Silahkan baca!
BAB 21
Draco Malfoy kembali ke kastil dua jam kemudian tanpa kesulitan berarti. Hanya Blaise yang komplain dan menatapnya kesal ("Aku tak percaya ini, kau tidak datang tadi malam!"). Dia berkomentar tentang wajahnya yang seperti kertas kucel yang diremas-remas, lalu memaksanya untuk sarapan bersama di Aula Besar. Dan di sanalah, Draco mendengar kabar itu.
Aula yang akhir-akhir ini sunyi, mendadak ramai oleh sebuah kabar. Peeves yang melihat kejadian antara Filch dan Granger itu, lalu berceloteh ketika anak-anak sarapan pagi di aula. Anak-anak Slytherin antusias dan penasaran, menyeret Peeves untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Serentak seisi sekolah mengetahui bahwa dua jam yang lalu, Hermione Granger—sang Ketua Murid, murid terpintar pada anak seusianya, dan anak emas Gryffindor—telah melanggar jam malam hingga pukul empat pagi.
Gadis itu mendapat tiga detensi dan potongan enam puluh poin untuk Gryffindor. Filch memergoki ketika dalam perjalanan kembali ke dalam asramanya. Hermione tak berkata apa-apa. Tidak mengatakan tentang Draco. Atau tentang Shrieking Shack. Atau semua kejadian semalam…
Draco duduk di tepi ranjang setelah mengenakan celana. Seharusnya dia dapat merasakan rasa dingin karena kemejanya masih teronggok di lantai. Namun dia malah merasa kebas. Indra perasanya tak dapat merasakan apapun selain kehampaan. Matanya menatap kosong ke jendela.
Di luar masih gelap. Draco masih bisa mendengar suara-suara binatang malam dari jendela yang pecah. Matahari belum terbit. Tinggal menunggu jam untuk melihatnya bersinar dari ujung horison. Jika dia boleh berharap, dia ingin dapat menghentikan waktu. Dia tak ingin melihat matahari. Matahari baru, berarti hari yang baru. Hari yang baru, berarti akhir dari segalanya.
Draco tak butuh hari esok.
Kemudian dia menatap perapian. Api tidak lagi berkobar di atas kayu bakar. Kayu tersebut banyak yang telah menjadi bara dengan api kecil yang tengah menari. Draco menumpukan beban tubuh pada siku lengan di lutut. Dia tahu tak jauh darinya, seorang gadis sedang mengenakan pakaian. Tanpa kata-kata. Sejak beberapa jam yang lalu tak ada yang bicara. Dia tak berani menoleh.
Setelah beberapa saat, gadis itu berjalan ke arah pintu. Draco dapat merasakan Hermione akan meninggalkan tempat itu. Tak ada yang dapat dilakukannya. Slytherin itu sudah memperoleh apa yang seharusnya tidak boleh dia peroleh. Dia tak berhak untuk menghentikannya pergi. Jadi inilah. Akhir.
Dia hanya dapat merasakan Hermione berbalik sejenak sebelum keluar dari ruangan.
"Malfoy," katanya parau, terdengar dia sedang bertarung dengan perasaannya sendiri, "kuharap kita tak pernah bertemu lagi."
Tenggorokan Draco serasa tersekat. Dia mengumpulkan segenap keberanian untuk menatap mata coklat yang akan dia rindukan itu. Dia menelan ludah.
"Kuharap begitu."
Kemudian gadis itu berbalik dan menghilang di balik pintu, membawa semua ketenangan dan kenyamanan yang pernah Draco rasakan dari keberadaannya.
Maka itulah pertemuan terakhir mereka.
Draco Malfoy tak sanggup menelan apapun pagi itu. Pikirannya dipenuhi banyak masalah. Apa dia baik-baik saja? Apa yang akan dikatakannya pada kedua sahabatnya? Draco tahu gadis itu akan memendam kegalauan itu sendirian. Maka dia tidak heran ketika tak melihat sosok itu pada pagi harinya. Bukannya dia ingin melihatnya lagi. Justru dia bersyukur gadis itu tak ada di sana. Karena dia takkan sanggup melihatnya lagi.
Berita itu hanya sedikit mengalihkan kesuraman seisi Hogwarts. Karena kemudian Aula Besar kembali dalam ketegangan. Hari ini para Slytherin akan meninggalkan sekolah mereka.
Dumbledore masih berusaha terlihat tenang, walaupun wajahnya sedikit lebih serius. Guru-guru terdiam, menyantap sarapan dengan wajah pucat seperti zombi. Severus Snape terlihat di meja. Rahang terkatup rapat. Draco tahu dia masih belum menerima keputusannya untuk meninggalkan Hogwarts. Terlebih menghadapi para murid asrama yang dipimpinnya, meninggalkan Hogwarts.
Masih ada tiga-empat anak lagi yang tersisa di Slytherin. Mereka adalah penganut non blok. Tak ada kecenderungan memihak kelompok tertentu baik Kementrian, pihak Dumbledore, maupun pihak Lord Voldemort. Mereka memihak kemenangan. Siapa yang akan menang, kepadanyalah mereka akan menetapkan pilihan.
Draco kembali lagi ke asrama setelah sarapan hanya untuk melihat kembali sesuatu yang mungkin ketinggalan. Namun nihil, barang-barangnya sudah berada dalam koper. Kamar yang telah ditinggalinya selama enam tahun lebih itu kini telah kosong. Benda-benda asrama diam membisu. Lemari telah kosong. Ranjang-ranjang telah rapi. Dua di antaranya telah kosong lebih dulu semenjak beberapa minggu yang lalu. Dan kini giliran Draco untuk meninggalkannya. Koper Blaise dan miliknya berdiri di dekat pintu, menunggu untuk dibawa ke kereta thestral.
Kemudian dia menghampiri ranjang, berbaring dengan tangan di belakang kepala. Menatap langit-langit. Tanpa melakukan apapun.
Entah sudah berapa lama dia di sana hingga kepala Blaise muncul di balik pintu.
"Hei, apa yang kau lakukan di sini?" katanya. "Cepat ke atas, ayahmu sudah datang,"
"Akhirnya." Draco bangkit dari ranjang, berjalan ke arah pintu.
"Ya," sahut Blaise menghela napas. Dia menyapukan pandangan ke kamar mereka untuk terakhir kali. "Akhirnya."
Pintu kamar tertutup di belakang. Ruang rekreasi hampir kosong. Masih ada beberapa orang yang menatap Draco dan Blaise ketika mereka keluar kamar. Bahkan masih ada Pansy. Draco memilih untuk mengalihkan pandangan darinya.
Bergabung dengan yang lain, mereka keluar dari asrama. Bahkan sempat bertemu dengan hantu dengan darah keperakan yang mengerikan, Baron Berdarah. Hantu itu tidak mengatakan apapun, hanya mengangguk memberi mereka jalan untuk lewat.
Ayahnya sudah berdiri di depan Aula Besar ketika Draco sampai sana. Dia terlihat menjabat tangan sang kepala sekolah, bercakap-cakap untuk formalitas sekadarnya. Dumbledore masih terlihat tenang, sementara Severus tampak serius. Ketika Lucius melihat Draco, senyumnya melebar.
"Sudah siap, Nak?"
"Ya, Ayah."
Dia mengusap bahu Draco, memancarkan kebanggaan di wajahnya. Sang putra mengangguk, mengikuti ayahnya keluar Aula Depan.
Mrs Zabini berjalan menyambut Blaise, mencium pipi putranya. Sang mantan Ketua Murid keluar Aula Depan, masih tebar pesona dengan tangan melambai-lambai. Para murid yang berdiri mematung. Di dekat pintu seorang anak perempuan tampak menangis tersedu-sedu—cewek yang didepak Blaise tadi malam. Potter dan Weasley di antara mereka, tampak tegang. Draco tahu, bukannya duo Gryffindor itu tidak senang dengan hiatus masal murid Slytherin, mereka pasti tegang menyadari alasan di balik semua ini.
Dan mereka pasti tahu rasa tegang ini akan semakin meruncing di masa mendatang.
Blaise dan ibunya memasuki kereta Thestral. Kemudian disusul Pansy dan ayahnya. Pansy sempat mengerling ke arahnya, namun Draco buru-buru mengalihkan pandangan. Cowok itu kembali menatap ayahnya yang masih mengobrol basa-basi dengan Dumbledore mengenai situasi yang makin suram dan tak menentu.
"Bukannya meragukan sistem keamanan Hogwarts," kata ayahnya bernada bijak. "Saya rasa kami harus sedikit berhati-hati."
Senyum Dumbledore belum hilang dari wajahnya. "Tentu saja. Saya mengharapkan Draco untuk segera kembali belajar."
"Tentu kita akan bertemu lagi jika situasi mulai normal."
Draco bertanya-tanya, bagaimana dua orang dewasa itu bisa mempertahankan basa-basi seperti ini. Mereka bicara. Bertopeng tersenyum di wajah, namun sesungguhnya menggenggam belati di belakang mereka.
Kereta Blaise dan Pansy sudah berjalan lebih dulu. Kemudian kereta kosong yang baru datang untuk Draco dan ayahnya. Lucius mengucapkan salam perpisahan dan menjabat tangan untuk kedua kalinya. Kali ini ada yang berbeda, Draco dapat merasakan ketegangan di antara mereka. Lucius memberi jalan pada putranya untuk mengucapkan perpisahan. Namun Draco tak mengatakan apapun, hanya sekadar menjabat tangan. Mata biru Dumbledore masih menatapnya ramah, namun di dalamnya seolah ingin menembus pikirannya. Draco segera mengalihkan pandangan, melepas jabatan tangan itu. Ketika menjabat tangan Severus, dia mencoba untuk menarik tangannya lebih cepat lagi.
Draco menaiki kereta. Kemudian disusul ayahnya. Sekali lagi Lucius mengusap bahunya. Senyum masih terlukis di wajah. Saat itu Draco langsung meyakini dirinya sendiri bahwa inilah yang terbaik. Akhirnya dia bisa menjadi seseorang yang diharapkan ayahnya.
Kemudian tiba saatnya. Dia menelan ludah. Malfoy senior menyuruh kereta berjalan. Kemudian sang putra menyadari bahwa ketika roda itu berjalan, pejalanannya hidupnya di Hogwarts… telah berakhir.
Draco Malfoy duduk, merasakan kereta berayun. Kemudian dia menoleh ke belakang, masih dapat melihat Dumbledore tua dan Severus masih menatap kereta mereka. Dan melihat bangunan kastil Hogwarts yang baru saja dia tinggalkan untuk terakhir kali.
Pandangannya kembali ke depan.
Banyak hal yang tak terduga yang Draco temukan dalam tujuh tahun keberadaannya di Hogwarts. Semua kegagalan dan prestasi hanya akan menjadi catatan kecil di masa lalu. Ada keinginan yang telah terpenuhi, namun ada harapan yang pecah terburai. Mendapat teman, menghadapi musuh, belajar banyak hal, merasakan sakit, dan mengenal— sesuatu yang perasaan baru dari seorang gadis yang istimewa.
Malam itu.
Draco tahu dirinya takkan pernah melupakan saat-saat itu untuk seumur hidupnya. Hermione membisikkannya di telinga. Dalam desahan. Dalam air mata. Tiga kata. Seolah ada bom waktu meledak di dalam tubuh ketika mendengarnya. Menjernihkan benaknya sebening kristal akan konsep yang dulu dia anggap semu. Sesuatu yang abstrak, namun bukan berarti tidak ada.
Hermione terdengar sungguh-sungguh mengatakannya—Aku mencintaimu—membuat Draco mencium bibir itu lagi. Lagi. Dan lagi karena dirinya tak dapat mengucapkannya. Semua perkataan yang keluar dari dirinya hanya akan terdengar seperti sebuah kebohongan, karena dia adalah Draco Malfoy. Seorang Draco Malfoy selalu mengingkari keberadaan perasaan itu.
Namun kini dia tak mampu lagi. Dia memang tidak mengatakannya pada gadis itu, namun berkata pada dirinya sendiri. Situasi tidak memungkinkan. Dan posisinya sebagai seorang Draco Malfoy tidak membolehkan. Dan dia menyesal nasib harus berkata demikian. Bahwa—
Draco Malfoy meninggalkan Hogwarts ketika dia jatuh cinta.
TAMAT









0 komentar:
Posting Komentar