RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi Chapter 10

Silahkan baca!


BAB 10
Draco menatap gadis itu pada pelajaran ramuan siang itu untuk kesekian kalinya. Namun Granger tak menyadarinya. Tak menyadari atau berlagak tak menyadari.
"Mata kadal atau kulit ular?" tanya Vincent padanya sambil mengangkat dua benda itu pada masing-masing telapak tangannya.
Draco menghentakkan dagunya ke arah mata kadal yang berada di tangan kanan Vincent. "Satu saja. Aduk perlahan. Bukan―kubilang perlahan."
Vincent menuruti Draco. Ramuan itu kini menggelegak dan mengeluarkan suara desisan kecil. Aroma asam seperti bau sulfur keluar bersama gumpalan asap berwarna kehijauan. Draco kembali memandang si Ketua Murid. Draco tidak heran ketika kali ini dialah yang menatapnya lebih dulu. Lalu cepat-cepat gadis itu menurunkan pandangan ketika mereka bertemu pandang, berpura-pura memotong akar Mandrake dengan kesal.
Ada apa dengannya?
Selama beberapa hari setelah gadis itu menyelamatkannya, dia masih marah. Masa sih masih marah karena perlakuan Draco di Shrieking Shack dulu? Memang, Draco bertindak sedikit kelewatan terhadap orang yang sudah menyelamatkannya. Tapi bukankah peristiwa itu sudah lewat beberapa hari yang lalu? Bahkan kini musim telah berganti dan dia masih belum melupakannya. Yang benar saja. Well, sepertinya Hogwarts harus membuka tempat konseling untuk orang-orang bertemperamen aneh.
Jika dirasa-rasa, sejujurnya Draco merasa ada sesuatu yang lain selain peristiwa di Shrieking Shack. Tapi dia tak mengetahui apa itu. Sesuatu yang Draco pertanyakan selama seminggu ini. Draco menyadari bahwa gadis itu mendadak sering gugup belakangan ini bila seruangan dengannya. Gugup. Bukan kesal seperti sebelumnya. Hermione lebih sering diam dan membiarkan Blaise yang banyak bicara pada rapat prefek. Hal yang dulu sangat mustahil untuk terjadi. Kini Hermione bertingkah seakan Draco tidak ada di ruangan itu. Seakan dia manusia tembus pandang. Cemooh-cemoohannya tidak ditanggapi. Kepala Murid itu sama sekali tidak membalas cemoohan-cemoohannya! Draco Malfoy benci dihiraukan oleh siapa pun.
Ada apa dengannya?
Setelah apa yang terjadi di Shrieking Shack itu Hermione juga tak pernah mengunjungi lithelas-lithelasnya lagi. Selama tiga minggu. Dia gila? Seminggu terakhir ini adalah masa yang paling penting bagi pertumbuhan lithelas. Yang paling sensitif. Litheas tumbuh bunga sehingga perlu perawatan lebih inten—
Intinya dia mulai tidak peduli! Ada apa dengannya?
Semua hal bodoh ini terjadi setelah pertandingan Quiditch. Hermione mulai benar-benar menghindarinya semenjak hari itu. Mungkin dia menghiraukan Draco untuk menghindari pembicaraan mengenai kekalahan Gryffindor. Namun ketika dipikir lebih lanjut, hal itu tak mungkin menjadi alasan. Berkali-kali Draco berusaha menghentikan Hermione mendatangi tempat itu. Hal itu tak menghentikan Hermione barang sedikit pun. Namun kini Draco heran karena Hermione melepaskan sesuatu yang selama ini dia pertahankan. Dan Draco sekali belum menemukan alasannya. Sebenarnya itu menguntungkannya. Bukankah itu yang selama ini dia harapkan? Dengan begitu dia tidak akan melihat Granger jalang itu lagi di hutannya.
Bum!
Suara ledakan kecil membuat kelas itu tersentak. Serta merta semua murid menoleh ke arah sumber suara itu. Suara rintihan keluar dari mulut Longbottom. Dia jatuh terduduk di dekat mejanya. Wajahnya berubah membiru.
Snape mendatangi mejanya dengan wajah garang. "Mr. Longbottom," gumamnya datar namun penuh amarah di dalamnya.
Longbottom nyaris tak dapat bersuara. Warna wajahnya menjadi lebih gelap. Dia menoleh ke arah Weasley seakan dia ingin Weasley menjelaskannya kepada Snape. Guru Ramuan itu menoleh ke arah Weasley yang merah padam.
"Mungkin kau bisa menjelaskan?" tanya Snape bertambah garang. "Apa yang kau tambahkan, Mr. Weasley? Akar Mandrake?"
Wajah bodoh itu mengangguk penuh keraguan sebagai respon.
Aku tak heran. Yang bisa dilakukannya hanyalah membuat masalah, mengekor pada si Pitak, atau mengharap-harap si Ketua Murid. Yeah, jangan kira aku juga tak menyadarinya, Weaselbee. Aku dapat melihat bagaimana caramu menatap Granger jalang itu sejelas kaca transparan. Benar-benar menjijikan.
"Potong lima poin untuk Gryffindor," desis Snape sambil menyipitkan matanya. "Dan potong dua puluh poin juga karena melakukan tindakan bodoh yang berbahaya."
Tindakan bodoh yang berbahaya. Draco tersenyum pada kata-kata itu. Murid-murid Gryffindor menghembus napas kesal. Sedangkan murid-murid Slytherin menyeringai senang.
Snape melempar pandangan menegur ke seluruh murid. "Jangan pikir kalian sudah berhasil melakukan tugas hari ini," desisnya. "Semua yang kalian kerjakan adalah sampah. Tak becus. Kalian mendapat tugas tambahan menganalisis ramuan hari ini dan ramuan sebelum-sebelumnya. Cari kesalahan yang kalian perbuat dan pembetulannya." Mata Snape menjadi lebih gelap. "Kelas bubar."
Para Slytherin mengerutkan keningnya dan saling pandang tidak percaya. Mereka menatap Weasley dengan penuh kekesalan karena menyebabkan akhir pekan yang tadinya tanpa PR itu harus diisi dengan mengerjakan tugas keparat itu. Dan seharusnya wajah bodohnya itu yang terkena ramuan Longbottom.
Blaise menggeram putus asa. "Brengsek!" Dia menatap Draco. "Kapan saat-saat menyenangkan seperti minggu lalu datang lagi? Kau tahulah, ketika kita memenangkan pertandingan Quidditch melawan Gryffindor sialan itu."
Hermione buru-buru meninggalkan ruangan. Weasley berteriak meminta agar memperlambat langkahnya sambil sesekali menengok ke belakang untuk memastikan Potter berjalan di belakangnya yang sedang membantu Longbottom untuk dibawanya ke rumah sakit.
"Ya," sahut Draco. Dia membereskan barang-barangnya. "Aku hanya dapat mengingat nikmatnya kemenangan ketika melihat papan skor sihir mengumumkan keunggulan kita. Namun yang ada di benakku setelahnya adalah sepenggal ingatan tentang pesta yang meriah dan sisanya hanya berupa bayangan kabur."
"Kau memang mabuk berat, Malfoy." Blaise terkekeh. "Tapi aku tahu kau pasti bersenang-senang. Di ruang kelas itu? Tak mungkin seorang Draco Malfoy hanya sendirian kan?" cemoohnya seraya meminta persetujuan dari teman-temannya. Yang lain menyeringai setuju.
"Begitu?" Draco membalas menyeringai. "Apa ya yang kuingat? Kurasa memegang Wiski Api. Ada Will dan Gibb bersorak-sorak di atas meja—ruangan yang penuh panji berwarna hijau. Aku tidak mengingat apa-apa lagi setelah itu. Yang jelas keesokan paginya aku sudah berada di atas ranjangku sendiri."
Draco menggantungkan tasnya di pundak. Dia segera meninggalkan ruang kelas itu diikuti kawan-kawannya. Koridor itu mulai ramai oleh murid-murid yang akan makan siang di Aula Besar.
Vincent nyengir lebar padanya. "Greg membawamu ke asrama setelah si Granger memberitahunya bahwa kau sedang teler di salah satu ruang kelas. Teler tetapi menurutku cukup sadar, melihat kau masih bisa menarik Pansy ke kamarmu." Cengirannya bertambah lebar. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terlihat kacau sekali si Kepala Murid Putri itu. Kurasa kita cukup membuatnya kewalahan."
"Apalagi karena dia"—Greg menghentakkan dagunya ke arah Blaise—" bolos patroli. Tidakkah kau takut Granger mengadukanmu ke Macgonagall, Blaise?"
"Dia sudah mengadukanku. Tapi Macgonagall hanya berceloteh sekenanya saja," kata Blaise. "Lagian ngapain juga Granger repot-repot patroli malam itu? Menyusahkan diri sendiri saja."
"Yeah," kata Greg antusias. "Cewek bego yang ingin menghentikan para Slytherin bersenang-senang. Benar-benar malam yang hebat. HmmKurasa aku harus membeli Pensieve agar aku dapat mengulang-ulang saat-saat penuh kesenangan itu. Kapan kita bisa merasakan malam seperti saat itu lagi?"
"Malam ketika memenangkan Piala Asrama," jawab Blaise sambil menerawang.
Draco menaikkan sebelah alisnya. "Menang setelah pemotongan poin besar-besaran pada malam tempo hari? Kau bermimpi."
Wajah Blaise menjadi lesu ketika Draco membuyarkan khayalannya. Dia menghela napas dengan berat. "Aku harap Weasley tak hanya meledakkan kepala Longottom, tetapi juga asrama sialannya agar poin Gryffindor terpotong habis," gumamnya.
"Yeah," sahut Vincent.

"Enyahlah dari pandanganku," Draco berkata dari balik bukunya.
Seorang cowok Gryffindor mendengus kesal tanpa beranjak dari tempat dia berdiri di samping rak buku yang berdebu.
Kepala batu khas Gryffindor. Tipe Gryffindor yang Draco benci.
Dia tahu, persoalan ini takkan selesai begitu saja. Gryffindor merasa dirinya terbaik di antara semuanya. Itu berarti Draco pasti dihiraukannya. Dan dia tak suka. Siapa saja harus membalasnya—apapun—walaupun hanya umpatan karena dengan begitu Draco dapat membalasnya lagi. Draco tak suka dihiraukan.
"Siapa namamu?"
Gryffindor keparat itu mengerling sejenak. "Kenapa, Malfoy?"
"Kau tahu siapa aku. Aku bisa saja memberimu selusin detensi jika aku mau." Kini Draco menurunkan buku untuk benar-benar menatap cowok Gryffindor itu, menantangnya.
Cowok itu memutar bola matanya. Sepertinya ancaman itu membuatnya berpikir dua kali untuk menimpali Draco lebih lanjut. Dia berjalan meninggalkan Draco setelah menatapnya penuh dengan permusuhan.
"Lima poin untuk tatapan itu," gumam Draco kemudian untuk memuaskan hatinya.
Cowok itu mendengus. "Fuck you," gumamnya nyaris tak terdengar oleh Draco.
"Kau beruntung hanya lima, kau tahu itu," tambahnya dengan volume suara lebih keras agar Gryffindor itu mendengar.
Draco menghela napas lalu pandangannya kembali ke bukunya. Dia tak sedang kesal. Dia juga tak sedang marah. Hal itu dia lakukan hanya untuk menunjukkan siapa yang punya kendali dan siapa yang punya otoritas di Hogwarts. Jika perlu, intimidasi orang lain. Desak mereka ke dinding untuk menjunjukkan siapa yang punya kekuatan di sana. Buat kontak mata hingga pesannya tersampaikan. Kemudian, dia akan menghormatimu.
Dia menaikkan kakinya ke atas meja sambil terus membaca, tanpa menguatirkan teguran penjaga perpustakaan. Dia berada di bangku yang terpojok dekat jendela-jendela yang berjejer di sepanjang dinding. Tempat favoritnya yang mengingatkan dirinya dengan rumah neneknya. Jendelanya mungkin. Atau ukiran kayunya. Atau apalah terserah. Sebenarnya rumahnya tak sebagus dan semegah Kediaman Malfoy. Entah ada apa yang membuatnya lebih hidup di sana.
Siang itu perpusatakaan lebih ramai daripada biasanya. Draco mencari tempat yang sejauh mungkin—dan tersembunyi—agar tenang. Mungkin mereka belajar mempelajari pertahanan terhadap ilmu hitam. Gerakan Pelahap Maut kini kini lebih terang-terangan. Bahkan Greg menjadikannya lelucon ketika dia membuat gangguan kecil di Hogmaede beberapa hari yang lalu secara diam-diam. Atau ketika ayah Vincent bersama teman-temannya yang katanya menyerang tempat pemeliharaan naga di Norwegia. Esok paginya Vincent menyombongkan suvenir yang dibawa Mr Crabbe berupa cakar kecil naga yang telah binasa.
Ironis sekali, murid-murid itu belajar pertahanan terhadap ilmu hitam. Karena Draco malah membaca bahan yang sebaliknya.
Draco Malfoy menyempatkan diri untuk membaca? Yeah, kadang-kadang. Bukan buku-buku umum, sebenarnya. Kutukan Transfigurasi Katak atau Kutukan Tumbuh-Ekor hendaknya menarik perhatiannya. Atau mungkin beberapa jenis sihir hitam dari Seksi Terlarang. Menyenangkan sekali. Semuanya hanya sekadar bacaan selingan. Tak ada yang cukup berharga untuk dijadikan praktek. Well, kadang-kadang dia juga tergoda sesekali. Mungkin menyenangkan juga untuk digunakan pada rambut merah Weasel. Sasaran empuk, ya kan? Mudah sekali memancing emosinya. Hanya memercikkan api sedikit, si rambut merah itu sendiri akan langsung membuatnya berkobar. Apalagi ketika sedang rapat prefek ketika Draco berusaha memojokkan si Ketua Murid Putri itu.
Granger.
Seakan Draco memanggilnya, dia melihat gadis itu berjalan memasuki Seksi Terlarang itu. Dia tak melihat Draco karena dia langsung berjalan ke balik deretan rak tanpa tengak-tengok. Namun Draco dapat melihat rambutnya di sela-sela rak. Atau bahkan melihat wajahnya yang sedang menekuni seuah pencarian buku jika dia berbalik menghadap sisi rak yang lain.
Granger kini mengambil sebuah buku dari rak. Dia meniup debu tebal yang menyelimuti permukaan, lalu dia membuka sampul kulitnya. Tiba-tiba buku itu melolong keras. Granger bodoh itu tersentak lalu menjatuhkannya.
Draco tertawa nyaris tanpa suara sehingga Granger tak mendengarnya.
Gadis itu tak pernah ke hutan itu lagi semenjak kemenangan Slytherin atas Gryffindor. Draco berusaha mengingat apa yang terjadi setelah itu. Selain pesta, tak ada lagi yang istimewa. Atau sesuatu yang aneh. Dia hanya mengingat dia telah minum banyak. Dia memang sedang merayakan sesuatu, kan? Apa yang lebih menyenangkan selain minum beberapa teguk Wiski Api yang nikmat? Beberapa teguk? Well, mungkin lebih. Sebotol? Dua botol?
Selain itu ada hal lain yang aneh juga. Granger menjadi jarang menimpali Draco seperti biasanya. Berani-beraninya dia menghiraukan Draco Malfoy. Tak heran Draco semakin memojokkan Granger dengan bantahan-bantahan di sela-sela rapat. Namun hal itu tak berguna karena yang menimpalinya justru Weasel keparat itu. Ya, memang ada yang berbeda sesuatu dengan si kutu buku.
Brengsek.
Draco menutup bukunya, menaruh di atas meja. Dia bangkit dari bangku lalu berjalan ke arah deretan rak yang tinggi-tinggi. Dia memasuki lorong rak di sebelah lorong Granger. Draco dapat menatapnya melalui sela-sela rak. Granger tak menyadarinya. Dia sibuk mengambil buku lalu mengembalikannya lagi jika buku itu bukan buku yang dicarinya. Dia kembali menjatuhkan buku itu ketika buku itu memintanya dikembalikan ke rak. Ceroboh sekali. Buku itu mengumpat-umpat. Jemarinya menyusuri deretan buku yang berjajar. Wajahnya cerah ketika mengambil salah satu buku yang bersampul coklat penuh debu.
Hermione berjalan menuju deretan bangku dan meja yang kosong di pojok ruangan tak jauh dari tempat di mana Draco tadi duduk. Dia mengeluarkan secarik perkamen dan pena bulu dari dalam tasnya.
Draco mengambil sebuah buku secara asal tanpa membaca judulnya dari deret rak di sebelahnya. Dia berjalan ke arah gadis itu lalu mengintip dari balik bahu Hermione untuk melihat apa yang dia tulis. Sekumpulan hitungan-hitungan Arithmancy.
Sangat Granger sekali.
"Kau yakin hitunganmu sudah benar pada langkah kedua?"
Efeknya sangat mengejutkan. Hermione tersentak kaget. Draco juga kaget karena dia begitu terkejut. Hermione menoleh ke arahnya lalu semburat merah menjalar ke pipinya. Dia memalingkan wajahnya, berusaha kembali fokus pada perkamen.
"Kau pikir kau jenius ya?" tanya si Ketua Murid tanpa menatapnya.
Draco mengerutkan keningnya, tersenyum mengejek. "Tak perlu menjadi jenius untuk mengetahui 12 dikali 4 sama dengan 48."
Hermione menatap ulang perkamennya. Pipi gadis itu memerah ketika menyadari ketidaktelitiannya. Lalu ia mendadak gelisah seraya menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. Dia mendekatkan perkamen itu ke tubuhnya sehingga Draco tak mempunyai akses pandangan untuk membacanya lebih lanjut.
Draco memutari meja. "Dan," lanjutnya. Dia mengambil bangku lalu duduk berhadapan dengan Hermione di seberang meja. "Lebih mudah jika hasil di langkah kedua disubstitusikan lebih dahulu dengan yang sebelumnya. Langkahnya jadi tak perlu panjang. Tetapi itu juga jika kau membutuhkan saranku, tentunya."
Hermione mengerling sejenak, lalu pandangannya kembali ke perkamen. "Sayangnya aku tidak membutuhkannya," katanya sambil tersenyum. Jelas bukan senyum persahabatan. Dia berdeham. "Aku hanya ingin agar langkahnya lebih detil sehingga dapat dimengerti."
"Terserahlah."
Dia membuka buku yang dia ambil tadi lalu membuka langsung ke halaman tengah secara asal. Matanya alih-alih membaca buku namun tak satu pun kata yang dia baca. Karena dia lebih sering mengerling ke arah Hermione yang tetap berusaha berkonsentrasi pada tugasnya. Draco memiliki PR yang sama tapi dia selalu mengerjakan PR sampai sehari menjelang deadline. Dia tak sama dengan si kutu buku Granger yang perfeksionis dalam semua mata pelajaran.
Gadis itu terlihat risih dengan keberadaannya. Dia berusaha menyembunyikan rasa gelisah itu dengan menghiraukan Draco. Dia memainkan pena bulunya. Gugup. Draco senang karena berhasil membuatnya gelisah.
Lalu Hermione menyerah. "Tidakkah kau memiliki sesuatu yang harus kau lakukan?"
"Bisakah kau menutup mulutmu?" tanya Draco seraya mengintip dari buku yangdia baca. "Ada orang yang sedang membaca buku di sini."
Hermione menatap sekilas ke sampul buku itu. Serta merta dia kembali fokus untuk membacanya seakan telah melewatkan sesuatu. Dia mengerutkan keningnya lalu tersenyum mencemooh. "Menambah wawasannya, ya? Ingin menerapkannya dalam waktu dekat ini?" tanyanya.
Draco mengangkat alis. Lalu dia membalik buku itu untuk membaca sampulnya. Tulisan yang terdapat di sampul itu berbunyi Kamasutra. Dia segera menyadari isinya.
Kau sangat menguasai pengetahuan umum rupanya, Granger. Otakmu juga diisi sesuatu hal yang berguna.
Draco membasahi bibirnya lalu menyeringai. "Banyak membaca itu bagus, Granger," ujarnya sambil mengangguk-angguk.
Hermione memutar bola matanya. "Oh, pastinya." Tatapannya kembali ke atas perkamen. "Menambah pengalaman untuk diterapkan dalam waktu dekat ini?"
"Begitulah—walaupun dengan kemampuanku sekarang kurasa sudah perlu pengetahuan semacam ini lagi."
Granger tampak muak. Draco nyengir dalam hati.
Kau bisa saja menjadi sesorang yang hebat jika saja darah yang mengalir di pembuluh darahmu itu bukan lumpur, Granger. Tetapi sayangnya, kita memang bukan dari sisi yang sama. Itulah yang membuatmu tetap kotor sampai saat ini.
Ada ratusan pertanyaan yang hendak ditanyakan kepada Gryffindor itu. Draco merasa aneh—terlebih pada dirinya sendiri—ketika dia tak melihat gumpalan rambut coklat itu di hutan itu beberapa waktu belakangan ini. Ada apa? Apa yang terjadi? Draco telah mengenal Granger. Dia takkan membiarkan Draco menang—membiarkan dirinya terusir dari hutan itu. Atau menghentikan dirinya melakukan sesuatu yang ingin gadis itu lakukan. Tapi sekarang, entah karena alasan apa, dia membiarkan Draco menang. Draco tahu benar bahwa Granger keras kepala.
Urg, Draco Malfoy mengenal Hermione Granger? Oke. Kalimat itu terdengar aneh. Kejutan sekali, bukan? Semuanya ini memang sudah aneh. Aneh semenjak dia mulai berbagi tempat dengan gadis itu. Tetapi kini Gryffindor itulah yang lebih aneh.
Draco dapat melihat ada sesuatu yang disembunyikannya. Demi Merlin, dia dapat melihatnya melalui mata itu. Mata itu sudah terlalu sering menghindarinya. Sangat tidak biasa. Padahal sebelumnya Granger tak pernah menghindari tatapan Draco. Dia membalasnya karena dia ingin Draco tahu bahwa dia tidak takut sedikitpun padanya. Bahkan mungkin jika dia takut pun, dia tidak ingin memperlihatkannya.
Dan karena dia adalah darah lumpur keparat yang paling berani yang pernah Draco kenal.
Apa yang dipikirkan gadis itu adalah apa yang diinginkannya sendiri. Apa yang dilakukannya adalah apa yang dia ingin lakukan. Bukan dorongan dari orang lain. Bukan ketakutan pada orang lain. Bukan untuk menjilat seperti semua yang dilakukan teman-teman di asrama Slytherin pada Draco. Head Girl itu melakukan semuanya karena dia ingin. Karena dia adalah dia. Hermione Granger. Dan Draco dapat merasakan kemurnian itu. Bukan dari dari darahnya. Tapi dari sesuatu yang lain yang tak pernah dia temukan dari orang lain.
"Litheasmu layu," kata Draco kemudian setelah keheningan yang panjang.
Hermione mendengarnya. Draco tahu karena Hermione sedikit tersentak. "Ya." Gadis itu mengeluarkan lagi anak rambut yang tadi disisipkan ke belakang telinganya dengan gelisah.
Yang benar saja. Dia hanya bisa mengatakan itu? Apa artinya?
"Ya?" tanya Draco.
"Ya."
Draco tak suka dibodohi. "Apa artinya itu?"
"Kau merasa hebat pada pelajaran Arithmancy tetapi kau tak bisa mengartikan kata 'ya'?" tanya Hermione seraya mengangkat alis matanya.
Draco mengangkat bahunya. "Arithmancy tak mempelajari kata 'ya', Granger."
"Demi Merlin." Hermione menghela napas dengan keras. "Percakapan kita selalu absurd, Malfoy. Abstrak. Aku heran sejauh ini aku masih berkomunikasi dengan manusia dari dunia lain seperti kau. Inilah sebabnya aku tak pernah ingin bicara denganmu lebih dari beberapa detik, Malfoy."
Draco menyeringai. Tak mau bicara, heh?
Sekali lagi, inilah yang diinginkan Granger. Draco bisa melihatnya. Kadang ada rasa gentar di matanya. Namun seperti yang Draco kenal betul, Hermione takkan tunduk begitu saja. Kekeraskepalaannya itulah yang ingin Draco hancurkan.
