi namun rencana sudah ditetapkan oleh Yang Mulia," kata ayahnya dengan senang. Pisau dan garpunya saling berkoordinasi memotong daging steak. Draco belum pernah wajah ayahnya sesenang itu. "Inferi-inferi kita semakin banyak. Penyerangan yang akan dilakukan akhir pekan nanti, direncanakan akan menghasilkan lebih banyak lagi inferi. Segalanya berjalan lancar. Kita memang masih harus menunggu beberapa bulan lagi untuk menjalankan rencana utama, tapi kita sudah dapat bergembira sekarang."
Draco duduk di atas bangku kayu jati yang berukir di ruang makan besar kediaman Keluarga Malfoy. Tangannya menggenggam garpu, menusuk-nusuk daging steak di atas piringnya. Tak satu pun suapan masuk ke dalam mulut karena dia hanya memainkan makanan tanpa berminat melahapnya. Sepanjang makan malam Lucius berceloteh mengenai pengalaman di kantor. 'Pengalaman di kantor' Lucius berbeda dari ayah-ayah yang lain di seluruh negeri. Ada dua pengabdian yang harus dijalaninya. Pengabdian semu di kementrian yang nantinya akan menjadi bumerang ketika pengabdian utamanya kepada Lord Voldemort segera dipenuhi dan merombak kementrian.
"Draco," kata Lucius kemudian. "Kau tetap di Hogwarts sampai rencana itu dilaksanakan, tentu saja. Benar-benar pengecut, kau belum mau bergabung dengan Ayah. Tapi tak masalah, toh kau juga takkan bersekolah di sana lagi setelah Hogwarts tidak ada nanti. Kau akan bersekolah di tempat yang lebih layak. Ada banyak sekolah yang lebih bagus daripada Hogwarts—yang lebih kompeten menyeleksi murid-murid yang lebih layak ketimbang darah lumpur-darah lumpur yang menjijikan."
Darah lumpur. Draco tumbuh besar dengan didoktrin bahwa darah lumpur adalah penyihir yang paling menyedihkan di dunia. Dia merasa hal itu belum berubah. Darah lumpur memang menjijikan.
Menjijikan
"Kudengar kau mengalahkan Harry Potter dalam pertandingan Quidditch?" tanya Lucius kemudian
Draco agak terkejut ayahnya mengangkat topik itu.
"Aku tidak tahu apakah si Goyle senior itu hanya ingin menyenangkan hatiku atau memang"
"Aku memang mengalahkannya," potong Draco.
"Bagus, Draco. Memang seharusnya begitu." Dia melahap sepotong daging dari garpunya.
Memang harusnya begitu
Komentar 'memang seharusnya begitu' terasa agak mengganjal di benaknya. Jauh dari lubuk hati Draco, dia senang ayahnya memberikan perhatian. Dan perhatian itu menenangkan. Terasa normal—seperti hubungan ayah dan anak yang agaknya terasa asing untuk Draco. Dia merasa antara dirinya dan Lucius seakan ada kaitan yang aneh. Dia mengagumi ayahnya dan di lain pihak dia merasa asing.
Draco selalu ingin menjadi seorang Malfoy sejati. Suatu saat lukisan dirinya akan terpajang di deretan lukisan kepala keluarga Malfoy yang termasyur di koridor utama rumah megah ini. Penuh prestisi. Penuh harga diri. Penuh intimidasi. Deretan lukisan yang menunjukkan segala kejayaan Klan Malfoy. Draco sangga sebagai seorang Malfoy sekaligus terintimidasi dengan kemasyurannya. Sebuah kontradikisi yang hebat.
Apa aku bisa menjadi seorang Malfoy yang Ayah harapkan? pikirnya tiap kali.
"Bagaimana dengan di darah lumpur kesayangan Dumbledore tua itu?"
Draco menghentikan memainkan daging steaknya. Matanya menatap lurus namun menerawang ke atas meja—menghindari pandangan ayahnya. "Darah lumpur…Hermione Granger?"
"Ya, darah lumpur itu," kata Lucius tak sabar. Dia menyeruput anggur dari gelas kristal. "Dia terpintar di Hogwarts, katanya. Omong kosong. Mengapa kau tidak dapat mengalahkannya? Kau tidak becus, Draco. Padahal kau adalah penyihir berdarah murni. Kau patut dikasihani."
Kau patut dikasihani.
Aku patut dikasihani, pikir Draco. Dia merasa ada sebilah pisau menyayat perlahan di hatinya. "itu bukan salahku. Dumbledore—"
"Dumbledore membiarkan para darah lumpur bersekolah di Hogwarts. Benar-benar kesalahan fatal," potong Lucius. Nada suaranya menjadi sedingin es. "Tapi setahun-dua tahun lagi, kita tidak akan lagi melihat darah lumpur di dunia penyihir seperti sekarang. Mereka sama rendahnya dengan muggle, maka dari itu dunia mereka memang di sana. Darah lumpur memang harus disingkirkan."
Darah lumpur memang harus disingkirkan. Granger juga harus disingkirkan.
"Dunia sihir memang diharuskan untuk golongan seperti kita saja. Mengerti, Draco?"
Draco memainkan kata-kata itu lagi dalam benaknya seperti yang telah didoktrinkan sedari kecil. Darah lumpur memang harus disingkirkan. Darah lumpur memang harus disingkirkan. Kata-kata itu terasa nyata. Namun ketika itu, Draco tidak menyadari bahwa batas itu perlahan memudar dalam dirinya. Begitu samarnya, sehingga dia belum merasakan perbedaan. Maka seperti waktu-waktu sebelumnya, Draco masih mendapati dirinya menjawab dengan jawaban yang sama—
"Mengerti, Ayah."
Lucius mengelap bibirnya dengan serbet, meminum sisa anggur yang terdapat dalam gelas kristalnya. Dia menggeser kursi, berdiri dengan gaya aristokrat. Matanya menatap Draco dengan dingin. "Draco," katanya. "Hentikan makanmu. Kita akan memulai latihan lagi."
"Baik, Ayah."
Tubuhnya terasa sakit dengan latihan keras yang dilaluinya tadi malam. Luka-luka kecil sudah menghilang sejak kemarin, namun luka-luka besar tampak menyisakan segaris halus bekas luka. Biasanya bekas luka itu akan hilang dalam waktu dua hari sehingga orang-orang tidak akan mempertanyakannya. Yang paling membebaninya adalah rasa lelah. Latihan Quidditch yang dijalaninya beberapa saat lalu semakin memberikan beban pada tubuhnya. Namun seperti sebelum-sebelumnya, latihan itu menghilangkan beban pikiran yang mengganggu.
Air hangat di Shrieking Shack agak mengurangi rasa letih itu. Udara terasa sangat dingin di kulitnya yang basah. Musim dingin yang telah tiba dua-tiga minggu yang lalu membawa semilir angin membekukan melewati kaca jendela Shrieking Shack yang sudah pecah. Angin yang sangat menenangkan—namun berkali lipat membuatnya bertambah dingin.
Draco melongo ke dekat jendela dari bathtubnya. Dia membuat siulan melengking untuk memanggil Kofu. Perlu waktu beberapa saat sebelum mendengar langkah ringan seekor anjing Siberian Husky yang masuk ke dalam kamar mandi yang luas itu.
Kamar mandi di Shrieking Shack itu jauh berbeda dengan kamar mandi prefek di Hogwarts. Tak ada kran busa mandi beraneka ragam wangi. Krannya sudah tak berfungsi. Draco harus menggunakan sedikit sihir untuk menciptakan air hangat secara manual dari tongkatnya. Ukuran bathtub itu jelas jauh lebih kecil daripada yang terdapat di kamar mandi prefek.
Sebenarnya kamar mandi itu tak ada yang benar-benar istimewa. Ruangan itu sama tak terawatnya dengan bagian rumah Shrieking Shack yang lain. Catnya yang putih sudah terkelupas di sana-sini dan warnanya pun sudah kusam. Debu menumpuk di tempat-tempat yang tak tersentuh. Lantai kayunya pun sudah pasti akan berderit-derit jika diinjak. Dan jendela-jendelanya yang besar dan kaca-kacanya yang pecah jelas takkan menyediakan privasi yang yang diharapkan. Mengingat takkan ada orang yang melewati rumah tua itu, Draco tak memperpedulikannya. Ruangan itu toh di lantai dua dan takkan ada orang yang repot-repot untuk memanjat ke atas. Dan jendela yang besar itu justru tak memberikan batasan akan dunia luar.
Hutannya.
Tempat ini adalah salah satu tempat favoritnya setelah menguras tenaga terbang dengan Windflash atau melakukan sejumlah sit-up dan push-up. Air hangat untuk mandi berendam begitu menenangkan. Otot perlu direlakskan. Pikiran perlu ditenangkan. Dan Kofu harus dimandikan.
Anjing itu berdiri di dekat pintu masuk. Ekornya bergoyang riang. Draco menyipitkan matanya untuk melihat sedikit noda di moncongnya, sedikit curiga. Dia memberi kode pada Kofu agar menghampirinya di dekat bathtub. Draco menjulurkan tangan untuk memeriksa noda itu. Dia tidak pernah heran jika noda itu berwarna merah yang berarti dia habis berburu. Noda itu berwarna keputihan dan berbau seperti yoghurt.
Dan tidak mungkin ada yoghurt di Hutan Terlarang.
"Dia lagi, Kofu?" tanya Draco jengkel. Dia mengangkat tubuh anjingnya yang berat ke dalam bathtub. Bathtub yang tidak begitu besar itu, terasa semakin kecil karena berbagi tempat dengan Kofu. Draco membasahi bulu-bulu Kofu—anjing itu bergerak-gerak ingin melepaskan diri karena benci air. Draco melongo keluar jendela, mencari sesosok yang mungkin berada di halaman Shrieking Shack. Namun tidak ada seorang pun. "Dia berhasil menyogokmu kali ini, kan?" tuduh Draco. "Kenapa kau mau, anjing bodoh? Kau tahu, aku bisa memberimu yoghurt lebih banyak." Namun diam-diam Draco mengakui dirinya jarang membawakan anjing itu makanan. Draco membebaskan anjingnya untuk mencari makannya sendiri.
Kurang ajar, batin Draco. Granger sedang berusaha menarik perhatian anjingnya.
Kofu menjilati wajah Draco.
Draco tidak tahu usaha apalagi untuk mencegah Granger mengunjungi wilayah pribadinya lagi. Mungkin…biarkan saja gadis itu datang. Biarkan dia datang selama dia tidak mengganggu ketenangan Draco. Toh, akhir-akhir ini Granger memang menghindari tatapannya seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi apa? Draco yakin masalah itu masih berhubungan dengan malam itu. Dan dia tidak mengingat suatu hal pun selain sebuah sekelebat mimpi yang mustahil. Mimpi yang siapa saja akan menertawakannya jika Draco memberitahu.
Apapun itu, kini Draco tidak mau mengambil pusing lagi. Draco mendapati dirinya menikmati kegelisahan Granger jika dia mengungkit-ungkit masalah itu. Pernah suatu hari pada pelajaran Ramuan, Draco dipasangkan dengan Granger oleh Snape. Gadis itu sering kali menghindari Draco. Namun kali itu dia melarikan diri lagi. Draco mengamatinya bertindak canggung dan terus bersemu merah. Gadis itu tampak sewot sendiri pada beberapa hal kecil—mengomel seperti nenek tua jika Draco terus memandanginya dan menyuruh mencari 'kegiatan lain yang bermanfaat'. Dan Granger menjadi begitu ceroboh sehingga karena suatu hal, tikus putih hidup yang dipegangnya untuk diambil air liurnya tak sengaja masuk ke dalam pakaiannya sendiri. Draco tertawa puas sekali hingga air matanya keluar.
Draco tersenyum sendiri ketika mengingat kembali peristiwa itu di dalam bathtubnya.
Setelah puas berendam beberapa saat, Draco bangkit lalu mengambil tongkat sihir. Dia tidak menyiapkan handuk sehingga memerlukan mantra sederhana untuk mengeringkan tubuhnya dan Kofu. Setelah berpakaian, dia menuruni tangga. Melirik arlojinya, Draco menyadari dia sudah terlambat rapat prefek.

Hermione berbalik menuruni tangga berputar di kantor Dumbledore, sementara Zabini mengikuti di belakangnya. Pertemuan dengan Dumbledore berlangsung cukup baik karena Zabini lebih banyak memilih setuju dibandingkan dengan membatah atau memberi usulan. Dia memang bukan tipe-tipe pembuat onar, tapi jika dapat dikatakan dia lebih suka menikmati teman-temannya yang berbuat onar.
Mereka berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelas transfigurasi untuk rapat prefek. Benar-benar menggelikan karena mereka harus berbicara sementara mereka menjaga jarak lima meter satu sama lain.
Hermione berjalan di depan lalu sejenak menoleh untuk berbicara, "Kau pikir siapa yang harus menjadi ketua panitia pesta dansa musim semi nanti?"
Zabini mengangkat bahu.
"Apa Ernie oke?" tanya Hermione lagi.
"Terserah saja."
Hermione menggeram. "Kau tidak membantu apa-apa," gerutunya. Dia mempercepat langkahnya. "Seharusnya kau memberi bantuan atau usul yang berguna untuk kelancaran. Konstribusi apa yang telah kau berikan selain 'terserah' atau 'aku setuju'?"
"Oke, baiklah?" Zabini mengangkat alis. Hermione memutar bola matanya. Sebelum dia melontarkan komentar sinis, Zabini memotong, "Di kantor Dumbledore tadi aku sudah memberi pendapat, Granger. Kau tampaknya senang berbicara makanya aku memberikanmu kesempatan lebih banyak."
"Senang bicara?" Hermione menatapnya untuk berkonfrontasi.
Zabini berjalan lebih cepat melewati Hermione. "Ya ampun, Granger. Tutup mulutmu sebentar saja, oke? Astaga kau cerewet sekali," geramnya.
"Cerewet—aaarrgg!"
Ini sebabnya Hermione tak ingin berhubungan dengan Slytherin manapun. Seakan tak akan ada kata baik-baik dalam percakapan mereka. Hermione bertanya-tanya, bagaimana para Slytherin itu saling berkomunikasi satu sama lain. Apakah ada bahasa khusus atau semacamnya. Yang jelas Hermione tidak bisa menggunakan bahasa standar beradab sehari-hari. Dua dimensi itu. Slytherin-Gryffindor. Semuanya seakan dari dunia yang berbeda. Bukan dunia yang dia tinggali. Dunia yang penuh kesinisan, kejahatan, dan kesombongan.
Ada baiknya jika Hermione menganggap dunia lain itu tak ada. Hal itu memudahkannya setiap kali dia harus berhadapan dengan Slytherin. Anggap tak ada. Jangan pikirkan apa-apa.
Hermione merasa lorong-lorong gelap menuju ruang transfigurasi terasa lebih panjang dan tanpa akhir. Pada pertemuan dengan kepala sekolah siang tadi, Dumbledore memutuskan untuk mengadakan acara pesta dansa musim semi. Ada sekolah sihir yang bubar gara-gara serangan Pelahap Maut. Tujuh orang harus pindah ke Hogwarts dan membuat berbagai spekulasi buruk beredar. Empat orang sudah mengundurkan diri lagi. Pesta dansa ini diharapkan dapat memberikan hiburan di tengah suasana suram yang akhir-akhir ini menyelimuti Hogwarts sekaligus untuk mendekatkan ketujuh murid pindahan dengan murid lama Hogwarts.
Yang membingungkan sekarang adalah siapa yang bisa menjadi ketua pelaksana. Pembicaraan mereka selama perjalanan ke ruang transfigurasi tidak menghasilkan keputusan apa-apa. Hermione memang sudah mengira akan begitu. Penyelesaian yang lebih baik adalah biarkan keputusan diambil pada saat rapat nanti. Dan sementara inidiam adalah pillihan bagus untuk mereka. Anggap saja mereka sedang berjalan sendiri di koridor itu. Yang pasti hal itu sangat membantu karena meminimaliskan pembicaraan di antara mereka—walaupun jelas tidak akan mudah. Dengan begitu tak ada argumen, tak ada celaan, tak ada perkataan dengan nada tinggi. Dan tak ada energi yang terkuras.
Benar-benar tidak mudah karena tak lama kemudian, mereka bertemu seorang murid Hufflepuff yang melanggar peraturan. Benar-benar si saat yang sangat tidak tepat. Dia menggunakan sihir untuk menggeser bangku, namun bangku itu malah melayang membentur kepala seorang anak kelas dua hingga pingsan.
"Dua puluh poin," kata Hermione setelah mengalah dengan usul sepuluh poinnya.
"Lebih baik tiga detensi." Zabini menyilangkan kedua tangannya. "Kau pikir hanya dengan dua puluh hanya bisa mengajarkan pentingnya peraturan? Peraturan dibuat untuk dijalankan, Granger. Tidak boleh menggunakan sihir di koridor, semua orang tahu itu"
"Jangan ajarkan tentang kepatuhan padaku dari seseorang yang berasal dari asrama para pelanggar peraturan," balas Hermione.
Hufflepuff itu menganggukkan kepalanya.
"Kau," Zabini menunjuk jarinya tepat ke wajah anak itu. "Diam dan jangan ikutan pembicaraan orang dewasa di sini." Tatapannya kembali ke Hermione. "Jangan menuduh sembarangan, Granger. Grafik menunjukkan pelanggar peraturan lebih banyak berasal dari Gryffindor―"
"Fakta yang kuungkapkan tak tertulis di atas kertas, Zabini. Slytherin terlalu licin untuk tertangkap atas sesuatu yang memang sudah terlalu ahli dalam bidang itu. Dan Gryffindor tentunya tak seberuntung mereka."
Zabini tersenyum mengejek. "Kuanggap itu sebagai pujian. Terima kasih," ujarnya setuju.
Hermione memutar bola matanya sebagai respon. Pandangannya beralih kepada Hufflepuff itu, "Tiga puluh poin kalau begitu."
Zabini membelalakkan matanya. "Tiga puluh? Dia harus diajarkan rasa hormat, Granger. Jadikannya tiga detensi."
"Yang benar saja! Itu irasional!" seru Hermione. "Empat puluh!"
"Dua detensi dan begitu juga dengan potongan angka empat puluh angkanya."
Hermione mengerutkan kening. "Lima puluh."
"Dua detensi. Pas!"
"Satu plus potongan lima puluh angka! Dan aku tak mau menawar lagi."
"Sepakat."
Lelang ditutup. Hermione menatap sejenak tak percaya dengan apa yang dilakukannya. Bodoh. Ini bodoh sekali. Kau telah dibodohi oleh seorang Slytherin, kau tahu itu? "Aaarg!" geramnya.
Zabini menatap Hufflepuff itu sambil tersenyum puas. "Kau dengar itu, teman? Satu detensi menantimu di akhir pekan."
Hufflepuff itu melangkah dengan gontai kembali menuju asramanya. Hermione menyilangkan tangannya masih merasa kesal. Dia menggigit bibir bawahnya tanpa peduli mungkin akan berdarah. Dia segera mempercepat langkahnya menuju ruang transfigurasi. Ketika sampai di depan pintu berukir besar kelas itu, Zabini menyelanya lalu masuk mendorong Hermione, "Aku duluan."
Hermione memandang tidak percaya.
Ruangan itu sudah dipenuhi para prefek. Bahkan Malfoy pun sudah berada di sana. Pipinya memerah semenjak dia melangkahkan kaki memasuki ruang. Dia merasakan pandangan intens dari mata kelabu itu. Hermione menghindari sebisanya walaupun rasanya sulit sekali. Wajahnya menjadi panas. Malfoy jelas tidak tahu apa yang terjadi malam itu dan kini pasti dia sedang penasaran, sehingga tampaknya dia menjadi keranjingan membuat Hermione kesal. Keinginannya adalah segera menyelesaikan rapat keparat ini.
Kau boleh penasaran seumur hidupmu, brengsek.
Hermione menjelaskan dengan singkat rencana Dumbledore untuk membuat pesta dansa musim semi. Seperti yang telah diduga, Zabini tidak banyak menambahkan selain 'Itu benar', 'Dumbledore bilang begitu', atau 'Ya'. Prefek yang perempuan tampak sangat antusias dan tak perlu mempelajari Occlumency untuk mengetahui apa yang mereka pikirkan: "Aku harus memakai gaun apa?", "Merlin, aku harus menguruskan badan," dll. Yang cowok hanya mengangguk sekenanya atau menggambar-gambar di catatannya membunuh kebosanan. Akhirnya tiba saat memilih ketua panitia.
"Weasley oke juga," kata Malfoy tiba-tiba.
Semua terdiam sejenak.
Malfoy mengangkat bahu. "Kalian tahu, aku bisa saja mencalonkan diri, tapi aku terlalu lelah mengurus tim Quidditchku. Weasley pilihan yang bagus, bukan begitu?" usulnya seraya memutar tongkat sihir dengan jemarinya.
Para murid menilai, lalu mengangguk menyetujui.
Hermione tidak dapat berkata apa-apa, gabungan antara bingung dengan tidak percaya. Tentu saja tidak percaya begitu saja. Bagaimana tidak? Malfoy baru saja mengusulkan Ron menjadi ketua! Hal itu hampir mustahilnya jika Malfoy mengajak Ron makan siang bersama di Hogmeade. NormalnyaSlytherin takkan pernah mencalonkan orang lain menjadi ketua. Mereka akan mencalonkan dirinya sendiri.
Hermione menatap Ron. Lalu dia membalas pandangannya sama-sama bingung. Gadis itu mengangkat bahu, melemparkan pandangan aku-tak-tahu-menahu. Karena dia sendiri juga bingung.
Zabini menghela napas. "Pesta dansa itu kurang lebih masih sebulan lagi. Kurasa kau masih memiliki banyak waktu untuk bersiap-siap, Weasley. Segala kepengurusannya kuserahkan kepadamu. Setuju kan, Granger?"
Hermione tak tahu harus berkata apa. "Eerr"
"Bagus," sahutnya menganggap keabsenan suara Hermione sebagai persetujuan.
Biasanya Hermione akan sewot jika Zabini memutuskan sesuatu secara sepihak seperti itu. Namun ini mengenai Ron dan jabatan ketua. Ron danjabatan ketua. Ron selalu menginginkan jabatan ketua. Jadi, Hermione dapat berkata apa? Ini keputusan Ron sendiri.
"Weasley?" panggil Zabini.
Ron yang masih bingung untuk bereaksi, hanya mengangguk-angguk singkat. "Yeah, baik. Terserah apa katamu."
"Rapat bubar," kata Zabini.
Hermione mengambil tasnya dan sedikit linglung. Dia menghampiri Ron lalu keluar dari ruangan itu secepat mungkin. Alasan pertama, mendiskusikan keanehan tadi. Alasan kedua, jauhi Malfoy secepat mungkin.
"Aku yang mengurus pesta dansa musim semi. Kau percaya itu?" tanya Ron ketika berbelok di sudut koridor dan jauh dari para prefek. "Ada apa dengan para Slytherin? Apakah mereka terbentur sesuatu?"
"Mungkin mereka ingin leluasa menikmati pesta daripada sibuk mengurusnya."
"Yeah," gumamnya. "Tapi tetap sajaaku menjadi ketua kan?" katanya ringan. "Kurasa, anak-anak perlurefreshing. Banyak berita tentang serangan-serangan Pelahap maut yang bikin orang jadi stres. Aku akan membuatnya meriah."
"Baguslah jika kau sangat antusias."
"Untuk merayakannya" Dia berhenti sejenak. "Bagaimana jika kita—er, ke Three Broomsticks?"
"Baiklah." Singkat. Datar.
Hermione mendapati dirinya tak menolak seperti dulu lagi. Dia berharap segalanya berubah. Bukan mengenai hubungan persahabatannya dengan Ron. Melainkan apa yang terjadi selama ini dengan Malfoy. Hermione memerlukan sebuah pengalih perhatian. Pengalih perhatian agar dia tak lagi mendapati dirinya mengutuk segala tindakan yang telah dilakukannya sendiri selama ini.
Mereka meninggalkan kastil. Salju turun sangat perlahan. Matahari bersinar lemah daripada sebelumnya. Melihat matahari bersinar di sela-sela gumpalan awan, merupakan sesuatu yang langka di hari-hari yang suram ini. Cuaca menjadi tidak menentu merefleksikan keadaan yang sedang berlangsung. Kadang badai menyelimuti bumi seperti kemarin. Namun Hermione bersyukur badai itu sudah berlalu walaupun suhu udara tak berubah menjadi lebih baik. Cuaca terasa sangat dingin menandakan musim dingin yang beku menanti di depannya. Begitu dingin dan suram ketika Hermione mendengar berita penyerangan Pelahap Maut itu keesokan harinya. Daily Prophet menuliskan dengan huruf-huruf besar Pelahap Maut Merambah East End.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar