RSS
Hy, Selamat datang di blog saya :) tinggalkan komentar di buku tamu dan jika blog ini anda anggap menarik ikuti blog ini :)

Dua Sisi Chapter 8

Silahkan baca!


BAB 8
"Kau melewatkan makan malam," kata Ginny.
Hermione Granger membaliknya lagi. Halaman lima ratus tiga puluh satu. "Hmm?" gumamnya. Dia mengerling sekilas ke arah gadis berambut merah itu.
"Kau melewatkannya lagi," kata Ginny lagi. Dia duduk di sofa sebelah Hermione, kemudian mengeluarkan sebuah pir dari jubahnya lalu menaruhnya di pangkuan Hermione. "Aku tahu kau akan melewatkannya jadi aku bawakan pir. Berterimakasihlah padaku."
Hermione tersenyum. "Oh, baik sekali kau," cemoohnya bercanda. Dia mengambil pir itu lalu menaruhnya ke dalam tas. "Thanks. Tapi aku sudah makan."
"Oh begitu. Aku tak melihatmu di Aula Besar," katanya. Dia turun dari sofa untuk duduk di atas karpet. Sebuah perkamen dan buku dia keluarkan dari dalam tasnya lalu menaruhnya ke atas meja berkaki pendek. "PR Ramalan lagi," kata Ginny kemudian. "Sebenarnya aku memerlukan Ron atau Harry untuk membantuku mengerjakannya. Perlu keahlian untuk mengarang kematian yang menyedihkan―atau indah jika kau melihatnya dari sudut pandang Trelawney. Dan jelas itu bukan bidangku."
"Kupikir kau tidak jadi mengambil pelajaran itu dulu."
Ginny mengangkat bahu. "Karena kupikir mudah jika hanya mengarang sama seperti yang Ron dan Harry lakukan. Makin lama aku kehabisan ide." Dia mulai membuka buku Ramalannya dengan malas. "By the way, Hermione, sepertinya aku memang jarang melihatmu ke Aula Besar akhir-akhir ini," gumam Ginny seraya menyalin tulisan di atas perkamennya dari buku Ramalan.
Hermione menurunkan bukunya untuk menatap Ginny. "Aku datang tiap waktu makan kok."
"Benarkah?" tanyanya seraya mengerutkan keningnya.
"Aku tak pernah berlama-lama di sana. Er—kau tahulahbanyak PR yang menunggu untuk dikerjakan. Dan mungkin aku sudah pergi ketika kau datang," gumam Hermione. Pandangannya kembali ke buku.
"Mungkin."
Dan memang benar begitu, Ginny.
Hermione melewatkan makan malam kali ini. Sebelumnya dia hanya lima menit berada di sana. Datang seawal mungkin, memakan beberapa suapan, meneguk setengah piala, mengambil apa yang bisa diambil sebagai bekal, lalu meninggalkan tempat sesegera mungkin. Sengaja. Sama seperti yang beberapa hari belakangan ini. Dan jika dia harus berlama-lama di sana, maka dia mencari bangku dimana saja yang posisinya membelakangi meja Slytherin. Apapun yang dia lakukan untuk menghindari si keparat itu.
Aku benci dia.
Hermione merasa muak. Dia benci karena merasa muak. Terlebih karena perasaan itu tertuju pada dirinya sendiri. Ada apa dengannya? Dia menolongnya—aarg, bahkan dia sulit menyebut nama belakangnya―namun dia dihiraukan seperti kerikil di tengah jalan. Hermione Granger benar-benar dianggap bodoh. Dan Hermione menyadarinya. Mengapa dia menyelamatkannya? Moralkah? Well, bagus. Hermione Granger masih memiliki moral untuk seorang bajingan seperti Draco Malfoy.
Merlin. Aku bodoh sekaliBodoh. Bodoh. BodohbodohbodohLebih baik aku meninggalkan dia membusuk di sana.
Lupakan sejenak bahwa dia telah menyelamatkan Malfoy. Mungkin hal itu juga yang akan dilakukan oleh sebagian besar orang yang masih bermoral di luar sana. Yang disesalkan, mengapa dia berniat merawatnya sendiri di Shrieking Shack? Bukan membawanya ke Madam Pomfrey? Hermione mengatakan bahwa dia tak ingin tempat itu diketahui orang lain. Dan Malfoy sendiri juga mengatakan bahwa dia tak ingin dibawa ke sana ketika dia belum benar-benar hilang kesadarannya. Hermione mendapati dirinya menuruti keinginan keparat itu dan merasa kasihan―demi Merlin, atas dasar apa dia merasa kasihan― alu merawat semua luka Draco semalaman.
Apa yang dirasakan Hermione setelah semuanya terjadi?
Ketika dia merawat luka-luka Draco malam hari―atau keesokan paginya, dia berusaha menghiraukan apa yang ada di bawah telapak tangannya. Kulit musuhnya. Musuh yang mengintimidasi Hermione selama beberapa tahun ini yang bahkan hanya dengan lidah tajamnya. Pada dasarnya, semua itu merupakan pergulatan batin antara menyelamatkan cowok keparat itu atau membiarkannya membusuk di sana.
Dia adalah Pangeran Slytherin. Begitu percaya diri dan angkuh. Walaupun memar-memar dan luka-luka berada di kulitnya, entah bagaimana namun tetap saja terlihat bagaikan Casanova. Dia pernah melihat Harry, Ron, Viktor, dan pemain-pemain Quidditch lain. Namun tak ada yang sama seperti drinya.
Situasi ini benar-benar menyebalkan. Dan aku harus menjauhinya.
Maka di sinilah dia. Di ruang rekreasi Gryffindor yang nyaman sambil duduk di depan perapian yang hangat. Dia bersyukur ruang ini benar-benar nyaman sehingga dia dapat merasa bahwa dia tak harus kembali ke hutan di tengah cuaca benar-benar tak bersahabat. Persetan dengan litheasnya.
Well, paling tidak untuk beberapa hari saja. Mungkin.
"Kau tidak diet, kan?"
Hermione mengerutkan kening sejenak lalu tertawa. "Kau pikir aku peduli dengan hal-hal semacam itu?"
"Aku tahu biasanya kau tak peduli," kata Ginny sambil tersenyum. "Tapi saat ini kenapa tidak? Lavender melakukannya. Sepertinya Romelda Vane juga. Pesta Dansa musim semi sebentar lagi diadakan."
"Masih sekitar sebulan lagi, Ginny. Dan ya, sampai sekarang aku masih tak peduli sama seperti biasanya."
"Tapi para gadis sudah sibuk dari sekarang."
"Aku bukan mereka tentunya," sahut Hermione cepat. "Dan apa yang mereka sibukkan? Pesta dansa masih lama. Ada-ada saja."
"Aku tahu," sahut Ginny. "Jadi kau akan pergi dengan Ron?"
"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanya Hermione seraya mengerutkan kening. "Selain itu, kau tidak ingat bahwa aku tak punya pilihan karena ada tradisi Hogwarts bahwa kedua Ketua Murid harus pergi bersama ke pesta dansa?"
"Ah, ya. Tradisi bodoh itu," ujarnya sambil mendesah. "Jadi kau akan pergi dengan si Slytherin itu, melintasi Aula dengan menggandeng tangannya?"
Hermione tertawa mengejek. "Menggandeng? Astaga Ginny, aku takkan menggandeng bagian anatomi manapun darinya," katanya. "Selain itu, itu hanya sekedar pesta biasa. Awalnya baik-baik saja, namun setelah beberapa jam kemudian tangga dipenuhi anak perempuan yang duduk memijat tungkai mereka. Atau toilet anak perempuan dipenuhi mereka yang menangis karena dicampakkan oleh partnernya."
Ginny menatapnya seksama. "Jadi kau takkan pergi dengan Ron?"
"Ginny," tegur Hermione jengkel.
"Baiklah, baiklah."
Lubang lukisan terbuka. Harry melihat mereka lalu menghampirinya. "Hai," sapanya basa-basi. Salah satu tangannya menenteng Firebolt. Seragam latihan Quidditchnya kotor oleh lumpur. Di keningnya terdapat sebuah luka kecil. Rambutnya yang biasanya berantakan, tampak lebih berantakan lagi kali ini. Dan wajahnya kacau oleh noda.
Tak peduli dengan segala kotoran yang menempel di tubuhnya saat itu, dia merebahkan diri begitu saja dengan kedua tangan terentang di atas karpet yang tergelar di depan sofa Hermione. Menghela napas dengan keras dan sengaja.
Hermione menatapnya sambil tersenyum. "Mati-matian lagi, Harry?"
Harry melepas kacamatanya untuk membersihkan noda-noda. "Pastinya," sahutnya kesal. "Aku tak mengerti, mengapa tiap kali Gryffindor latihan selalu hujan deras?" erangnya.
"Sekarang memang sering hujan, Harry. Bukan karena Gryffindor latihan."
Harry mendengus. Setelah berapa saat gagal mengelap kacamatanya bersih—karena pakaiannya sendiri kotor oleh noda lumpur, dia putus asa lalu menyerahkannya ke Hermione untuk dibersihkan dengan sihir.
Entah mengapa akhir-akhir ini Harry terlihat lebih sering uring-uringan. Dia menjadi agak lebih sensitif dan sering marah-marah sendiri. Hermione berpikir bahwa mungkin Harry mulai tertular sindrom Kapten-Quiddditch-menjelang-hari-pembantaian dari kapten sebelumnya yaitu Oliver Wood dimana mereka selalu uring-uringan jika menjelang pertandingan.
Hal itu tak biasa. Setahu Hermione, Harry selalu bisa menikmati Quidditch—apa pun kondisinya. Mungkin hanya karena tekanan. Atau hormon.
"Kakimu masih sakit, Ginny?" tanya Harry. "Semoga latihan berikutnya kau bisa ikut bergabung. Kita hampir tidak memiliki waktu lagi. Pertandingan benar-benar semakin dekat."
"Kau tidak perlu kuatir begitu. Malam ini juga nanti sembuh. Hanya terkilir saja."
"Bagus."
"Mana Ron?" tanya Ginny.
Harry bangkit untuk duduk namun tetap meluruskan kakinya. Dia mengambil kacamatanya dari Hermione. "Thanks." sahutnya. Lalu dia menoleh ke arah Ginny. "Ron? Dia sedang menentukan siapa paling berhak atas sepotong pizza yang tersisa di Aula Besar dengan Seamus."
"Ron yang akan menang," kata Ginny seraya mengangguk yakin. "Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi Ron pasti yang akan mendapatkannya."
"Aku tak yakin," kata Harry mengangkat bahu. "Ketika aku akan meninggalkan aula, Dean kemudian datang. Dan kau tahu kan dia suka pizza. Dia juga merasa berhak dan selanjutnya dia mengusulkan untuk suit."
"Kalau begitu, Dean yang akan menang."
"Yeah, mengingat Ron tak tahu bagaimana cara suit. Dia pasti akan dibodohi," gumamnya tenang.
Hermione tersenyum. "Dan bagaimana persiapan kalian menghadapi Slytherin?" tanyanya. Dia membalik halaman buku tanpa benar-benar membacanya.
"Yah begitulah," sahut Harry tanpa semangat. "Semakin banyak saja anak yang mengundurkan diri dari Hogwarts, aku tak ingin salah satu anggota timku termasuk di antaranya." Wajahnya terlihat muram. "Aku benci kekacauan ini. VoldemortPelahap MautEntah berapa yang akan tersisa sampai akhir tahun ajaran nanti. Aku tak mengerti mengapa Slytherin selalu dimudahkan dalam situasi kacau ini! Sangat tidak adil! Mereka seperti tak memiliki kendala untuk menghadapi pertandingan nanti."
Seandainya kau tahu apa yang telah terjadi pada Malfoy, Harry. Bahkan aku meragukan dia sanggup mengikuti pertandingan kalian.
"Kita harus menang. Aku tak sudi melihat Slytherin menang dari kita. Lagipula ini tahun terakhirmu di Hogwarts. Kau ingin segalanya berjalan mulus kan?" kata Ginny.
"Yeah, mudah untukmu mengatakannya, Ginny," gerutu Harry. Dia menghela napas putus asa. "Oh, senang sekali karena tak ada tekanan."
"Kami hanya mencoba memberi dukungan, Harry," kata Hermione, kembali mencoba menekuni buku.
"Baik, dukunglah kalau begitu dengan terus memberikan pandangan kau-harus-menang-kalau tidak-kau-mati," gerutunya. Dia menghela napas. "Aku hanya tak ingin memikirkan apapun mengenai Quidditch saat ini. Semua orang dan bahkan Profesor Macgonagall menatapku dengan pandangan mengintimidasi, memastikan bahwa Gryffindor harus dapat melibas Slytherin," kata Harry muram.
"Kalianpasti menang." Semoga mereka menang.
"Mereka boleh memiliki Chaser-Chaser hebat," kata Ginny (benar-benar hebat jika saja kau pernah melihat pirang keparat itu latihan, Ginny). "Namun Gryffindor memiliki Harry Potter, ingat? Tangkapannya bernilai seratus lima puluh angka."
Oke. Sangat menenangkan.
"Terserah apa katamu," gumamnya. "Harapanku sekarang adalah jangan sampai semua anggota timku hilang satu persatu atau Voldemort memutuskan untuk menyerang sporadis membabat habis semua anggota timku."
"Selera humormu sedang buruk saat ini," kata Hermione datar.
"Bahkan aku tidak sedang melucu, Herm. Aku hanya berpikir realistis."
Hermione memutar bola matanya. "Cool."
"Yeah. Aku perlu sesuatu yang harus dipikirkan, bukan?"
"Menyelamatkan dunia, misalnya?"
"Tentu saja," jawabnya asal.
"Yo, lindungi orang tuaku dari Pelahap Maut-Pelahap Maut itu, Superman," balas Hermione seraya mengepalkan telapak tangannya sebagai tanda memberi semangat.
Harry menatap gadis itu penuh simpati. "Mungkin kau harus mengirim surat pada mereka jika kau terus kuatir seperti itu, Hermione."
Harry mengetahuinya. Sahabat baiknya itu mengetahui kecemasan Hermione. Itulah yang dia pikirkan akhir-kahir ini. Ada yang mengatakan bahwa segalanya akan membaik seiring dengan berjalannya waktu. Omong kosong. Persetan karena dia tak mengatakan seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk membuatnya lebih baik. Benar, kan? Waktu yang berlalu hanya membuat Hermione semakin gelisah.
Tujuh orang tewas dalam seminggu ini. Dan terakhir dua orang lagi muncul beritanya pada head lines surat kabar di Daily Prophet. Berita yang muncul minggu lalu berlokasi dua kilometer dari rumah kedua orang tuanya. Dua kilometer. Mungkin ini hanya paranoia Hermione sendiri. Tapi dia benar-benar takut. Dan jika memang sesuatu terjadi pada mereka… jika sesuatu terjadi pada mereka, dia akan berpikir bahwa ini merupakan kesalahannya.
Hermione menggeleng-gelengkan kepalanya putus asa. "Aku tak tahu."
"Mungkin kau bisa mempertimbangkan saran Ron?" tanya Ginny.
"Saran Ron?"
"Ya. Minta bantuan orde untuk mencarikan tempat tinggal yang aman untuk kedua orang tuamu."
Hermione mengangkat bahu tanpa semangat. "Mungkin ada baiknya memang begitu. Aku akan mengirim burung hantu besok. Aku akan pinjam Hedwig, Harry."
"Segalanya akan baik-baik saja, Hermione," kata Harry menenangkan. "Ya, segalanya akan baik-baik saja—baik orang tuamu…" Harry menghela napas. "…maupun pertandingan lawan Slytherin nanti."
"Kuharap begitu."

Draco tak ikut rapat prefek hari ini. Siapa peduli. Ada hal yang lebih harus dipikirkan daripada rapat bodoh itu. Pertandingan Quidditch misalnya.
Joe Cole si Keeper menepuk pundaknya. "Kau baik-baik saja, Draco?"
Napas Draco terengah-engah. Semua anggota timnya bernapas terengah-engah pada latihan berat saat itu. Joe menanyakan pertanyaan itu padanya karena ada sesuatu yang tak biasa terjadi pada Draco. Dia tak bergerak seperti biasanya. Dia tidak dapat mengelak dengan baik seperti biasanya.
"Tak ada yang perlu dikuatirkan. Kembali ke posisimu."
Joe mungkin dapat mendengar Draco. Namun untuk yang lain suara perintah Draco tak terdengar karena terendam oleh suara angin yang menderu-deru pada sore hari itu. Dan sepanjang hari angin bertiup amat kencang dan turun hujan lebat. Gemuruh beberapa kali terdengar.
Draco seakan harus memulai lagi dari awal karena kecelakaan tempo hari. Dia harus beristirahat selama beberapa hari lalu latihan habis-habisan setelahnya. Dia harus berpacu dengan waktu antara pemulihan dan latihan-latihan itu. Tubuhnya semakin mudah lelah. Dan jika lelah, konsentrasinya semakin berkurang. Sial. Seandainya saat itu dia berhati-hati. Keparat. Seandainya saat itu dia lebih berhati-hati.
Rapat prefek tak boleh menghentikannya untuk menjadi lebih baik. Menjadi lebih kuat. Dia harus memanfaatkan waktu yang tersisa karena waktu semakin lama semakin berlalu. Detik demi detik yang berjalan sangat berharga. Dia bersyukur luka-lukanya tak separah yang seharusnya. Dan hal itu dikarenakan sesuatu yang dilakukannya untuk Draco. Dia. Granger. Untuk Draco. Betapa salahnya. Betapa anehnya. Mungkin itu juga alasan lain untuk tidak datang ke rapat. Agar tidak bertemu dirinya. Ada apa, Draco? Perasaan bersalahkah?
Yang benar saja. Draco Malfoy tak pernah merasa bersalah. Dia tak pernah perlu untuk merasa bersalah. Namun―
Mau tak mau Draco harus mengakui bahwa sebagian dari pemulihannya itu adalah berkat Granger. Ya, dia menyelamatkannya pada tempo hari yang lalu. Mungkin dia harus sedikit berterima kasih. Ha-ha-ha. Terima kasih—my arse! Jika itu adalah sebuah lelucon, maka itu adalah lelucon yang lucu sekali.
Haruskah dia berterima kasih? Tidak. Tidak. Tentu saja, tidak. Takkan pernah ada rasa terima kasih untuknya. Pada saat itu Granger juga mengatakan bahwa mustahil untuk mendengar kata-kata itu dari mulut Draco. Dan Draco juga tak berminat untuk memasukkan ke dalam agendanya. Bahkan tak ada dalam perbendaharaan katanya. Karena Draco Malfoy tak pernah perlu untuk mengucapkan terima kasih pada Granger.
Jadi―
Mengapa kau membiarkannya merawat lukamu pagi itu? Sebelum kau menyuruhnya pergi. Ketika kau membiarkannya menyentuhmu. Ketika kau memejamkan matamu sewaktu jemarinya bergerak perlahan.
Tak semua pertanyaan harus dijawab. Dan Draco tak harus menjawab pertanyaan itu.
Pertanyaan bodoh itu.
Duk!
Draco nyaris terjatuh dari sapunya ketika sebuah Bludger menyerempet bahunya. "Fuck." Ke delapan kalinya untuk hari ini.
Bukan Beaternya yang semakin hebat. Dracolah yang kurang cepat menghindar. Refleksnya masih kurang. Namun refleks itu perlahan kembali hari demi hari. Draco menyadarinya. Karena jika dia terkena Bludger itu beberapa hari yang lalu, dia pasti sudah terhempas ke tanah.
Hayden Grant nyengir lebar. "Sori, Malfoy," sahutnya.
Draco hanya menyeringai.
Beberapa menit kemudian Draco mengakhiri sesi latihan hari itu. Mereka tertatih-tatih berjalan ke ruang ganti namun senang dengan jalannya latihan. Sisa-sisa pergulatan mereka dengan lumpur, angin, dan hujan tetap melekat di pakaian mereka. Namun semuanya itu tak menghentikan Draco untuk mengadakan rapat untuk mendiskusikan taktik pertandingan yang akan diadakan dalam waktu dekat ini.
"…Kita akan menang," katanya ketika menutup rapat kali itu.
Will Harper menghela napas. "Menang," gumamnya.
David Gibb si Chaser berdeham. "Ya. Kita akan menang," ulangnya untuk menirukan Draco kepada teman-temannya. "Benar begitu, kapten?"
Draco perlu menjawab karena dia tahu itu hanya pertanyaan basa-basi. "Kuharap kau seyakin itu juga jika kita berhadapan dengan Gryffindor pada waktunya nanti, Gibb," katanya sebagai respon.
"Pasti."
"Aku tak pernah seyakin ini dalam hidupku," ujar Michael menimpali.
Aku ingin seyakin itu. Jika aku bisa mengembalikan kondisiku seperti semula.
Tak lama kemudian mereka membubarkan diri. Ketika menjadi orang yang terakhir keluar, Draco mendapati bahwa hujan sudah mulai berhenti. Air turun hanya rintik-rintik dan angin tak bertiup sekencang tadi. Namun hawanya tetap sangat dingin dan basah. Dia tahu jika ia saja dia tak dilindungi jubah Quidditch yang tebal itu, pastinya dia akan mati beku. Beberapa hari lagi musim dingin tiba.
Dia memakai jubahnya lebih erat lalu menaiki Windflashnya. Sapu itu melaju ketika dia menaikkan gagangnya membawanya menuju tepi hutan. Bukan kembali ke kastil. Dia mengurangi kecepatannya dan bergerak perlahan melewati pohon. Ini pertama kalinya lagi sejak kecelakaan itu. Namun kali ini bukan untuk latihan. Dia hanya ingin merasakan lagi dan mengembalikan segala kepercayaannya lagi pada hutan itu.
Segalanya akan berjalan baik. Aku tahu segalanya akan berjalan baik.
Lalu dia sedikit menambah kecepatan sapunya dan mengitari hutan itu beberapa kali. Draco bertindak hati-hati dan memberlakukannya seakan dia baru mengenalnya untuk pertama kali. Menyentuhkan jemarinya ke kulit batang pohon yang kasar. Menghirup bau tanah ketika tetes-tetes air hujan menyentuh bumi. Mengenalnya lagi. Seakan dia berbaikan setelah dia melakukan suatu yang salah.
Dedaunan pada pohon-pohon yang menjulang tinggi di hutan itu seakan memayunginya. Dan batang-batang pohon yang besar melindunginya dari terpaan angin. Dia memejamkan matanya.
Aku kembali.
Draco turun dari sapunya ketika dia sampai di sebuah tanah lapang yang kecil di tengan hutan. Tanah lapang dimana hamparan litheas Hermione berada. Draco menatap sekelilingnya. Dan dia melihat tanaman-tanaman itu berada di sana. Tetap berada di sana. Agaknya mereka sudah tumbuh banyak. Tapi kondisi mereka kini agak terbengkalai.
Draco menghampirinya. Dia berjongkok.
"Dia tak pernah datang lagi."
Draco bisa melihat napas tanaman-tanaman itu mulai berat, tidak seperti tanaman litheasnya yang Pansy pelihara untuknya di kastil. Kuncup bunganya tidak kelihatan padahal seharusnya sudah memasuki masa tumbuh bunga. Hal yang menakjubkan dari litheas adalah dia mempunyai masa mekar singkat untuk setiap musim. Jadi seharusnya sekarang litheas Hermione sudah ada kuncup agar dia dapat mekar pada awal musim semi nanti.
Draco menyentuh dedaunannya yang mulai berwarna kusam.
"Kau harus tumbuh."
Entah beberapa hari kemudian.
Draco bangun lebih pagi daripada biasanya. Namun tak langsung bangkit, dia berbaring-baring menatap langit-langit kayu ranjangnya. Pikirannya dipenuhi tentang pertandingan Quidditch yang akan berlangsung. Dia tahu dia telah siap. Dan Draco sendiri takjub bahwa dia bisa tenang di tengah tekanan itu. Dia hanya berharap cedera-cedera pada kecelakaannya tempo hari tidak mengganggunya. Tapi secara keseluruhan, dia sangat siap dan juga tak sabar. Belum pernah dia merasa begitu ingin mengalahkan Gryffindor seperti sekarang ini.
Setelah itu, dia bangkit dan memakai kemejanya dan turun ke Aula Besar untuk sarapan. Ruangan besar itu riuh rendah. Panji-panji banyak terpasang dengan gambar simbol kedua asrama. Ular dan singa. Warna hijau dan merah merata ke seluruh ruang yang dipakai oleh pendukung mereka—baik dari masing-masing asrama ataupun asrama lain yang mendukung kedua belah pihak.
Aroma sosis panggang memenuhi ruangan itu. Walaupun aula dipenuhi murid, hanya ada beberapa anggota tim yang duduk di sana. Tak lama kemudian, satu persatu seluruhnya datang.
"Jangan panik," gumam Will Harper, Seeker mereka, ke seluruh teman-temannya ketika dia baru datang. Dia menyenggol piala Michael Griffin si Chaser. "Jangan gugup, jangan lupa untuk bernapas. Kuncinya adalah terus bernapas. Bernapaaaasss…" Lalu dia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras. Kali ini dia menyenggol piala David Gibb. "Jangan gugup. Jangan gugup."
Draco hanya makan sedikit. Ketika dia merasa sudah cukup, Zabini memaksanya memakan sepotong roti lagi.
"Tak ada tekanan, Draco. Tenang saja oke. Tapi untuk menang, kau harus sarapan banyak," kata Blaise serius. "Begitu pula untuk merayakan kemenangan. Kita akan menang."
Oke. Jadi tanpa tekanan.
Mendekati pukul sebelas, seluruh sekolah mulai menuju ke stadion Quiditch. Cuacanya agak mendung. Namun ini lebih baik karena sudah berhari-hari terus hujan deras. Namun matahari tak menampakkan diri dan tetap di balik awan. Hawanya sangat dingin sebagai tanda bahwa musim salju mungkin datang tak lama lagi. Pansy dan Millie datang ke ruang ganti untuk mengucapkan selamat bertanding dan semoga sukses. Lalu Draco memakai seragam hijau Slytherinnya. Kemudian dia berdiri menghadap semua anggota tim.
"Tak perlu ada pidato panjang, kali ini," katanya. Dia berdeham. "Lakukan yang terbaik. Libas mereka."
Seluruh anggota timnya tersenyum lebar dan bersorak.
"Aku bertanya-tanya, bisakah Malfoy berkata lebih banyak dari itu? Maksudku, ini pertandingan lawan Gryffindor, man!" gumam Stu di belakangnya ketika mereka mulai berjalan meninggalkan kamar ganti.
Mereka memasuki lapangan di bawah gemuruh sorakan. Dia tak memperdulikan sorakan itu untuk siapa atau ke tim mana. Dia harus fokus ke pertandingan dan kemenangan. Ketika sampai di lapangan, dia memastikan pelindung tangan yang terbuat dari kulit itu berada di tempatnya dan terikat dengan erat.
Madam Hooch berdiri di tengah lapangan sebagai wasit. Dia menyuruh seluruh pemain berkumpul di tengah. "Kita menginginkan permainan yang jujur—"
Dan bla bla bla. Tiap tahun tak ada berubah dalam pidato itu. Draco sudah hapal sepenuhnya.
Draco melemaskan sendi pergelangan tangan, dan kakinya. Ketika melihat trimbun penonton, dia melihat spanduk bertuliskan Malfoy such Man di bagian sudut stadion dan Potter for President di bagian lain. Dia mengerutkan keningnya.
Menggelikan.
"Jabat tangan para kapten tim untuk pertandingan yang adil," kata Madam Hooch tegas.
Jabat tangan? Permintaan yang berlebihan. Tapi terserahlah.
Potter dan Draco saling bertatapan penuh dengan aura permusuhan. Madam Hooch menunggu. Mereka saling menjabat tangan, meremas lebih keras daripada yang diperlukan. "Baik-baik saja di atas sana, Potter," gumam Draco sambil tersenyum malas.
"Kau juga. Jaga kapalamu tetap di tempatnya sampai kami menang, Malfoy," balasnya.
Tangan mereka langsung terlepas seperti telah menyentuh kuali panas. Lalu mereka saling bertatapan lagi dengan hawa yang lebih pekat dari sebelumnya. Draco naik ke atas Windflashnya. Seluruh anggota tim berada di posisinya masing-masing.
Madam Hooch menaiki sapunya dan membuka kotak. Empat bola langsung melesat ke udara. Draco sempat melihat kilatan Snitch emas bersayap itu. Sedetik kemudian, dia menghilang dari pandangan. Menyenangkan sekali jika dia bisa menangkap Snitch itu. Tapi sekarang dia adalah seorang Chaser Sltherin. Dia tak ada sangkut-pautnya lagi dengan urusan Seeker.
"Pertandingan dimulai pada tiupan peluit… tiga… dua… satu…" Madam Hooch meniup peluit peraknya.
Draco menjenakkan kakinya di atas tanah dan melesat ke angkasa. Karena kecepatan Windflashnya yang mengagumkan, dia dapat dengan mudah meraih Quaffle. Dia mencoba melewati Chaser Gryffindor yang menghadang. Komentator mengatakan sesuatu namun dia tak mendengarnya. Tak ada waktu untuk mendengar. Tak ada waktu untuk peduli. Jika mungkin, sebenarnya tak ada waktu untuk berkedip.
Dia melempar Quaffle ke arah tepat sebelum Chaser Gryffindor itu menghadang di depannya. "Sayang sekali. Kurang cepat, sayang," ejek Draco pada Chaser itu. Cewek Gryffindor itu menyeringai.
Draco melihat umpan satu-dua antara Stuart dan David ketika beberapa Chaser konsisten menjaga kedua Chaser Slytherin itu mendekati gawang Gryffindor. Mereka telah belajar banyak. Bagus. Umpan satu-dua sangat berguna. Draco terbang ke sisi berlawanan dari mereka. Ketika para semua Chaser berkumpul di depan gawang Gryffindor, Gibb melempar Quaffle ke arah Draco. Sang kapten menyelesaikannya dengan baik.
"Sepuluh untuk Slytherin!" Suara Zacharias Smith membahana dengan megafonnya. Pendukung Slytherin bersorak sorai.
Quaffle beralih ke tangan si Weaselette. Sebuah Bludger hitam menghantam pelipis si rambut merah itu. Quaffle langsung direbut oleh Draco. Tak sampai sedetik di tangannya, Malfoy langsung melemparnya kembali ke Stuart. David-Stuart-David-Stuart, lalu dilempar ke gawang…
"Dua puluh-nol untuk Slytherin!"
Draco menatap ke Beaternya berang. "Memang bagus dapat menghantamkan Bludger ke arah Weaselette itu. Tapi, yang aku minta bukan itu. Arahkan semua Bludger ke Kepala Pitak. Fokuskan dirimu hanya ke dia. Jangan sampai dia menyentuh Snitch itu," gumamnya tajam. Draco dan Hayden si Beater saling terbang menjauh. "Urusan Quaffle, biar kami saja!"
Stadion masih bergemuruh oleh suara yel-yel dukungan. Draco menghiraukannya. Orang-orang di sekitar stadion hanya menjadi bayangan kabur berwarna merah-hijau ketika Draco terbang melewatinya.
"Dan kurasa Seeker Slytherin Harper sudah melihat Snitchnya," Draco mendengar Smith berteriak. Bagus. Will membuat kamuflase. Dia harus sering membuat kamuflase agar Potter hilang konsentrasinya untuk mencari Snitch. Hal itu membuat Chaser-chaser Slytherin mempunyai lebih banyak waktu untuk mencetak angka. Tapi, itu hanya menunggu waktu sampai Potter menyadari dirinya telah dibodohi. Sampai saat itu tiba, Slytherin harus sudah menang.
Kini Slytherin masih di atas angin. Lima puluh-nol? Ini sudah bisa membuat Potter ketar-ketir. Lalu waktu semakin berjalan. Draco sudah mulai merasa gelisah. Ini harus diakhiri dengan cepat. Potter pasti juga gelisah. Apakah Slytherin berhasil unggul angka seratus lima puluh ketika Potter meraih Snitch?
Harus. Itu rencananya.
Penonton bersorak Draco melewati salah satu Chaser Gryffindor dengan lihai lalu mengumpan dengan tepat ke Stuart. Dan dia melakukan penyelesaian dengan baik.
"Sepuluh lagi! Tujuh puluh-nol untuk Slytherin."
Draco tak dapat menahan dirinya untuk bersorak. Dia tahu ini bukan saatnya. Belum saatnya. Dia merasa seseorang menatapnya. Dia mencari di sekelilingnya. Potter menatapnya dengan menyeringai. Draco membalasnya dengan tersenyum sinis. Kemudian lapangan itu serasa hening sesaat selama mereka bertatapan.
Potter telah panas.
Bagus. Buat pertandingan ini lebih seru. Lebih keras. Lebih menegangkan. Kita telah menunggu saat-saat ini, Potter.
Draco, Stuart, dan David tak melonggar serangan mereka. Sekarang Bludger lebih sering diarahkan kepada mereka ketimbang Seeker Slytherin. Latihan tambahan di hutan itu sungguh berguna melatih refleksnya. Draco bersyukur cederanya telah pulih sedemikian rupa walaupun dia masih merasa dia akan jauh lebih baik jika dalam kondisi sempurna. Apalagi kini Chaser-chaser Gryffindor juga lebih agresif. Mereka menjadi sering memotong tiba-tiba tak peduli Draco akan menabraknya.
Mereka putus asa.
David menyerahkan Quaffle ke arah Draco. Draco melihat jubah merah Potter melesat melewati kerumunan Chaser. Seeker Slytherin Harper melihatnya. Dia berusaha mengejar Harry. Potter melesat ke arah Draco. Draco mencari Snitch yang mungkin Harry lihat. Tapi dia tak menemukan Snitch itu. Brengsek. Potter berusaha menipu. "Harper, jangan!"
Potter melakukan Wronski Feint.
Namun Will Harper tak mendengarnya. Potter kian mendekat terbang ke arah Draco. Draco berusaha menghindar. Sebuah Bludger menghantam ujung sapunya. Keseimbangannya goyah tak dapat mengendalikannya. Potter menghindar secepat kilat ketika hendak menabrak Draco. Namun, Will tak menyadari trik itu. Dia mengira Potter sedang mengejar Snitch. Will tak sempat mengindar—
Dia menghantam Draco dengan bunyi debam keras. Quaffle terlepas. Draco terhantam ke dinding stadion. Kepala Draco terasa sangat sakit dan semarak. Will terkapar tak sadarkan diri, menghantam dinding itu lebih keras dari Draco.
"Time outtime-out!" teriak Smith dari megafonnya. "Tolong paramedis! Chaser dan Seeker Slytherin saling menghantamkan diri!"
Rasanya Draco ingin sekali menonjok wajah Smith dari meja komentator. Saling menghantamkan diri?
Petugas medis sihir bergegas memasuki lapangan. Mereka berusaha menyadarkan Will. Dan salah seorang menghampiri Draco mencoba menolongnya.
"Tinggalkan aku," kata Draco dengan ketus. Dia tak bermaksud begitu. Dia hanya sangat marah pada Potter maupun Will yang dengan bodoh dapat dikelabui.
Potter. Kau akan mendapat balasannya, brengsek.
Draco baru menyadari bibirnya terasa sakit dan perih. Cairan hangat menetes. Punggung tangannya mengelap pada luka di bibirnya itu. Draco berdarah. Dia meludahkan darah amis yang telah masuk ke mulutnya. Kemudian dia kembali menaiki Windflash. Dia menyadari papan skor telah berubah. Tujuh puluh-sepuluh.
Sepertinya Gryffindor telah berhasil merebut Quaffle yang tadi terlepas dari tangannya dan merubahnya menjadi gol untuk Gryffindor. Hal itu membuat Draco semakin berang. Dia menatap Harry dengan amarah yang siapa pun dapat merasakannya. Dia menggunakan waktu selama Will disadarkan untuk mencari Snitch tanpa gangguan. Ketegangan semakin terasa. Penonton semakin ramai. Yel-yel ramai dikumandangkan.
Will akhirnya bangkit berdiri, disambut tepukan meriah dari pendukung Slytherin.
Pertandingan dimulai lagi. Selama lima belas menit yang keras, Slytherin berhasil menambah lima puluh angka lagi dan hanya dibalas sepuluh angka oleh Gryffindor. Seratus dua puluh-dua puluh untuk Slytherin. Kemudian pertandingan menjadi lebih bringas lagi. Suara penonton menjadi sangat riuh dalam ketegangan. Kedua tim kini lebih sering menggunakan kekerasan. Peraturan lebih banyak dihiraukan daripada dipatuhi. Menggunakan sikut yang berlebihan. Memukul tim lawan dengan tongkat Beater alih-alih Bludger. Akibatnya masing-masing mendapatkan dua kali pinalti. Skor menjadi Seratus empat puluh-empat puluh.
"Malfoy—Combs—Malfoy—Gibb—Combs—Gibb lagi—Coms—Gi… Oh, terebut Hart… Oooohh, Bludger itu dengan sukses menghantam kepala Hart," Malfoy tak mendamprat Beaternya karena Michael Griffin tak fokus pada Potter. Dia tak peduli apa-apa lagi. "Malfoy berhasil merebut lagi. Melewati Parker. Diserahkan ke Gibb. Ke Combs—Malfoy—Gibb—Combs… GOOOOLLL!"
Sorakan pendukung tim Slytherin membahana di stadion. Lima belas menit berikutnya, Slytherin kembali menambah empat gol. Mereka bertiga melakukan high five singkat merayakannya.
Belum sempat Draco kembali lagi ke posisinya, dia melihat Potter menukik. Mata Potter belum pernah seserius itu sejak tadi. Ini artinya… Ini artinya… Draco yakin ini bukan Wronski Feint; Potter benar-benar…
Gawat.
Masalah. Karena Slytherin belum unggul.
Para penonton bersorak riuh rendah melihat laju sapu Potter. Mereka juga menyadari.
"Griffin, Grant—" seru Draco. Lalu dia terdiam. Adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Jantungnya berdegup kencang. Berpikirlah, Draco.
Tak sempat lagi memerintah kedua Beater.
Para penonton menatap ke arah Potter.
Bludger yang ditembakkan Beater Gryffindor diarahkan ke Gibb yang memotong laju Weaselette ke gawang Slytherin. Namun Gibb menghindar dan malah terkena gadis itu sendiri. Quaffle terlepas. Diambil Stuart.
"Stu!" seru Malfoy.
Stuart mengerti, dia melempar Quaffle ke arah Draco. Draco mengambilnya dan mendekapnya dengan erat. Sebuah Bludger menyerempet pelipisnya.
Hanya menyerempetnya.
Potter hanya berjarak beberapa meter dari Snitch. Draco berjarak beberapa meter dari gawang. Keduanya berpacu dengan waktu.
Lima belas meter—
Dia terbang zig-zag melewati Bludger—Chaser Gryffindor—dan Chaser Gryffindor lainnya lagi.
Enam meter—
Brengsek. Keeper Gryffindor keparat…Menyingkir dari pandanganku—
"Gibb!" Draco melempar Quaffle ke David. Dia telah menyerahkan sepenuhnya…
Draco menoleh, melihat Potter melesat beberapa meter di atasnya. Laju Fireboltnya mulai melambat. Apakah berarti… Merlin―Jantungnya berdegup kencang. Dia merasa jantung itu seakan dapat melompat keluar dari tubuhnya setiap saat.
Dan Quafflenya― Ba-bagaimana―

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar