RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua sisi chapter 17

Silahkan baca!


BAB 17
"Nak," kata seseorang menepuk pelan pundak Hermione. "Jika kau tak bangun, kau akan melewatkan makan malam."
Suara yang membangunkannya itu awalnya terasa sayup-sayup di luar sana. Kemudian perlahan si Ketua Murid mengerjapkan mata, membiarkan cahaya temaram obor di perpustakaan memasuki korneanya.
"Oh maaf, saya tertidur."
Madam Pince menatapnya sambil sibuk membereskan buku di atas meja. "Bergegaslah. Kau akan benar-benar melewatkan makan malam jika kau tak buru-buru."
"Baik, Madam."
Wanita itu mengambil buku-buku yang berserakan di atas meja. Kemudian menghilang di balik rak. Hermione melirik jam besar di tengah ruang perpustakaan. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Dia telah tertidur sejam.
Akhir-akhir ini jam tidurnya memang kacau. Tugas sekolah, ujian, dan beberapa hal lain memaksanya untuk tidak tidur. Tidak dapat tidur tepatnya. Tidak dapat tidur di waktu seharusnya tidur, namun malah mengantuk pada saat bukan jam tidur.
Hermione menguap lebar. Kemudian menyapukan pandangan ke perpustakaan. Hanya ada seorang gadis berkacamata yang masih duduk di sudut ruangan. Raut wajah tampak serius menulis perkamen di balik tumpukan buku. Tipe yang suka melewatkan makan malam karena terlalu sibuk belajar, mengingatkan Hermione pada dirinya sendiri. Sejenak Hermione membiarkan dirinya di awang-awang. Kemudian tanpa semangat memasukkan perkamen hasil laporan perkembangan Litheas dan buku Tanam dan Tuai ke dalam tas.
Laporan itu harus dikumpulkan besok beserta litheasnya. Akhirnya setelah sekian lama. Rasanya sudah berbulan-bulan yang lalu dia menanam tanaman itu di potnya. Menyiram dan memberi pupuk yang dibutuhkan. Mengawasi dan berharap segalanya akan berjalan dengan lancar. Memperhatikan bagaimana tanaman itu tumbuh membawa harapan untuknya. Hermione telah membuat catatan-catatan kecil laporan perubahan pada setiap fase sebelumnya. Kini tinggal mengambangkan catatan itu untuk dijabarkan lebih panjang menjadi sebuah laporan. Bahkan dia mengambil referensi penelitian langsung dari 2 seri buku Legiun Litheas. Tiga hari belakangan dia habiskan di perpustakaan membenamkan diri dalam buku-buku karya John Mandrake itu, sang peraih Order of Merlin sains dan alam. Dia sudah menyicilnya berhari-hari yang lalu, sehingga malam ini berharap bisa tidur tenang.
Hermione masih enggan untuk beranjak. Dia melirik jam besar sekali lagi, mengira-ngira apakah ini saat yang tepat untuk beranjak ke aula besar. Tak ada alasan baginya untuk segera bergegas seperti yang disarankan Madam Pince—justru jika bisa dia tak ingin ke sana. Namun setelah semenit diam tanpa melakukan apapun, akhirnya dia beranjak juga dari bangku dan menyampirkan tas di pundak dengan gontai.
Sesungguhnya dia tak peduli dengan makan malam. Perutnya tidak merasa lapar—walaupun dia telah melewatkan makan siang tadi. Tugas, ujian, dansatu hal lain memaksanya untuk membuat waktu makan menjadi urusan kedua. Satu-hal-lain yang memaksanya untuk tenggelam dalam tugas dan ujian. Satu-hal-lain yang memaksanya untuk mengatur waktu yang tepat untuk pergi ke aula.
Hermione berusaha datang lebih awal untuk menghindari si Slytherin atau datang pada saat terakhir ketika cowok itu sudah pergi dari aula. Maka dia baru akan ke aula besar ketika ruang itu akan sepi. Namun tak benar-benar diketahui siapa yang paling menghindari siapa. Hermione menghindari cowok itu dan dia pun menghindari si Gryffindor.
Beberapa hari telah berlalu, bahkan Ron dan Ginny telah berbaikan setelah apa yang dikatakan sang adik tentang si pretty boy. Harry dan Ron mulai bertanya kenapa mereka mulai jarang bertemu dengannya pada jam makan. Hermione bosan dengan rasa bersalah yang harus disembunyikan jika bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Dia tak ingin berbohong lagi. Biarlah yang telah lewat tertimbun dalam memori masa lalu. Maka kini dia harus kembali lebih sering ke aula dan main kucing-kucingan dengan si Slytherin.
Dia menundukkan kepala dan berjalan tanpa semangat menyusuri koridor yang sepi. Kemudian tanpa sengaja menabrak seorang anak hingga bukunya berjatuhan. Ternyata seorang prefek dari Hufflepuff. Hermione segera meminta maaf dan membantu memunguti buku-bukunya. Si Hufflepuff mengucapkan sampai jumpa dan menyuruhnya lebih berhati-hati.
'Hati-hati' menjadi kata sakti mandraguna yang diucapkan banyak orang akhir-akhir ini. Anak Slytherin semakin bertingkah, menggoda anak perempuan ketika mereka lewat. Atau bertindak jahil jika tak ada guru seolah tak peduli lagi terhadap poin asrama. Sekolah jadi terasa tidak nyaman.
"Hei, pakai matamu," tukas seseorang ketika tanpa sengaja Hermione kembali menyenggolnya.
Hermione mengutuk dirinya karena bersikap begitu ceroboh hari itu. "Sori," sahutnya, enggan menyulut perdebatan. Dia mengangkat wajah, baru menyadari sedang berhadapan dengan Blaise Zabini.
Hermione merasakan sosok yang sedang berdiri di samping Zabini. Mendadak dia menahan napas, segera mengalihkan pandangan. Mata Draco Malfoy melakukan hal serupa, tampak tanpa ekspresi. Dia bersama Zabini melanjutkan langkah mereka keluar aula, sementara Hermione sebaliknya. Seolah mereka tidak pernah saling melihat, seolah hanya kejadian biasa. Walaupun sesungguhnya jantung Hermione berdegup begitu kencang hingga sanggup melompat keluar dari tubuhnya setiap saat.
Dalam lubuk hatinya, dia menyadari segalanya takkan kembali seperti normal lagi. Apalagi setelah kejadian malam itu.
Ketika memasuki aula, ruangan itu tampak sudah sepi. Beberapa anak mulai kembali ke asrama mereka. Piring-piring kotor berserakan di atas meja dan mulai menghilang secara sihir di atas meja. Beberapa menu makanan hanya tinggal separuh dan jus-jus tinggal separuh isi.
Meja Hogwarts hanya tersisa segelintir anak. Ginny masih menyantap hidangan penutup. Ron dan Harry tampak sibuk mengerjakan tugas. Salah satu tangan mereka sibuk berkutat dengan pena bulu dan perkamen, sementara tangan yang lain sibuk menggenggam makanan untuk sesekali disuap ke mulut mereka.
"Hei," sapa Hermione, mengambil tempat duduk di samping Harry.
"Ada apa?" tanya Ron. "Wajahmu seperti habis melihat hantu."
Hermione tak sadar dia masih terlihat tegang setelah bertemu dengan Malfoy barusan. Jantungnya bahkan masih berdegup kencang. Pertemuan yang begitu singkat itu bahkan mempengaruhinya sedemikian rupa.
"Tidak ada apa-apa," sahutnya cepat.
"Kau telat," kata Ginny padanya. "Kau kehabisan bebek Peking yang mantap."
"Oh, sayang sekali." Senang pembicaraan teralihkan.
"Kelihatannya kau sudah selesai membuat laporan Profesor Sprout?" kata Harry tanpa mengalihkan pandangan dari perkamennya.
"Ya pastilah," Ron yang menjawab. "Dia pasti habis dari perpustakaan untuk menyelesaikannya. Aku tak heran jika di tasnya saat ini ada dua puluh lembar perkamen hasil laporannya."
"Dua puluh delapan lembar," koreksi Hermione.
"APA?" Ron mengalihkan pandangan dari perkamen, tercengang. "Du-dua puluh delapan?"
"Tugas itu telah diberikan berbulan-bulan yang lalu."
"Aku dan Harry sudah mencoba keras mendekati lembar ke sepuluh. Bahkan tulisanku sudah kubuat besar-besar!" kata Ron gusar. "Memangnya apa sih yang kau tulis? Kau mengarang prosa, hah?"
Hermione memutar bola matanya, merasa tak perlu menjawab pertanyaan itu. Sebagai gantinya dia melirik perkamen Ron. Cowok itu benar. Tulisannya besar-besar dan gemuk seperti barisan semut berukuran jumbo.
"Kurasa kita memang harus lembur malam ini," gerutu Harry lesu, melahap suapan kecil bebek Peking ke mulutnya dengan tangannya yang bebas. "Dean dan Seamus bahkan sudah meminta peri rumah di dapur untuk menyiapkan setermos kopi di kamar."
Hermione menyangga dagunya dan hanya tersenyum. Rasanya menyenangkan, menatap kedua sahabatnya kembali sibuk berkutat dengan tugas mereka. Tersenyum pada hal-hal sederhana setelah begitu macam kejadian buruk yang terjadi.
Langit-langit di aula besar tampak hitam dan berkabut. Pemandangan yang kontras dengan ilusi langit malam yang ditampilkan ketika pesta dansa musim semi berhari-hari yang lalu. Akhir-akhir ini langit tidak pernah cerah. Hermione meragukan langit itu akan cerah kembali seperti ketika dia datang pertama kali ke Hogwarts bertahun-tahun yang lalu.
"Bagaimana litheasmu, Ron?" tanya Hermione. "Amaze-gro yang diberikan Hagrid berhasil?"
"Yeah. Sangat lumayan," dia mengangguk mantap. "Untung saja aku minta sarannya. Jika tidak, entahlah nasibku besok."
"Tetap saja kau curang karena memakai pupuk itu."
"Profesor Sprout tidak melarang."
"Tapi dia juga tidak memperbolehkan."
"Kasihan kepadaku sedikit kek!" gerutu Ron.
Hermione hanya tersenyum singkat. Dia tahu dia memang harus memberikan kelonggaran pada Ron. Ketika masa-masa krusial pertumbuhan litheas, dia malah disibukkan dengan urusan pesta. Dua-tiga minggu terakhir ini agak-agak terlambat untuk mengejar ketinggalannya. Tiga belas litheasnya tidak tumbuh lagi. Tiga sedang di ambang kematian. Tiga lagi masih hidup, namun ogah-ogahan. Hanya satu batang litheas yang tumbuh cukup baik. Batang litheasnya berwarna keunguan pertanda kurang nutrisi disebabkan karena kurang diberi kotoran gagak. Hagrid memberi saran untuk mengakalinya dengan memberi obat tanaman Amaze-gro. Hanya mukjizat yang bisa membuatnya mendapat nilai Acceptable.
Litheas punya Harry masih jauh lebih mendingan. Walaupun tidak begitu telaten, namun dia cukup konsisten untuk merawatnya. Paling tidak empat litheasnya tumbuh cukup baik—walaupun sisanya tak dapat ditolong lagi.
"Kau tidak jadi makan?" tanya Ron kemudian.
"Oh," Hermione tersadar. "Tentu. Tentu saja aku akan makan."
Kemudian dia menatap berbagai menu yang tersedia di atas meja. Hermione merasa Ron mengamatinya sehingga akhirnya terpaksa mengambil sebuah piring. Tak ada yang menggugah selera. Dia mengambil sesendok besar lasagna. Kemudian mulutnya terasa asam ketika melihat makanan di atas piring. Makan rasanya berat sekali. Kemudian dia memaksakan makan suapan kecil.
"Sayang kau tidak datang lebih cepat, Hermione," kata Ginny. "Kau tidak melihat pertunjukkan heboh."
Hermione mengangkat alis seraya mengunyah, "Hmm?"
"Aku lihat ayah Romilda Vane di koridor menuju kantor Dumbledore. Anak itu akan cabut dari Hogwarts."
"Oh, anak Ravenclaw yang suka sama Harry itu?"
Harry mendengus. "Aku menunggu-nunggu kapan orang itu pergi. Sungguh. Oh, jangan menatapku seperti itu, Hermione. Kau tak tahu bagaimana rasanya diuber-uber begitu," katanya defensif.
"Kenapa kau sinis begitu? Dia fans beratmu, Harry," kata Ron terkekeh.
"Oh, sayang sekali," cibir Harry.
"Ayahnya sudah kelewat paranoid duluan. Sayang sekali kalian tak melihat ketika melihat dia menahan ayahnya untuk menemui Dumbledore. Ayahnya sampai harus menyeretnya di depan aula. Seru sekali," ujar Ginny kemudian bersiul.
"Sayang aku tidak lihat," kata Hermione.
Ginny menghela napas. "Selain Romilda, ada orang tua beberapa anak lain katanya. Tapi aku tak melihat," lanjutnya menyuap potongan terakhir hidangan penutup.
"Sepertiga penghuni Hogwarts telah pergi," gumam Hermione pelan. "Slytherin bahkan tinggal separuh."
"Well, yang terakhir itu sepertinya harus disyukuri," Ron mendengus.
Kepercayaan para orang tua terhadap pemerintah dan berbagai lembaga—pendidikan, keamanan, dsb—memang semakin memudar. Mereka mulai menarik anak mereka dari sekolah. Setelah pesta, secara bertahap dua puluh empat anak resmi mengundurkan diri. Satu dari Gryffindor, tiga dari Hufflepuff, dua dari Ravenclaw, dan delapan belasnya dari Slytherin. Delapan belas dari Slytherin.
Pengunduran diri semakin membuat suasana semakin mencekam. Apalagi setelah beberapa kejadian yang terjadi di luar sekolah. Misalnya ketika dikabarkannya tiga orang Auror terbunuh dalam penyerangan St. Mungo. Suasana semakin tidak menentu. Entahlah apa tujuan Pelahap Maut itu menyerang rumah sakit tersebut—mungkin mereka memang sekumpulan orang sinting yang menyerang apapun yang hidup dan bergerak.
"Sepinya semakin terasa," kata Ginny suram. "Sayang sekali mereka harus keluar dari Hogwarts lebih awal. Jika aku jadi mereka, aku akan menyembah-nyembah Mum-Dad untuk mengurungkan niatnya," jelasnya. Kemudian dia mengerutkan kening, "Aku tak mengerti jalan pikiran mereka. Bukankah Hogwarts jauh lebih menentramkan dibandingkan mendekam diri di rumah? Apalagi para orang tua. Terkadang mereka kelewat kuatir deh."
"Itu manusiawi. Orang tua mana sih yang tidak kuatir keselamatan anaknya?" kata Hermione.
Orang tuanya sendiri sebenarnya tak begitu mengerti dunia sihir kecuali apa yang diceritakan Hermione melalui surat. Namun karena mereka tidak tahu situasi yang terjadi itulah, dirinya malah yang lebih menguatirkannya. Karena dengan begitu mereka tidak dapat berantisipasi dan lebih berhati-hati atas apa yang akan terjadi. Berada di rumah, mungkin lebih baik karena setidaknya dia bersama mereka. Tak ada perasaan kuatir dengan keselamatan mereka.
"Pasti akan menyedihkan jika perang itu terjadi," kata Ginny muram. "Kau akan berhasil menyelesaikan pendidikanmu di sini. Sebentar lagi kau lulus. Namun mungkin Hogwarts akan ditutup lebih dulu sebelum aku menyelesaikan tahun ke tujuh. Aku yakin Hogwarts akan ditutup ketika perang terjadi."
"Ngawur. Hogwarts takkan mungkin ditutup," komentar Harry.
Ron mengangkat bahu. "Bisa jadi Hogwarts ditutup, Harry. Lihat saja sekarang. Satu-persatu mereka memutuskan berhenti sekolah begitu. Entahlah berapa orang yang akan tersisa ketika tahun ajaran ini berakhir," katanya. "Dan kau bisa lihat, beberapa dari pengajar Hogwarts adalah anggota Orde. Baik secara langsung maupun tak langsung, mereka terlibat dalam konflik ini."
"Kurasa aku lahir di jaman yang salah," kata Ginny sinis. "Demi Merlin, aku hanya ingin hidup tenang! Melakukan hal normal. Main Quidditch. Menyelesaikan sekolah. Pacaran. Berkencan dengan beberapa orang. Selingkuh," katanya datar sementara Ron mengernyitkan dahi. Kemudian Ginny menghela napas, "Atau sekadar melakukan hal bego lagi seperti bersemu merah atau kabur. Merlin…menggelikan…"
Kakaknya nyengir. "Yeah, sinting. Kayak waktu kau menyewa kurcaci untuk menyanyikan lagu cinta untuk Harry ketika hari Valentine pada tahun kedua."
Mendadak Ginny bersemu merah. "Ron!" serunya. "Sudah basi, tahu nggak? Aku berani bertaruh, paling-paling kau pernah! Waktu ada Fleur, kau menyemburkan jus labu ke wajahku," semburnya. "Lihat kan? Bukan aku saja yang kelihatan bego. Kurasa Hermione atau Harry juga pernah! Hermione terserempet gaunnya sendiri pada saat dansa dengan Viktor. Well, aku tak tahu dengan Harry, tapi aku yakin dia pasti juga pernah melakukan sesuatu yang bodoh di depan Cho—"
"Hei, kenapa harus nyambung ke aku sih?" protes Harry.
"Dan aku tidak terserempet, tapi dia menginjak gaunku," Hermione menimpali. "Lagian kenapa aku harus melakukan hal bodoh?"
"Kau tidak menyadarinya karena kau sedang jatuh cinta, tentu saja. Cinta pertama, pernah dengar?"
Harry dan Hermione mengernyitkan dahi.
"Ah masa?"
"Hah?" sahut Hermione mengangkat alis, menatap Harry sama-sama tidak percaya. "Untuk sebuah cinta pertama, ketika dengan Viktor rasanya tak ada yang spesial. Biasa saja."
"Masa sih kau tidak dapat membedakan suka-sukaan biasa dengan cinta pertama?" tanya Ginny mengernyitkan dahi. "Kuberitahu ya—"
Ron menggeram tak sabar, "Ngapain sih kita bicarain beginian?"
"Rasanya asyik sekali memikirkan seseorang," kata Ginny menghiraukan gerutuan kakaknya. "Mungkin karena itu kau akan sulit tidur. Dan rasanya malas sekali untuk makan. Dan terus berdegup kencang jika berada di dekatnya. Terkadang melakukan sesuatu yang bodoh. Kau salah tingkah melulu. Atau bersemu merah. Sangat menyiksa, namun kau menikmatinya."
"Oh, gawat. Kurasa aku tahu siapa cinta pertamaku," kata Hermione serius.
"Gawat? Memang siapa?"
"Snape."
Tiga set mata langsung melongo menatap Hermione.
Si Ketua Murid menahan diri untuk tidak nyengir. "Tentu saja," katanya memasang tampang serius. "Aku sulit tidur karena memikirkan PRnya yang segunung. Aku sulit makan karena sibuk mengerjakan tugas-tugasnya. Segalanya serba salah karena dia terus menyalahkan semua yang kulakukan. Aku terus memikirkannya dan OOH— aku merasa tersiksa sekali."
Ron tergelak. Kemudian dia berlagak mencengkram jantungnya. "Oh, sweet Merlin. Snapeku, cinta pertamaku. Perlu bertahun-tahun untuk menyadarinya. Aku juga tersiksa banget hingga rasanya aku sanggup mencincangnya kecil-kecil."
"Oh sial benar murid-murid Hogwarts," Harry tertawa lebar.
"Bukti nyata bahwa cinta memang buta. Aku lebih memilih rabun sih, daripada buta."
Mereka masih tertawa untuk beberapa saat. Ginny sempat tersedak ketika sedang minum. Kemudian Hermione memberinya serbet, menepuk punggungnya.
"Kalian dua hari belakangan tidak bisa tidur. Dan jadwal makan kalian kacau," kata Ginny sambil nyengir, masih terbatuk-batuk kecil. "Jika aku tak tahu bahwa kalian sedang sibuk dengan tugas, mungkin aku akan berpikir bahwa kalian sedang jatuh cinta."
"Tugas! Oh, shit!" seru Harry teringat dengan tugas Profesor Sprout. Dia menunjuk perkamen di depannya.
"Sial, sial, sial," timpal Ron jadi ikutan panik. "Ah, gara-gara kalian sih mengajak ngobrol!" tuduhnya menatap Hermione-Ginny.
Ginny protes. "Eh, kok aku?"
Harry tampak bergegas membereskan barang-barangnya di atas meja, kemudian buru-buru menaruh ke dalam tas.
"Ngerjain di kamar, Harry? Aku ikut."
"Ayo."
Kedua orang itu segera ngacir meninggalkan Aula Besar. Ron sempat menabrak anak perempuan Ravenclaw, membuat anak itu mengomel-ngomel. Buku-buku anak itu terjatuh di lantai.
"Dasar," ujar Ginny setengah menggerutu. Kemudian menatap Hermione, "Kau tidak ikut mereka?"
"Punyaku sudah selesai."
"Berarti malam ini bisa tidur nyenyak. Cuma anak-anak cowok itu yang ngelembur," komentar Ginny.
Hermione menghela napas panjang. "Entahlah. Beberapa terakhir ini tidurku juga kacau."
Ginny mengerutkan kening. "Kau sakit? Aku juga jarang melihatmu di aula untuk makan," katanya tampak kuatir. "Kau tidak sedang jatuh cinta kan?" timpalnya asal.
"Jangan mengada-ada," Hermione mendengus, memaksakan tawa. "Tentu saja tidak," sahutnya dengan nada 'kau bercanda ya' sebaik mungkin. Ginny mungkin tidak dapat mendengarnya, namun Hermione merasa mendengar nada kebohongan dari suaranya sendiri. Dia menunduk menatap piring yang belum separuh dihabiskannya.
"Sayang sekali, Hermione. Padahal aku sendiri sedang jatuh cinta dengan Profesor Binns. Dia membuatku tidak tidur dan malas makan selama seminggu kemarin gara-gara mengerjakan tugasnya," kata Ginny. Kemudian dia menambahkan, "Dan aku tersiksa tentu saja. Oh, aku cinta banget padanya." Ginny memutar bola mata.
Hermione tersenyum. Kemudian tenggelam dalam pikirannya sendiri, tanpa sengaja terpikir pembicaraan mereka barusan. Masih mungkin jika dia menyukai cowok itu. Tapi untuk lebih dari itu— untuk lebih dari itu sepertinya… mutahil. Dan agak berlebihan. Berlebihan ya, kan? Dan menggelikan, dia meyakinkan dirinya sendiri.
Kemudian dia tertawa hampa.
"Kau kenapa tertawa sendiri begitu?"
"Aku tidak sedang jatuh cinta, Ginny," katanya lagi seolah bicara pada diri sendiri. "Aku tak mungkin sedang jatuh cinta…"

"Bagus, Draco," sahut ayahnya. "Hanya tinggal dilatih dan kau siap sepenuhnya."
Draco berdiri mematung. Napasnya terengah-engah. Pakaiannya penuh keringat. Tangan menggantung di kedua sisi samping tubuhnya, masih menggenggam tongkat sihir. Dia menelan ludah setelah tenggorokannya terasa tersekat selama beberapa saat. Dia mencoba berkedip, memastikan pemandangan di depannya memang nyata. Pemandangan itu memang masih ada di depan mata—menatap tubuh kera yang berbaring kaku beberapa meter di depannya. Tak bernyawa. Tak ada tanda-tanda bekas dilukai. Wajah hewan itu menyiratkan rasa takut yang teramat sangat. Seolah-olah dia mati ketakutan.
Draco berhasil. Avada Kedavra pertamanya.
Ada kemarahan. Ada pelampiasan. Dia tak memungkiri bahwa keduanya menjadi salah satu faktor keberhasilan. Avada Kedavra bukanlah kutukan yang dilakukan dengan perasaan penuh cinta damai. Kutukan itu dilakukan dengan landasan semangat untuk menghancurkan. Draco memang sedang ingin menghancurkan sesuatu. Merasakan benda-benda terkoyak dan terburai. Melihatnya hancur berkeping-keping. Itu membuatnya berhasil.
Namun Draco tak tahu apa yang seharusnya dia rasakan setelah melakukannya. Takjub? Jelas. Bangga? Entahlah. Kenyataan bahwa dia sudah menguasai ketiga Kutukan Tak Termaafkan pada usianya sekarang ini, seharusnya memuaskannya. Ayahnya telah memuji. Lucius bilang, 'Bagus, Draco.' Oh, berarti dia harus merasa senang.
Draco hampir yakin hanya dia dalam pemuda seusianya yang sudah dapat menguasai ketiga Kutukan Tak Termaafkan. Bukan kutukan biasa yang digunakannya untuk menghajar anak yang menjengkelkan. Bukan kutukan yang diajarkan di sekolahnya. Namun— ini adalah avada kedavra…kutukan Tak Termaafkan yang paling mematikan. Jauh di lubuk hatinya, terasa agak menakutkan. Bayangkan memiliki sebuah kekuatan dan kekuasaan untuk membunuh dengan satu mantra dalam satu hembusan napas…
Masih perlu beberapa saat untuk menormalkan napasnya kembali. Setelah beberapa waktu, Draco sudah kembali pada kesadaran.
"Baik sekali…"
Lucius memuji. Tangannya mengusap pundak sang putra. Draco bangga telah menyenangkan ayahnya. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Kembalilah ke kamarmu."
Draco mengangguk, mengusap keringat dengan lengannya. Udara mendadak terasa panas. Ruangan di bawah tanah itu sungguh lembab. Cukup luas sebagai tempat latihan. Tembok batunya tampak sudah retak di sana-sini. Di beberapa sisi tampak lubang-lubang kecil. Cacat sebagai bukti kerja kerasnya dari hari ke hari.
Dia mengerling sekilas ke atas tubuh kera yang mati tergeletak. Pencapaian terbesarnya. Dia masih melihat senyum ayahnya menatap kera mati itu sebelum Draco keluar menaiki tangga memutar. Perasaan menyenangkan sedikit muncul di hatinya setelah berhari-hari dirinya berada dalam amarah.
Mereka berpisah jalan di ujung koridor. Beberapa lukisan para pendahulu klan Malfoy di sepanjang koridor menatapnya. Semua tampak angkuh. Berjubah elegan. Posisi tubuh tegap penuh percaya diri. Tatanan rambut bergaya aristokrat. Mereka mengangguk-angguk bangga ("Bagus, Nak. Bagus. Kau memang seorang Malfoy").
Tak begitu lama kemudian, Draco memasuki kamarnya. Seorang peri rumah menunggu, menanyakan hal-hal yang mungkin dia inginkan saat itu. Draco tak menginginkan apa pun, menyuruhnya pergi. Dia melepas kaus yang lengket oleh keringat, melemparnya ke atas lantai. Kamar mandi tampak menyenangkan sekarang ini. Dia mengisi air bathtub marmer dengan air hangat. Wewangian kayu mengalir keluar dari keran-keran keemasan di sisitub. Dia membiarkan ruang itu tetap gelap. Rasanya lebih menenangkan. Sumber cahaya hanya berasal dari jendela yang membiaskankan cahaya keperakan bulan purnama.
Air terasa sangat nyaman setinggi dada. Rasa nyeri luka terasa menusuk akibat kontak langsung dengan air. Tak lama kemudian rasa nyeri itu sedikit mereda. Busa sabun mengambang di atas permukaan air. Draco menyandarkan kepala di bibir tub, memejamkan mata. Dia mengistirahatkan matanya, mengistirahatkan tubuhnya, membiarkan kehangatan menyapu dirinya.
Kita adalah orang beruntung, Draco.
Draco teringat ucapan ayahnya beberapa jam yang lalu. Dia membuka matanya, menatap keluar jendela. Pemandangan di luar sana masih tampak begitu hening di musim semi seperti itu. Hanya terdengar suara burung hantu di pepohonan di kejauhan.
"Kita adalah orang beruntung, Draco."
"Beruntung" ulang Draco.
"Banyak orang yang rela mungkin menjual jiwa mereka demi memiliki kekuasaan keluarga kita."
"Ya."
Sang putra menatap ayahnya. Lelaki itu sedang menyiapkan target sasaran kutukan latihan Draco di tengah ruangan. Bagian terbaik dari latihan hari itu—kera yang terkurung dalam kerangkeng—masih diletakkan di pojok ruangan. Primata itu berteriak-teriak seolah tahu ajalnya telah dekat.
"Kau bangga, Nak?" tanyanya. Namun Lucius tidak menunggu jawaban Draco. "Yah, pasti kau juga bangga," ujarnya. "Memang sudah sepatutnya."
Lucius jarang mengajak bicara selama latihan. Kegiatan itu biasanya hanya diisi dengan perintah dan teriakan. Atau gumaman mantra serta suara dentaman barang-barang. Hanya makan malamlah yang menjadi saat-saat keluarga—itu pun hanya sekadar membicarakan kerja, aktifitas Lord Voldemort, dan sejenisnya. Ayahnya memang bukan tipe orang tua dalam opera sabun sebagai tempat curhat atau menangis. Atau tipe yang suka memeluk dan tersenyum lebar seperti keluarga dalam sampul katalog iklan penjualan rumah. Dia tipe yang lain daripada yang lain. Bahkan Draco meragukan ada sosok kepribadian hangat dalam dirinya. Dia tidak mengetahuinya sampai akhirnya pada malam ini
Dia berjalan menghampiri Draco, menyuruhnya fokus dengan target. "Kita adalah salah satu keluarga penyihir yang paling disegani. Penyihir berdarah murni. Penyihir seperti kita adalah penghuni sebenarnya dunia sihir. Tak ada yang lebih berhak lagi selain orang-orang seperti kita. Dunia sihir adalah milik kita," katanya. "Kau mengerti Draco?"
"Mengerti, Ayah."
"Bagus, Nak," katanya mengangguk.
Sekilas ada sesuatu yang berbeda dengan cara ayahnya berbicara saat itu. Ada kesan kehangatan yang tersamar, membuat Draco terheran dan mengamatinya.
Draco membenamkan kepalanya di air untuk beberapa saat. Ketika kepalanya muncul lagi di permukaan air, rasanya begitu segar bukan kepalang. Air mengalir dari rambutnya yang basah. Dia mengusap wajah untuk menyingkirkan air yang mengalir ke matanya. Dia bersandar lagi ke bibir tub dan memejamkan mata. Rasanya dia sanggup berada di situ selamanya.
"Kita sedang memperjuangkan apa yang seharusnya hanya milik kita."
Draco baru menyadari kesan hangat yang sepertinya dia rasakan: Lucius berbicara seperti seorang ayah. Dan lelaki itu terlihat canggung—sesuatu yang jarang dilakukannya. Seperti ada yang ingin dikatakannya, namun terlihat ragu untuk diungkapkan.
Target yang tadi disiapkan untuk ayahnya telah hancur. Napas Draco terengah-engah. Dia sungguh lelah. Namun dia mendengarkan yang dikatakan ayahnya baik-baik. Kemudian Lucius menyuruhnya beristirahat di atas sofa yang disiapkan di pojok ruangan.
"Apa rasanya ketika tahu rumahmu sudah bukan milikmu lagi? Apa rasanya jika ada orang lain yang tak tahu apa-apa kemudian mengambil apa yang menjadi hakmu? Kemudian mengatakan bahwa rumahmu adalah milik mereka juga?" Pertanyaan retoris. Lucius membiarkan kalimat itu menggantung. "Aku tak sudi. Dunia sihir adalah milik kita—milik orang-orang seperti kita. Bukan penyihir kelahiran Muggle itu—bukan darah lumpur keparat itu! Dan mereka patut disingkirkan."
Mereka patut disingkirkan. Mereka. Patut. Disingkirkan. Dalam hati Draco menyetujui semuanya. Begitu lama dia tidak mengindahkannya. Melihat semua yang telah terjadi, kini dia merasa begitu malu. Dan merasa begitu bodoh. Namun semua telah berakhir. Dia meyakini dirinya sendiri. Semua telah berakhir. Dia tak perlu merasa malu lebih lama lagi.
"Draco, kini berhentilah bermain-main."
Draco menatap ayahnya, tak mengerti. Berhenti bermain-main. Maksudnya? Namun lelaki itu mengalihkan pandangan—seolah menolak menatapnya. Ada apa ini? Ayahnya tidak pernah berbicara banyak selama latihan. Kini lelaki itu enggan menatapnya. Apa dia berbuat sesuatu yang salah?
"Bertahun-tahun kau menikmati kehidupanmu di Hogwarts. Aku tak melarangmu melakukan segala hal. Namun kini berhentilah bermain-main. Melihat kondisimu sekarang, aku sungguh kecewa padamu," katanya.
Apa? Jantung Draco mencelos. Kecewa? Memang apa yang dilakukannya?
"Lakukan apa yang menjadi kewajibanmu sekarang. Berjuang bersama kaum kita yang lain. Memilih wanita yang tepat untuk meneruskan kejayaan kita. Wanita seperti ibumu. Lakukan seperti apa yang kulakukan. Berjuang bersama Lord Voldemort agar impian para darah murni tercapai. Ayah mohon, Draco." Padahal dia tak pernah memohon. "Untuk masa depan kita. Untuk generasi penerus darah murni kita…Untukmu, Nak. Kau mengerti?"
Draco menunduk menatap tangannya. Untukku…Keheningan sejenak menyelimuti. Rasanya begitu sepi di ruang bawah tanah itu. Tak ada jendela. Bahkan tak ada lukisan yang menunjukkan kehidupan selain mereka berdua. Hanya ada sebuah baju zirah berdebu di pojok ruangan.
"Rasanya baru minggu kemarin ketika mendengar tangisanmu ketika kau lahir," katanya. "Kau dipeluk ibumu. Dan saat itu… menatap mataku untuk pertama kali. Saat itulah aku menjanjikan—dan berjanji pada diri sendiri— untuk memberikan kehidupan yang terbaik untukmu. Berjanji bahwa putraku akan mendapatkan hidup yang mapan di dunia yang layak. Bukan dunia seperti sekarang," katanya. Kemudian dia menghela napas. "Kini kesempatan itu ada di depan mata. Kesempatan untuk mengubah dunia yang kacau ini. Dahulu kupikir bahwa aku dapat melakukannya sendirian. Namun aku menyadari bahwa itu tak mungkin. Aku memerlukan putraku."
"Baik."
"Tetapkan hatimu, Nak," katanya. " Jangan membuatku kuatir."
Draco tak mengerti. Namun dia tak mengatakan apapun. Dia merasa tak pernah main-main. Mungkin ayahnya berpikir berbeda. Dia ingin sekali ayahnya tahu bahwa dia tak pernah main-main. Dia ingin seperti menjadi seseorang yang ayahnya harapkan. Ayahnya telah kecewa. Berarti 'merasa tak pernah main-main' belum cukup. Dia harus menceburkan diri sepenuhnya.
Ayahnya kecewa. Mendadak Draco benci dirinya sendiri. Dalam hati dia berjanji tidak akan main-main lagi. Dia takkan mengecewakan ayahnya lagi. Dia harus menjadi seseorang yang ayahnya harapkan.
"Mengerti, Draco?"
"Mengerti, Ayah. Aku takkan bermain-main lagi."
Ayahnya. Orang paling Draco kagumi di dunia ini. Sekaligus satu-satunya sosok yang paling sulit dia pahami.
Menghadapinya seperti menginginkan coklat Bertie Bott. Kau sangat menginginkannya namun kau tidak tahu apa yang akan kau dapatkan ketika membukanya. Terkadang Lucius seperti tanpa perasaan, tanpa jiwa, memandang orang lain tanpa ekspresi selain ekspresi aku-seorang-Malfoy-kau-lebih-rendah-dariku. Namun seperti koin, dia memiliki juga sisi yang berbeda. Beberapa jam yang lalu, Draco diingatkan pada sosok ayahnya yang lain.
Dan saat itu… kau menatap mata Ayah untuk pertama kali. Saat itulah Ayah menjanjikan—dan berjanji pada diri sendiri— untuk memberikan kehidupan yang terbaik untukmu.
Lucius tak pernah membicarakan hal seperti itu sebelumnya. Sosok yang menunjukkan posisinya sebagai seorang Malfoy, seorang kepala keluarga, dan sebagai seorang ayah. Draco yakin dia sedang menunjukkan perasaan yang sebenarnya. Lelaki itu jarang mengatakan sesuatu yang jarang dia tunjukkan, namun Draco tahu ayahnya serius. Dan Draco merasakan kehangatan kecil dalam sudut hatinya. Dia pernah ingin menjadi seperti ayahnya. Dan kini dia masih ingin seperti itu.
Busa sabun hampir menghilang. Draco menggosok tubuhnya agar bersih sebelum akhirnya bangkit. Udara dingin terasa di kulitnya. Tangannya terjulur mengambil handuk dan melilitkannya di pinggang. Dia kembali ke kamarnya mengambil beberapa potong pakaian. Setelah mengenakan celana panjang, pintu kamarnya diketuk. Draco mengambil sebuah kemeja sebelum akhirnya menjawab—
"Ya."
Ibunya datang sambil membawa segelas cangkir. "Coklat hangat. Kurasa kau membutuhkannya."
"Terima kasih, Ibu."
Narcissa menaruh cangkir itu di atas meja yang merapat ke dinding. Kemudian dia berjalan untuk duduk di tepi ranjang putranya. "Kemari, Draco," katanya menunjuk ruang kosong di sebelahnya.
Draco menghampiri dan menyampirkan kemeja yang telah dia ambil dari lemari ke sandaran kursi di samping meja. Dia tahu selanjutnya akan ada sesi pengobatan. Wanita itu mengeluarkan sebuah botol berwarna coklat dari sakunya.
"Ayahmu mengatakan kau telah berhasil."
"Yah," Draco sedikit tak dapat menyembunyikan rasa senang itu dari wajahnya.
Narcissa membuka sebuah botol kecil berwarna coklat tua dan mengoleskan sedikit ke atas kapas. Ketika dia mengusapkannya ke atas luka dan memar Draco, rasa nyeri datang lagi.
"Kau akan menginap malam ini?"
"Mungkin," sahut Draco. Kemudian merintih sejenak ketika cairan dari botol menyentuh luka yang terbuka.
"Tapi para guru bisa saja ada yang mencurigai kau pergi begitu lama dari sekolah." Narcissa diam sesaat, seperti mencoba membaca pikiran Draco. Inilah yang salah satu dibenci putranya. Seolah wanita itu memiliki kemampuan membaca pikirannya. Ibunya tahu ketika Draco sedang memiliki masalah. Apakah semua ibu seperti itu? "Kau tak seperti biasanya. Dulu kau selalu ingin lebih cepat pulang ke asrama."
"Blaise akan mengakalinya. Ibu tak usah kuatir," ujanya. "Lagipula hari Sabtu aku harus di sekolah."
Ya. Gara-gara dia harus menjalani detensi keduanya gara-gara penonjokkannya pada malam pesta. Dirinya masih dendam jika melihat wajah prefek yang ditonjoknya itu. Rasanya ingin menonjoknya untuk kedua kali.
"Hanya sedang tidak mood di sana," tambah Draco sekenanya. Hogwarts terasa tidak menyenangkan untuk saat ini.
Tempat yang bodoh. Tempat yang bikin masalah. Tempat yang selalu membawanya untuk teringat gadis keparat itu. Gadis yang telah membalas menciumnya dan membuatnya ke nirwana. Namun juga gadis yang menginginkan 'semua berakhir.' Gadis yang meninggalkannya sendiri seperti orang bodoh di Taman Transfigurasi pada malam awal musim semi yang dingin menusuk tulang. Dan menginginkan Draco lenyap dari kehidupannya.
Gadis yang Draco benci. Ya, yang Draco benci karena telah mengatakan semua itu. Mengatakan hal-hal memalukan yang telah lama dia pendam. Bahwa dia memikirkan seorang darah lumpur. Bahwa dia menginginkan gadis itu dalam tidurnya. Demi Merlin, seorang darah lumpur telah mendepak darah murni. Betapa memalukan. Dia benci darah lumpur itu. Dia benci pernah mengenalnya. Dan Draco tak ingin melihatnya.
Sudah beberapa hari setelah kejadian di malam itu. Draco menghindarinya sebisa mungkin. Di aula saat makan mereka duduk saling membelakangi agar tidak melihat satu sama lain. Pada saat pelajaran gadis itu duduk paling depan sementara Draco paling belakang. Segalanya tetap saja salah karena jika dia menatap guru, pasti dia tak dapat menahan diri untuk mengerling sekilas dari sosok itu. Kemudian menjadi semakin membencinya.
Paradoks. Membencinya atau menginginkannya—entahlah mana yang lebih besar.
Dan gara-gara itu harga dirinya telah pecah seperti kaca yang terjatuh. Itulah harga dari sebuah ketidakseriusan. Harga dari kelalaian. Ayahnya benar, Draco kini menyadari. Dia memang telah main-main.
"Apa karena… seorang gadis?"
Draco mendengus. "Oh, kita takkan membicarakan ini, Bu. Tidak, tidak, tidak," katanya, tertawa seraya menggelengkan kepala. "Kita takkan membicarakan tentang apa yang kulakukan lagi. Kita takkan membicarakan tentang 'masalah remaja'. Tidak akan bicara ala ibu-anak di sini. Ini menggelikan. Putra Ibu ini sudah dewasa."
Narcissa menghela napas.
"Ya ampun, Bu. Aku bisa mengurus diriku sendiri," sahut Draco lagi. "Ada-ada saja."
"Ibu takkan terlalu mencampuri urusanmu. Namun kau masih muda, Draco. Terlalu mudah bagimu untuk keluar jalur. Dan ada satu hal …" Ibunya terhenti sejenak, membuat Draco waspada. "Er- kemarin Pansy"—Draco menahan napas—"mengatakan tentang seorang gadis…"
"Jangan percaya apa yang dikatanya," potongnya cepat-cepat. Terlalu cepat. Draco berpikir ibunya akan berbicara tentang Granger. Tentu saja mungkin dia hanya paranoid. Dia menyibukkan dirinya sendiri, berpura-pura memeriksa luka-lukanya.
"Kini berhentilah bermain-main."
"Ibu bicara apa?"
"Ibu mohon berhentilah bermain-main." Draco berpikir ibunya hanya sekadar bicara 'ibu-anak' ringan seperti biasa. Namun di luar dugaan, Lady Malfoy itu terlihat agak serius.
Draco tak mengerti mengapa dia kini serius begitu. "Apa maksud Ibu?"
"Jangan bermain-main dengan darah lumpur, Draco."
Jantungnya mencelos. "Apa? A-aku tidak…"
Ibunya menunduk menatap pangkuan.
Mendadak Draco berang. "Jangan percaya apa yang cewek histerikal itu katakan!" tukasnya tajam. Dia marah karena ibunya tahu.
Baik ibunya maupun sang putra bertatapan. Untuk sesaat tak ada yang berbicara. Jantung Draco berdegup kencang. Kepalanya terasa pening. Mendadak ada banyak pertanyaan di benaknya. Kapan dia mengatakannya? Apakah dia mengatakan ke Lucius? Apakah ayahnya tahu?
Aku kecewa padamu. Kini berhentilah bermain-main
Mendadak Draco menyadari semuanya.
Merlin, pasti ayahnya tahu. Itu maksud ayahnya. Lelaki itu tahu. Dia tahu tentang Granger tapi tak mengatakannya langsung kepada Draco. Memilih wanita yang tepat untuk meneruskan kejayaan kita… Jantungnya berdegup kencang. Kepalanya terasa berputar. Pansy keparat itu entah bagaimana caranya telah memberitahu ayah dan ibunya. Pansy. Keparat. Kini Draco merasa ingin bumi terbelah dan menelannya bulat-bulat.
Perasaan malu menjalari tubuhnya. Ayahnya yang paling Draco kagumi di dunia ini mengetahui aib itu. Dan ayahnya tak mengatakan apapun. Untuk sesaat bahkan dia tidak ingin menatap Draco. Dia malu dengan anaknya. Draco tahu ayahnya malu.
Jantungnya berdegup kencang. Ibunya menatap Draco curiga. Dia ingin bertanya bagaimana Pansy memberitahunya. Namun Draco mengurungkan niatnya karena dengan begitu membuat ibunya semakin yakin akan kebenaran cerita Pansy. Putranya itu lebih memilih mengalihkan pandangan ke atas perapian yang menyala.
Draco menghela napas, mengalah. Dia memilih kata dengan hati-hati. "Tak ada yang perlu Ibu kuatirkan. Masa bermain-main telah usai. Aku telah membereskannya."
Untuk sesaat, tak ada yang berbicara. Kemudian Narcissa meremas pundak putranya, tersenyum hangat.
Draco sendiri tak yakin apa yang dikatakannya hanya sekadar untuk membuat ibunya tidak kuatir atau memang bersungguh-sungguh telah menetapkan hati bahwa 'telah membereskannya'. Dia tidak peduli dan tak ingin berpikir apapun. Dia tak ingin memikirkan gadis itu. Paling tidak untuk sejenak.
Mendadak dia merasa lelah. Pansy berusaha merusak segalanya. Dan dia berhasil. Draco kini tak peduli apa yang dilakukannya. Terserahlah cewek itu mau berbuat apa. Draco tak peduli dengan apapun.
"Istirahat yang cukup," kata ibunya.
Draco hanya mengangguk tanpa semangat. Dia mengambil kemeja di atas ranjang, lalu memakainya dalam diam memandang perapian. Rasanya dia tak lelah lagi. Narcissa baru saja akan keluar dari kamar Draco, sebelum akhirnya pintu itu terbuka lebih dulu. Dari baliknya, masuklah sosok ayahnya. Dia tampak tersenyum. Jenis senyum seolah dia baru memperoleh sesuatu yang diinginkan.
"Draco, keluar sebentar."
"Kupikir latihannya telah selesai hari ini. Draco perlu istirahat," kata ibunya dengan sedikit nada protes. "Dia lelah. Kalian dapat melanjutkannya esok hari—"
"Aku tak lelah, Ibu."
"Bukan latihan," kata lelaki itu pada Ibu sembari mengibaskan tangan. "Ada seseorang yang ingin menemuinya."
Menemuiku? Tengah malam begini?
Draco menatap ibunya. Wanita itu mengangkat alis.
Mungkin Vincent, pikirnya. Dua hari yang lalu dia sempat datang ke kediaman Malfoy untuk latihan. Orang-orang seperti mereka memang sering berbagi teknik. Draco belajar kutukan Cruciatus dari bibinya Bella. Imperius belajar dari Ayah dan dibantu oleh Mr Goyle. Kemudian belajar Apparation dari teman ayahnya, Antonin Dolohov. Draco telah melewati itu semua. Kini giliran Vincent yang berkerja keras.
Draco keluar kamar mengikuti ayahnya yang senyumnya tengah melebar.

Rumah kaca terasa lembab. Cahaya menembus kaca yang buram, membuat ruangan tak begitu terang. Bau tanah basah memenuhi ruangan bercampur bahan kimiawi pupuk kotoran kelelawar. Meja-meja panjang dipenuhi pot-pot tanaman. Litheas-litheas dengan berbagai kondisi, terpajang di atasnya. Dengungan obrolan para murid sehingga di setiap sudut, menanti nama mereka dilontarkan Profesor Sprout.
Akhirnya tiba. Penelitian litheas mereka telah sampai pada tahap penilaian.
Hermione menatap sekali lagi nilai O yang tertulis di atas laporannya. Kerja kerasnya terbayar. Tidak sia-sia dia menulis sebanyak dua puluh delapan lembar perkamen. Hasil praktek litheasnya berhasil. Ketika itu, Hermione memasukkan empat butir. Dan keempat-keempatnya tumbuh dengan sempurna. Kelopaknya besar berwarna kuning menjurus ke oranye. Batangnya sehat berwarna hijau kecoklatan. Napasnya teratur dan nampak segar. Hermione telah memperkirakannya. Memang pantas diberi nilai Outstanding.
Ron akhirnya dapat Acceptable, sedangkan Harry… juga mendapatkan Acceptable.
"Selama apapun kau menatapnya, nilai itu takkan berubah lebih baik," kata Ron sambil nyengir.
"Ini tidak adil! Sangat tidak adil!" gerutu Harry, memandangi hasil laporannya. "Kenapa nilaiku harus sama denganmu? Litheasku ada empat yang bagus. Kau kan cuma satu!"
"Resiko kegagalan memang besar. Dari awal juga udah dikatakan Profesor Sprout bahwa yang dinilai cuma satu. Satu sudah cukup, Harry," kata Hermione. "Empat litheas yang kau punya, kondisinya sama dengan satu litheas yang dimiliki Ron."
"Tapi tetap saja" Harry memelas.
"Jangan suram begitulah. Toh nilainya masih baik juga," kata Ron masih tersenyum lebar. "Masih lebih baik tuh dari anak-anak Slytherin."
"Iiiya sih. Tapi tetap tidak adil!" keluh Harry.
"Ada filsuf mengatakan, 'Berantisipasilah pada ketidakadilan,'" sahut Ron.
Harry mendelik ke arahnya tak percaya. "Filsuf mana yang mengatakan komentar bodoh itu?"
"Aku. Jika lulus nanti, aku akan melamar kerja jadi filsuf," ujarnya membusungkan dada. Kemudian dia tampak berpikir menatap Hermione, "Filsuf itu jenis perkerjaan kan ya?"
"Tentu saja bukan, bodoh."
"Sayang sekali. Padahal tampaknya enak sekali karena kerjaannya cuma mikir doang," katanya menghela napas. "Sambil buang air pun, aku masih bisamikir."
Harry masih bersungut-sungut. "Acceptable…oh, hebat sekali. Paling tidak masih lebih baik dari cecurut-cecurut Slytherin itu," gerutunya. "Heran, apa sih yang mereka lakukan hingga semuanya dapat Poor begitu?"
Ron mendengus. "Memangnya kapan sih mereka pernah bertindak becus?"
"Kasar sekali perkatakan kalian. Oh, rasanya sakit hatiku."
Sebuah suara terdengar di belakang mereka. Blaise Zabini menggelengkan kepala, berlagak sedih. Tangan berada di dada seolah hatinya telah remuk. Tentu saja tak lama kemudian wajah Slytherin itu kembali memancarkan senyum sinis lagi.
"Oh maaf," sahut Ron bertampang sok simpati. "Bukan maksud hatiku untuk melukai. Memang rasanya sulit sekali untuk melihat kenyataan. Kuharap kalian diberi ketabahan."
"Pergilah dari sini, Zabini," kata Hermione tak sabar, mencoba menghindari api yang mungkin akan terjadi jika asap ini tak segera dipadamkan.
Zabini terkekeh. "Dengan senang hati, Granger. Aku memang berniat melakukannya. Jadi jika saatnya tiba, jangan terlalu merindukanku, oke?" katanya mengedipkan mata.
Mendadak Hermione bingung.
Kemudian si Ketua Murid Putra itu menghela napas, memasang tampang menderita. "Tapi kelihatannya aku pasti akan merindukan kalian semua."
"Ada apa memangnya?" tanya Harry sinis. "Kau akan melompat dari lantai tujuh, bunuh diri karena mendapat nilai Poor dan meninggalkan kami semua?"
"Oh jika benar begitu, jangan lupa menyewa cleaning service untuk membersihkan isi tubuh kalian nanti. Kami tak punya waktu untuk bersih-bersih," timpal Ron dengan geram.
"Kalian beruntung moodku sedang baik," ujarnya santai.
Wajahnya cerah. Koreksi: wajah para Slytherin secara tak terduga dan masuk akal hari ini terlihat cerah. Nilai Poor dan Dreadful masal untuk proyek litheasnya tidak membuat mereka menggerutu. Apa yang sedang terjadi dengan mereka? Sama sekali tak terlihat kekecewaan di wajahnya.
"Oh rasanya aku ingin cepat lulus dari sini supaya aku tak bertemu dengan orang-orang sepertimu," kata Ron.
"Ah tak perlu repot-repot, teman Weasleyku tersayang," kata Zabini tersenyum sinis. "Aku dan para Slytherin yang akan meninggalkan Hogwarts lebih awal. Tiga hari lagi, kalian akan memiliki Hogwarts seutuhnya."
Mereka bertiga menelan ludah, mencoba mencerna perkataan Ketua Murid itu.
"Hah?"
"Oh, kalian belum tahu ya," sahut Zabini. "Selamat kalian orang pertama yang tahu gosip terhangat tahun ini."
Ketiga Gryffindor masih belum percaya. Jantung Hermione seolah berhenti berdetak.
"Pa-para Slytherin? Kalian—"
"APA?" seru Harry.
"Kami semua—oh, rasanya menyenangkan sekali melihat tampang bego kalian semua," katanya santai. Kemudian dia menambahkan sambil tersenyum lebar, "Aku pasti akan merindukan kalian semua nanti. Semoga persahabatan kita takkan sia-sia begitu saja."
Harry membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun kembali menutup ketika tak tahu apa yang akan dikatakan. Ron terlihat terpaku. Hermione menahan napas, tak berkedip. Blaise Zabini memang tampak sedang mengolok-olok, namun tak mungkin cowok itu sedang berbohong untuk sebuah berita seperti ini. Wajahnya terlalu ceria. Dia memang sedang senang.
"Se-semua?" sahut Harry akhirnya, tampak terperanjat. "Maksudmu semua Slytherin?"
"Apa Gryffindor belum belajar arti kata 'semua'?" Zabini menatap malas. "Aku, Draco, Pansy—oh, mengapa aku repot-repot menjelaskan ini?" Dia mengibaskan tangan. Kemudian menatap para Gryffindor bergantian dengan senyum melebar. "Sampai nanti, teman-temanku," katanya menyeringai. Dia membungkukkan badan seolah memberi hormat, kemudian berbalik sambil melambai riang. "Jaga diri oke?"
Mulut Harry terbuka. Ron masih syok. Tangan Hermione bersandar pada meja untuk menjaga keseimbangan. Kata-kata Blaise bergumam di benaknya. Tiga hari lagi… tiga hari lagi… tiga hari lagi…
Para Slytherin. Hermione tidak memperdulikan nama-nama yang lain. Benaknya masih terpaku pada satu nama.
Blaise menyebut nama Draco.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar