Silahkan baca!
BAB 19
"Besok kapan ayahmu akan datang menjemput, Draco?"
"Mungkin sebelum makan siang," jawabnya datar memandang Blaise berusaha menutup koper yang sudah kepenuhan.
"Oh, kalau begitu sama dengan ibuku. Kayaknya ayahnya Pansy juga," katanya, kini menduduki koper tersebut. "Sebisa mungkin aku memang tak ingin melewatkan makan siang di sini sih. Aku ingin punya waktu istirahat cukup setelah perjalanan panjang ke rumah."
"Berarti kita semua pergi sebelum makan siang."
"Tidak juga. Masih ada Daphne. Katanya dia dijemput saat makan malam," katanya lagi. "Demi Merlin, apa mungkin koper ini bisa menciut, hah?"
Draco duduk di tepi ranjang bersandar pada tiang, memutar-mutar tongkat sihir di antara jemari. Miliknya sudah selesai dikemas setelah makan siang tadi. Beberapa saat sebelum asrama mulai ramai dengan anak yang berseliweran untuk mencari barang-barang yang mungkin tertukar atau terselip di suatu tempat karena dipinjamkan kepada orang lain. Sesekali menonton Blaise dan sedikit menghibur melihat Ketua Murid itu bergulat dengan kopernya sendiri. Entah bagaimana nanti Blaise akan menutupnya karena isinya memang terlalu penuh. Seperempat bawaannya bahkan masih berada di luar koper.
Dan kini tidak ada hal yang dilakukannya untuk berkemas. Hanya sekadar duduk dan sedikit gugup menanti waktu. Waktu tidak pernah terasa begitu menekan seperti ini.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Blaise?"
"Makan malam tentu saja."
"Bukan. Maksudku setelah Hogwarts."
"Oh," sahut Blaise masih sibuk menekan koper. "Mau ikut Madre—Ibu—ke Bercelona."
"Inggris tidak menyenangkanmu lagi?"
Blaise tersenyum sok bijak. "Bukan itu. Aku ini cinta kedamaian, Draco," selorohnya. "Kabar-kabari saja jika semuanya sudah beres."
Begitulah Blaise Zabini. Tipe orang penikmat dan bukan pemerakarsa. Dia berhenti sekolah dari Hogwarts hanya sekadar untuk jauh dari konflik perang yang akan terjadi. Blaise atau ibunya bukan tipe yang menganut ideologi tertentu. Mereka hanya mempertahankan keadaan selama masih menguntungkan mereka. Mempertahankan status quo jika perlu. Sebisa mungkin hanya mendukung, bukan terjun langsung ke medan perang. Tipe orang yang mau dimanfaatkan, selama dirinya memperoleh keuntungan juga.
Terkadang Draco mengejek pandangannya, tentu, bahwa dia orang yang tidak punya pendirian atau semacamnya. Pola pikir orang seperti itu kadang-kadang memang harus disentil. Namun itu tidak begitu penting. Yang jelas Draco tahu adalah Blaise tetap memberikan rasa hormat padanya dan yang lain. Seperti biasa, semua opini itu hanya menjadi sebatas olok-olok belaka. Tak pernah ada percekcokan. Dan perselisihan mereka tidak pernah sampai serius. Jika Draco mencibir, Blaise hanya mendengus mengatakan, "Terserah, Malfoy. Kayak aku peduli saja?" Dia memang tampak munafik, namun bukan pengkhianat. Dia akan selalu loyal dan tidak akan menyeberang pihak.
Blaise telah menentukan jalannya sendiri, Draco juga telah memilih jalannya, dan demikian pula dengan yang lain. Namun ujung jalan mereka semua masih belum terlihat. Tak ada yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi setelah mereka keluar dari Hogwarts. Mengambil langkah ini benar-benar sebuah keputusan yang penuh resiko. Keputusan yang luar biasa besar.
Draco tak dapat menahan dirinya untuk tidak merasa gugup. Bayangkan untuk menghentikan kegiatan yang dilakukan secara konsisten selama tujuh tahun dan meninggalkan segala hal yang telah dekat dengannya menjadi sebuah masa lalu. Kemudian melakukan sesuatu yang sama sekali baru. Terkadang kekuatiran justru lebih besar dari harapan. Bagaimana jika langkah baru tersebut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan? Apakah semua temannya merasa gugup menanti masa depan? Apakah ini kegugupan karena kecemasan atau kegugupan akan antusiasme?
Berani mengambil langkah ke depan berarti harus berani meninggalkan langkah di belakang. Menyelesaikan segala urusan yang telah dia mulai, namun belum terselesaikan. Mungkin ini salah satu alasan ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Bahwa ada kemungkinan bahwa kegugupan juga bisa muncul karena ada sesuatu yang belum dibereskan. Hatinya mengatakan demikian setelah memikirkannya masak-masak semenjak beberapa jam terakhir. Memang masih ada satu hal. Ada sesuatu yang harus dilakukannya sebelum dia benar-benar pergi.
Draco menatap pintu kamar. Kemudian kembali menatap tongkat sihir yang berputar-putar di antara jemarinya. Kemudian menatap pintu lagi.
Sinting.
Urusan yang belum terselesaikan. Sinting. Apa aku harus melakukannya? batinnya.
Hanya satu keinginan sederhana.
Draco menelan ludah, sedikit bertambah gugup. Ini terasa janggal dan salah, karena Draco Malfoy tidak pernah gugup. Maka setelah menetapkan hatinya, dia memasukkan tongkat sihir ke saku lalu bangkit dari ranjang.
"Mau makan malam, Draco?" tanya Blaise.
"Bukan—"
"Aku ikut— tapi tunggu sebentar. Sebentar, oke? Aku harus—urgh—menutup koper keparat ini—urgh—dulu," katanya menekan koper membandel itu. "Pinjami aku pantatmu sebentar, Draco. Sini bantu aku."
Draco hendak mengatakan sesuatu bahwa dia bukan pergi untuk makan malam. Matanya menatap pintu kamar dan Blaise bergantian. Namun ujung-ujungnya dia memutuskan membantu temannya itu sejenak. Blaise menginstruksikan Draco duduk di ujung koper, sementara dirinya sendiri duduk di ujung satunya. Beban tubuh dua orang menekan ke bawah. Tutup koper terdesak, lalu berhasil terkait terkunci rapat.
Blaise tampak puas. "Oh, tak pernah kuduga menutup koper akan menyedot seluruh kesabaranku."
"Lalu dimasukkan kemana sisa jubahmu ini?"
Beberapa potong jubah musim dingin tebal yang tergeletak di atas tempat tidur Blaise.
"Oh, rencananya akan kuberikan pada Jake—kau tahu, anak kelas empat yang jerawatan itu. Lagian Barcelona tidak dingin. Tak ada gunanya aku menyimpan jubah musim dingin banyak-banyak," ujarnya mengangkat bahu. "Ayo, kita ke atas. Perutku sudah lapar."
"Aku bukan mau ke Aula Besar, Blaise."
"Mau kemana kau?" katanya mengernyitkan dahi.
Draco berpikir keras. "Ada sesuatu— yang harus kulakukan."
"Begitu ya?"
"Aku seperti tidak berselera makan saat ini," katanya. "Tapi kita bisa jalan bareng ke atas."
Blaise mengangguk—walau masih tampak penasaran. Draco menunggu si Ketua Murid di depan pintu kamar mereka. Setelah menumpuk jubah-jubah yang tidak dimasukkan ke dalam koper di atas ranjang kosong bekas tempat tidur Greg dulu, Blaise mengikuti Draco ke luar kamar.
Di ruang rekreasi, dua-tiga anak masih mondar-mandir membawa barang-barang. Seseorang melempar jubah dari ujung pintu kamarnya ke seseorang di ujung ruangan lain. Di samping perapian, dua anak kelas enam mengganggu seorang anak kelas dua, mengangkat tinggi tongkat sihir sementara si junior melompat-lompat berusaha menjangkau benda itu.
Draco hampir tertabrak seorang seorang anak kelas empat yang berjalan terhuyung-huyung. Tangannya membawa tumpukan tinggi pakaian dan sebuah kuali yang riskan jatuh di tumpukan paling atas ("Blaise, aku ambil jubahnya setelah makan malam," katanya mengintip dari balik tumpukan). Kemudian kembali berjalan sambil menyuruh orang-orang menyingkir dari jalannya.
Besok ruangan ini akan sepi. Semua cerita di ruang rekreasi itu akan berakhir selepas mereka meninggalkan langkah mereka di sini.
"Rencananya akan ada pesta kecil-kecilan nanti?" tanyanya ketika mereka melewati tembok batu pintu asrama Slytherin. "Sudah tahu?"
Draco mengangguk singkat.
"Bagus. Kita memang harus bersenang-senang malam ini. Dan siapa yang memberitahumu?"
"Daphne."
"Oh. Ini memang idenya sih," sahutnya memberitahu. "Well, bukan pesta heboh. Cuma ide mendadak di antara kita-kita saja. Katanya Jake sudah punya dua botol Wiski Api dan ada seorang anak kelas enam yang punya sebotol. Memang cuma tiga—masih mending daripada tidak ada sama sekali. Tapi apapun bisa dilakukan, benar kan? Saat-saat seperti ini terlalu sayang untuk dilewatkan."
"Yeah."
"Kalau begitu sudah pasti kau bakal ikutan?"
Draco berlagak mengamati baju zirah yang sedang menari tap dance tanpa menjawab pertanyaan. Dia benar-benar tak tahu. Jelas pesta bukan saat yang tepat saat ini. Banyak orang hanya akan membuat pusing. Akan ada yang banyak bicara. Akan ada banyak tingkah khas pesta. Kebisingan dan banyak lagi. Dan patut diingat, akan ada Pansy.
Blaise menghela napas. "Yah, memang bukan pesta gede-gedean seperti pesta kemenangan Slytherin dulu. Jangan berharap seramai itu, Draco, kau tahu itu," katanya mengingatkan. "Anak Slytherin sudah tidak sebanyak dulu. Paling-paling hanya ngobrol sampai pagi. Tapi lumayanlah untuk seru-seruan."
"Oke. Bukan masalah."
Kemudian sunyi tak ada yang bicara. Mereka berjalan melewati lorong bawah tanah sepi, menuju tangga. Draco merasakan tatapan Blaise seolah menunggu Draco untuk berkata lebih banyak. Perlahan dia menyadari, dirinya memang tak banyak bicara malam ini. Sesuatu yang janggal bagi siapapun karena Draco Malfoy seharusnya 'banyak bicara'. Dirinya selalu mendominasi di segala kesempatan.
"Draco, kau konslet ya?"
"Hah?"
"Ada apa denganmu?" tanyanya.
"Ada apa apanya?" tanya Draco balik. "Aku sudah bilang 'oke', Blaise. Berarti aku setuju-setuju saja," katanya.
Mereka berjalan menaiki tangga. Kemudian melewati Joe si Keeper Slytherin yang berjalan ke arah sebaliknya lalu bertukar sapaan.
"Bukan itu, idiot." Draco mendengar cowok itu menghela napas menatapnya kesal. "Aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan. Maksudku, untuk sebuah langkah besar yang telah kau impikan selama beberapa tahun terakhir, wajahmu itu seperti orang yang sedang sembelit, tahu tidak?" katanya, mengernyitkan dahi.
Draco tak dapat menahan senyum pada pernyataan teman seasramanya itu. "Dan kau bawel sekali malam ini, kau tahu itu."
"Aku sudah mengenalmu lama," katanya lagi. "Draco Malfoy si Casanova. Manwhore," Kata yang terakhir membuat Draco mendelik, menatap garang ke arahnya. "Aku tidak pernah melihatmu mellow. Kau pendiam sekali. Draco Malfoy yang pendiam seperti pertanda kiamat bakal datang sebentar lagi.Man, ini bukan dirimu. Dan yang sedang kau rasakan ini tidak sehat."
Draco tersenyum lebar. "Baik, Healer Zabini."
"Oh, kau malah mengolok," gerutu Blaise. "Aku tak tahu apa yang ada di benakmu, tapi aku sedikit menebak bahwa kau akan mencari kesenangan di tempat lain atau semacamnya. Tidak, tidak. Demi kesehatan jiwa-ragamu, Signore, kau harus ikut bersenang-senang dengan kami malam ini. Jadi, jangan bilang kau tidak ikut," hardiknya tajam. "Jangan pula sampai terbersit di benakmu."
"Oke. Lihat saja nanti."
"Terserah, Malfoy," tukas Blaise tak sabar. "Sekadar informasi yang harus kau sumpal ke dalam otak mungilmu itu, aku tak berminat ikut-ikutan tenggelam dalam kerajaan dunia kegelapanmu. Aku mau senang-senang malam ini. Dan seharusnya kau juga ikut."
Draco menghela napas, merasakan kekesalan temannya itu. "Aku cuma— well, katakan saja aku masih punya satu hal yang harus kuselesaikan."
"Unfinished business?"
"Semacamnya," katanya menimbang-nimbang.
Blaise terdiam sesaat tampak ragu. Dia menatap Draco sambil mengerucutkan bibirnya. "Boleh aku tahu? Apa kau habis membunuh seseorang dan ingin mengubur mayatnya di pekarangan Hogwarts? Aku juga punya unfinished business, Draco. Seseorang yang membuatku tergoda untuk memukul bagian kepala orang itu lalu menguburnya hidup-hidup." Draco masih mendengar sedikit kekesalan dalam suara Blaise. "Tapi bukan berarti aku nggak ikut pesta, kan?" gerutunya.
Draco mendengus tertawa. "Ada apa memangnya?"
"Jake pernah menantangku mencium seorang cewek Hufflepuff seminggu yang lalu. Dan kini cewek itu menguberku seharian tadi dan meyakinkanku bahwa aku cinta sejatinya. Ckckck… dan katanya dia mau ikut besok."
Draco bersiul.
"Yeah. Benar-benar sinting," ujarnya menggelengkan kepala. Lalu dia mengangkat bahu. "Aku sudah membereskannya dan mengatakan bahwa 'kita tidak ditakdirkan bersama' atau 'takdir memang kejam pada kita'."
Draco tersenyum mendengar olokan itu. Mereka tiba di atas tangga, sampai di persimpangan antara jalan ke Aula Besar dan ke tangga lain. Mereka berhenti sebentar, mengucapkan sampai jumpa.
"Oke. Unfinished business," gerutunya sebelum berjalan ke arah Aula Besar. "Tapi usahakan secepatnya kau kembali ke asrama, oke?"
"Lihat saja nanti."
Ketika Draco melanjutkan langkahnya menaiki tangga berikutnya, dia mendengar Blaise bergumam pada diri sendiri, "Oh, kini aku tambah yakin dia nggak bakal datang."
Hermione berbaring di atas ranjang, menatap langit-langit dalam kamarnya yang gelap. Tenggelam dalam pertarungan batin.
Dua hari setelah pembicaraan di perpustakaan itu, segalanya menjadi terasa sulit. Semua temannya tampak menyadari kebisuannya. Dan rasanya berat sekali menghadapi mereka sambil bersikap acuh tak acuh. Ketika bangun tidur, Lavender bertanya kenapa matanya sembab. Ketika pelajaran Transfigurasi, Ron bertanya ada apa, kenapa Hermione begitu pendiam tanpa pernah tangan teracung ke atas seperti dulu. Dan sore tadi di ruang rekreasi, Ginny bilang bahwa jika dia ingin mencurahkan hati, dia bisa bicara dengannya.
Apakah perasaan itu memang telihat sejelas itu di wajahnya hingga orang-orang tampak khawatir?
Seandainya semudah itu untuk bicara tanpa kemudian dihakimi. Dan Hermione tak tahu harus bagaimana mengatasinya. Dia belum pernah merasakan emosi ini. Masalah ini tidak bisa begitu saja diselesaikan sekeras apapun Hermione belajar.
Ini bukan sesuatu yang berhubungan dengan sekolah. Atau yang berhubungan dengan pelajaran. Atau dengan buku-buku. Atau ujian, atau pekerjaan rumah, nilai, tugas, atau sesuatu yang dapat diselesaikan jika dia berkelakuan baik. Atau jika belajar yang rajin, dan jika terus belajar, dan terus belajar, belajar lagi, dan lagi… Ini sama sekali tidak berhubungan dengan masalah yang sering dihadapinya di sekolah. Dunia tahu bahwa selama ini dia hanya pacaran dengan buku dan bercinta dengan ilmu. Yang kini Hermione hadapi menyangkut tentang seorang laki-laki—yang akan membuat heboh seisi Hogwarts jika mereka tahu.
Hermione Granger tidak pernah memikirkan seorang laki-laki.
Dulu Mad-Eye Moody—yang saat itu bukan Mad-Eye sungguhan—dalam pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam pernah mengatakan, "Caranya adalah analisis masalah yang kau hadapi dulu, baru setelah itu kau akan lebih mudah memutuskan mana mantra yang tepat untuk digunakan."
Hermione telah menganalisis 'masalah' yang telah dihadapinya. Namun dia tak tahu 'mantra' apa yang harus digunakan. Masalah yang berhubungan dengan hati dan perasaan, tidak pernah tercantum dalam kurikulum dan buku pelajaran manapun. Apakah dia harus menghiraukan segala sesuatu dan berharap waktu akan membuatnya lupa? Ataukah dia harus mencari pelarian?
Lavender Brown pasti memiliki opsi lain. Jika cewek itu berada di posisi Hermione, mungkin Lav akan mencari orang lain untuk dipikirkan. Orang yang baru jika dengan orang sebelumnya telah gagal. Tentu saja mudah baginya, karena dia dapat dengan mudah menyukai seseorang. Karena dia selalujatuh cinta. Dia menyukai Oliver Wood pada tahun kedua. Sakit hati karena ditolak Cedric Diggory pada tahun ketiga. Sempat marah dengan Hermione karena berkencan dengan Viktor Krum pada tahun keempat. Tahun kelima sempat menyukai Ron Weasley. Dan patah hati gara-gara seorang Muggle yang ditinggalkannya sebelum masuk ke Hogwarts pada tahun keenam. Hermione ingat, selama dua minggu awal masuk sekolah Lavender masih terus menangis tiap malam. Tapi tetap saja kemudian wajahnya menengadah, dan siap memburu cowok lain.
Baginya, cinta adalah permen. Sesuatu yang manis dan mudah dibagi-bagikan kepada orang lain. Dan kembali lagi untuk mencari yang lain.
Apakah akan mudah jika Hermione mencari orang lain juga? Namun mengapa hingga kini tak ada 'orang lain' yang bisa membuat jantungnya berdegup seperti itu? Ataukah mungkin ini adalah sesuatu yang menyerempet pandangan orang-orang dulu bahwa 'cinta pertama tidak akan pernah mati'? Sebuah pandangan klasik. Namun jika mengacu pada pandangan milik Lavender, konsep cinta-pertama-tidak-akan-pernah-mati menjadi cenderung relatif.
Tapi Hermione mengenal seseorang yang pernah mengalaminya.
Ginny Weasley.
Beberapa hari yang lalu, di aula Ginny mengatakan, "Ah itu sudah basi." Ya, mungkin topiknya memang basi. Tapi Hermione tahu perasaan Ginny pada Harry belumlah 'basi'. Dia lihat bagaimana gadis itu mengerling ke arahnya ketika semua orang tak menyadari—apalagi Harry sendiri. Melirik cowok lain memang mudah. Namun menyukai seseorang dengan kadar suka seperti ketika dia menyukai Harry, itu kesulitan lagi. Ginny masih hidup dengan perasaan itu.
Dia tahu dirinya bertepuk sebelah tangan. Namun dia telah bersepakat dengan rasa sakit. Rasanya asyik sekali memikirkan seseorang, katanya. Mungkin karena itu kau akan sulit tidur. Dan rasanya malas sekali untuk makan. Dan terus berdegup kencang jika berada di dekatnya. Terkadang melakukan sesuatu yang bodoh. Kau salah tingkah melulu. Atau bersemu merah. Sangat menyiksa, namun kau menikmatinya.
Ginny benar mengenai bagian 'sangat menyiksa'. Namun dia salah dengan bagian 'kau menikmatinya.' Karena apa yang sedang Hermione rasakan, tak ada rasa nikmat sama sekali. Perasaannya adalah kutukan.
Dan kini dirinya dalam kebimbangan. Dia ingin menemui, namun rasa takut itu masih melingkupi. Dia hanya memiliki satu malam berada dalam udara dan atap yang sama dengan cowok itu. Hari esok akan datang dan membawa hatinya pergi. Waktunya hanya satu malam dan Hermione tak tahu bagaimana harus mengakhiri, bagaimana harus menyerah.
Sudah sejam Hermione berbaring di atas tempat tidur dan bahkan melewatkan makan malam. Menatap langit-langit kosong berharap jawaban permasalahan akan muncul secara ajaib dalam benaknya. Namun dia hampir tak menyadari ketika ada seseorang yang masuk. Seberkas sinar muncul dari luar kamar yang diterangi cahaya temaram. Dia baru menyadari ketika orang tersebut menyalakan obor untuk menerangi kamar. Mata Hermione mengerjap sejenak, beradaptasi dengan cahaya.
"Merlin, kukira tak ada orang! Ngapain kau gelap-gelapan begini?" kata Lavender Brown.
Hermione mengambil posisi duduk menghadap Lavender. "Hanya mengistirahatkan mata," jawabnya bohong. "Sedang apa?"
"Oh, hanya ingin mengambil buku Legiun Litheas. Harus mengembalikan ke perpustakaan sebelum tutup," katanya. Kemudian tangan berada di pinggang, memandang Hermione. Keningnya berkerut. "Kau jarang turun makan, kini mulai gelap-gelapan. Jika aku tidak mengenalmu, aku pasti sudah menduga kau digigit vampir atau semacamnya."
"Bukan."
"Jadi kau digigit manusia serigala?"
Hermione hanya tersenyum. "Maksudku, aku baik-baik saja, Lav."
"Oh," sahutnya datar. Dia berjalan ke arah lemari di samping tempat tidurnya, mencari-cari dalam laci. "Terakhir aku bergelap-gelapan sendirian tidak jelas begitu adalah ketika aku ditolak Cedric— Oh, dimana buku sialan itu." Setengah tidak sabar, dia menumpahkan seisi laci di atas tempat tidur. "Dan satu kali ketika aku baru putus dari Neil—mantan pacarku yang muggle itu," lanjutnya lagi.
"Selalu tentang cowok ya?"
Lavender balas tersenyum. "Ah, benar juga," katanya seraya berpikir. "Berarti… jadi, Hermione dear, apa masalahnya? Dan siapa orang ini?"
"Apa?"
"Kau sedang menyukai seseorang, tentu saja."
Hermione hampir tersedak mendengar komentar langsung tak terduga itu. "Apa?"
"Ginny benar," ujar Lavender kalem.
Hermione mengangkat sebelah alisnya. "Sori?"
"Ginny dan aku sedikit ngobrol waktu makan malam tadi. Dia penasaran ada apa denganmu belakangan ini. Aku hanya menebak bahwa nilai ujianmu ada yang jelek. Namun Ginny menebak ngasal bahwa kau mungkin sedang jatuh cinta atau semacamnya—atau malah ditolak cowok, siapa tahu. Dan aku baru sadar, tebakannya benar." Kemudian dia menemukan buku yang dicarinya. Tapi dia belum beranjak keluar kamar—sayang sekali—malah berdiri dengan tangan di pinggang. "Jadi? Ada klarifikasi? Siapa orang yang membuatmu sinting ini?"
Hermione memaksakan tawa. "Jangan mengada-ada," sahutnya mengalihkan pandangan. "Tak ada 'seseorang'."
Lavender menghela napas keras kali ini. "Baiklah. Simpan saja itu untuk dirimu sendiri," katanya. Kemudian dia berbalik, kembali keluar kamar. Namun sebelum dia menyentuh gagang pintu, Hermione memanggil.
"Lav?"
Gadis itu berbalik. "Ya, honey bun?"
Hermione menggigit bibirnya ragu.
Lavender menunggu. Tangan di pinggang lagi.
"Er— tidak jadi."
Lavender mendengus sekarang. "Well sekarang, kau juga membuatku sinting," ujarnya menghela napas. "Ngapain dibuat stres sih? Kau menyukainya, temui saja dia. Lalu katakan padanya apa yang ingin kau katakan. Jangan kuatir, Hermione, takkan ada yang mendepakmu. Lagian siapa sih orang yang nggak menyukaimu hah?" katanya enteng. "Jika tak mau bilang padanya juga tidak masalah. Setidaknya bisa bersamanya—itu kan yang paling kau inginkan? Tapi akan lebih baik jika kau mengatakannya sih. Hatimu akan lebih plong."
Rasa panas menjalar di pipi Hermione. "Kau sinting. Ini tak ada hubungannya dengan—"
"Kaulah yang sedang sinting, ingat?" sahut Lavender. "Ah, paling-paling setelah itu kalian akan berbagi ciuman panas dan satu-dua hal lain yang akan menyertai. Cuma satu nasihatku, jangan lupa mantra Kontrasepsi," lanjutnya datar.
Wajahnya serasa terbakar sekarang. "Hal seperti itu takkan terjadi."
"Uh-uh. Dan itu kata-kata yang sama kukatakan waktu Harry bilang Kau-Tahu-Siapa telah kembali," ujar Lavender kalem. "Ngomong-ngomong, sudah ya. Aku sungguh buru-buru."
Hanya sedetik kemudian, dia membuka pintu lalu menghilang di baliknya. Meninggalkan Hermione dengan suatu hal untuk dipikirkannya.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, Lavender Brown menjadi seseorang yang tidak pernah berpikir panjang. Dia membebaskan dirinya. Sesuatu yang hampir takkan mungkin dilakukan oleh Hermione. Selalu ada yang namanya batasan. Kenyataan dan imej akan selalu menjadi batasan karena dia adalah murid terpintar di Hogwarts. Karena dia adalah Ketua Murid. Dia diharuskan mengerti mana yang boleh dilakukan atau tidak.
Hermione membaringkan diri di atas ranjang. Mata kembali memandang langit-langit yang kosong. Benaknya memainkan berbagai film pendek yang diputar berulang-ulang.
Apa yang telah terjadi beberapa bulan terakhir ini memang telah melewati batasan itu. Perasaannya telah mengalahkan logika, konsekuensi, dan rasionalitas. Namun dua hari lagi ketiganya akan kembali. Draco Malfoy akan pergi. Secara logika, itu tidak aneh karena mereka memang dua sisi yang berbeda. Mereka tidak mungkin bersama karena akan ada konsekuensi yang begitu besar. Mereka adalah dua orang yang cerdas, rasionalitas seharusnya dapat mengingatkan bahwa ini tidak boleh terjadi semenjak dia menginjakkan kakinya di hutan itu.
Namun dua hari lagi. Dua hari lagi segalanya akan kembali seperti semula bahwa mereka berada dalam dua sisi yang berbeda. Maka Hermione hanya memiliki satu hari. Hanya malam ini dirinya masih boleh menghiraukan semua batasan itu dan membebaskan dirinya lalu untuk berada dalam udara yang sama dengan Slytherin itu. Menghiraukan hari esok. Jauh di lubuk hatinya Hermione menyadari bahwa semua ini harus diakhiri sebelum membuatnya gila. Rasa takutnya. Perasaannya.
Gadis itu bangkit dari tempat tidur, menelan ludah, merasakan jantungnya berdegup kencang. Keberanian mendorongnya mengayunkan langkah menuju pintu kamar. Kemudian bergegas menuju lubang lukisan. Menghiraukan desakan Nyonya Gemuk yang memaksanya mendengar nyanyian yang baru diaransemen ulang. Setengah frustasi menyuruhnya membuka lukisan. Kemudian lubang lukisan terbuka.
Hermione meyakinkan diri bahwa jika dia ragu, inilah saatnya untuk berubah pikiran. Namun ketika kakinya menyentuh tangga turun, dia menyadari bahwa sebenarnya dirinya memang tidak memiliki waktu lagi untuk berubah pikiran. Keinginannya hanya mau bertemu.
Hanya ingin bertemu.









0 komentar:
Posting Komentar