"Litheas layumu itu hanya mengganggu pemandangan, Granger. Benar-benar mengganggu. Kau harus menyingkirkannya dari sana secepatnya," gerutunya. "Kau tak menyiramnya dan memberi pupuk. Jangan harap bunganya akan mekar seperti yang kau harapkan. Sejak kapan, ya—pertandingan Quidditch itu mungkin? Yeah, kurasa memang sejak pertandingan Quidditch itu, bukan?"
Hermione mendadak gelisah. Pipinya memerah. Dia menatap perkamennya. Suatu benda di dekat perkamennya. Dia memutar pena bulunya dengan jemarinya dengan gelisah. Seketika itu, Draco mendadak menyadari sesuatu. Ada sesuatu mengenai pertandingan Quidditch itu yang tak ingin dia ketahui darinya.
"Saat saat yang menyenangkan ketika itu," gumam Draco memulai. Dia akan mengilas balik sejenak untuk mencari tahu apa yang terjadi di malam itu. "Maaf sekali aku harus mengalahkan asramamu," cemoohnya.
"Cukup," sahut Hermione cepat. Dia membereskan perkamen dan alat-alat tulisnya. "Aku tak perlu mendengarkan ocehanmu lagi."
"Yeah, memang menyakitkan, kan?"
Hermione memutar bola matanya.
"Aku bisa mengerti bagaimana menyakitkan kekalahan kalian waktu itu. Seandainya aku dapat mengingat ekspresi-ekspresi kecewa kalian tentunya sangat menyenangkan," kata Draco ketika Hermione hendak bangkit dari kursinya. "Sayang sekali karena aku harus larut dalam perayaan sehingga aku tak ingat apa-apa. Tetapi ketika melihat ekspresi muakmu barusan, aku―"
Hermione menarik napas tiba-tiba, sepertinya tertarik akan sesuatu.
"Apa, Granger?"
Dia menyipitkan matanya sambil menatap Draco. "Kau tak ingat…"
"Ingat apa?"
"Er- sesuatu…mungkin?"
Otak Draco menjadi waspada. Namun dia berusaha tak memperlihatkannya di depan gadis itu. Dia tetap berlagak membaca buku itu, membalik satu halaman dengan santai. Lalu dia menyadari, buku itu menarik juga. Walaupun sebetulnya dengan pengalamannya yang ada sekarang, dia tak membutuhkan hal-hal baru seperti itu. "Apa yang seharusnya aku ingat, Granger? Bagaimana aku merayakan kemenangan itu?"
Hermione menyisipkan sejumput rambut ke belakang telinganya dengan gelisah. "Er- semacamnya."
"Kau ingin aku mengingat-ingatnya kembali untuk menceritakannya padamu?" Draco diam sejenak untuk melihat reaksi Hermione. Namun ia berusaha menutupinya.
Hermione menghela napas. "Lupakan," sahutnya cepat. Dia bangkit dari kursinya. "Lupakan," ulangnya lagi. Lalu mengerling sejenak pada Draco. "Kurasa takkan berguna jika aku terus di sini. Banyak hal yang lebih penting, kan? Seperti―"
"Ya, seperti mengencani si Weaselman setelah kau tak bertanggung jawab dengan litheas-litheasmu, misalnya?"
Hermione menatapnya sejenak, lalu memutuskan untuk menghiraukannya. "Bukan. Seperti rapat prefek sore ini, misalnya. Jangan terlambat, Malfoy. Kau tak bisa kabur dengan alasan berlatih Quidditch lagi. Dan jangan katakan bahwa aku belum memberitahumu."
Draco tersenyum mengejek sebagai respons. "Hanya jika tak ada kamar untuk didatangi dan cewek untuk ditemui."
"Jam lima," sahutnya lebih tegas. Dia berdeham. "Bye, Malfoy."
Draco menghiraukannya ketika dia pergi. Dia membuka-buka halaman buku itu namun tak satu pun informasi masuk ke otaknya. Pertanyaan yang berputer di otaknya semakin banyak. Jelas ada sesuatu yang terjadi saat itu. Setelah pertandingan Quidditch yang tak dia ingat. Seandainya dia bisa menggunakan Pensieve untuk melihat kembali masa itu. Namun yang menjadi penghalang adalah bahwa dia tak memiliki Pensieve dan kalaupun dia punya, hal itu juga takkan berguna apabila dia sendiri tak bisa mengingat apa-apa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar